Belum Tahu
Aku langsung menghambur ke pelukannya. Sudah lama. Terlalu lama, hingga aku sempat yakin kehadirannya sekarang takkan terlalu punya makna lagi.
"Kukira Ayah takkan datang..."
"Bicara apa kamu ini."
Beliau bahkan tidak menyinggung soal keadaanku selama ini dalam penjara, atau mengenai jatah makanku, atau perlakuan yang kuterima. Tapi saat ini, pelukan itu saja rasanya lebih dari cukup.
"Lihat dirimu! Hanya sedikit bertambah lebih besar... dan lebih kurus."
"Ayah kemari benar-benar mau membebaskanku, atau cuma menjenguk?"
"Kalau cuma jenguk, buat apa repot-repot kuminta melepas belenggumu?"
"Lantas... ada apa?"
Beliau tentu sangat paham bahwa nggak semestinya aku berada di sini sekarang. Masa hukumanku belum tuntas.
"Anggap saja kau dibebaskan lantaran berkelakuan baik--setidaknya, kau mau berjanji untuk benar-benar jadi seperti itu, kan?"
Tentu saja.
Ayahku--Irdeas--kembali tersenyum. "Sudahlah. Kau yang kukenal memang bukan anak yang suka berselisih paham dengan yang lebih tua. Ayo ikut aku."
"Ke mana?"
"Ada tugas lagi buatmu."
Aku langsung merasa perlu untuk waspada. "Kali ini... kalau melakukan tugas yang ini, aku nggak malah bakal dipenjara lagi, kan?"
"Oh, tentu saja bergantung bagaimana kau melakukannya." Ayah berlalu tanpa menoleh lagi.
***
"Eh? Dia benar-benar bilang begitu?"
"Ya, katanya mau ada perang melawan Vladista. Aku dengar sendiri... selagi menyamar, pastinya."
Kami lagi ngobrol lewat celah yang memisahkan kedua sel.
"Lantas, Pierre mau bagaimana? Malah bagus bukan, jika klan yang kamu benci itu hancur?"
"Aku... kalau gini, jadi kepikiran kaum kita yang lain, Vin."
"Jadi, akhirnya kamu mau kabur dari sini?"
Aku tersentak. "Kamu... kenapa langsung ambil simpulan kayak gitu sih?"
"Habis, cuma itu kan cara mastiin mereka selamat atau nggak? Lihat, kamu sekarang punya pendapat gini, tapi waktu itu menolak mentah-mentah saran Kak Satome..."
"Waktu itu aku belum tahu ada rencana ini!"
"Kalau sekarang?"
"Yah... kabur memang masuk akal sih. Tapi, si bocah ningrat itu bakal tahu, dan pasti keluarganya bakal habis-habisan nyalahin Kak Satome... pelayan itu."
Eh, si Davin malah cengar-cengir...
"Dia juga nggak bakal mau disalahkan dong."
"Apanya?! Mereka bakal yakin dialah yang nyuruh kita kabur."
"Duh, Pierre... makanya, perbaiki deh sikap pemarahmu itu dan coba pikir baik-baik. Kak Satome juga orang Vladista, dia pasti nggak suka disuruh melayani klan seberang yang pernah jadi saingan. Dia bertahan sejauh ini karena tahu ada kita, dan maunya sih, kalau nanti dia akhirnya kabur, kita kabur bareng dia juga. Biar Millicas cari piaraan baru. Begitu maksudnya."
"Apa? Kukira dia orang Gremory. Pantas dia ragu waktu kutanya gimana dia tahu soal Aon."
"Nah, kan?"
"Kalau begitu... dia belum tahu soal rencana perang itu?"
"Mana aku tahu. Intinya, kalau dia datang lagi, apa kamu mau terima tawarannya buat kabur? Gitu aja."
"Uhh... lantas, Davin maunya gimana?"
"Kalau aku sih, sesuai yang kubilang ke Kak Satome, setidaknya di sini kita dapat jatah makan lebih teratur dan juga masih sering diajak jalan-jalan, jadi kayaknya aku bakal suka di sini; tapi Pierre kan yang datang duluan ke sini, barangkali udah tahu sesuatu yang lebih menarik sebelumku. Aku ikut kamu aja deh, kayak biasanya."
"Gimana dengan si bocah ningrat itu?"
"Yah, kalau kita sama-sama kabur, paling dia nangis beberapa minggu--dan toh, untuk 'merebut' kita lagi, Vladista tetap bakal diserang; jadi tetap akan ada perang, kukira, tanpa peduli dari mana kita menyaksikannya. Sekarang, kamu pilih menyaksikannya dari kubu asing ini atau di antara sanak-keluarga kita sendiri?"
***
Kami sudah siap berangkat. Bakal pengalaman pertama kami berkunjung ke distrik pemukiman manusia. Arva juga sudah menunggu.
Rencana kunjungan itu sudah kukabarkan ke Papa. Beliau setuju.
Tapi beliau sama-sekali belum bilang apa-apa soal ini.
Seorang wanita seumuran Mama, berpakaian zirah setengah-lengkap, berlutut sebelah di depanku sambil merendahkan pandangan.
"Saya berkeinginan mendampingi Anda berdua. Mohon diperkenankan."
"Siapa kamu? Belum pernah lihat."
"Ya. Nama saya adalah Nurmentiaras, salah satu familiar yang pernah melayani moyang Anda, Grimm I."
"Kakek hampir nggak pernah cerita tentang itu."
"Beliau tentu menghendaki Anda mengetahuinya pada saat yang tepat. Inilah saatnya."
"Tapi beliau kan sudah lama wafat. Bukankah artinya kontrakmu dengannya sudah putus?"
"Benar, mestinya sudah saatnya saya mencari majikan baru--tetapi saya telah mendampingi beliau begitu lama, hingga klan ini seolah sudah menjadi rumah kedua saya. Kini saya menganggap mendampingi Anda, salah seorang turunan beliau, sebagai suatu kehormatan--jika diperkenankan."
"Nama kamu... Nurmen, ya?"
"Silakan memanggil saya bagaimana pun Anda suka, Tuan Muda."
Benar juga. Baginya aku belum resmi jadi pangeran ya...
"Baik, 'Nurmen' saja ya. Sekarang aku mau tanya."
"Siap."
"Setelah mendampingi kami, kamu belum akan pergi lagi kan?"
Ia mendongak, rautnya cerah. Sarat kesetiaan.
"Saya akan berada di sisi kalian selama Anda memerlukannya."
"Hei, Ish," gerutu si Arva, "sepulang dari sana kau bisa tanya-tanya padanya sepuasmu nanti; tapi kalau kita nggak berangkat sekarang, bakal ramai di sananya. Belum kalau ada gangguan di jalan. Aku nggak suka."
"Eh... ya udah deh. Nurmen, bisa terbang nggak?"
"Wujud asal saya adalah serigala. Anda berdua dapat menunggangi saya dalam wujud itu, teleportasi, maupun terbang. Saya akan menyesuaikan."
"Kalau gitu, kalau sudah siap semua, yuk kita berangkat sekarang."
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro