Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 22 || Surat dari Pengasuh

الحب ليس معصية .. المعصية أن
تتلاعب بمشاعر البعض تحت مسمى الحب.

Cinta bukanlah maksiat.
Maksiat itu mempermainkan perasaan sebagian orang atas nama cinta.

—Dr Musthofa Mahmoud

(Teman-teman, ingat ya kalau udah nggak nyaman baca Mazhab Cinta, nggak papa langsung tinggalkan. Terima kasi)


Di dalam kantin yang kian ramai, Kafa, Kafi dan beberapa teman mereka duduk di salah satu sudut ruang. Sembari menikmati mie ayam bakso yang baru saja tiba sekitar dua menit lalu, sesekali Kafa membuka nadzhom kecil yang dipegangnya.

Meski di sekolah sekali pun, Alfiyah tetap harus diepertahankan dalam otaknya yang sudah merekam 1002 bait menjelaskan banyak kaidah-kaidah yang mesti dipahami oleh santri Ulya. Kafa tak pernah bosan mengulang syair-syair tersebut, membiarkan huruf demi huruf menari di pikirannya dengan bebas. Dia antara banyaknya pelajaran, Kafa memang sangat suka pada Nahwu. Terlepas banyak yang beranggapan bahwa Nahwu sangatlah sulit, tetapi Kafa tetap menjadikannya sebagai pelajaran favorit.

Laki-laki itu menautkan kedua alisnya saat melihat sesuatu menyembul dari balik lembaran kuning kitab kecil yang dipegangnya. Kafa menarik kertas putih itu, lalu dibukanya kemudian karena penasaran. Bahkan dia lupa isi dari kertas yang disimpannya cukup lama.

Seseorang dicaci maki, tetapi ia tak membalas cacian tersebut. Kemudian seseorang bertanya, "Kenapa kau tak membalas caciannya?" Jawabnya, "Jika seekor anjing menggonggong padamu, apakah kau juga menggonggong menggonggong padanya? Kalau keledai menendangmu, apakah kau juga menendangnya?" Kafa tersenyum saat melihat catatan tangannya dari kutipan kitab Rabiul Abrar entah beberapa tahun lalu. Dia masih ingat bahwa ia dapatkan penjelasan itu dari bibir Kiai Usman langsung dan Kafa mencatat lalu menyimpannya di kitab yang paling sering dibawa. Sejujurnya penggalan manis dari kitab yang ditulis oleh salah satu salafussalih itu adalah kunci kehidupan bagi Kafa. Betapa seharusnya sebagai manusia harus menetapkan beberapa kali sikap bodo amat.

"Eh Fa, mumpung ada kamu di sini, gue mau nanya. Perbedaan itu wajar ya, Fa? Menurut lo sendiri nyikapi itu gimana? Gue tahu gue Islam, cuma ya ngene iki. Awam. Gue cuma pengen tahu aja. Lo sebagai anak pondok pasti paham," tanya Milan. Di antara Reza, Aldo dan Milan yang paling mending memang Milan. Sesekali pernah datang pada Kafa untuk menanyakan suatu hukum. Berbeda dengan Aldo dan Reza, yang bahkan kerapkali allahu a'lam terhadap apa yang dijalani.

"Perbedaan itu sangat wajar. Perbedaan itu bukan batas. Kalau pun dia membentuk dinding, maka kita harus mendobraknya."

"Dulu itu keluarga gue kecuali Kafi, pernah di-bid'ahkan sama tetangga baru dekat rumah. Katanya kita melukukan amaliah yang nggak Rasulullah lakukan. Padahal apa yang kita lakukan ya Maulid seperti biasa. Doa, zikir, salawat. Dan saat itu kami cuma tersenyum. Kami berdoa, bahkan bila kami memang sesat karena melakukan amaliah yang membuat rasa cinta kami bertambah pada Rasulullah, semoga Allah membiarkan kami dalam kesesatan yang indah ini. Hingga akhirnya kami tahu, bahwa tetangga baru kami itu ternyata baru belajar Islam. Gue bukan ingin menggibahnya, cuma ini bisa dijadikan pelajaran bahwa tetangga gue itu memang mendalami quran hanya dari terjemahan saja. Dan sesungguhnya itu sangat bahaya. Otak kita yang bodoh ini mustahil memahami betul sastra paling tinggi dan indah sejagat raya tanpa bantuan para salafussalih yang telah menulis banyak kitab tafsir untuk kita yang kemudian menjadikannya rujukan. Bahkan hadist aja, kan, nggak bisa ditelan mentah-mentah.

"Sederhana aja sih, dalam hal fiqih kita tahu seseorang yang baru aja mempelajari Fathul Qarib akan mudah kaget ketika melihat fiqih orang lain yang berbeda. Beda halnya dengan dia yang sudah belajar hingga Fathul Jawad, lihat perbedaan itu ya santuy. Nggak kagetan.

"Bahkan sesungguhnya agama hadir untuk menyampaikan berita gembira. Kalau lo tahu, Imam Malik pernah menolak keinginan Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur yang hendak menjadikan Mazhab Maliki sebagai satu-satunya sumber hukum Islam. Saat itu Imam Malik cemas bila nanti hal tersebut hanya akan menghasilkan pertikaian di antara sesama Muslim karena tidak bisa dipungkiri bahwa mereka telah menerima banyak takwil dari banyak jalan lain.

"Kemudian Imam Hanbal pernah membantah dengan tegas ketika seseorang memuji bahwa takwil hukumnya adalah yang paling tsiqah. Tentu ini memperlihatkan tentang bagaimana Imam Hanbal menghormati takwil hukum lainnya kepada keragaman."

"Bahkan ketika Abu Hanifah sang pendiri Mazhab Hanafi meninggal, banyak pujian datang. Kalau kata Imam Malik bilang begini, "Demi Allah aku tak pernah melihat orang sekokoh dia ilmunya. Andai saja dia mengatakan lalat terbuat dari emas, maka dia akan bisa mempertahankan pendapatnya dengan benar.

"Kemudian katanya Imam Syafi'i, "Abu Hanifah adalah orang yang diberi taufiq oleh Allah dalam ilmu Fiqih." Dan kata Imam Hanbal, "Abu Hanifah adalah seorang alim, wara' dan zuhud yang lebih mementingkan akhirat, yang tidak dimiliki siapa pun."

"Maka jelas dong bahwa mereka yang integritas ilmunya itu nggak diragukan, sanadnya jelas sampai Rasulullah, nggak pernah meninggalkan akhlaknya dalam menyikapi perbedaan. Maka coba deh dipikir, kalau kita kagetan terus, sedikit-sedikit bilang haram, musyrik, bid'ah, tanyakan kembali sama hati kita, benarkah mereka salah? Jangan-jangan bukan mereka yang keliru, tapi hati kitalah yang terlanjur diselimuti kehencian. Gitu sih, semoga kita bukan bagian dari orang-orang yang selau membenci, ya."

"Gue jadi pengen mondok nih. Lo pinter banget, Fa," ujar Milan setelah menyedot jus mangganya.

"Jangan!" Aldo dan Reza berteriak bersamaan.

"Lo mondok ketinggalan Anime sama majalah langganan lo, Bro. Jangan coba-coba. Ntar nggak bisa jalan-jalan ke Malioboro," kata Aldo.

"Ntar lo dihukum di asrama putri, Bro. Ntar lo ngafalin banyak kitab lagi. Sampai sekarang aja lo nggak hafal Rukun Islam," sambung Reza.

"Turunan Dajjal kalian itu suka ngompori yang nggak bener," sergah Milan.

"Jangan, Bro. Percaya gue. Ntar kalau gue sama Aldo cuma berdua doang, apa kata orang. Disangka nggak normal." Reza menepuk-nepuk pundak Aldo.

Kafa memperhatikan mereka, lalu melipat kembali kertas itu. Di dalamnya ada sesuatu yang Kafa simpan sejak beberapa tahun silam. Tentang seseorang bernama masa lalu. Bahkan sesungguhnya dia tak seharusnya disebut masa lalu, karena garis wajahnya, senyum manisnya, perkataan cerdasnya selalu Kafa ingat hingga sekarang. Seolah-olah Tuhan menciptakannya bersamaan dengan ketika rasa manis dicipta.

"Cak Kafa!" Seseorang memanggil.

Kafa menoleh. Dia mendapati Albab yang baru saja berdiri di sebelahnya. "Gus Adam menitipkan surat ini buat sampean. Katanya tentang pertemuan antar pesantren." Albab menyodrokan kertas ukuran A4 yang terlipat hingga terbentuk persegi panjang.

"Secepat ini?" Kafa menanggapi.

"Nanti sore."

"Sore? Nggak salah?"

Albab mengangguk.

"Ya udah, makasih, ya." Setelah Albab pergi, Kafa langsung membuka kertas tersebut dan membaca isinya. Tentang pertemuan Antar Pesantren yang akan dilaksanakan tepat esok nanti di pesantren Ali Bin Abi Thalib, Jakarta. Ali Bin Abi Thalib adalah pesantren kerabat. Namun mendengar nama itu Kafa mengingat masa lalunya. Sebelum menginjakan kakinya di Mesir, perempuan itu menghabiskan hidupnya di sana. Menuntut ilmu di pesantren itu. Andai Allah mengizinkan, barangkali akan ada pertemuan. Sejujurnya Kafa rindu tentang beberapa hal yang belum benar-benar terselesaikan. Namun, bukankah perempuan itu telah menikah dengan seseorang yang katanya lebih baik dari Kafa.

"Lebih baik darimu." Kata penekanan itu masih terekam jelas dalam ingatan Kafa. Dia memang gagal menjadi seseorang terbaik. Barangkali perempuan itu telah bahagia.

Kembali Kafa memusatkan pandangannya pada kertas yang dipegangnya. Di sana terdapat delapan nama santri putra dan tujuh santri putri yang ikut serta menjadi perwakilan Nadwah. Ada Hilya dan Mariyah juga.

"Ayo Cleo makan dulu." Kafi membuka kaleng makanan Cleo. Dia mencobanya sedikit. Rasanya cukup aneh, ada sedikit aroma terasi, namun terlepas itu semua terasa sangat renyah serta gurih. Bahkan dia membiarkan sisa mie ayamnya di atas meja. Ia akan membiarkan Cleo makan terlebih dahulu.

"Fi, makanan kucing lo makan?" tanya Aldo.

Kafi mengangguk. "Kalau nggak enak, Cleo nggak boleh makan." Dia tersenyum.

"Jadi itu tipsnya biar lo pinter?" lanjut Reza.

"Shit, bukanlah. Mau pinter ya belajar."

"Emang boleh ya, Fi, manusia makan makanannya Cleo?" tanya Milan

Kafi mendongak. "Kalau kata Dawn Jackson Blatner, yang bekerja sebagai pemerhati gizi makanan di American Dietieric Assosiation sih, bilang "Saya cukup yakin sistem kalau tubuh manusia dapat meng-handle makanan kucing." Kafi membelai lembut bulu Cleo yang selalu mendekat ke dadanya.

"Katanya sih aman dan boleh aja, cuma ada yang bilang nggak dianjurkan. Dan kalian jangan ikuti adegan ini," pungkas Kafi.

Kafa hanya memandang saudaranya yang lebih menyayangi Cleo daripada dirinya sendiri. Dari dulu ada kebiasaan aneh dari Kafi yang tak pernah berubah menurut Kafa yaitu, mencoba terlebih dahulu makanan milik Cleo, dan bila dirasa tidak enak, Kafi tak akan pernah memberikannya pada Cleo. Namun apa pun, semoga Kafi bahagia.

"Fi, nanti sore gue ke Jakarta," kata Kafa.

Kafi yang tadi mencium kepala Cleo, menoleh ke arah sudaranya. "Ada apa?"

"Pertemuan antar Pesantren. Tiga hari."

"Ya udah gue nitip surat dari Kepsek buat papa."

"Surat panggilan lagi?"

"Yes."

"Kenapa?"

"Bawa kucing. Ketua kelas gue itu nggak berperikekucingan. Dia akhirnya lapor sama Kepsek atas perbuatan gue yang katanya mengganggu ketentraman kelas, jadi papa dipanggil lagi deh." Kafi tersenyum ke arah Cleo lalu kembali menciumnya.

"Kepsek nggak mau negur dulu, nih?"

Bagaimana pun menurut Kafa ini masalah sepele dan mana mungkin langsung mendapati surat panggilan.

"Nggak. Soalnya beliau tahu kalau bukan papa yang bilang, gue nggak bakal nurut. Dan lagian ada hal lain kenapa papa dipanggil. Entah deh, nanti juga lo tahu."

Kafa terbengong. Bahkan Kafi masih bersikap tanpa dosa seperti itu saat orang tuanya harus kembali meghadap Kepsek untuk yang kedua kali.

"Ya udah surat lo mana?" tanya Kafa.

"Ada di tasnya Aldo. Nanti istirahat kedua gue anter ke kelas IPA 3."

"Oke."

Kafa bangkit, dia mengambil sarung yang tadi disampirkan di sandaran kursi. Setelah makan sebentar di kantin, waktunya salat dhuha di masjid sekolah.

"Lo mau ke mana?" tanya Kafi.

"Bayar makan, nanti ke masjid."

"Gue aja yang bayar."

"Ya udah." Kafa langsung pergi meninggalkan Kafi dan teman-temannya. Laki-laki yang menyampirkan sarung di bahu itu segera menuju masjid untuk beribadah di sana. Dia hanya ingin bertemu Allah lebih lama. Dia ingin meminta kesempatan agar sang pembuat rencana menuliskan sebuah agenda kecil untuk sebuah pertemuan dengan seseorang yang pernah Kafa jadikan sebagai tujuan. Namun, dia tak akan memkasa.

Dia harus yakin bahwa sesungguhnya apa pun yang telah Allah kehendaki adalah sesuatu murni kebahagiaan. Dia hanya meminta Allah agar mampu menerima kehendak-Nya dengan sabar dan ikhlas. Dia hanya perlu mengingat kembali bahwa segala yang di dunia adalah realita yang fana.

"Fa, kamu mau janji kalau setelah ini kita pasti akan ketemu lagi? Kamu akan ke sini lagi? Aku tahu, mungkin kamu bosan karena setiap libur pasti negara pertama yang dituju itu Mesir. Kafi pasti bosen. Aku tahu dia kayaknya pengen banget ke swiss atau Spanyol. Tapi kamu selalu narik kelurgamu ke sini. Kamu bilang ke mereka kalau kamu mau ketemu Gus Nabil, padahal Gus Nabilnya bentar."

"Nggak masalah. Aku suka Mesir kok, Na. Aku selalu mengulang ayat Ihbitu misra' fainna lakum saaltum di surat Al-Baqarah. Kataku itu sangat terdengar manis. Lagian setelah dari Mesir, kami menuruti kemauan Kafi. Jadi, kamu nggak usah ngerasa nggak enak."

"Makasih ya, Fa. Udah peduli."

Kafa tersenyum.

Hingga akhirnya semua berakhir. Patah. Sesuatu yang pernah membuatnya tersenyum tanpa alasan, sesuatu yang pernah membuatnya berharap banyak tentang masa depan telah pergi, dan mungkin tak akan pernah kembali. Barangkali dia harus berusaha lebih keras lagi untuk tak pernah berpikir tentang hal mustahil akan kembali.


Update 💚

Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik. Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya, ya!

Di part selanjutnya mungkin nanti Kafa akan bertemu seseorang. Masa lalunya 💙 nggak papa di-spill dari sekarang biar kalian nunggu muehehe~

Ah ya, kalau kalian ngerasa udah nggak nyaman baca Mazhab Cinta, langsung tinggalkan saja ya :') aku nggak pernah memaksa siapa pun untuk membaca cerita ini. Terima kasih atas pengertiannya. Untuk kalian yang masih bertahan dan mungkin tetap bertahan hingga ending, terima kasi juga. 💚

Salam | Milky Way

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro