Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bocah Ningrat

*POV: Millicas

Iya, aku juga sudah tahu kok kalau wisma keluarga kami, sama banyak hal lain, rusak parah gara-gara kerusuhan ini. Sudah menduganya, malah, sejak pelarianku bareng Ibu dan dua kawan silumanku.

Ahh, kami berangkat berempat, pulangnya cuma berdua... tapi aku udah bilang ke Ibu kok, bahwa aku punya firasat bakal segera ketemu mereka lagi, sesaat sebelum kami memulai perjalanan.

Apa itu benar? batinku selagi duduk sendirian di ranjang kamarku sendiri; satu dari sedikit ruang yang sudah diperbaiki.

Hukuman macam apa sih yang bakal mereka terima?

Apa sekolahku bakal diliburkan gara-gara peristiwa ini? Atau tetap masuk kayak biasanya?

Sayup-sayup kudengar ketukan pintu kamar.

"Ya, masuk saja..." barangkali tukang atau pelayan.

"Halo, Millicas. Apa aku mengganggumu?"

"Ka-kakek?! Tidak... sama sekali tidak, hanya saja, keadaan kamarnya masih kurang rapi..."

"Namanya juga sedang direnovasi. Justru aku yang harusnya minta maaf--barangkali kenyamanan tidurmu nanti terganggu."

"Millicas bisa membiasakan diri, kok."

Saat itulah baru kusadari kakekku, Zeoticus Gremory, datang sendirian. Tidak disertai pengawal layaknya ketua klan.

Seingatku beliau hampir tidak pernah bertindak seperti ini, menemuiku secara langsung, kecuali saat jamuan keluarga.

"Jadi, ada apa gerangan--"

Tanpa mempedulikan pertanyaanku, beliau langsung duduk menjajariku di tepi ranjang yang memang cukup lebar, lantas berdiam beberapa menit.

"Kapan ya terakhir kali kita berbincang berdua seperti ini?"

"Eh... Millicas tidak ingat, tapi tentu saja itu karena Kakek amat sibuk mengurus beraneka hal dalam klan."

"Tentu saja begitu. Selama ini yang paling sering menemuimu adalah Grayfia dalam sosok maid maupun biasa, kadang-kadang masuk ke sini untuk membacakanmu kisah pengantar tidur..."

Perlahan kurendahkan pandangan. Senang mengingatnya, namun juga malu. "Itu kan dulu..."

"Sekarang pun belum banyak berubah, kan? Kamu hampir selalu dikelilingi pelayan, atau mengikuti sesi tutorial yang digagas Venelana... bahkan bisa dikatakan, dua bocah siluman itu adalah teman-teman sejati pertama yang kamu punya--dan kamu baru saja kehilangan mereka!"

Ini membuatku tertegun. "Kakek... hal seperti itu..."

Beliau memandangku. "Aku tahu. Tak usah berpura-pura. Kau merindukan mereka."

"Tetapi... mereka saat ini ada di wilayah Vladista. Jauh sekali."

Kakek perlahan mengembuskan nafas. "Kapan pula, aku tanya, terakhir kali Sir Zechs menemuimu?"

"Oh, kalau Tou-sama sih, masih lebih sering."

Begitulah caraku menyebut ayahku.

"Maka sekarang, aku sebagai kakekmu--bukan ketua klan, ingat itu baik-baik--ingin menyampaikan sesuatu. Tentang teman-teman silumanmu itu."

"Kenapa dengan mereka, Kek?"

"Kamu tahu sendiri kan, mereka berdua datang kemari pertama kali secara tidak sengaja. Nyasar. Kemudian, karena kerusuhan yang beragam dampaknya sedang dibereskan ini, kamu mengungsi bersama mereka ke Vladista, tempat asal mereka."

"Ya..."

"Bagimu mungkin itu pengalaman pertama; tetapi bagi mereka, itu berarti persiapan hukuman."

"Oh, kami pernah membicarakan itu juga. Pierre--salah seorang siluman itu--bilang, mungkin saja hukumannya akan berat."

"Begitu ya. Lantas, apa kamu rela melihat mereka dihukum?"

"Jika pun saya tidak rela, apa boleh buat. Saya kan tidak bisa membantunya."

Beliau manggut-manggut beberapa kali.

"Millicas."

"Ya."

"Kurasa sebentar lagi Grayfia akan datang. Kalau kau melihat tanda-tanda yang tidak biasa, tanyakan mengapa."

"Baik."

Beliau tersenyum misterius, membelaiku beberapa saat--lagi-lagi di luar kebiasaan!--lantas pergi.

Sesuai perkiraan Kakek, malam itu Ibu menemuiku persis ketika aku sudah mau tidur, bahkan sudah mengenakan piama. Lampu kamar juga sudah dimatikan.

Herannya, bahkan dalam keadaan begitu, wajah beliau tampak lebih pucat.

"Kenapa, Bu? Belum makan?"

Tanpa menjawab, beliau langsung menutup pintu, dengan gerakan mencolok melepas bonnet-nya, lantas merengkuhku yang sedang duduk di tepi ranjang. Membuatku terhenyak.

"Millicas... putraku..."

Lantas, di sela isakan yang baru pertama kali kudengar dari wanita yang biasanya begitu tegas dan amat memperhatikan tata-krama itu (yang hampir seluruhnya telah kuhafal luar kepala, untuk ukuran bocah), beliau membisikkan kalimat yang tak kalah menegangkan:

"...sepertinya nenekmu merencanakan perang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro