Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 07 || Rasa yang Sama

Aku bertanya pada semesta tentang sebuah rasa. Ia berbisik, rasa yang manis hanya saat mengingat-Nya.


Kafa mengoper bola dengan kaki kanan berusaha melewati pemain-pemain lawan yang menghadang di depan. Kaus hitam pendeknya sudah mulai lembab karena keringat, sedangkan celana trainingnya sedikit kotor karena debu di lapangan. Rambutnya yang kecokelatan sudah berantakan tak karuan serta kulitnya yang putih, sedikit memerah saat terkena terik matahari langsung.

Setiap istirahat kedua, Kafa memang selalu diajak futsal di lapangan oleh teman-teman kelasnya. Pasalnya anak itu sangat jago mengecoh lawan dan sering membobol gawang milik rival. Namun tak jarang ia menolak. Karena bagi Kafa, mengingat seluruh nadhom Alfiyah lebih penting daripada berhasil memasukkan bola ke gawang.

"Ngombe sek, Fa. Panas men." Seorang laki-laki menepi, diikuti Kafa yang hendak istirahat sebentar.

"Aku wes lah. Mau ngaji!" Kafa tertawa kecil sembari menyabet seragam putih abu-abu miliknya yang tadi berada di ranting anak pohon mangga.

"Yowes lah, awakmu wes nyumbang loro," sahut salah seorang temannya.

"Kantin yuk, Fa. Pengen siomay," ajak kawan lain.

"Ganti baju dulu," sahut Kafa.

Laki-laki itu berjalan ke kelas menelusuri koridor setelah seragamnya tersampir ke bahu. Satu hal yang tak Kafa sukai, ia sering menjadi pusat perhatian saat bermain di lapangan. Selain futsal, Kafa memang tak suka dengan olahraga. Bahkan ia tak suka mengikuti Organisisi di sekolah. Dari dulu, laki-laki itu lebih suka asrama.

Setelah lulus Tsanwiyah, Kafa memang sudah memutuskan untuk lanjut Aliyah di asrama lagi. Tapi Hasan-sang kakek-tak mengizinkan Kafa untuk sekolah di dalam. Akhirnya, mau tak mau remaja itu didaftarkan pada salah satu sekolah favorit kota Jogja.

Sikap santun dan peduli yang dimiliki Kafa, memang dapat mengubah keadaan di sekitarnya. Laki-laki itu tak pernah memilih untuk bermain dengan siapa. Kafa tak pernah melihat perbedaan agama, ras, suku, bahasa. Bagi Kafa, selama dia manusia maka tugasnya hanya untuk peduli.

Selama 2 tahun di sana, sudah lumayan banyak teman-teman yang tertarik dengan ma'had. Sehingga banyak dari teman-temannya yang mulai sibuk dengan kegiatan asrama dan memilih pindah dari sekolah.

"Fa, temenin saya ke gereja. Absen kelas ketinggalan di sana," ucap Kevin, bendahara di kelas XII IPA 2.

Kafa yang baru saja masuk ke kelas untuk mengganti baju, menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu. "Yuk lah, aku sekalian mau ganti baju di musalla."

Mereka berdua berjalan bersisian menuju gereja yang terdapat di sebelah barat sekolah. Tepatnya gereja itu berdampingan dengan masjid. Kafa suka sekolah ini, karena lingkungan mengajarkan toleransi yang tinggi. Tak ada diskriminasi, dalam satu lingkup mereka bercampur mempraktikan 'Perikemanusiaan' yang dijunjung tinggi.

Sekarang, langkah kaki mereka mulai memasuki rumah ibadah itu. Kafa menunggu di depan karena ia belum cuci kaki. Biasanya, Kafa sering menemani Kevin berdoa, dan ia pernah masuk ke dalamnya. Remaja itu ingat sebuah perkataan dari ulama yang sampai sekarang masih melekat jelas, "Ciri-ciri keras hati adalah saat melihat gereja kau takut imanmu runtuh sedangkan saat mendengar lantunan ayat suci, tak sedikit pun hatimu tersentuh."

Selang beberapa menit kemudian, Kevin keluar sembari membawa buku absen. "Mau ke kantin? Aku traktir," ucap Kevin sembari menaruh tangan kanannya di pundak Kafa.

"Wah, bener nih. Tapi aku mau ke masjid dulu, eh. Mau wudhu sekalian ganti baju."

"Gue tunggu di kantin."

"Oke." Kevin berjalan duluan meninggalkan Kafa, sedang laki-laki itu melipir ke masjid untuk sekadar berwudhu.

Selang beberapa menit, Kafa keluar dari masjid dengan seragam yang sudah rapi. Kedua matanya terjatuh pada laki-laki yang sedang bersandar di tiang masjid sembari meneguk susu kaleng.

"Fi!" teriak Kafa.

Laki-laki itu menoleh, lantas kembali menatap lapangan tanpa memedulikan Kafa yang mendekat ke arahnya.

"Lo ngapain di sini?"

"Nunggu lo, lah!"

Kafa duduk di sebelah kembarannya. Karena berbeda kelas, maka sedari pagi baru sekarang keduanya bertemu. Pasalnya mereka pun sudah dewasa dan memiliki tujuan masing-masing, mereka tak pernah terikat. "Ada apa?"

"Fa, gue mau tanya sesuatu. Tapi lo jawab jujur," ucap Kafi.

Kafa menatap mata hazel di depannya. Kedua pemuda itu saling pandang, tajam.

"Lo suka Hilya?" tanya Kafi.

Kafa terkejut. Pertanyaan itu sangat tiba-tiba. Bagaimana mungkin Kafi bertanya di saat Kafa belum paham tentang perasannya. Setahun lalu, Kafa baru saja dipatahkan semesta dan ia tak tahu apakah hatinya sudah benar-benar sembuh? Wajah gadis itu masih terukir jelas dalam bayangnya.

"Kenapa tiba-tiba?"

"Hilya suka sama gue," cetus Kafi.

Kafa terhenyak. Laki-laki itu menganga untuk beberapa detik saat merasa ada kesempatan yang sedikit hilang diterkam kenyataan yang dalam. Lagi dan lagi.

"Maksud lo?"

"Lo masih ingat waktu pertama kali gue ke Nadwatul Ummah sama papa buat jemput lo? Katanya dia lihat gue dan dia suka sama gue. Fa, bahkan saat pertama kali gue lihat dia pun, gue nggak paham dengan detak yang langsung gue rasain," jelas Kafi.

Kafa terdiam.

"Gue nggak suka sama Hilya. Lagian gue masih belum benar-benar sembuh dari perpisahan setahun lalu."

"Jangan bohong," sergah Kafi.

"Gue suka sama Hilya. Gue nggak mau kalau kita terjebak pada seseorang yang sama. Bukannya salah satu dari kita harus mengalah?" Suara Kafi naik beberapa oktaf. Ia menahan emosinya, bersamaan dengan napas yang terembus keras.

"Gue bodoh, Fa. Seharusnya gue bisa ngontrol perasaan gue." Kafi menahan suaranya.

Kafa terdiam. Begitupun Kafi. Mereka sama-sama tak paham, mereka sama-sama tak mengerti dengan cara kerja perasaan yang sangat tak beraturan. Masa kerapkali memberi kejutan berupa kekecewaan dan kekhawatiran. Saat berada dalam posisi yang menyesakkan keduanya tak bisa bersatu dalam membuang yang telah ada.

"Nggak semudah itu, kan, ngontrol perasaan? Semua manusia kadang bodoh karena cinta, Fi. Satu hal yang paling gue benci yaitu, saat gue tak lagi fokus mencintai-Nya karena terlena dengan cinta manusia yang fana. Gue benci diri gue sendiri saat gue sedang tak merindukan Dia." Kafa menatap lapangan luas di depan sana.

Setelah perpisahan di Yaman setahun lalu, Kafa selalu berdoa untuk jangan pernah Allah menjatuhkan hatinya pada manusia untuk saat ini. Semata-mata hanya karena ia ingin fokus mencintai Dzat yang telah menghadirkan cinta. Ia ingin fokus ber-Fastabiqul Khoirot menyiapkan perjumpaan dengan Rabb-Nya dan sungguh pada masa yang fana, ia berharap kelak akan mampu bertemu dengan seseorang yang dirindunya.

"Fa, apakah Tuhan kalian keberatan bila salah seorang dari hamba-Nya mencintai seseorang yang berbeda kepercayaan?" tanya Kafi.

Kafa tak langsung menjawab. Berat. Kenapa dia harus menanyakannya pada Kafa. "Dalam sebuah instansi pasti terdapat peraturan untuk menjalankan misi agar kehidupan di dalamnya nyaman dan terkendali. Begitu pun dengan agama. Di dalam agama kami ada peraturan agar pengikutnya berjalan pada rel yang sudah digariskan. Kami boleh berteman dengan siapa pun, karena kemanusiaan sangat lah penting. Tapi, Fi, dalam konsep yang lebih serius semisal sebuah pernikahan, kami memiliki batas yang tak bisa dirobohkan."

Kafa tak tahu sejak kapan kembarannya itu menyukai Hilya. Tapi lagi-lagi Kafa harus mengerti bahwa kadang cinta hinggap pada seseorang yang bahkan tak dibayangkan sebelumnya. Cinta kerapkali memaksakan kehendak. Seperti Kafa yang masih terhenti pada masa lalu, misalnya. Atau dia yang memang sudah mulai menyukai Hilya entah sejak kapan. Seberapa giatnya ia belajar melupakan, tetapi ia harus kembali mengandalkan waktu untuk menghapus seluruh ingatan. Karena yang ia tahu, hanya waktulah yang patut diandalkan untuk saat ini.

"Kalau keduanya saling mencintai?"

"Kalau lo nggak mau buat Hilya dosa, lo harus ngikutin dia."

"Meski dengan terpaksa?"

"Gue nggak ngomong itu."

Kemudian hening.

Tentang perasaan Kafa, barangkali tak perlu jawaban. Tak ada kehendak yang akan dipaksanya demi sebuah rasa yang fana. Biar Kafi dan Hilya berjuang dengan perbedaannya, Kafa akan berhenti bila mampu. Kafa akan melupakan bila semesta membantu dan Kafa akan biarkan bagaimana mereka berjalan di atas rel perbedaan.

Hingga akhirnya, perasaan yang perlahan sembuh itu akhirnya kembali patah. Patah demi sebuah pengorbanan yang tak pernah ada habisnya.

Lagi dan lagi.

🍬🍬

Sepulang sekolah, saat baru saja turun dari Trans Jogja, Kafa berjalan ke arah kedai martabak manis di dekat halte. Laki-laki itu membeli tiga kotak martabak manis. Dia duduk di sana sembari menunggu miliknya.

Siang di Kota Jogja sangat ramai. Para pengendara memadati jalanan di depan sana seolah alam tak pernah beristirahat. Mata hazel-nya menatap tajam hingga beberapa menit kemudian, penjual martabak menyodorkan pesanan Kafa.

"Ini, Nak."

"Makasih, Pak." Kafa mengambil miliknya seraya memberikan beberapa lembar rupiah, sebelum akhirnya dia berjalan menuju pesantren.

Beberapa menit lagi azan asar barangkali berkumandangan dan ia harus buru-buru sampai asrama. Beginilah repotnya ketika dia harus sekolah di luar. Sesungguhnya ia tak boleh mengeluh, tapi sungguh sekolah di asrama lebih nikmat. Tidak ketinggalan banyak kitab, karena kurikulum pesantren memang berbeda dengan di luar dan bila Kafa boleh jujur, sebenarnya ia ingin di asrama saja.

Saat kedua kakinya mulai memasuki asrama, langkahnya mulai berhenti di depan kantor asrama. Dia mencoba mencari santri putri yang keluar komplek, tapi keadaan di sana benar-benar sepi barangkali karena mereka memang sudah mulai memadati musalla persiapan jemaah.

"Kafa!" panggil seseorang.

Kafa menoleh ke belakang. Dia terkejut saat mendapati perempuan berseragam sama sepertinya, berdiri satu meter di dekatnya.

"Ning, baru pulang?" tanya Kafa. Entah mengapa ia tiba-tiba merasa sungkan. Melihat Hilya, dia mengingat ucapan Kafi saat di depan masjid. Tentang mereka berdua dan tentang dirinya yang harus paham bahwa pilihannya hanyalah merelakan.

"Iya, tadi ada pelajaran tambahan." Dia tersenyum.

Kafa menundukkan pandangannya sesaat, lalu kembali mendongak. "Saya boleh menitipkan ini untuk Mariyah?" Dia mengangkat sekotak martabak yang berada di dalam kresek.

Hilya segera mengambil alih martabak itu. "Saya masih beberapa hari di sini dan hanya hafal beberapa nama santri tapi saya akan coba carikan yang bernama Mariyah. Di komplek mana?"

"Sama. Sama denganmu."

"Kamu tahu komplekku, Kafa?" Sebelah alis tebal Hilya terangkat.

"Ehm--eh saya tahu dari-- dari...." Ah, sial. Akhirnya dia tak bisa menyembunyikan gugupnya. Jelas dia tahu karena kemarin Kafa sempat mencaritahu melalui data yang hendak direkap. Kenapa Hilya bertanya sedetail itu padanya dan bodohnya Kafa gagal menjawab dengan cepat. Di hadapan orang yang dicinta, manusia kerapkali bertingkah seperti orang gila.

"Dari data yang kemarin direkap."

"Ah gitu, ya. Eh, Fa kamu tahu nggak kalau Mas Nabil mau ke sini?" Kalimat Hilya lebih pada pernyataan. Nabil yang dimaksud adalah kakaknya. 

"Hah Gus Nabil? Kapan? Udah pulang, ya?"

Hilya mengangguk. "Kemarin banget Mas Hamdan nikah, terus Umi, Abi dan keluarga Mbak Silky akan merencanakan percepatan pernikahan Mas Nabil sama Mbak Silky. Sebenarnya Abah kurang setuju karena Mas Nabil masih fokus S1 tapi entahlah. Tapi kamu jangan bilang siapa-siapa, ya. Jadi nanti besok Mas Nabil ke sini dan disusul Umi, Abi."

"Secepat itu?"

"Mas Nabil itu sejak kecil sahabatan sama Mbak Silky. Jadi kata keluarga Mbak Silky nggak enak dilihat aja lawan jenis deket banget. Akhirnya daripada timbul fitnah mereka mau dinikahin. Lagian kayaknya Mbak Silky suka sama Mas Nabil tapi--" Hilya menghentikan ucapannya.

Tapi Mas Nabil sepertinya udah nyimpen hawa lain di hatinya. Ah, tapi aku nggak mau sok tahu.

"Tapi apa?"

"Sudah lupakan. Kita lihat nanti aja. Acaranya pasti ramai. Tapi janji ya, Fa, jangan bilang siapa pun. Bahkan kalau pun Mas Nabil nemuin kamu, pura-pura nggak tahu aja. Ini rencana Umi dan Abi."

Kafa mengangguk.

"Baiklah aku pergi dulu ya, Fa. Selamat menunaikan salat asar." Gadis itu tersenyum manis lalu meninggalkan Kafa begitu saja.

Ah, Kafa mengembuskan napas lega. Hampir saja tadi dia lupa bernapas. Sungguh, bila perasaannya memang sudah benar-benar sembuh dan mulai berpaling pada Hilya maka ini yang disebut luka. Bagaimana mungkin ia biarkan hatinya berebut seseorang yang sama dengan Kafi. Bukankah ia memang harus mengalah?

Mengalah untuk kembali terluka

Mengalah untuk mencari kebahagiaan lain

Mengalah untuk mengikhlaskan lalu membiarkan segalanya pergi.

Bukankah sebenarnya ini terlalu menyakitkan. Setelah ditinggalkan, ia mendapatkan penolakan tanpa sengaja. Toh kalaupun ia berusaha memupuk perasaannya semua akan percuma. Hilya tak pernah mencintainya. Hilya telah memilih seseorang dan itu bukan dia dan ini adalah kenyataan yang perlu diterima sebagai seorang manusia yang wajar saat mendapati kecewa, dan ia harus tahu diri bahwa kehidupan tak selalu berpihak padanya. Keberuntungan tak selalu menemani. Sejatinya kenikmatan hanya Tuhan yang fana. Dia bukanlah apa-apa.


Update 😊

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya ya. Bila ada kesalahan sila sampaikan dengan bahasa yang baik. Btw sepi banget nih, pada nunggu end aja apa hoho~

Salam | Milky Way

Follow IG dulu, Gan. @hallo_milkyway

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro