Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Peristiwa Senja

"Hah? Lomba untuk orang-tua?"

"Ya, undangannya dibagikan pada Ushio waktu dia pulang tadi," jawab Nagisa. "Kelihatannya akan menarik. Jika mungkin, kami juga ingin nonton."

"Hee... lantas, adakah yang mau diikuti?"

"Nah, justru aku mau menanyakan itu pada Tomoya-san."

"Eh? Aku?"

"Karena tadi siang juga ada telepon dari Akio, ayahku. Beliau juga ingin tahu kau mau ikut lomba yang mana."

Tomoya meringis, sejenak merasa kagok. "Orang itu... gimana bisa dia juga dapat undangannya?"

"Ayah memang punya banyak cara, ho ho ho... Nah, selain itu, beliau juga memberikan pertimbangan: kalau suamimu itu belum menentukan pilihan lombanya, kata beliau, aku menantangnya masuk tim lari estafet yang sama denganku! 'Kita tunjukkan pada Ushio apa yang bisa dilakukan dua orang ini!' Begitu..."

"Huh... masih ada semangat mudanya, ya..."

"Kalau sudah begitu," Saichi menimpali, "masa Papa mau diam aja? Buktikan dong sama Kakek Akki, bahwa papaku juga masih punya... apa tadi istilahnya, Ma? 'Semangat muda'?"

"Ho ho ho..."

"Ka... kamu juga meniru Ushio memanggil kakekmu seperti itu ya, Sai..."

"Semangat, Papa!" sahut Ushio tak kalah riang.

"Uh... kalau untuk Ushio sih... baiklah!" Tomoya berdiri, mengepalkan tangan, "Papa akan berusaha!"

"Berusaha!" bocah delapan tahun itu ikut-ikutan.

"Ngomong-ngomong... Kak Azu sama Kak Iru ke mana ya? Udah mau makan malam nih..."

"Oh ya," ujar Nagisa, "Sai, tolong titip panggilkan mereka."

"Baik."

***

"Eh, Kak Azu... dipanggil Mama buat makan malam tuh."

"Pas banget. Baru aja mau turun."

"Kak Iru mana?"

"Di kamarnya, kayaknya ngambek. Tadi waktu aku coba masuk, eh pintunya dikunci."

"Eh? Ngambek...?"

"Coba aja deh kamu ketuk pintunya. Aku turun duluan ya."

Saichi memandang sosok yang berlalu itu, kemudian ke arah pintu satunya di koridor lantai dua dengan perasaan campur aduk. Ia merasa dapat membayangkan jawaban yang bakal diterimanya--dan itu belum tentu menyenangkan.

"Iruha-neesama~"

"Iya, bentar! Lagi kukerjain!"

"...ngerjain apa?"

"Masa lupa? Kakak kan yang nyuruh aku beresin PR sebelum tidur?! Lagi digarap nih!"

Dia kira aku ini Kak Azu, batin bocah itu.

"Iruha-nee, ini aku, Saichi. Bukain dulu pintunya."

Beberapa saat kemudian terdengar suara kunci diceklikkan dan kenop diputar.

"Oh, kamu, Sai. Mana si cerewet itu?"

"Dia udah di bawah. Tinggal Kak Iru yang belum, jadi aku disuruh ke sini buat ingetin."

"Disuruh siapa?"

"Mama."

Tatapan Iruha melembut. "Syukur. Kalau saja Kak Azu yang datang, uh, rasanya bakal kulempari bantal. Gila, cubitannya tadi pagi kuat banget... masih nyeri kalau diingat. Makanya sejak tadi kamar ini kukunci, mati-matian beresin PR. Kamu tahu kan, aku gampang ketiduran."

"Anu, dengan begitu... Kak Iru masih bisa makan, kan?"

"Apa lauknya hari ini?"

"Mana aku tahu? Aku cuma disuruh manggil kalian buat turun. Lauknya ya terserah Mama."

***

Pada hari-hari selanjutnya selama dua minggu, kapan saja ia sempat, Tomoya berlatih estafet--di tengah salju musim dingin, di taman saat tengah hari sehabis menjemput Ushio, bahkan di sela jam istirahat kantornya.

Suatu hari, saat sedang senggang, ia menerima kunjungan Fuko, adik teman sekolahnya dulu. Anak ini sebenarnya usianya sama dengan Tomoya, namun ia sempat mengalami koma hingga harus menjalani opname. Akibatnya, begitu sadar, si Fuko percaya bahwa dirinya masih seorang anak SMA.

Tambahan lagi, sejak saat pertama bertemu Ushio di taman kota, Fuko langsung menyukainya layaknya harta langka.

Buktinya, begitu selesai memperkenalkan diri di ambang pintu depan apartemen sederhana Tomoya, si Fuko langsung merangkul Ushio dan mengajaknya main--bahkan sempat menawarinya menjadi adiknya.

Atas usulan Ushio, ia, Fuko dan Tomoya lantas main menjajarkan kartu di ruang tamu. Ini dilakukan setelah kedua bocah itu puas bermain dengan boneka-boneka dangou kesukaan Nagisa.

Di ruang tamu itulah Tomoya pertama kali merasakan akibat lamanya opname tamunya ini. Hal itu terjadi waktu main 'tebak-tebakan'. Tomoya dapat giliran bertanya pertama.

"Fuko, kalau kamu melihat sebuah tombol dengan tulisan 'Jangan Ditekan', kira-kira apa yang bakal kamu lakukan?"

"Fuko menunggu sampai tidak ada orang, lalu menekannya pelan-pelan."

"Yah, padahal itu tombol peluncuran nuklir."

Tamunya langsung sewot.

"Uuh, Okazaki-san tidak bilang begitu dari tadi! Okazaki-san menipu Fuko! Baik, sekarang giliran Fuko. Kalau Okazaki-san melihat celana panjang di tengah ladang ranjau dengan tulisan 'Jangan Dipakai', apa yang akan dilakukan?"

"Ya, tidak usah dipakai, kan?"

"Bohong! Okazaki-san pasti tidak akan tahan untuk tidak memakainya, menerobos ladang ranjau itu, lantas celana itu dipakai juga sambil teriak, 'Okazaki memang hebat!', dan BUUMM... ranjaunya meledak deh!"

Ganti Tomoya yang bengong.

"Aku tidak paham jalan pikiranmu..."

"Oh, apa ini berarti Okazaki-san amat memperhatikan Fuko? Duh, bikin terharu~"

"Bukan... meskipun kamu tidur nungging di tengah jalan, aku tidak akan sampai menyodok pantatmu dengan tongkat pramuka kok, jadi tenang saja ya~"

*TL: "Aku tidak peduli sama sekali!"

"Oh? Padahal para tetangga Fuko bilang Fuko ini gadis berpikiran lurus lho."

"Aku jadi penasaran tetangga macam apa mereka itu..."

Ushio memperhatikan pembicaraan ini dan rupanya cukup merasa terhibur hingga pada akhir kunjungan itu ia menyebut Fuko pada ayahnya sebagai 'orang yang baik'.

Tanpa terasa, hari 'pertandingan orang-tua' kurang sehari lagi. Saat itu Tomoya dan putrinya sedang mengunjungi rumah Akio dan Sanae Furukawa, orang-tua Nagisa, yang juga punya usaha toko roti. Tomoya dan tuan-rumahnya sedang asyik memanas-manasi satu sama lain.

"Akhirnya besok saat pertandingannya ya! Akan kuperlihatkan kemampuanku!"

"Ha! Omong kosong. Lihat saja, Ushio-chan pasti akan lebih terpesona denganku!"

"Aduh, aku jadi makin tidak sabar menunggu besok... iya kan, Ushio-chan?" tanya Sanae sambil tersenyum pada sosok yang baru masuk.

"Um..."

Sanae tertegun, baru menyadari perubahan pada roman cucunya itu. Pucat.

Kedua pria di sampingnya, terutama Tomoya, juga segera menyadarinya.

"Ada apa denganmu, Ushio?"

"Aku... nggak bisa... ke toilet sendiri..."

"Eh...?"

Dicobanya melangkah, namun sosok belia itu terhuyung. Ayahnya cepat-cepat menahan tubuhnya sebelum benar-benar ambruk ke lantai tatami. Tomoya lantas memegang dahi putrinya.

"Astaga. Panas..."

Senja itu, segalanya berubah.

***

Malam yang sama, dokter segera dipanggil. Rupanya keluarga Akio kembali menghubungi dokter yang pernah memonitor kondisi Nagisa selama dia hamil dulu.

Saat itu Ushio sudah dibaringkan dan diselimuti. Rona kemerahan pada pipinya serta irama nafasnya yang pendek-pendek menjadi gambaran rasa yang diderita bocah itu.

"Ini memang demam... tetapi saya tidak mengetahui penyebabnya. Ibunya dulu tidak menunjukkan gejala seperti ini, bukan?"

Ketiga orang lain di sisi Ushio menggeleng, sama-sama berona muram.

"Padahal sampai barusan dia masih bisa berlarian...," Tomoya menggumam seolah tak peduli depan-belakang.

"Kalau begitu, saya permisi dulu..."

Tidak juga ia peduli dengan kepergian sang dokter. Sanae yang menggantikannya mengantar hingga pintu depan.

"Tomoya."

Suara pelan namun tegas Akio menyadarkannya. Ia menoleh.

"Siapa ayah anak ini?"

Pria itu kembali tertunduk. "Saya."

"Kalau begitu, jagalah kesehatannya--dan milikmu sendiri--baik-baik."

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro