
Efek Samping
Uh... harusnya aku jangan lama-lama berdebat dengan Brista kemarin... Harusnya aku bersiap untuk peristiwa hari ini, yang harus dihadapi secara jernih.
Kalian masih ingat kan, proses penuaan kaum kami amat lambat. Satu sisi, itu cukup menguntungkan sebab penampilan maupun tenaga kami tidak terkuras secepat manusia--namun di sisi lain kami harus siap menghadapi hal-hal yang belum terselesaikan di masa lalu.
Hari ini, pemilik sesungguhnya nama yang kupakai ini akan mengunjungi rumah tinggalku.
Apa? Kalian belum tahu soal ini? Hmm, baiklah. Namaku yang sekarang hanyalah gelar: Grimm II. Demikian juga dengan istriku, Brista II, maupun putriku, Erissa II. Yang akan mengunjungi kami adalah Grimm I, yaitu kakek moyangku--dan nama asal beliau memang "Grimm".
Nama asalku sendiri yaitu Magnar, putra Ilishtar, cucu kedua Grimm I itu.
Lantaran tahu beliau akan datang, aku tidak bisa tidak merasa gugup. Grimm I adalah generasi pertama yang terlahir sebagai vampir dalam klan kami. Sebelumnya, ayah beliau yang bernama Urdin (kenapa tidak pakai gelar, aku tidak tahu), diubah menjadi vampir gara-gara ulah manusia.
Kakek moyangku pula yang membuatku bisa meraih kekuasaan seluas ini--karena strategi beliau dulu kuterapkan pula dalam berurusan dengan pihak-pihak dalam dimensi ini.
Oh, itu sepertinya suara langkah beliau. Pelayan membukakan pintu, dan...
ASTAGA!!
"Apa kabarmu, Magnar?" Grimm I bertanya dengan santai lantas duduk di sofa, berhadapan denganku.
"B-baik, Kakek..."
"Kenapa mukamu itu?"
"Sa-saya... tidak menduga, Nyonya Brista juga akan diundang."
Brista yang kumaksud adalah istri beliau, Brista I, yang kini dengan anggun berdiri di belakang beliau, mematuhi tata krama lama.
"Memang kenapa kalau Brista juga hadir, hah?"
"Tidak... saya hanya tidak menduga beliau akan datang, itu saja."
"Kau dengar itu, Bris?" tanya beliau tanpa menoleh. "Kamu memang mampu mengejutkan semua orang, sudah kukatakan kan."
"Ya. Saya merasa terhormat dengan kata-kata Tuan."
Sopan santun beliau malah lebih hebat lagi...
"Jadi?" lanjut beliau, "kenapa cuma kamu yang menyambutku? Mana istrimu?"
"Oh, saya kira pertemuan ini bersifat pribadi, jadi saya memintanya menunggu di luar."
"Panggil dia kemari. Anak-anakmu?"
"Kalau mereka, mohon maaf... Kron sedang berada di dimensinya sendiri, sementara Vanya sedang bersama kelompoknya."
"Vanya?"
"Ia menggunakan nama Erissa II, Kakek."
"Oh, aku ingat. Erissa, nama putriku... ternyata kau pakaikan juga buat anakmu sendiri."
"Mohon maaf."
"Namaku sendiri, nama istriku, nama putriku... berikutnya siapa lagi yang namanya kau jiplak, Magnar?"
"Itu..."
Sejenak aku tak berani memandang wajah beliau.
"Ada seorang lagi, putranya Kron, yang ia beri nama Ishtar..."
"Si Kron itu pasti tidak kamu beritahu kalau "Ishtar" itu bagian dari nama ibumu, yaitu Ilishtar, bukan?"
"Tidak, katanya nama itu ia sematkan sendiri tanpa pertimbangan semacam itu."
"Oh, begitu."
"Tuan menghendaki kehadiran saya?" sapa istriku, yang nama aslinya Mirsa, dari sisi Nenek Brista.
"Ya. Duduk, kamu."
"Saya hendak mengikuti contoh istri Anda, berdiri saja di samping suami."
"Oh, begitu. Terserah."
Setelah semua siap, barulah pembicaraan sesungguhnya dimulai.
"Aku mau tanya kamu, Mirsa."
"Ya, Tuan."
"Benar kamu yang mengizinkan pemberian serum itu pada Ishtar?"
"Benar."
"Untuk apa?"
"Agar sesuai dengan keadaan dimensi yang ditempati orang tuanya saat ini."
"Apa? Jadi Kron benar-benar memutuskan pindah dimensi... ke antara para manusia? Kupikir dia cuma sedang ada di rumahnya..."
"Benar demikian."
"Bodoh!!"
Suara beliau tiba-tiba bergema di ruang itu tanpa ada yang berani menyahuti.
"Hanya karena terlahir manusia, ia mengambil keputusan itu, ternyata. Areena saja tidak!"
Barusan, Grimm I menyebut nama kakekku.
"Tambahan lagi, bisa-bisanya istri Kron menerima begitu saja keputusannya. Dan kamu, Magnar," kakek buyutku memandangku lekat, "kau ayahnya, apa kamu sudah jelaskan risikonya?!"
"Anak itu tidak hendak mengerti..."
"Kalau saja dia ada di sini, sudah kuberi pelajaran si Kron itu!"
"Mohon maaf menyela, tetapi apakah tidak sebaiknya Tuan jelaskan seperti apakah risiko itu?" tutur Nenek Brista lembut
"Apa?! Memangnya masih ada yang belum paham soal itu di sini?"
"Bukan di sini, tetapi di sana..."
Kakek memandang sekilas. "Magnar, kamu saja yang jelaskan."
Ehm... baiklah, biar kujelaskan pada kalian. Kepindahan keluarga Kron saja sih tidak menjadi masalah; tapi pengondisian Ishtar di dimensi yang sekarang terutama dimungkinkan karena serum yang kala itu disuntikkan padanya oleh Kharashir dan Mirsa. Serum itu memang akan membuat Ishtar toleran pada cahaya matahari, tetapi tentu khasiatnya ada batasnya. Kalau khasiatnya habis, tentu harus disuntikkan lagi. Suatu saat, harapannya, tubuh Ishtar sudah akan toleran terhadap cahaya matahari tanpa perlu suntikan lagi.
Tapi bagaimana jika ini tidak terjadi dan anak itu malah bergantung pada suntikan itu?
Bagaimana seandainya serumnya habis?
Pengikiran taring Ishtar membuatnya jadi tidak bisa melakukan Fedon; tapi tetap saja ia adalah vampir yang punya hasrat melakukannya. Jika manusia asal digigit saja tanpa aliran sari Fedon, tentu mereka bisa luka parah--apalagi gigitannya di tengkuk. Malah fatal akibatnya.
Tentu, karena masih bocah, si Ishtar menurut saja begitu dikatakan dia harus disuntik. Ibunya, karena dikatakan serum itu penting untuk penyesuaian keluarganya, juga begitu; sedangkan Mirsa, sebagai yang memberikan serum itu, kenapa dia tidak memikirkan akibatnya sampai sejauh itu--dan terutama, kenapa aku sebagai ayahnya Kron, diam saja?
Inilah yang membuat Kakek Grimm amat kesal, dan beliau lantas menganggap semua ini gara-gara keputusan Kron untuk pindah dimensi.
"Magnar!"
"Ya."
"Seharusnya masalah Ishtar bukan jadi tanggung-jawabku lagi; tapi sekarang kamu harus bisa membuat Kron menyerahkan Ishtar kembali pada kami. Pengondisian itu perlu terapi khusus. Jangan maunya pakai jalan pintas saja, seperti dengan suntikan itu! Sembarangan! Lain kali kalau seperti ini lagi, jangan harap kau bisa pakai namaku! Mengerti?!"
"Baik, Kakek. Saya akan usahakan."
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro