Poros Nasib
"Tomoya-san."
Suara lain bergema di ruang itu, tepat saat Tomoya selesai mengenakan mantel dan penutup telinga dari bulu kepada putrinya.
"Rapi sekali. Mau ke mana?"
Pria itu merasa bulu romanya meremang. Teguran lembut, namun sarat mengandung kesan yang sama-sekali bertentangan. Dari belakangnya.
"Na-nagisa... ini..."
"Mama...?" Ushio ikut menyahuti, namun segera terabaikan.
"Oh, bahkan kamu sendiri sudah mengenakan jaket dan scarf, dan bawa tas pula... Mau mengajak piknik, hm?"
"Nagisa, tunggu dulu. Ini karena--"
"--karena Ushio memintanya," timpal Azumi sinis dari belakang ibunya. Ia kini menjajari beliau.
"Papa, tolong taruh tas itu dan ikut aku sebentar."
Tertangkap basah, Tomoya tak punya banyak pilihan. Ia berdiri. Ushio dibiarkannya tetap berpakaian siap untuk piknik; tapi sebelum itu, ia sempat mendengar sepatah kalimat, diucapkan dalam bisikan:
"Papa..."
"Eh? Ada apa, Ushio...?"
"Aku... sayang Papa."
"Ya. Papa juga."
Lantas Ushio yang masih tersenyum tipis ditinggalkan dalam perawatan ibunya.
***
Tomoya dan Azumi bersama menyusuri koridor hingga anak sulung Okazaki itu membuka salah satu pintu dan menutupnya kembali segera setelah mereka masuk.
"Jadi, apa-apaan ini, Azu? Kau mau memarahi Papa?"
"Aku tidak akan menggunakan kata itu," sahut Azu datar, "hanya ingin tahu, apa Papa tadi sedang dalam kondisi kurang baik?"
"Apa? Kurang baik?"
"Mengajak bocah delapan tahun piknik dalam badai salju padahal tahu dia sedang demam parah... bukankah itu sudah terlalu jauh?"
"Aku hanya sedang mencoba memenuhi permintaannya."
"Kalau begitu kurasa aku baru saja membantu menyelamatkan nyawanya."
"Azumi!"
"Papa tentu sadar akibatnya kalau 'piknik' tadi dibiarkan berlanjut, bukan? Atau, Papa benar-benar berharap dapat mencapai stasiun sebelum terjadi apa-apa?"
"Terjadi apa-apa bagaimana maksudmu? Bicaralah yang jelas."
"Kalau gitu, aku akan sedikit lebih jujur lagi. Kalau Ushio mati di tengah jalan, apa Papa mau tanggung-jawab?"
"A-apa katamu..."
Tomoya merasa bagai ubun-ubunnya dipukul sekuatnya, tak tahu semestinya kaget atau marah.
Mungkin dua-duanya?
"Ushio akan mati...? Gara-gara keputusanku?"
"Itulah yang Mama dan aku takutkan," Azu melembutkan nada bicaranya, "paling tidak, kalian toh takkan beranjak jauh dari halaman depan. Kalau sudah begitu, tidak ada yang membantu kalian. Musim seperti ini, jalanan tentu sepi, maka lebih baik sekalian tidak membiarkan kalian pergi. Apa kami salah jika berpendapat begitu?"
"Tapi... begitulah yang diinginkan adikmu. Sudah beberapa kali aku menanyainya, jawabannya selalu sama. Minta piknik. Coba, menurutmu aku harus bagaimana lagi? Dia bahkan memohon sampai dua kali!"
"Pernahkah terpikir," lanjut Azu, "bahwa mungkin saja Ushio memintanya hanya untuk membuat Papa membuktikan sesuatu?"
"Jadi... bisa saja dia tidak benar-benar ingin pergi?"
"Dia sih inginnya benar-benar pergi, kalau bisa, tapi Papa pasti tahu hal itu sulit dituruti saat ini. Mama juga tidak akan senang. Tapi dari awal Papa belum bisa menyimpulkan sejauh itu, jadi tadi aku tanya: mungkinkah kondisi Papa sedang kurang baik?"
"Hmm. Jadi menurutmu, adikmu itu ingin aku membuktikan apa?"
"Bahwa Papa sayang dia dan mau menuruti permintaannya. Itu saja. Dia kan sudah mengatakannya."
Pria itu tersentak.
"Hanya itu?"
"Ya. Sederhana sekali, kan? Beberapa kali sebelum ini, dia juga sudah bilang bahwa piknik yang dulu itu sangat menyenangkan. Shio-chan sepertinya sangat ingin mengulangi kesan itu bersama Papa saja, tanpa memikirkan keadaannya sendiri."
"Oh..."
Azumi tersenyum. "Tapi, kami yakin Papa tidak akan benar-benar berangkat jika permintaan Shio-chan tadi tidak terjadi."
Ayahnya mencondongkan tubuh. "Ya! Mana mau aku membahayakan putriku sendiri sejauh itu... Aku hanya khawatir tidak bisa menuruti permintaannya lagi. Kalian semua sudah lihat kondisinya."
"Baiklah, rupanya kita sepakat soal itu. Syukurlah. Sekarang... apa Papa mau kuberitahu sebuah rahasia?"
"Katakan saja."
"Di ruang sebelah kita ini, Iruha dan Saichi sedang membuatkan bangau-bangau kertas untuk kesembuhan Ushio. Kami bertiga sudah melakukannya selama seminggu belakangan, dan akan terus begitu sampai demamnya surut. Kalau nanti dia bisa mencapai keadaan itu, apa Papa juga akan memenuhi janji yang sempat tertunda ini?"
Tomoya berdiri, diikuti putranya.
"Aku akan melakukannya--dan lebih dari itu. Setelah ke padang bunga, kita juga akan mengunjungi ayah dan nenekku di kediaman beliau dekat situ. Untuk saat ini, Azu..."
"Ya?"
"Selesaikan yang telah kalian mulai. Aku masih berhutang penjelasan pada Nagisa, dan akan melunasinya sekarang."
"Semoga berhasil, Pa, dan jangan cemas. Shio-chan sudah aman sekarang."
"Kalian juga."
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro