Awalnya dari...
"Kuberitahu, ya," ujar Ziyad selagi mengajakku ke suatu tempat suatu hari setelah pekerjaan rumahnya selesai, "selain kemahiran legiun Yanisaria dan kuatnya wibawa Baginda Sultan Selim I, ada satu hal lagi yang menjadikan Osmania ini cukup terkenal. Kau sedang kuantar ke salah satu pabriknya."
"Sudah, katakan saja langsung, bidang apa itu."
Ia berdecak. "Kau ini benar-benar tak sabaran. Sudah kubilang kau sedang kuantar ke salah satu pabriknya. Kau bisa lihat sendiri produknya di sana nanti."
"Bukan itu..." sahutku sambil manyun, "yang aku ingin tahu, kenapa untuk ke pabrik saja--pabrik apa pun itu--kau sampai merasa perlu memakai wangi-wangian, menyisir rambut sampai klimis, dan mengenakan baju baru segala?"
Ziyad jadi tampak gugup.
"P-pokoknya kau bisa lihat produknya di sana nanti."
***
Sekitar satu jam kemudian kami sampai di tempat yang dimaksud. Memang cukup ramai; suara alat-alat pintal memenuhi udara.
"Eh? Ini kan... pabrik kain?"
Kini kawanku bertindak sebagai pemandu dadakan, setengah berkacak-pinggang dengan bangga dan merentangkan tangan satunya, telapak tangan menghadap ke atas.
"Yap! Osmania terletak di persilangan jalur perdagangan sutra, jadi aneka produk dengan bahan itu cukup diminati."
"Apa kau pernah memasarkan yang seperti ini?
"Yah, inginnya sih bisa begitu. Selama ini aku lebih banyak berkutat di perdagangan ternak."
"Kenapa?"
"Modal awalnya jauh lebih murah. Gambarannya, kalau aku bisa jual tiga kodi saja kain sutra, barangkali rumah yang kau lihat tidak akan seperti itu."
"Hee... segitu tingginya ya, nilainya..."
Ia berdeham. "Kau nikmati saja dulu pemandangan ini sepuasmu ya. Aku mau menemui seseorang."
Duh, dasar. Ternyata memang ada maunya...
***
*POV: Ziyad
"Ah, Kakak hampir selalu tepat waktu ya, kalau soal ini..."
Salah seorang pekerja yang mengenakan serban hitam menyapaku segera setelah menyelesaikan bagian kerjanya hari itu.
"Sudah hampir masuk shift kedua, Kak Ziyad. Sebentar lagi pergantian pekerja. Semoga kakakku dapat lebih menyempurnakan pintalan ini--lagipula, hari ini semestinya Kak Ziyad sedang cuti, bukan?"
"Hari ini aku bawa teman baru, Imara." Ziyad mengedip. "Dia baru pertama kalinya mengunjungi tempat pembuatan kain sutra, dan--tuh, lihat--sedang mengamati prosesnya."
Remaja lelaki yang dipanggil Imara itu, dan berusia delapan tahun lebih muda dari lawan bicaranya, menghentikan pekerjaannya lantaran memang sudah selesai.
"Boleh tahu siapa namanya, teman baru itu?"
"Si Irdim itu lho. Ah, masa sudah lupa, kamu ini..."
"Oh, bocah yang katanya datang dari wilayah supernatural itu... dia cukup baik sih, tapi mengenai wilayahnya aku terus-terang nggak paham. Lantas, kenapa dia tidak dibawa ke sini untuk melihat prosesnya dari dekat dan belajar langsung dari ahlinya?"
Ziyad mendecak. "Bukankah kakakmu yang lebih ahli dalam soal ini?"
"Oh, karena itu Kakak betah amat nunggunya... alasan saja mau melihatnya kerja dari dekat--"
"Eh! Jangan keras-keras... Ngomong-ngomong, lagi di mana sih kakakmu itu? Si Ikfa..."
Imara memberi isyarat dengan kepalanya. "Tuh," lantas mulai cengar-cengir.
Seiring mendekatnya sosok yang ia nantikan itu, rona merah pada ekspresi Ziyad kian kentara.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro