Reuni
Setelah seharian beres-beres rumah untuk mempersiapkan 'kedatangan' Valerin sambil berusaha membujuknya agar tidak menemui sosok idamannya itu sebelum Nanda datang, akhirnya persetujuan Pierre berhasil kudapat meski dengan bersungut.
'Tamu' yang kami tunggu-tunggu itu datang dua hari kemudian; tetapi bukan Inanda maupun Valerin, melainkan anak putra mahkota klan. Ia didampingi seorang gadis sebayanya dan seorang dewasa.
"Suatu kehormatan Tuan Muda Ishtar berkenan mengunjungi kami."
"Selalu begitu. Langsung panggil aku Ish saja kenapa sih?"
"Ck, bocah ningrat lagi... Ini bukan yang pertama lho."
"Hus! Pierre!" bisikku tegang. Beraninya bilang begitu langsung di depan bangsawan setinggi ini... Harus diakui, 'kejujuran' rekanku ini kadang-kadang kelewatan juga.
"Nah, kau bilang apa tadi?!"
...mati aku.
"Bocah Ningrat," sahut Pierre lagi, enteng.
"Kayaknya bagus tuh! Aku suka!"
Lho...?
"Ish! Yang bener aja! Dia ini sedang menghinamu, tahu?" sergah gadis di sebelah Tuan Muda Ishtar. Beliau menggerakkan bahu.
"Terserah kamu lah, Va. Panggilan itu bagus menurutku."
Eeh?!
"Anu... Tuan..."
Aku berpaling ke orang dewasa yang mendampingi anak-anak itu, meminta tolong.
"Oh, kau tak perlu heran, Davin. Keponakanku memang begitu."
"...Anda sudah mengenal nama saya?"
"Tentu, walau baru sekarang ketemu sosoknya. Kalian kan yang bikin Vladista repot selama beberapa bulan dengan kebandelan untuk tidak segera kembali kemari?"
"Ah, soal itu... saya sekali lagi mohon maaf!"
"Sudah, cukup. Daripada itu, kudengar ada salah satu orang kita yang sampai mengikuti kalian..."
"Mungkinkah yang Anda maksud, Kak Kouya Satome?"
Mendengar nama itu, Tuan Muda Ishtar berpaling dengan tajam.
"Kau... namamu Davin, ya? Di mana kamu melihatnya, si Kouya itu?"
"Barangkali lebih tepat dikatakan, kami tak sengaja bertemu, Tuan Muda. Selama di klan Gremory kami juga berperan sebagai piaraan seorang sebaya Anda bernama Millicas--"
"Ishtar! Panggil aku begitu, atau kali ini kalian kujadikan piaraanku. Mau? Toh kalian juga kayaknya lebih muda dariku."
"Eh... baiklah, Ishtar. Saya ulangi, kami dan Kak Satome tak sengaja bertemu. Saya tidak mengerti peran apa yang sedang ia jalani, tapi yang pasti sebelumnya kami tidak menyadari keberadaan masing-masing."
"Tapi kalian sempat ketemu langsung?"
"Benar, ketika suatu saat Kak Satome mengunjungi tempat kami ditampung."
"Dia bilang apa?"
"Ngajak kami kabur," sahut Pierre, "bergantian, kurasa. Dia mendatangi sel Davin dulu, baru aku."
"Kenapa saat itu kalian tidak menerimanya?" tanya paman itu.
"Sebab kami belum percaya. Dia waktu itu bilang, Gremory ada rencana perang. Jelas, kalau sampai seperti itu, kami nggak mau berada di jalanan. Paman tahu sendiri, jarak tempat kami ditampung dan Vladista ini cukup jauh; dan nggak seperti vampir maupun familiar, kami berdua itu siluman, nggak bisa teleportasi, terbang, atau cara bepergian muluk lainnya. Hanya jalan kaki."
"Jadi, gimana akhirnya kalian pergi dari sana?"
"Bareng Millicas dan ibunya, tanpa sengaja ke Lycania. Sisa kisahnya, kalian pasti udah tahu."
"Kalian nggak ngajak Kouya juga?"
"Tolong dipikir. Kami pergi dari situ di tengah serangan dua monster. Rusuh, pokoknya. Nggak sempat mikir depan-belakang. Baru ketika sampai di perbatasan Gremory kami sadar keadaan Kak Satome nggak kami perhatiin. Tentu kami lantas berharap dia selamat, tapi siapa tahu orangnya sendiri juga udah kabur. Entah ke mana."
"Oh, begitu..."
Ishtar tampak kecewa.
"Tampaknya keberadaan Kak Kouya begitu menarik perhatian...mu, Ish?" tanyaku takut-takut.
Ia seperti tidak mempedulikan perubahan sapaan itu, menggeleng. Anak ini benar-benar ingin diperlakukan layaknya orang awam...?
"Bukan untukku, sih. Kouya itu salah seorang valet bibiku, dan beliau amat membanggakannya. Bukan begitu, Paman Azkar?"
"Tidak heran, Ish. Tim valet Vanya telah begitu dikenal semua kalangan klan ini. Tidak dapat mengikuti Rating Game, betapa pun sementaranya, pasti merupakan dosa tersendiri baginya--dan memang, Kouya itu andalannya.."
"Tetapi, Ayah," sela gadis di sebelahnya, "mungkinkah menemukan valet selain Kouya dulu? Valet Tante Vanya tentu bukan hanya dia, kan?"
"Kuharap begitu; tapi bukan aku yang tahu lokasi mereka, Narva sayang."
"Jadi sederhananya," Pierre berkata lagi, "kalian semua datang kemari cuma karena ingin tahu Kak Satome di mana?"
"Nggak juga, sebenarnya ada satu tujuan lagi," Ishtar menyahut. Sepertinya yang lainnya terima saja kalau dia yang bicara. "Kami kan sudah dalam rentang usia untuk mulai memperhatikan soal familiar, jadi kami rasa sudah waktunya menentukan calon familiar pilihan kami. Rumah kalian ini terletak dekat salah satu sarang mereka, yakni Hutan Aon--lagipula seperti kata pamanku tadi, kalian mungkin tahu kabar Kouya, jadi kami coba datangi. Sekarang kami harus pergi lagi. Terima kasih sudah diterima di sini."
"Oh, sama-sama... Ish."
"Barangkali kita bisa menemukan Valerin di habitat asli--eh? Kenapa kamu?"
Ups. Pandangan mata Pierre berubah lagi. Pasti gara-gara terpicu nama tadi.
"Bo-bo-boleh aku ikut dengan kalian, Nona? A-aku juga mau ketemu langsung idamanku itu~"
"I-idaman, katamu...? Anak Azalrog itu?"
"Aah, malah diberitahu nama orang-tuanya juga... Senangnya~"
"Sst, Pierre..." kucubit pipinya, "soal Nanda, gimana?"
"Ah, dia nggak bilang mau datang hari ini, kan? Cuma 'segera'?"
Cepat sekali dia menemukan celah, kalau lagi begini. "Iya, sih..."
"Kalau gitu, Valerin nomor satu~"
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro