FF(9) ● Jebakan Takdir
Jika takdir mulai bermain, akhir kisah menjadi sekadar bayangan, entah bayangan kebahagian atau justru kesedihan.
°°°°°°
PELAJARAN seni budaya akan dimulai. Langkah Linzy terburu-buru di koridor. Bu Santi selaku wali kelas dan guru yang akan mengajar kelasnya beberapa menit lagi, memaksanya agar cepat tiba di kelas. Padahal kaki Linzy terasa berdenyut sebab kelamaan berjongkok di taman tadi.
Dijarak yang sedikit jauh, Zion memandang penuh senyum kaki jenjang Linzy yang tergesa. Keisengan lagi-lagi muncul, dia menyamakan langkahnya dengan si perempuan. Yang langsung disambut pelototannya.
"Ngapain lo?!" tanyanya ketus.
"Mau ke kelas lah, pake nanya." Zion berujar tenang.
Sepanjang koridor meninggalkan senyap, menciptakan langkah kaki terdengar lebih jelas. Banyak guru yang sudah keluar dari kelas jam ke-limanya. Sebelum menuju kelas lain.
"Terus ngapain jalan di samping gue?!" Tinggal tunggu saja bom emosi Linzy meledak—lagi.
"Emang kenapa?" Zion balik bertanya. Wajah polosnya ingin sekali Linzy benturkan ke tembok. "Nggak boleh?"
Diredamnya emosi, Linzy mengembuskan napas. "Lo bisa nggak sih sehari aja nggak gangguin gue? Biarin hidup gue tenang sehari aja."
Diam, Zion memasang raut seolah tengah berpikir. Mengetukkan jari telunjuk di dagu. "Enggak," jawabnya kemudian. Membuat Linzy terbelalak. "Hidup gue nggak akan bewarna kalo nggak ngeliat wajah murka lo. Imut sih!"
Akhir kata, Zion kedipkan sebelah mata. Menyadarkan Linzy jika lelaki itu hanya mengganggap dirinya bahan candaan.
"Gue nggak bakalan mempan sama gombalan receh lo!"
Justru nada ketus itu mengangkat kedua sudut bibir Zion.
Melanjutkan langkah. Baru terhitung beberapa langkah, kaki Linzy mendadak terpaku. Pandangannya berlabuh pada dua insan yang tengah duduk mengobrol di depan kelas XI-IPA4. Saling merangkul dan berbagi tawa.
Pelan-pelan, ia menoleh pada Zion. Tetapi lelaki itu tampak tak acuh, bahkan yang lebih mencengangkan, dia justru melangkah, mendekati dua insan yang tak lain ialah mantan kekasih bersama kekasih barunya; Laras dan Kevin.
Bertos ala-ala cowok Zion bersama Kevin.
Melihat keduanya, mengingatkan Linzy dengan perkataan Cindy di taman tadi. Laras dan Kevin selingkuh di belakang Zion. Mungkin karena merasa tak dihargai, Zion membalas perlakuan Laras dengan bermain belakang bersama Cindy—teman Laras sendiri.
Siapa yang salah? Siapa yang benar? Atau mereka berdua memang salah? Dan Linzy pun tidak tahu harus menjatuhkan kepercayaannya dengan siapa?
Ck ... dia paling benci di saat seperti ini, disaat dia menaruh kepedulian pada seseorang. Masih terpatri jelas, bagaimana wajah sedih Laras kala Zion menerima permintaan untuk mengakhiri hubungan mereka di kantin.
Ketika itu pasti tidak ada yang percaya bila Laras selingkuh. Terlebih melihat wajah kecewa yang tersirat di wajahnya. Mereka sudah sepantasnya menyalahkan Zion. Tanpa peduli siapa yang benar-benar salah, termasuk Linzy.
Secepat itu dia menarik kesimpulan. Tanpa melihat dulu kebenarannya.
Wajah Zion tampak kalem mengobrol singkat bersama Kevin. Tidak ada tanda dia akan menonjok Kevin atau pun kemarahan yang biasanya cowok lakukan saat melihat seseorang yang merebut kekasihnya.
Apa lelaki dan perempuan berbeda? Sepertinya tidak. Pasti ada rasa dendam saat ada seseorang teman yang dikenalnya main belakang bersama kekasihnya. Iya kan?
"Zi, lo nggak mau telat masuk di pelajaran Bu Santi kan?!"
Teriakan Zion mengembalikan kesadaran Linzy. Kakinya yang sejak tadi terdiam di pijakan. Dibawa melangkah cepat, menyusul Zion yang berada di depan. Sejenak dia melirik Laras dan Kevin. Laras hanya memandangnya sinis, sebelum kembali mengobrol bersama Kevin.
Bukankah Laras sangat berbakat berakting, seolah dirinya yang ternistakan padahal kenyataannya ... Dasar tidak tahu malu! Mungkin memang urat malunya sudah putus, bahkan dia berpacaran di waktu jam pelajaran. Linzy berdecih jijik.
"Kenapa lo nggak marah?" tepat di samping Zion, Linzy bertanya.
"Marah? Sama siapa?"
Linzy mendengkus kesal. "Ya sama Kevin-lah!"
Zion tertawa. "Buat apa? Lo nggak lupa kan? Kalo selama ini gue pacaran cuma sekadar main-main?"
Sial! Linzy mengumpat dalam hati. Bodoh katakan saja dia bodoh, untuk apa tadi dia berpikir jika ada sisi baik yang tersembunyi di sifat brengsek Zion? Dia kira Zion mencoba mengerti dan mengikhlaskan. Tetapi ternyata ... dia tidak peduli. Sama sekali tidak berperasaan!
Nyatanya mereka berdua sama saja!
Hening memeluk untuk beberapa jenak. Sebelum Linzy kembali bertanya, pertanyaan yang sebenarnya selama ini terpendam karena melihat kelakuan Zion."Lo nggak berpikir untuk berubah gitu?"
"Sejak kapan lo peduli sama gue?"
"Kepedean banget lo!" Sinis Linzy. "Gue nggak peduli sama lo, tapi gue kasian aja sama orang tua lo!"
Linzy terus melangkah tanpa tahu dengan Zion yang mendadak menghentikan langkah. Menyadari, tidak ada sosok di sampingnya, Linzy memutar tubuh menatap Zion. Keningnya mengerut menilik perubahan wajah lelaki itu.
Secepat kedipan mata, raut itu berubah kembali. Dia melanjutkan langkah hingga berhenti di samping Linzy.
Senyum lebar tampak menghias. "Lo bener. Kasian mereka."
°°°°
Tiba di depan pintu kelas. Linzy dan Zion serentak mematung, mendapati Bu Santi yang telah terduduk manis di kursi singgasannya. Dia meringis, sedang Zion tampak amat santai. Keduanya melangkah masuk, menyalami tangan guru yang terbilang paling muda di sekolahnya itu.
Bu Santi bangkit berdiri. Ditatap anak didiknya yang hanya diam di pijakan.
"Kalian habis dari mana?" Dibalut seragam guru bewarna navy, Bu Santi tampak anggun. Raut guru mudanya itu tak terbaca sama sekali kala bertanya. "Ibu dengar dari teman-teman kalian. Kalian dihukum karena beradu mulut di waktu pelajaran Pak Herman tadi. Benar?"
Linzy menunduk, menoleh pada Zion yang justru ikut terdiam. Tidak ada suara di antara keduanya.
"Kenapa di antara kalian tidak ada yang mau menjelaskan?"
"Maaf, Bu." Zion ternyata cukup gentle. Dia angkat suara. "Kita emang dihukum tadi, maaf telat masuk di pelajaran Ibu."
Bu Santi adalah guru yang paling baik dari semua guru yang Linzy kenal. Beliau selalu bersikap santai dan sabar ketika mengajar, mungkin itu faktor dari usianya yang terbilang paling muda di sekolahnya.
Namun, gurunya itu akan terlihat berbeda saat ada dari anak kelasnya terkena hukuman atau melanggar peraturan sekolah. Sikapnya akan berbanding terbalik dari sikap awal. Wajah yang selalu tampak akan senyum perlahan memudar. Menunjukkan sikap dinginnya.
Sungguh Bu Santi saat seperti ini akan terlihat berkali-kali lebih menyeramkan dibanding Bu Ainun, guru Fisika mereka. Ditambah suasana kelas yang sangat senyap tanpa ada yang bersuara.
"Ibu heran sama kalian berdua," Bu Santi kembali bersuara. "Kenapa kalian nggak bisa akur barang sehari saja? Kenapa selalu menciptakan keributan di dalam kelas?"
"Nggak ada sejarahnya Tom and Jerry itu akur, Bu," celetuk Justin. Kelas yang sejak tadi hening perlahan mencair oleh tawa yang menggema.
Pandangan dingin Bu Santi membungkam seluruh bibir anak didiknya. Seketika hening kembali memeluk.
"Maaf, Bu," tangan Linzy berkeringat dingin. "Saya nggak mulai duluan. Tapi..."
"Linzy berhenti," sela wali kelasnya. "Ibu tau kamu mau menyalahkan Zion dan kalian akan kembali ribut karena saling menyalahkan. Kalian berdua sama-sama salah, itu menurut Ibu. Jadi Ibu harap, ini terakhir kali guru-guru lain mengeluhkan adu mulut antara kalian. Paham?"
Linzy menunduk lesu, kemudian kepalanya perlahan mengangguk. "Saya mengerti, Bu."
Zion pun mengangguk. Tak mengucapkan apapun.
"Kali ini Ibu maafkan kalian. Kalian bisa kembali ke bangku masing-masing," perintah Bu Santi. "Lagipula hari ini ada yang ingin Ibu sampaikan ke kalian semua."
Patuh keduanya pun langsung menjalankan perintah.
Linzy mendaratkan diri di samping Retta. Sahabatnya itu sangat mengerti, tanpa adanya kata, dia mengulurkan tisu ke padanya.
"Thanks," gumam Linzy pelan. Diusapnya peluh keringat yang membanjiri wajah.
"Kalian tahu bukan kalau tahun ini adalah tahun terberat untuk anak kelas dua belas, kakak kelas kalian?" papar Bu Santi. Semua anak hanya merespon dengan anggukan. "Karena itu semua anggota osis sepakat untuk mengadakan pensi sebagai bentuk penyemangat kakak kelas kalian setelah UN nanti."
Semua terperangah tanpa pengecualian
"Bu," Echa, perempuan keturunan china yang duduk di pojok depan mengangkat tangan.
"Iya, Echa."
"Bu, bukannya kelas dua belas udah ada perayaannya sendiri nanti, kayak prom night gitu?" Kebingungan tersirat di wajah dan juga kalimat Echa. "Terus buat apa diadakan pensi lagi, lagian mereka kan bakalan sibuk untuk persiapan ujian dan juga persiapan travelling ke Lombok nanti."
"Kamu benar Echa," Senyum kecil kembali tampak di wajah Bu santi, menyikapi kebingungan muridnya. "Sebenarnya pensi ini bukan hanya untuk kakak kelas kalian, tetapi juga untuk merayakan hari jadi kepala sekolah kita yang baru."
Semua mengangguk mengerti. Kecuali Shena, dia mengangkat tangan. "Tapi nanti saat hari jadi sekolah kita, tetap ada pensi juga kan, Bu?"
Wali kelasnya tertawa singkat. "Tetep ada dong Shena. Tapi itu kan masih lama."
"Dan satu lagi yang paling penting untuk disampaikan ke kalian." Telunjuk Bu Santi terangkat, tersenyum penuh makna. "Event pensi kali ini berbeda. Kita bukan mengadakan bazar setiap kelas seperti tahun-tahun lalu. Tapi event-nya adalah bakat setiap kelas masing-masing. Maksudnya, setiap kelas akan menunjukkan kemampuan yang mereka miliki. Minimal dua perwakilan dari kelas masing-masing."
"Kalian pasti tau bakat kelas kita apa," Tidak ada yang mengerti, semua anak mengerutkan kening. "Mengingat wali kelas kalian adalah guru musik, kalian pasti sudah menebak penampilan yang ingin Ibu tunjukkan di pensi nanti."
"Maksud Bu Santi kita sekelas akan menyanyi kayak paduan suara gitu?" tebak Retta.
"Antara benar dan tidak tebakkan kamu Retta," Mata Linzy menyipit menemukan senyum yang dia tidak mengerti artinya di wajah Bu Santi. "Benar karena kelas kita akan menunjukkan bakat menyanyi, salah karena bukan sekelas, Ibu hanya mengutus dua anak di pensi nanti."
Anak didiknya serentak terkejut. Lagi-lagi ide Bu Santi tidak pernah terduga.
"Yah..." Linzy menoleh pada Shena yang tampak lesu, padahal sejak tadi keceriaan jelas terpancar di wajah perempuan itu. "Kirain saya kelas kita bakal tampil drama musikal gitu, Bu."
Tangan Linzy sukses mendarat indah di kepala Shena. "Kebanyakan nonton drama lo!"
Shena hanya mampu mencebik sebal dan mengusap kepalanya.
Tawa Bu Santi berderai sesaat. "Awalnya Ibu memang mau dari kelas kita menampilkan itu, Shena. Tapi mengingat anak cowok yang susah diajak bekerja sama. Ibu berpikir ulang untuk rencana itu."
"Padahal saya mau lo, Bu." Justin bersuara, semua anak mengalihkan pandangannya. "Kalo Ibu tetap mau membuat drama musikal. Saya siap sedia, Bu jadi pangerannya."
Buku mendarat tepat di kepala Justin. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Zion, yang duduk di sebelahnya. "Pengeran, pangeran. Pangeran kodok maksud lo?"
Gelak tawa anak kelas menyambut riang. Hanya Justin yang merengut kesal. "Nggak pa-pa pangeran kodok, yang pentingkan akhirnya dapet ciuman juga."
"Serah lo Titin!" dengkus Zion.
Bu Santi kembali tertawa. "Tapi Ibu sudah memutuskan untuk merencanakan bernanyi berduet dari kelas kita, jadi drama musikal itu tidak perlu. Ibu ingin kandidat yang Ibu pilih nanti bisa berduet sambil salah satunya memainkan gitar akustik. Tidak perlu dijelaskan karena Ibu yakin kalian pasti mengerti."
"Kira-kira siapa yang di sini bisa bermain gitar akustik?" Bu Santi bertanya.
Namun, entah kenapa di bangkunya Linzy merasa Bu Santi hanya ingin berbasa-basi saja. Padahal dia yakin wali kelasnya itu sudah menyiapkan dua kandidat untuk pensi nanti.
Tanpa menunggu lagi semua anak kelas kompak menjatuhkan pandangannya pada Zion. Pengecualian untuk Linzy.
Merasa hawa-hawa tidak enak Zion mengalihkan topik. "Kenapa lo semua natap gue kayak gitu?! Gue tau gue ganteng, tapi nggak usah berlebihan juga kali ngeliatinnya!"
Ricky merespon lebih dulu seperti ingin muntah. "Najis! Kita semua ngeliatin lo karena di antara kita semua lo yang paling jago main gitar. Kepedean banget lo!"
"Ka," Zion tak peduli dengan perkataan Ricky, dia justru memanggil Erika, perempuan yang duduk di depannya. Erika menoleh. "Emang gue nggak ganteng ya?"
Senyum Zion merekah sempurna. Dagu terbelahnya tampak di sana. Tidak perlu menunggu, semburat merah menghiasi pipi Erika. Dia langsung berpaling, menghadap depan. Tidak mengatakan apapun.
"Yee ditanya!" respon Zion sedikit sebal.
"Zion?" panggil Bu Santi. Sontak lelaki itu tersentak. "Kamu salah satu kandidatnya."
"Hah? Apa, Bu?" Zion belum konek. Sebelum akhirnya sadar dan ingin menolak. "Tapi Bu, saya—"
"Nggak ada alasan nolak Zion, keputusan Ibu sudah final."
Diam, Linzy di bangkunya. Hawa tidak enak mulai merasuki. Ada sesuatu yang terasa janggal, terlebih sekarang Bu Santi tengah menjatuhkan iris tepat di tubuhnya.
Linzy berdeham, mengusir gelenyar aneh itu.
"Ibu tau semua anak kelas kita bisa bernyanyi, terlebih kelas kita selalu ikut serta dalam perlombaan paduan suara, ya walaupun di sekolah memiliki ekskul itu. Jadi Ibu sudah sangat tahu kemampuan kalian masing-masing." Bu Santi melangkahkan kakinya lebih dekat ke arah jejeran bangku anak didiknya.
"Karena itu, Ibu juga sudah menyiapkan kandidat kedua. Dia ...," Ibu Santi menggantungkan kata, langkahnya membawanya lebih dekat, hingga beliau berhenti di depan Linzy. "Kamu Linzy."
Poros otak Linzy mendadak terasa mati. Tak pelak seluruh uratnya ingin keluar dari tempat. Terutama urat matanya.
"Apa, Bu?!" Linzy tidak percaya. "Kenapa harus saya?!"
Zion di bangkunya membatu, merasakan sendinya terputus tiba-tiba. Apa Bu Santi bilang? Linzy? Linzy harus berduet dengannya?!
"Kenapa harus kamu?" Bu Santi justru bertanya balik. "Karena Ibu tahu kamu bisa bernyanyi." Melihat Linzy ingin angkat suara kembali, Bu Santi mencegah dengan melanjutkan perkataan.
"Itu udah keputusan final. Jadi Ibu harap kamu tidak membantah. Dan ikuti saja kemauan Ibu, Linzy." Senyum geli jelas terlukis di wajah Bu Santi. "Kamu dan Zion bertanggung jawab atas penampilan kelas kita. Lagipula itu hitung-hitung untuk membuat kalian akur dan tidak menciptakan keributan lagi di kelas. Melatih sikap kerja sama kalian. Iya, kan?"
Kepala Linzy menggeleng. Menjatuhkan tubuhnya pada sandaran kursi. Mulutnya masih ternganga seakan masih tak percaya dengan rotasi takdir yang menjebaknya. Apa Tuhan tengah menguji batas kesabarannya? Apa Tuhan tengah menguji hidup Linzy?
Sungguh, diceburkan bersama ikan-ikan piranha itu lebih baik dibanding dia seruangan bersama Zion. Apalagi hanya berdua. Arghh! Itu lebih menyeramkan dibanding apapun.
"Acara pensi itu masih tiga bulan lagi, jadi kalian berdua bisa menyiapkan diri matang-matang. Ibu akan pantau kalian di ruang musik setiap kali kalian latihan di hari rabu dan kamis, untuk hari lainnya kalian bisa berlatih di rumah kalian secara bergilir. Oke?"
Mata kiri Bu Santi berkedip pada Linzy. Rasanya sekarang dia tidak bisa menganggap Bu Santi adalah peri baiknya seperti dulu. Tetapi malaikat pencabut nyawa.
"Linzy dan Zion di satu ruangan yang sama dan cuma berdua," Shena menceletuk sambil tersenyum geli. "Kiamat udah!"
Retta menepuk pundak Linzy. "Sabarin aja, Zi. Mungkin udah jodohnya."
Shena dan Retta serentak tertawa. Seperti belati yang menusuk tajam Linzy memandang kedua sahabatnya. "Taiklah lo berdua!" desis Linzy tertahan.
Justru tawa kedua temannya semakin menggema.
TBC(05-06-18)
Danke
Aping💋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro