Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Cerita dari Seberang

"Ianezka!"

"Ya!"

"Irdim."

"Ya."

"Ishtar!"

"Hadir!"

Sekarang anggota kelas kami sedang diabsen--yang namanya berhuruf depan "I" rupanya cuma tiga orang tadi, dari keseluruhan 40 anak; jadi gampang diingat.

Cuma perasaan aja, atau memang kedua nama sebelumku juga terlalu... nggak biasa buat ukuran manusia? Buktinya, beberapa anak di depan dan samping mereka sempat menoleh dan cekikikan.

Pelan tapi pasti, absen itu merambat ke nama terakhir; dan yang mengabsen, bapak-bapak yang tadi pagi menyapaku. Namanya Pak Basra. Di balik rompi hijaunya, beliau pakai kemeja putih garis-garis.

Hmm, kayaknya rompi itu udah jadi seragam wajib yang nggak boleh sampai ketinggalan...

"Zahra!"

"Ya."

Pak Basra memandang sekilas siswa perempuan itu, menutup buku absensi, lantas bilang, "Itu tadi nama teman-teman baru kalian. Ingat baik-baik, nanti kalau ketemu lagi disapa. Sekarang Bapak akan menuliskan daftar pelajaran kalian. Tolong tulis di bukunya masing-masing."

Rupanya kami akan bersekolah selama lima hari, dari jam tujuh pagi sampai dua-belas siang. Jam istirahatnya--yang artinya kami boleh main di luar kelas atau makan bekal dari rumah bagi yang bawa, atau beli jajan di kantin dekat kelas--yaitu jam sembilan pagi dan berlanjut sampai satu jam. Pada hari keempat, kami harus bawa pakaian olahraga biar bisa senam dan melakukan aneka permainan lain.

Hm, kayaknya kalau pulang nanti aku harus mulai tanya-tanya ke Papa, apa saja permainan yang biasanya digemari anak-anak manusia serta gimana cara maininnya. Seandainya ditanya sekarang, jujur, kayaknya aku nggak bakal bisa lama meladeni percakapannya.

Syukurlah selama jam istirahat hari pertama ini bahasannya kayaknya belum bakal jadi serumit itu. Sebatas kenalan dan tanya alamat. Karena penasaran, aku segera ke bangku si Irdim. Ia mengernyit saat melihatku, apalagi waktu kuajak kenalan.

"Mukamu pucat banget sih, Ish. Kau jarang tidur ya? Matamu juga merah..."

"Bukan karena jarang tidur atau apa. Memang gini penampilanku."

"Bisa-bisa kau dikira sakit dan disuruh pulang."

"Gimana ya jelasinnya... aku begini ini sudah dari dulu, bukan karena sakit atau apa."

"Yakin kau sehat? Kalau perlu apa-apa bilang sama aku ya."

"Makasih, aku nggak apa-apa."

Ya ampun, baik banget sih ini anak.

"Namamu juga bagus, Ir."

"Gitu deh. Aku juga ngerasa gitu. Nama yang unik."

"Anu... apa kamu punya kemampuan atau semacamnya?"

Ia bengong. "Kemampuan apa?"

"Biasanya yang kayak gitu namanya, punya kemampuan unik juga."

"Ngg... aku nggak ngerti deh apa yang kamu omongin, Ish. Kemampuan apa sih?"

"Yaa, misalnya bisa lihat lebih jelas kalau lampunya dimatiin, gitu..."

Ia malah cekikikan. "Kamu bisa aja. Kalau lampunya dimatiin, ya tambah gelap lah. Mana bisa lihat."

Selanjutnya, topik omongan kami beralih ke hal-hal yang lebih sepele. Punya adik berapa, rumahnya di mana, kayak gitu--dan juga, janji untuk duduk sebelahan mulai besok.

Oh, baiklah, aku harus lebih hati-hati kalau mau omongin 'kemampuan' dan hal-hal peka lain yang kayak gitu; tapi paling nggak, aku sudah punya kenalan baru! Asyik!

***

"Brista, Brista, Brista..." suara suamiku terdengar nyaring di ruang keluarga villa kami, dekat kompleks istana di dimensi yang ini.

"Ada apa sih, Mas? Tidak biasanya begini... kamu nggak lagi mabuk, kan?"

"Ah, cuma habis anggur segelas. Sini, aku mau bilang soal Kron."

Sambil mendekat, kuendus udara. Tidak tercium aroma alkohol.

"Kron kenapa?"

"Aku heran ya sama kamu. Waktu kecil dia itu kan sempat depresi gara-gara terlahir manusia. Kamu rupanya tidak membunuhnya, tapi juga nggak menuruti permohonan anak itu..."

"Mas Grimm, sadar nggak sih sama yang Mas katakan? Meskipun Kron manusia, mana bisa kuakhiri garisnya segampang itu..."

"Tapi kamu pernah menyiratkan niat itu ke Kharashir kan. Nggak usah pura-pura deh."

"Astaga..."

...sudah kuduga, nggak seharusnya kusinggung soal itu sembarangan...

"Bagaimana, Bris? Benar kan?"

Sial. "Itu... buat apa dibahas lagi sih?"

"Karena aku masih penasaran bakal jadi apa Kron itu seandainya kau Fedon dia."

Aku sontak berdiri. "Mas Grimm! Fedon itu bukan buat main-main. Buat manusia kalau diberi itu melalui gigitan di tengkuk, bakal jadi vampir... tapi kalau untuk Kron yang gimana pun sudah punya darah vampir..."

"Nah, menurutmu bakal jadi apa dia?"

"Ngg... aku nggak berani bayangin. Malah bakal jadi mutan, mungkin. Kalau sudah begitu, Ishtar gimana dong?"

"Ah, ya, katanya anak itu sudah melalui hari pertama sekolah..." suamiku bersandar ke sofa itu. "Kamu sadar nggak, selain para pelayan dan panglima, istana ini mulai jadi sepi. Keluarga Kron sepertinya sudah bahagia dan cuma akan kukunjungi sesekali saja. Rissa masih bertualang sama kelompoknya, mencari pihak yang bisa dibasmi dalam kerajaan yang susah payah kurintis sekian puluh tahun ini... Nggak kusangka, setelah semua peperangan dan rayuan dan surat-suratan itu aku hanya akan melewatkan waktu di istana ini memandangi taman belakang atau mukamu..."

"Mas Grimm, cukup, sudah. Mau kuantar ke kamar? Baiknya istirahat di sana--"

"Aku bukan bocah lagi," ketusnya. "Pastikan saja kamu nanti juga ke sana, jangan cuma selimutan di perapian sini. Eh, menurutmu, si  Ishtar masih bakal bisa ke sini nggak?"

"Semua turunan Vladista bisa menjangkau dimensi ini, di mana pun mereka sekarang."

"Hmm, syukur deh..."

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro