Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kerelaan


CREP!

"Uh...!"

Jarum tipis itu menembus kulitku dan tetap di sana beberapa lama selagi cairan di dalamnya perlahan dialirkan ke tubuhku tanpa bisa kucegah; mengakhiri pertentanganku dengan Mama. Dia yang menang, untuk kali ini. Nenekku sampai repot-repot hadir untuk menyaksikan langsung penyuntikan ini.

Selama proses yang katanya singkat itu, sebisa mungkin kutahan air mataku. Nenek takkan senang jika sampai melihatnya.

Kami tidak sedang berada di rumah sakit, dan Mama juga tidak melakukan penyuntikan itu sesuai anjuran dokter, seperti aturan umum di tempat ini. Lagipula... ah, kalaupun mereka melihatnya, aku tak yakin mereka bakal paham. Suntikan itu berisi serum yang bahan-bahannya tidak akan bisa diperoleh di sini.

"Sudah, Ishtar." Mama tersenyum dan menyingkirkan suntikan itu. "Bertingkahlah yang lebih baik lain kali. Selamat menikmati hidup barumu."

"Jangan gerak dulu," saran Nenek. "Perlu beberapa menit sampai serumnya bekerja."

Jadi aku berbaring saja memandang langit-langit, selagi serum itu menyesap pelan dalam darahku. Selama itu mulutku pasti sedikit terbuka, sebab setelah melihatnya sekilas Nenek buru-buru memanggil Mama.

"Kau melewatkan yang paling penting, Rashir."

"Apakah itu?"

"Kikir giginya."

Kenapa pula soal itu disinggung sekarang...

"Mengapa tidak memberinya waktu sedikit lebih lama lagi, Nyonya?"

Ya, Nek, tolonglah...

"...baiklah. Tapi aku tidak mau melihatnya lagi begitu dia mulai sekolah, paham?"

Mama merendahkan pandangan. "Itu akan dilakukan pada waktu yang tepat, Nyonya Brista."

***

Sekolah...?

Selagi mataku tertutup--yang berarti Mama tidak akan menggangguku sementara waktu--kupikirkan maksud kata itu baik-baik.

Sekolah, berarti... berada sekelas bersama para manusia itu, hanya gara-gara kami sudah pindah ke alam mereka? Akankah mereka sadar perbedaannya?

Karena itulah Nenek tadi menyarankan segera mengikir gigiku. Taringku, terutama, yang baru mulai tumbuh ini.

Akankah aku benar-benar mampu melakukannya? Memangnya ada yang mau berteman denganku nanti? Aku tahu nggak akan cukup jika cuma mengandalkan serum itu--yang setidaknya bakal mengurangi dampak sinar matahari terhadap tubuhku.

Sebenarnya, tidak hanya itu...

Segala hal yang bisa menunjukkan kalau aku putra vampir, harus dicabut. Sayap, taring, semuanya; dan sebagai gantinya? Penerimaanku di antara manusia. Mengerjakan tugas-tugas mereka. Patuh sama hukum dan aturan mereka. Menjalani hari-hari sesuai kalender mereka.

Konyol, bukan?

Oh, jangan salah. Meski masih kecil, aku tidak sepolos yang kalian kira. Soal-soal semacam ini sudah lama kupelajari, berjam-jam, sendirian di perpustakaan rumahku yang dulu.

Entah kenapa, Mama justru seperti menginginkannya--bahkan sering meyakinkanku sebaik yang beliau bisa agar menuruti jejaknya.

Akibatnya, kalian lihat sendiri. Satu persatu penanda identitas asliku sedang dicabut. Langkah pertama, penyuntikan tadi. Aku harus dibuat toleran terhadap surya, menurut Mama dan Nenek.

Langkah berikutnya baru saja dititahkan: taringku akan segera dikikir. Batas waktunya, sebelum aku mulai bersekolah. Itu berarti dua bulan lagi.

Mampukah aku mempertahankannya...?

***

Mengenai sayapku, Mama rupanya tidak mau terlalu cerewet. Alasanku bahwa sepasang benda itu masih bisa kusembunyikan dari pandangan manusia, rupanya terdengar masuk akal bagi beliau.

Setidaknya, sampai suatu tengah malam saat kedatangan Nenek untuk kesekian kalinya ke dimensi ini.

"Apa? Si Ishtar berani menolak keputusanmu?"

"Dengan alasan yang masuk akal menurut saya, Nyonya Brista."

"Menurutmu?" suara Nenek meninggi, terdengar hingga kamarku. "Tidak. Aku tidak mau ambil risiko. Sayap anak itu harus dicabut sama sekali. Kau sudah berjanji, hal itu akan dilakukan--maka lakukanlah!"

"Tetapi, mengapa harus demikian? Cobalah pikirkan. Sayap itu hendak dicabut agar manusia tidak dapat melihatnya lagi, maka apa bedanya jika hanya disembunyikan?"

"Siapa tahu kelak ia menampilkannya tanpa sengaja maupun ketika dipaksa? Kalau begitu, kelangsungan kaum kita akan terancam."

"Nyonya, saya rasa saya mengenal putra saya sendiri lebih baik dari Anda. Penguasaan diri anak itu cukup untuk membuat saya berani berkata bahwa sayapnya tidak akan dipamerkan jika tidak benar-benar perlu; dan Ishtar, untuk anak seusianya, cukup paham kapan hal itu terjadi. Mohon biarkan ia tetap memiliki sayapnya, satu-satunya penanda fisik identitas aslinya."

"Apa ini berarti kau akan mengikuti saranku untuk mengikir giginya?"

"Itu akan saya lakukan pada saat yang tepat. Saya sudah mengatakannya."

"...kenapa, Rashir? Barusan kau tampak ragu."

"Ah... tidak, soal itu..."

"Kenapa? Kau masih saja mencemaskan restu suamimu? Sudah berapa kali kubilang, tak usah mengkhawatirkannya! Kondisinya sendiri sudah cukup aman--dari sudut tertentu."

Tak ada sahutan dari Mama.

"Yah, karena kau sepertinya belum akan puas kalau belum dengar cerita lengkapnya, baiklah, akan kuceritakan. Putraku itu, Kron--entah nama apa yang dipakainya di dimensi ini--sejak kelahirannya sudah seorang manusia. Bayangkan, manusia di tengah kaum vampir. Kalau saja tidak mengingat tanggung-jawabku sebagai ibu, si Kron itu pasti sudah... Kamu mengerti, kan?"

"Saya paham. Katanya dia telah memilih melupakan masa kecilnya, sepenuhnya berfokus pada keberadaan keluarganya di dimensi baru ini. Dalam keluarga ini, terus-terang, kini sayalah yang masih seorang vampir. Saya telah mencabut sayap saya, mengikir taring saya, dan yang tersisa dari identitas asli hanyalah ketajaman beberapa indera saya pada waktu-waktu tertentu. Untuk Ishtar, saya rasa... dalam hal itu saya hendak memberinya sedikit keleluasaan."

"Baiklah, kalau itu maumu." Nenek mengakhiri pembicaraan hari itu.

***

Itulah bagaimana, akhirnya, sayap-sayapku berhasil kupertahankan.

Namun lagi-lagi, aku harus melakukan sesuatu yang tidak biasa untuk menebusnya.

Aku harus melalui penyuntikan kedua, dan kali ini darahku yang diambil. Nenek juga memantau peristiwa kedua ini; dan selagi bekas suntikan di lengan kiriku ditutup dengan tisu yang dipegangi Nenek, dengan tangan satunya aku harus menulis janji tidak akan pamer sayap di depan manusia dengan darahku sendiri.

Jika sayap ini dicabut dan taringku dikikir, seperti kata Mama malam itu, yang akan menjadi penanda identitas asliku hanya indera-inderaku. Secara umum sama dengan manusia lainnya; hanya saja bakal bisa melihat dan mendengar lebih baik, dan bergerak lebih cepat, dan memiliki kepekaan lebih terhadap sekitar, saat malam menjelang hingga subuh.

Jika itu benar-benar dilakukan, entah apa aku tidak bakal depresi. Kehilangan begitu banyak hanya untuk memuaskan ras yang bahkan belum lama kami kenal!

Selain Papa, tentu saja. Sejak kelahirannya, beliau sudah seorang manusia--kalian sudah tahu ini, kan?

Setidaknya, hanya taringku yang masih akan dikikir; itu tak bisa ditawar lagi. Dua bulan lagi. Aku harus merelakannya, tapi paling nggak masih punya waktu buat menikmatinya.

Terima kasih atas kerelaannya, Nenek Brista.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro