3. Audrey
Kian
Gadis 22 tahun itu sedang duduk sendirian di salah satu bangku taman. Tatapan matanya kosong. Pandangan aneh dari orang-orang yang berlalu-lalang di depannya sama sekali tidak mengganggunya. Tanpa ia sadari, setetes cairan bening lolos dari sudut netra cokelatnya. Kemudian ia mulai terisak hingga punggungnya bergetar. Ia terlihat begitu menyedihkan.
Aku dan Alika berjalan menghampirinya. Ia masih belum menyadari keberadan kami yang telah duduk di sampingnya. Alika terlihat bingung, tidak tahu harus bagaimana menangani orang yang mengalami gangguan mental. Apakah harus membawanya ke rumah sakit jiwa? Namun, jika ia memberontak dan meronta, apa yang harus ia lakukan? Atau kah gadis di sampingnya ini hanya butuh teman bicara? Berbagai spekulasi itu berputar dalam pikiran Alika.
"Kian, aku harus bagaimana?" Alika menyuarakan kebingungannya dengan telepati yang berhasil kubaca.
Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku justru mengajak Audrey—gadis disamping Alika, berbicara.
"Kau haus? Aku memiliki es krim. Kau suka es krim, kan?" tanyaku. Alika menoleh ke sampingku dengan tatapan 'Darimana kau mendapatkan es krim itu, Kian?'
Beberapa menit yang lalu, aku memang tidak memiliki es krim. Namun, saat ini aku memiliki 3, salah satunya kusodorkan pada Audrey dan satu yang lainnya untuk Alika. Dengan ragu-ragu ia menerima pemberianku.
"Terima kasih," ucapnya sambil sesenggukan.
"Siapa namamu?" tanya Alika hati-hati. "Namaku, Alika." Ia mengulurkan tangan untuk berkenalan.
"Audrey." Gadis itu balas menjabat tangan Alika.
Kami pun menikmati es krim sambil larut dalam pikiran masing-masing. Memandang ke depan pada anak yang tengah bermain basket.
"Ayahku selingkuh. Ia sudah lama tidak pulang. Mengapa? Mengapa ia harus meninggalkan kami. Mengapa!" Audrey mulai meracau tanpa permisi. Aku menyisipkan sesuatu di es krim yang berada di tangannya. Membuatnya mudah untuk menceritakan isi pikirannya.
"Aku dan ibu sangat membutuhkannya tapi mengapa ia seperti ini? Mengapa!" Ia kembali menangis dengan tatapan kosong. Es krim di tangannya mulai mencair, mengenai jari-jarinya yang lentik.
"Aku tidak tau bisa membayar uang kuliahku atau tidak. A-aku terancam dikeluarkan dari kampus. Tomi, kekasihku juga baru kuketahui berselingkuh. Mengapa semua lelaki sama saja!" Ia melempar es krim yang telah mencair dari tangannya. Wajahnya berubah penuh emosi.
Alika mengambil tisu dari dalam tasnya, mengelap tangan Audrey yang lengket akibat es krim. "A-aku bisa meminjamimu uang untuk membayar kuliah. Kau tidak perlu berhenti kuliah," ujar Alika. Ia terlihat gugup.
"Kau ingin membantuku?" tanya Audrey terkejut. Alika mengangguk sebagai jawaban. Audrey terdiam sesaat sebelum akhirnya tertawa. Tidak ada yang lucu di sini, tapi ia semakin terbahak.
"Ayahku memiliki banyak hutang. Ia telah menggadaikan rumah kami untuk wanita simpanannya. Dan sekarang, kami, aku dan ibuku yang harus menanggung semuanya. Kami tidak memiliki rumah lagi. Semuanya telah disita untuk melunasi hutang-hutang ayah. Aku tidak mengerti bagimana jalan pikiran laki-laki yang berstatus sebagai orang tuaku itu? Tidakkah cukup hanya aku dan ibu saja dalam hidupnya? Mengapa harus ada wanita itu? Mengapa?" Ia berteriak histeris. Beberapa orang menghentikan langkah untuk menoleh ke arah kami saat ini. Alika mulai terganggu dengan pandangan orang-orang itu.
"A-aku memiliki sebuah kontrakan. Aku telah melunasi pembayarannya, kau bisa menggunakan kontrakanku." Audrey menoleh ke arah Alika. Mencari kesungguhan dari ucapannya.
"Benarkah? Lalu kau mau tinggal dimana?"
"Ia tinggal bersamaku. Kau bisa menggunakan kontrakan istriku. Ia sudah terlanjur membayar lunas biaya sewanya," jawabku.
"Ada beberapa bajuku di sana dan juga perabot. Kau bisa menggunakannya," tambah Alika.
"Mengapa kau begitu baik, Nona? Kita bahkan tidak saling mengenal sebelumnya."
"Sudah sepantasnya sebagai sesama manusia untuk saling membantu. Lagipula, menolong orang lain adalah caraku untuk mencintai diri sendiri." Alika tersenyum tulus ke arah Audrey. Gadis itu kembali menitikkan air matanya. Alika merangkul pundak Audrey, membuat gadis itu semakin menangis.
"Ayo! Aku akan menunjukkan kontrakanku, kau bisa mengajak ibumu tinggal di situ. Tempat ini sudah tidak nyaman. Lihat, semakin banyak orang yang melihatmu menangis." Alika mengajak Audrey beranjak dari taman ini.
***
Aku mengembuskan napas, merenggangkan otot sambil tetap memperhatikan. Sekarang sudah saatnya Alika pulang bekerja. Menunggunya di depan pantry sudah menjadi kebiasaanku, menjemputnya untuk pulang bersama.
5 menit kemudian, pintu pantry yang awalnya tertutup rapat itu terbuka. Aku menegakkan posisiku yang bersandar pada salah satu pilar, menoleh ke arah wanitaku sambil tersenyum. Ia menghentikan langkahnya saat melihatku, terlihat terkejut.
Aku berjalan mendekat ke arahnya. Hanya ada kami berdua di sini. Alika selalu pulang lebih awal atau justru paling akhir, setelah teman-temannya pulang. Ia tidak ingin mereka melihat kami pulang bersama dengan tiba-tiba menghilang dari depan pantry.
Kini ia berada di depanku, aku menghapus jarak di antara kami dengan merengkuhnya. Ia semakin membelalakkan mata karena terkejut. Aku melihatnya menutup kedua netra saat kami menghilang dibalik tiupan angin.
Sepertinya melihat senja di bukit belakang restaurant tidak lah buruk. Alika selalu menyukai pemandangan dari ketinggian. Menikmati tubuh kami terkena tamparan senja. Cahaya senja membalut kami saat kami berpijak di atas rerumputan kering, menyongsong matahari yang perlahan-lahan tenggelam.
"My Candy," sapaku.
"Ki-Kian..." ucapnya terbata. Ia meletakkan kedua tangannya di dadaku. Mendongakkan kepala, melihatku dari jarak sedekat ini.
"Ada apa? Mengapa wajahmu seperti itu?"
"A-aku hanya kaget. Sejak kapan potongan rambutmu seperti itu?" Ia tertegun dan balik bertanya.
"A-ah ini ... aku hanya mencoba gaya baru. Bagaimana menurutmu?" Aku jadi ikut salah tingkah melihat Alika seperti itu. Apakah ia tidak suka dengan model rambut baruku? Aku bisa merubahnya seperti semula.
"Aku tidak tau harus berkata apa, Kian." Ia meraih rambutku dengan ujung tangannya. Mengusapnya lembut. Kuraih tangan kanannya yang berada di sisi kiri kepalaku. Menurunkan dan menggenggamnya.
"Aku sampai tidak bisa memikirkan apa pun. Astaga, Kian, aku tidak memiliki alasan apa pun untuk tidak menyukainya," lanjutnya.
Aku mengembuskan napas lega, ia menyukainya.
Pemandangan sore ini benar-benar indah. Alika mengeratkan tautan jarinya pada jariku. Ia menghirup udara segar ini dalam-dalam sambil menyenderkan kepalanya pada bahuku. Kami menikmati lukisan langit yang membentang di atas kepala kami. Baluran warna ungu, jingga, merah, dan pink menyatu. Membentuk semburat mengagumkan. Gumpalan abstrak awan di langit bergerak perlahan. Angin di atas bukit ini tentu sedikit lebih kencang, membuat rambut kami tersibak.
"Kian, aku bingung. Bagaimana cara menangani Audrey? Aku koki, bukan psikolog, Kian," tanyanya setelah hening beberapa saat, tenggelam menikmati lukisan langit.
"Istriku, kan, serba bisa." Ia mengembuskan napas berat mendengar ucapanku.
"Kita harus memulai darimana?"
"Memulai dari mencegahnya melakukan hal konyol. Ayo, Al. Kita harus segera ke kontrakanmu."
Alika terkejut dengan semua tindakanku yang tiba-tiba. Jika harus memilih, aku masih ingin menghabiskan waktu dengannya di tempat ini, melihat matahari benar-benar tenggelam di peraduan. Namun, aku tidak mungkin membiarkan sebuah tugas penting mengalami pengabaian.
Aku membawanya terbang bersama angin. Bergelung bersama udara petang yang mulai mengalami penurunan suhu. Musim hujan akan tiba sebentar lagi, akhir-akhir ini memang lebih dingin dibanding biasanya. Dalam 2 menit kami telah tiba di halaman kontrakan Alika. Bunyi benda jatuh menyambut kami. Aku menjadi semakin khawatir dengan keadaan gadis itu. Pintu cokelat tua di depanku dapat mudah kubuka dengan sekali sentuh, Alika mengekoriku.
"Audrey!" Alika memekik melihat tetesan darah di lantai, rok dan sekitar tangan gadis itu. Ia baru saja melakukan self harm, sebuah tindakan menyakiti diri sendiri dengan menyayat salah satu bagian tubuh.
"Kau tidak apa-apa? Apa yang terjadi? Mengapa kau melakukan hal ini? Kau tau ini sangat berbahaya. Kau bisa saja mati karena kehabisan darah."
Aku memberondong gadis itu dengan berbagai pertanyaan. Aku tau beberapa pertanyaanku terdengar bodoh. Tidak mungkin ia tidak apa-apa di saat begitu banyak tetesan darah di lantai akibat tangannya yang terluka.
"A-apa yang kalian lakukan di sini?" Ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Sisa air mata di wajahnya belum sepenuhnya mengering.
"Apa yang kami lakukan di sini? Seharusnya kami yang bertanya, apa yang sudah kau lakukan dengan tanganmu?" Aku tidak bisa mengontrol nada bicaraku yang sedikit tinggi.
Alika bangkit dari duduknya dan segera menuju dapur. Ia kembali dengan kotak P3K di tangan, mengeluarkan alkohol dan kapas untuk membersihkan luka Audrey.
"Kubantu untuk membersihkan lukamu, ya? Mungkin ini akan sedikit sakit," ujarnya. Audrey hanya menatap Alika dengan pandangan kosong. Alika pun mulai membalur luka Audrey dengan kapas yang telah ia basahi dengan alkohol.
Alika memperlakukan Audrey dengan lembut. Namun, sesekali Audrey tetap meringis, ia memiliki luka yang cukup banyak dan dalam. Aku bisa saja langsung menyembuhkannya. Namun tidak untuk saat ini. Alika juga memiliki andil untuk membantu gadis ini. Setelah selesai membersihkan luka di tangan Audrey, Alika menutup luka itu dengan betadin dan plester. Gadis itu kembali meringis saat lukanya yang menganga terkena cairan merah betadin.
"Jangan menjadi bahagia karena orang lain. Ketika ia menghilang, kebahagianmu pun juga akan menghilang. Jangan menjadi baik dan hebat untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Tidak semua orang mampu menghargaimu. Jadilah baik karena kau memang orang baik. Dan jadilah hebat karena kau memang orang hebat. Sama seperti mereka, kau berhak untuk menjadi baik dan hebat. Dan tindakanmu barusan tidak mencerminkan perilaku baik. Ayahmu boleh saja tidak baik tapi, kau jangan ikut menjadi tidak baik," ucapku.
Audrey memandangku dengan tatapan aneh. Ia mulai menyukaiku? Aku bisa melihat itu di pikirannya yang masih berputar, mencerna setiap kata-kataku dan menerimanya tanpa penolakan.
"Siapa namamu?" tanyanya. "Kita belum pernah berkenalan sebelumnya, kan?" Ia mencoba mengingat-ngingat.
"Kian," jawab Alika. Ada keterkejutan di wajah Audrey. Tidak menyangka Alika yang akan menjawab pertanyaannya. Wanitaku itu pun beranjak menuju lemari di sebelah kamar mandi. Ia mengambil sesuatu dalam sebuah kotak merah jambu. Alika kembali dengan membawa sebuah amplop putih.
"Ini tidak banyak tapi semoga bisa melunasi uang kuliahmu. Kurasa kau belum banyak menggunakan barang-barangku. Semuanya terlihat sama seperti sebelum kutinggalkan," ucap Alika.
"Terima kasih." Audrey menerima amplop pemberian Alika dan menghitung jumlah uang di dalamnya. Matanya kembali berkaca-kaca. "Ini sangat lebih dari cukup! Ya Tuhan, harus bagaimana aku berterima kasih?" lanjutnya.
"Berhenti menyakiti dirimu seperti tadi." Audrey mengalihkan pandangannya ke arahku. Bibir lurusnya membentuk sebuah senyuman. Sebuah ekspresi mulai menghiasi wajah pucatnya. Ada kelegaan di sorot matanya. Ia kembali menggumamkan kata 'terima kasih' untukku dan Alika.
Alika mengajak Audrey ke kamar yang dulu ia tempati. Ia menunjukkan beberapa barang yang disimpannya. Sekali lagi, Alika mempersilakan Audrey untuk menggunakannya. Alika mengambil beberapa potong pakaiannya untuk diberikan pada Audrey. Pakaian Alika memang lebih modis dibandingkan milik Audrey.
"Aku yakin, kau akan cantik menggunakan ini," ujar Alika sambil menempelkan salah satu bajunya di tubuh Audrey. "Bajuku memang tidak banyak, tapi semoga ini bisa membantumu lebih percaya diri. Dulu, saat aku seusiamu, aku juga lebih percaya diri jika mengenakan pakaian yang bagus," tambahnya.
"Lalu, kau pakai baju apa kalau semua isi lemarimu kuambil?" tanya Audrey.
"Hei, kau tidak mengambil apa pun. Kemarin aku sudah bilang. Kau dan ibumu boleh tinggal di kontrakan ini, aku sudah melunasi pembayarannya hingga 8 bulan kedepan. Dan semua barang yang ada disini bisa kau pergunakan. Termasuk baju-bajuku. Aku sudah memiliki baju-bajuku yang baru." Aku senang mendengar penuturan Alika, ia mau berbagi dengan tulus.
"Dan ngomong-ngomong, lelaki yang selalu bersamamu itu, Kian. Ia terlihat sangat manis, sama sepertimu." Aku mendengar sebuah pujian meluncur dari bibir Audrey. Alika mengarahkan pandangannya ke arahku yang berdiri di balik pintu, di balik punggung Audrey.
"Iya. Kian memang sangat manis." Alika tersenyum ke arahku.
"Baru kali ini ada yang peduli terhadapku seperti Kian peduli padaku. Bahkan ibuku tidak pernah menghentikan dan mengkhawatirkanku ketika aku melakukan self harm." Sorot manik Alika seketika berubah. Sepertinya ia sedang cemburu. "Dan terima kasih juga untukmu, kita... bisa menjadi teman, kan? Kau baik sekali, Alika. Teman-temanku bahkan tidak peduli kalau aku di keluarkan dari kampus. Tidak peduli jika aku sakit dan tidak masuk kuliah karena depresi yang kualami."Ada sebuah harapan dalam pernyataan Audrey. Namun Alika masih tertegun.
"Be-benarkah?" tanya Alika ragu.
"Iya. Aku melihat jiwa malaikat dalam dirimu dan Kian." 'Kian memang malaikat, Audrey,' racau Alika dalam pikirannya.
"Terima kasih, Audrey," balas Alika.
**
Sepulang dari kontrakannya yang lama, Alika menjadi lebih diam. Kami tiba di rainbow castle ketika hari telah gelap. Alika langsung membersihkan diri, meninggalkanku begitu saja. Dan kini ia tengah berdiri di balkon, menghadap hamparan butiran bersinar di langit. Aku mencoba mendekatinya.
"My Candy." Aku berdiri di sampingnya.
"..." Ia masih bungkam.
"Aku tau kau cemburu, My Candy." Alika mencoba melirikku melalui bulu matanya.
"Aku tidak—"
"Aku bisa membaca pikiran kalian, Al, kalau kau lupa," ucapku memotong ucapannya. Ia kembali membisu. Aku meraih pundaknya, membuatnya memalingkan tubuh dari pembatas balkon ke arahku. "Alika, dengar. Aku mencintaimu dan kau tau itu." Ia masih diam.
"Al, please. Sekalipun aku tau isi pikiranmu, aku lebih senang mendengar suaramu mengucapkannya dibandingkan aku harus selalu menebak perasaanmu." Aku mengembuskan napas kasar, mulai frustasi. Kami tidak pernah bertengkar sebelumnya dan ini kali pertama Alika marah padaku seperti ini, hanya karena ada wanita lain yang memujiku. Ya Tuhan!
Aku meraih tangan tangannya, meletakkannya di dadaku. Detak jantungku—yang tidak beraturan setiap kali aku berdekatan dengannya, menjalar di permukaan telapak tangannya.
"Kau bisa merasakannya. Hanya kau yang mampu membuat jantungku berdetak secepat ini, My Candy."
***
30 Desember 2019
Revisi 1: 15 Januari 2020
Revisi 2: 29 Januari 2020
Revisi 3: 9 April 2020
Vote + kritik & saran = menyenangkan hati penulis = berpahala
Thank you :) :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro