Dua Sisi
"Setahun lagi!"
Kaigen mendecak kesal selagi mereka melewati daerah pasar ibu kota.
"Sepertinya Putri selalu punya rencana agar kita tetap melayani beliau..."
"Tetapi, Kaigen-sama, setidaknya beliau telah memberikan pilihan De-Apropriasi sebagaimana perkiraan senpai. Jika kamu memang tidak mau lagi melayaninya, ambil saja kesempatan itu. Tidak ada paksaan. Mudah, bukan?"
"Lagipula," timpal Kouya, "dalam setahun itu kita punya kesempatan untuk kembali menyatukan sisa rekan kita sekaligus menyaksikan kebangkitan tim valet baru milik Tuan Muda. Saat itulah baru kita bisa pamit dengan terhormat. Selama itu, jika juga bisa mengalahkan Gremory, rasa malu kita ketika itu juga akan terhapus. Sangat menguntungkan, menurutku."
"Benar, saya rasa tidak ada ruginya."
"Jangan gegabah," sergah si raksasa, "ruginya pasti ada, hanya saja kita belum tahu."
"Oh, ayolah, Kaigen-san, jangan cemberut terus. Nih, kita akhirnya bisa menapak wilayah Vladista lagi; sesuatu yang lama kita semua rindukan. Banyak barang yang bisa dipilih di sini, harganya bisa kita tanyakan lagi. Jika tidak mau juga, minimal tolong jangan bikin ribut di sini. Apa pun tanggapanmu, masih ada waktu tiga hari untuk berpikir; dan jangan pelintir leherku, sebab sudah kupenuhi janjiku membawa kalian kembali pada Putri. Apa pun yang beliau putuskan kemudian, sudah di luar kendaliku. Eh, permisi sebentar--"
Kouya menuju salah satu lapak dan memulai tawar-menawar untuk sebiji gantungan kunci bergambar lambang klan. Andin memandang rekan raksasanya sekilas dengan pandangan sarat pinta, lantas juga hendak beranjak menuju lapak lain.
"Eu!"
"Ada apa?"
"Pinjam familiar-mu. Summon dia. Mau kuajak jalan-jalan sebentar."
Andin memiringkan kepala, namun tetap menurutinya.
Siluet tiga sosok bergerak dalam bayang senja, tanpa obrolan apa pun, hingga Kaigen mengawalinya di bawah naungan sebuah beringin.
"Kalian ini bersaudara, sudah pernah kukatakan. Kalian juga sudah ikut dengar kata-kata Putri tadi; dan kamu, Nenggala, sudah pernah kuberitahu kegundahanku. Menurutmu aku harus bagaimana?"
"Kegundahan seperti apa itu, Mbakyu?" tanya Alugara. Nenggala kembali memandang majikannya, namun beroleh tatapan yang seolah berujar, 'kamu saja yang jelaskan'.
"Selain kecemasan akan kalah lagi dari tim Gremory dan menjadi kembali terpencar, Dik, majikanku ini punya sedikit kisah pribadi; kisah yang, karena beliau sudah repot-repot membawa kita berdua ke tempat yang jauh dari keramaian begini, kini juga akan kuceritakan padamu.
"Sebelum digantikan oleh Nastria, penggawa bidak Pion dalam tim valet Putri selain Kouya-san adalah seorang bernama Kazan. Saat ini keberadaannya belum diketahui lagi."
"Kita sudah tahu bahwa 'harga' Kouya-san adalah empat bidak Pion, dan Nastria-san sebanyak itu pula... Tunggu sebentar. Anggap saja tadinya keempat bidak itu dimiliki Kazan, maka bagaimana si Nastria ini kemudian bisa mendapatkan sisa bidak Pion itu?"
Nenggala mengacungkan telunjuk, meminta adiknya diam.
"Yang jelas cara perekrutannya membuat Kazan tak senang."
"Semakin aneh. Bukankah yang melakukan perekrutan itu mestinya Putri Vanya sendiri? Beliau pasti tahu soal ini. Tanyakan saja padanya."
"Aku baru mau melakukan itu," seloroh Kaigen, "tapi terhadap Kazan-nya langsung; dan saat hendak kutemui di ruangannya, ia ternyata sudah menghilang. Tak ada yang tahu ke mana perginya. Yang tertinggal hanya empat bidak Pion."
"Jadi... Tunggu. Apa dia men-De-Apropriasi dirinya sendiri, kalau begitu? Lantaran... kecewa?"
Kaigen menggumam. "Kecewa. Sakit hati. Itu satu-satunya penjelasan yang logis, dan lantaran dia melakukannya tanpa pemberitahuan, Putri lantas menganggapnya sebagai tindakan pengkhianatan. Sejak itu, usai secara resmi meng-Apropriasi si Nastria dengan empat bidak Pion tinggalan itu, Putri Vanya menolak bicara apa pun mengenai Kazan."
"Lantas, bagaimana kesudahan Kazan sendiri? Jika benar dia nekad melakoni proses De-Apropriasi di luar prosedur, mestinya ada efek sampingnya; bisa jadi itu ada dalam salah satu bidak yang diterima Nastria--adaw!"
Nenggala menarik tangannya yang terkepal, sehabis digunakan menjitak adiknya.
"Kamu nggak menyimak ya, Luga? Sudah kubilang kan, keberadaannya belum diketahui--dan parahnya lagi, kita sekarang juga tidak tahu keberadaan Nastria."
"Yah, tapi kan nggak harus gini juga, Mbakyu..." Alugara mendesis, mengelus keningnya yang masih nyut-nyutan. "Ursa bilang dia tahu..."
"Itu masih akan ditentukan nanti, tergantung apakah lewat info si Ursa tadi Putri jadi memutuskan mencari Nastria atau tidak."
"Jadi itu yang bikin Tuan Kaigen bimbang?"
Si raksasa kembali menggumam. "Kalau-kalau dia mendadak kembali dan menuntut haknya atau semacamnya..."
"Kalau begitu, bolehkah kuceritakan soal ini ke majikanku juga?"
"Silakan; barangkali dengan begitu Putri bisa diyakinkan untuk segera memutuskan masalah antar kedua orang itu."
"Oke deh, kalau gitu aku pamit--dan Mbakyu Nengga, awas ya soal jitakan tadi~"
Nengga tersenyum jahil. "Duh, Luga, kamu ini kan laki-laki."
"Mau cewek, mau cowok, sakitnya tetap!"
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro