Dibayar Tunai
Pintu ruangan tadi digeser menutup, meninggalkan Azu bersimpuh lagi. Sendirian.
"Shio-chan, kamu memang pemberani..."
Ingin rasanya ia kembali menengok keadaan adik bungsunya itu lagi, tapi lantas menenangkan diri. Bisa jadi ayah-ibunya saat ini sedang terlibat pembicaraan baru yang kurang pantas disela hanya untuk mendapat sekilas pandang anak yang demamnya belum surut sejak beberapa minggu ini.
Akan ada banyak kesempatan untuk itu selama piknik kedua nanti; tambahan lagi, kondisinya sudah akan jauh membaik.
Semoga.
Untuk saat ini, Azu cukup puas dengan mengunjungi ruang sebelah, tempat kedua adiknya yang lain sedang bekerja.
"Gimana, Azu-nii?" tanya Iruha. "Papa mau dengerin dalihmu?"
"Ya, dan bisa jadi kita akan mengunjungi Nenek jika Shio-chan sembuh."
"Oh, syukurlah," sahut Saichi, "Bangaunya juga lagi dilanjutin nih, udah 600-an."
"Wah, kalian kerjanya cepat sekali... tapi, mulai sekarang aku udahan ya. Nggak ikut bikin lagi."
"Lho, kok?!"
"Lanjutkan saja bikin bangaunya kalau mau, Sai. Biar aku berdoa dulu buat Shio-chan."
"Sambil bikin bangau kan juga bisa, Kak? Ayolah, udah sejauh ini nih..."
Iruha mengedip, mulai menimbang-nimbang. Cara kedua itu memang lebih tidak buang-buang tenaga, dan juga tujuannya sama: mendapat kesembuhan. Saichi cepat menyadari itu, dan kini memandang kedua kakaknya dengan harap-harap cemas.
Jangan-jangan dia bakal harus melakoni semua ini sendirian.
"Kamu... benar-benar percaya ya, Sai, sama kemujaraban bangau ini?"
"Nah buktinya, Papa sampai mau menunda piknik itu waktu jumlah bangaunya udah segini. Manjur kan berarti?"
"Tapi apa beneran ini harus dibikin sampai seribu? Ini juga sudah banyak kan?"
"Ah, Iruha-nee jangan cari alasan mau kabur juga!"
Sejenak ruangan itu sunyi. Tegang lagi. Mata Saichi mulai berlinang.
"Padahal... udah sejauh ini... Kalau kalian emang gak niat, bilang aja dari awal!"
"Sai-kun..."
"Gini deh," Azu melerai. "Kamu hitung dulu berapa jumlah bangaunya."
"Pokoknya belum seribu!" anak itu mengusap mata sambil terisak.
"Hitung lagi."
"Nggak mau!"
"Saichi... apa kamu kira kita cuma kerja pas ada kamu saja?"
Ia tertegun, menghentikan tangisnya. "Maksud Kak Azu apa?"
"Waktu kamu tidur atau kerjain PR, atau masih di sekolah, bisa aja kami tetap bikin bangau juga kan?"
"Kalau pas aku di sekolah, kayaknya nggak mungkin. Saichi pulang sebelum kalian kok."
"Bisa jadi kami juga lanjut bikin di sekolah kami?"
"Eh...? Kalian kan udah SMA, emang nggak malu diliatin teman-teman pas bikin bangau-bangauan gitu?"
"Makanya, coba hitung dulu. Tapi, harus kamu sendiri yang ngelakuin, biar percaya."
Setengah jam berlalu.
"Wah... ternyata udah 850! Banyak bener!"
"Nah, sekarang gimana kalau kita ganti sisa yang 150 itu dengan doa bareng Papa-Mama di kamar Shio-chan biar dia sembuh? Lagian, persediaan kertasnya udah mau habis juga."
"Hmm... ya udahlah, gak apa-apa kalau gitu..."
Di belakang Saichi yang kini dengan riang menuju kamar Ushio, Iruha menggamit kakaknya.
"Thanks, Kak! Kertasnya jadi lebih irit..."
"Eh, aku serius lho soal doa itu..."
***
"...jadi begitulah, Nagisa. Aku hanya bermaksud memenuhi permintaan Ushio setelah sekian lama dia tidak bisa keluar rumah. Aku sungguh minta maaf kalau itu mengagetkanmu."
"Benar, Ma. Papa maunya baik."
Pakaian Ushio yang untuk piknik sudah dilepas semua. Kini ia sudah mengenakan piama baru---masih dengan dibantu--dan sedang merangkul boneka dangou hijau kesukaannya dalam pangkuan.
Di sebelahnya, Nagisa mengembuskan nafas.
"Ya ampun, tapi memang itu mengagetkan... Jika Azu tidak memberitahu Mama, entah bagaimana jadinya."
"Apa? Azumi yang memberitahumu?" Tomoya ganti bertanya.
"Ya, katanya dia sempat melihat Shio-chan mengigau."
"Aku... tidak tahu itu."
"Aku tahu!" Ushio menyela lagi. "Azu-nii pernah masuk kamar waktu aku lagi tidur, tapi saat itu lagi nggak bisa bangun... Eh, Azu-nii!"
"Wah, wah, Shio-chan. Udah baikan?"
Bocah itu menggeleng, "Tapi, Mama lagi menemaniku!"
"Ada Iru dan Sai juga... Kenapa kalian semua ke sini?"
Iruha yang menyahut. "Sebagai ganti bikin bangau kertas, kami diajak Kak Azu doain Ushio di sini! Papa-Mama mau ikut juga?"
"Wah, boleh! Tumben kamu punya gagasan begitu."
"A-astaga..."
***
Selama sisa hari itu, Ushio kembali beristirahat. Beragam persediaan kembali dipenuhi; kali itu Tomoya bahkan membeli satu pak kain kompres, yang segera digunakan malam harinya.
Karena sudah ada kompres, Saichi memutuskan tidak melanjutkan pembuatan bangau kertasnya. Jumlahnya berhenti di 850 buah, tetapi bagi keempat bersaudara Okazaki itu sudah cukup jadi bukti kekompakan mereka.
Dengan kompres, demam Ushio Okazaki susut dalam seminggu; cukup untuk membuatnya bisa beraktivitas normal dan ke sekolah lagi.
Musim berganti. Salju berangsur mencair. Tahun Baru dirayakan sewajarnya.
Ketika tiba saat pemenuhan janjinya, Tomoya mengubahnya sedikit. Sengaja memilih akhir pekan untuk memulai pikniknya, pertama keluarga itu mengunjungi rumah Akio dan Sanae. Tak tanggung-tanggung, mereka dapat tambahan bekal 10 sisir roti dari pasangan itu sebagai wujud syukur.
Pada hari kedua, tibalah puncak acara. Perjalanan ke padang bunga di utara, berupa dua kali naik kereta dengan transit di losmen yang juga pernah mereka singgahi, menjadi momen paling berkesan bagi Ushio hingga saat itu. Terlebih, dalam perjalanan kali ini ia akhirnya dapat menyaksikan lagi momen-momen kerukunan kakak-kakaknya, sekaligus menemukan kembali robotnya yang dikiranya sudah lama hilang.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro