Api dalam Salju
Kabar tunggal itu menyentak seluruh anggota keluarga Okazaki. Bisa diduga, Nagisa-lah yang paling tampak terpukul.
"Bagaimana bisa jadi begini?"
"Entah. Begitu masuk ruangan, sudah jadi begini... makanya aku merasa aneh, kamu dulu kan tidak punya penyakit seperti ini."
Nagisa menggeleng.
"Memang tidak. Dokter juga tidak tahu penyebabnya?"
"Tidak, katanya."
"Jadi, sekarang bagaimana?"
"Ya... kita berdoa saja. Besok aku akan mengurus surat izin ke gurunya, meski Sanae-san sudah berjanji menanganinya."
"Tapi... Tomoya-san tetap akan bekerja, kan?"
"Tentu saja; tapi untuk besok, mungkin aku ambil cuti dulu."
***
Keesokan siangnya...
Ketika itu Nagisa sedang istirahat. Anak-anaknya selain Saichi masih berada di sekolah. Namun tidak satu pun dari mereka yang mendengar percakapan antara Tomoya dan putri bungsunya ini:
"Sekarang ini... hari perlombaannya, kan?"
"Ya, tapi Papa tidak ikut biar bisa merawatmu di sini."
"Gimana dengan Akki?"
"Akio-san mungkin tetap ikut lomba. Kalau ada dua pelari yang absen dalam satu tim, akan repot mencari penggantinya."
"Papa."
"Hm?"
"Kalahkan Akki dong."
"Kan sudah Papa bilang, akan merawatmu seharian ini."
Ushio jadi tampak kecewa. "Tapi... aku nggak suka begini."
"Jadi seandainya bisa ikut nonton, kamu akan tetap mendukung Papa ya?"
"Ya."
"Nah, tapi kamu kan masih belum sembuh, jadi giliran Papa yang mendukungmu dulu. Hari ini Papa nggak akan ke mana-mana, jadi kalau kamu perlu apa-apa, bilang saja."
"Ya."
"Kamu masih ngantuk ya?"
"Ya."
"Ya sudah. Tidurlah."
"Un..."
Satu, dua minggu berlalu setelahnya, hingga sebulan. Demam Ushio tidak juga membaik, malah tambah parah. Anak itu jadi tidak bisa pergi sekolah, apalagi meninggalkan kamar sendirian. Ia bahkan perlu dibantu untuk sekadar mengganti piama. Makanannya pun harus dihaluskan dulu.
Saat ini, seluruh anggota keluarga Okazaki sudah pernah merasakan menunggui Ushio di samping tempat tidurnya.
Dalam satu dan lain hal, pengalaman itu lambat laun juga membantu memperbaiki hubungan Azumi dan Iruha; dengan menunggui Ushio, mereka jadi punya lebih banyak waktu untuk berpikir sehingga akibatnya lebih jarang ribut satu sama lain lantaran khawatir akan mengganggu proses pemulihan adik bungsu mereka.
Sementara si Saichi...
Ketika demam Ushio berlanjut memasuki minggu ketiga, anak ketiga Okazaki itu mengumpulkan kedua saudaranya di kamarnya sendiri.
"Kakak-kakak, syukurlah kalian udah jadi sedikit lebih rukun sekarang... jadi aku mau minta tolong, yang cuma bisa dilakuin kalau kita sama-sama niat. Untuk Ushio-chan juga!"
Bahkan Azumi yang biasanya bersikap tak acuh serta Iruha yang sentimental, kali itu menyimak dengan serius.
"Nggak biasanya permintaanmu nadanya kayak gini, Sai."
Mereka sama-sama terkejut ketika sekonyong-konyong Saichi mengubah posisi duduknya, dari sekadar bersimpuh menjadi nyaris bersujud.
"Tolonglah, Kak, kumohon! Aku kasihan banget lihat kondisi Ushio-chan, serta Papa-Mama yang bergantian menjaganya nyaris semalaman. Kalian berdua mau bantu aku atau nggak?"
"Yah, tapi bantu yang kayak gimana..."
"Bantu bikinkan bangau kertas! Bisa kan? Kita bertiga yang akan membuatnya, sampai jumlahnya seribu, kalau perlu!"
Kedua kakaknya berpandangan.
"Bangau kertas?"
"Seribu...?"
Meski mereka sama-sama bisa membuatnya, dan juga paham bahwa bagi bocah seusia Saichi, kerajinan tangan semacam itu masih dipercaya dapat menghasilkan kesembuhan (yang saat ini pastinya ditujukan untuk Ushio), mereka hanya bingung mau diapakan kertas sebanyak itu nanti kalau Ushio sudah benar-benar sembuh. Dibakar begitu saja? Disimpan untuk jaga-jaga kalau ada yang sakit lagi? Dikilokan di pasar loak?
"Jadi, gimana, Kak? Mau?"
"Kalau untuk Ushio sih..."
"...tak masalah."
""Berapa hari harus jadi semua, nih?"" tanya mereka bersamaan.
"Makasih banget, Kak!! Sebentar..."
Saichi setengah berdiri, lantas merogoh kedua kantong samping celananya.
"Nih, tadi di sekolah aku udah bikin dua. Tinggal 998 lagi, yang bakal kita bikin dalam... seminggu, bisa gak?"
Kedua kakaknya berpandangan lagi. Permintaan bocah ini benar-benar sukar dinalar.
"Bisa, kalau kamu mau bikinin surat izin buat kami untuk absen selama itu..."
"Astaga. Apa nggak ada yang ingat kalau liburan musim dingin udah mau mulai?"
"Yakin udah beli kertas lipatnya?" Iruha ingin tahu.
"Sampai sepuluh bungkus. Kalau belum cukup, ya nanti kubeli lagi pas musim semi, kalau saat itu Ushio belum sembuh."
"Kak Azu."
"Hmm."
"Harus kuakui, kali ini persiapan Sai-kun cermat sekali."
***
Sementara itu di ruang Ushio, yang para penghuninya juga sedang terjaga, sedang terjadi dialog lain. Sekali lagi, Nagisa sedang tidak ada di sana.
"Ushio, apa kamu ingin sesuatu?" tanya Tomoya pada putrinya yang sedang mencubiti tanpa minat salah satu boneka dangou.
"Mau piknik," sahut bocah itu setelah berpikir sejenak.
"Piknik?"
"Iya, ke padang bunga itu. Naik kereta sama Papa lagi. Waktu itu menyenangkan."
Pria itu sempat tertegun. "Nanti kalau kamu sudah baikan, ya."
"Mau sekarang."
"Ushio... jangan memaksakan diri, dan jangan merepotkan Papa dengan permintaan seperti itu lagi, mengerti? Kamu harus sembuh dulu."
Anak itu tidak membantah, untuk saat ini, dan kembali mencubiti bonekanya.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro