
Terapi
"Grimm, sungguh, maafkan aku..."
"Cukup, Bris. Itu sudah kemarin. Perhatikan saja kelakuanmu kali ini."
"Aku janji. Jadi... apa kamu sudah menyiapkan tanggapan kalau-kalau tanggapan Kron nanti tidak sesuai harapan?"
"Hah? Untuk apa? Aku kan tidak perlu berkampanye lagi," seringaiku. "Apa pun tanggapannya, toh takkan lagi memengaruhi kelangsungan klan kita. Hadapi saja dengan santai."
"Oh. Kalau begitu, untuk apa kamu repot-repot menyuruhku mendampingimu?"
"Lho, memangnya apa kerjaanmu sekian dekade ini kalau bukan mendampingiku sebagai istri?"
"A-astaga, bukan itu maksudku..."
Meski tak menoleh, bisa kubayangkan muka Brista memerah. Ha ha ha, rupanya dia masih bisa diajak bercanda. Syukurlah.
Kami menemui Kron sedikit lebih awal dari waktu yang disepakati, di ruang tempatku menyelenggarakan sidang pleno tertutup kemarin. Ia rupanya juga mengajak istrinya kali ini, dan pasangan itu sama-sama sedang berwajah murung di tempat duduk masing-masing.
"Tak usah pakai protokol ya?" ujarku setelah duduk berhadapan bersama Brista. "Mau atau tidak?"
"Saya rasa Anda perlu tahu dulu apa saja yang menyebabkan kami akhirnya mengambil keputusan ini..."' Kron memulai.
"Oh, tidak dijelaskan dulu keputusannya apa? Hmm, terserah; lagipula kalianlah yang bakal paling terdampak putusan itu. Jelaskan."
"Kepada adik Anda yang ketika itu berkunjung dengan tujuan serupa, saya sudah mengatakan bahwa pertimbangan utama saya menghalangi kepindahan Ishtar kemari, dengan alasan apa pun, yaitu perihal kelangsungan pendidikan Isthar di dimensi seberang. Hal ini tidak semata soal mencabut berkas. Anak itu tentu telah punya kenalan dan teman-teman di sekolahnya yang sekarang. Mereka tentu akan menanyakan serta ingin membesuknya."
Aku berdecak. "Repot amat. Kamu sekeluarga kan bisa pindah langsung malam-malam. Manusia bahkan tidak bakal menyadarinya."
"Masalahnya, ada pula temannya yang berasal dari supernatural--"
"Salah satunya, lycan itu," sela Brista.
"Bagaimana Nyonya tahu...?" istri Kron--kalau tidak salah ingat, namanya Kharashir--mendongak dengan raut kaget.
"Memang kenapa?" lanjutku tanpa memberi kesempatan. "Basis klan lycan itu ada di dimensi ini. Magnar bisa mewanti-wantinya agar tak lagi membiarkan anggotanya membuntuti Ishtar--habis cerita. Semua ini tidak ada kaitannya sama kepindahan kalian. Masalahnya tinggal kau mau atau tidak. Soal berkas, tak perlu dipikir lagi. Dengan modal yang kita miliki saat ini, kalian bisa segera menata hidup baru."
"Meski demikian... kepindahan itu kan tidak hanya pindah badan saja..." Rashir menggumam.
Kron menepuk pangkuannya sendiri. "Anda telah memikirkannya demikian jauh, Kakek Grimm... jika begitu, dapatkah kami berdua sekarang mengajukan satu permintaan lagi?"
"Menemui Ishtar, kan? Ia masih diterapi, baru saja mulai."
***
Meskipun dibilang terapi, terus-terang buat aku cara kayak gini agak aneh...
Hampir tiap hari aku bakal dibawa ke suatu ruang yang tidak berisi apa-apa selain sebuah tempat tidur, lantas Nenek Mirsa atau kadang malah Nenek Buyut Brista sendiri akan masuk ke sana--kemudian, menciumku beberapa lama, selalu di bibir. Cuma begitu, tapi dilakukan dua kali sehari.
Tambahan lagi, selama dicium aku nggak ngerasa malu atau gimana; cuma, aku mulai yakin saat itulah mereka memberiku obat. Buktinya, aku nggak terlalu sering pusing-pusing lagi--dan tanpa harus disuntik!
Katanya sih nama obatnya "Fedon", dan itu benar-benar cuma dipunyai kaum kami. Harus kuakui, manjur banget!
Nenek Buyut Brista pernah bilang suatu hari bahwa "pem-Fedon-an" ini adalah satu-satunya cara mengobatiku, kalau aku nggak mau disuntik serum itu lagi maupun menjalani yang disebut "Terapi Surya".
Uh... aku pernah menjalani terapi kayak gitu satu kali, waktu masih ikut di dimensinya Papa. Caranya, aku disuruh buka baju dan sambil telanjang-dada menghadap ke arah masuknya cahaya matahari--kebetulan ada tempat kayak gitu di kamarku. Panas dan sakit banget sih rasanya, tapi setelah itu... mendingan lah.
Seperti pernah kubilang sama Irdim, waktu menjalani terapi itu aku diawasi seorang kakek--yang kemudian kuketahui sebagai Kakek Buyut Grimm, leluhurku. Bayangkan kayak gimana aku nangis dalam rangkulan beliau, berdua saja, waktu menyadari itu. Rupanya beliau baik banget, mau datang jauh-jauh melintasi dimensi cuma gara-gara aku...
Sekarang ini, Kakek Grimm sedang tak bisa diganggu. Terapiku hari ini kayaknya sudah mau selesai...
Kali ini yang sedang mengobatiku adalah Marishka, adiknya Kakek Grimm.
"Nah, Ish," kata beliau sambil duduk di sebelahku, "selama di dimensi manusia, kamu kan sudah sering sakit gara-gara suntikan itu. Kalau di sini, kamu nggak perlu lagi ngalamin itu. Lebih banyak juga yang bisa datang jenguk kamu. Mau tidak, kamu sekalian pindah saja seterusnya ke dimensi ini?"
"Seterusnya? Ngg... gak tau, Nek. Aku kan harus sekolah di sana."
"Nanti dicarikan sekolah baru kok. Ketemu teman-teman baru."
"Aku kan belum pamitan sama anak-anak di sana. Lagian kalau di sini, aku... aku malu."
"Malu kenapa, Sayang?"
"Kalau mulai lagi sekolah di sini, berarti aku mulai dari kelas lebih bawah dong dari teman-temanku dulu. Tinggal kelas. Jadi adik kelas."
"Oh, kan bisa ikut tes penyelarasan kelas. Kalau hasilnya bagus, kelasnya bisa tetap seperti dulu. Sama kayak teman-temanmu. Makanya kamu belajar lagi."
Duh, rasanya mataku berbinar. "Bener nih?! Kapan tesnya?"
Nenek Rishka tersenyum. "Kalau siap, nanti diberitahu kok. Kamu belajar dulu aja."
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro