FF(8) ● Praduga Yang Salah
JAM istirahat telah habis sepuluh detik yang lalu, bel masuk berkumandang, mendorong siswa masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Koridor perlahan meninggalkan hening di ujungnya. Namun, di kelas XI-IPA3 itu kegaduhan jelas masih mendominasi. Enggan untuk memberi senyap sedikit pun.
Anak-anak kelas terlihat banyak yang mengobrol. Berbagi setiap obrolan yang tidak jelas ujungnya. Ada pun beberapa yang memiliki kesibukannya sendiri, seperti; memainkan ponsel. Namun, tidak seperti Linzy.
Perempuan itu terlihat sibuk mengaduk-aduk isi tasnya. Barang-barang di dalam tas bewarna pink itu berceceran di atas meja. Isi tempat pensil pun sudah berhamburan kemana-mana.
Retta, yang kebetulan duduk di samping perempuan berambut pirang itu, mengerutkan kening. "Lo nyari apaan sih, Zi?" tanyanya memandang mejanya yang ikut berantakan karena penjelajahan Linzy.
"Gue nyari pulpen gue, Ta," jawab Linzy, tanpa memandang Retta. Mata dan tangan bergerak bersamaan. Terlihat sibuk untuk diganggu.
Dahi Retta kian mengerut. Mengambil pulpen hitam di antara ceceran barang-barang sahabatnya. "Lha ini pulpen."
Sedikit menoleh, Linzy menggeleng. "Bukan yang itu," balasnya dan kembali dikesibukannya.
"Terus lo nyari pulpen yang mana?" Retta sontak jadi gemas. "Ini pulpen," tunjuk Retta pada pulpen kuning, "Ini pulpen." Retta kembali menunjuk pulpen-pulpen milik Linzy.
"Gue tau itu pulpen, Ta!" Linzy kesal. "Tapi gue bukan nyari pulpen yang itu!"
Di belakang bangku Linzy, Shena menceletuk, "Lo nyari pulpen lollipop lo?"
"Nah tuh tau!" Meski sedikit senang Linzy saat tahu ada yang mengerti kegusarannya. Namun, matanya masih enggan menyingkir dari hamburan barang-barangnya di meja.
"Lo tau kan pulpen itu kesayangan gue. Gue nggak mau sampe hilang." Linzy menghela napas. "Lo lihat nggak Shen?"
"Yee mana gue tau," Shena menjawab tak acuh. "Biasanya juga itu pulpen lo bawa kemana-mana."
Embusan napas lelah Linzy, menjadi awal tangannya berhenti mencari untuk sejenak. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi. Dia tidak ingin kehilangan pulpen lollipopnya itu.
Sungguh, pulpen lollipop itu segala-galanya bagi Linzy. Katakan saja Linzy lebay, dia tidak peduli. Salahkan saja dengan obsesinya terhadap barang apapun yang memiliki hiasan lucu berbentuk lollipop.
Sejak kecil apapun benda yang memiliki hiasan permen manis itu akan Linzy beli. Obsesi ini memang hampir membuat dia gila. Tapi dia menyukainya, terlebih melihat kamarnya dihiasi banyak ornament permen manis kesukaannya itu.
"Ah seriusan pulpen gue kemana?!" tanya Linzy gemas bercampur kesal. Kembali lincah tangannya bergerak mencari. Pulpennya itu lucu, bewarna-warni dengan memiliki penutup berbentuk lollipop.
"Ya udah sih, Zi," suara Retta terdengar lagi. "Beli aja yang baru kalo emang hilang."
"Lo itu nggak ngerti, Ta!" Linzy bersuara sambil membalikkan bukunya. Kali saja pulpennya itu terselip di lembaran buku pelajarannya. "Mbak penjaga toko, tempat gue beli pulpen itu, bilang kalo stock-nya tinggal satu, kalo mau beli banyak nunggu bulan depan."
"Zi," panggil Shena.
"Apa?!" ketus Linzy, menoleh malas pada Shena. "Kalo lo nggak ada niat buat bantuin gue mending diam aja!"
Bola mata Shena bergerak jengkel. "Nih gue baru mau kasih tau pulpen lo ada dimana!"
Iris kelabu Linzy berbinar. "Dimana?!"
Netra Shena bergerak ke pojok kelas, barisan kedua dari belakang. "Sama Zion."
Mengikuti sisi pandang Shena. Linzy memelotot. Refleks tubuhnya berdiri. Retta yang duduk di sebelahnya terkejut. Melihat Linzy yang melangkah cepat meninggalkan mejanya menuju pojok kelas. Keberadaan meja Zion.
Zion yang tengah memutar-mutar pulpen berbentuk lucu di tangannya. Sontak terkejut saat mejanya digebrak oleh tangan seseorang. Memandang si pelaku, Zion mendengkus. "Gue lagi nggak mau nyari masalah ya, Zi."
Kelabu Linzy seperti elang yang siap menerkam. "Tapi masalahnya lo emang udah nyari masalah duluan."
"Lo ngomong apaan sih," timpal Zion malas. "Masalah apa coba, gue dari tadi diam aja!"
Bahu Linzy naik turun. Dia merebut pulpen di tangan Zion, yang sontak menyentak cowok itu. "Ini pulpen gue!"
Kedua alis tebal Zion terangkat. "Pulpen lo?" tanyanya, namun bukan jawaban yang Zion dapatkan melainkan pelototan. "Ya kalo itu emang pulpen lo. Mana gue tau. Gue nemu itu di lantai tadi."
"Nggak usah ngelak lo!" Wajah Linzy mulai memerah karena marah. "Pasti lo nyolong di meja gue kan?!"
"Astagfirullah, Zi," Zion mengangkat tangan di dada, berpose alim. "Fitnah itu lebih kejam, daripada ngutang tanpa bilang di Mak kantin, jadi nggak boleh asal nuduh, Zi. Lagian buat apaan gue nyolong pulpen aneh kayak gitu."
Semua siswa kelas kompak menghentikan obrolan mereka. Mengalihkan pusat perhatiannya pada Zion dan Linzy. Telinga mereka seolah memang terpasang hanya untuk mendengar perdebatan kedua orang itu setiap hari.
"Terus kalo emang nih pulpen aneh! Kenapa lo ambil di lantai tadi?!" geram Linzy, mendengar pulpennya dibilang aneh.
"Ya gue ambil aja, kan lumayan buat irit isi pulpen gue," jawab Zion santai.
"Jadi lo pake?!" Makin meledak Linzy rasanya.
Zion mengangkat bahu tak acuh. "Sedikit."
Melihat keduanya terlihat tidak ada yang ingin mengalah, banyak teman kelasnya yang menghela napas lelah. Namun, tak ayal ada beberapa yang menyemangati mereka untuk meneruskan pertengkaran.
Bodoh ... bukannya mereka memisahkan kedua orang itu justru memperburuk suasana dengan sorakkan. Bahkan tak segan-segan ada yang bermain taruhan. Kira-kira di antara mereka berdua siapa yang akan mengalah lebih dulu.
"Woy lo berdua bisa diam nggak sih?!" Ricky, ketua kelas mereka angkat suara. "Dikit lagi Pak Herman bakal masuk kelas!"
"LO YANG DIAM!" bentak Zion dan Linzy serentak.
Sekejap itu Ricky mengikutinya. Bibirnya langsung terkatup. Sungguh, dia merasa harga dirinya menjadi ketua kelas yang disegani hancur seketika hanya karena bentakkan dua manusia aneh itu.
"Karena lo isi pulpen gue abis!" bentak Linzy kalap.
Zion memutar matanya malas. "Kok jadi salah gue! Mungkin emang isi pulpen lo tinggal dikit. Lagian gue cuma pake sebentar. Masa udah abis aja!"
Masih di tengah pergulatan mereka. Mendadak suara penuh semangat teman-temannya menghilang. Tidak ada yang bersuara. Menyisakan suara pertengkaran Zion dan Linzy lebih jelas di antara hening.
Mereka berdua masih adu bicara tanpa peduli dengan suasana kelas yang mendadak berubah mencengkam.
Semua anak serentak meringis. Melihat seseorang yang sudah berdiri di ambang pintu. Sebelum orang itu melangkah mendekati Zion dan Linzy.
Adu bicara Linzy dan Zion berhenti berganti dengan pekikkan yang menggelegar seisi kelas. Mereka berdua kompak memekik merasakan tarikan di telinganya masing-masing. Pelan-pelan keduanya menoleh. Setelah tahu siapa gerangan yang menjewer telinganya. Mereka meneguk air liur susah payah.
"Gimana perdebatannya? Seru?" tanya Pak Herman, guru biologi mereka. Tentu saja Linzy dan Zion hanya menyengir tanpa menjawab.
Gelak tawa teman kelas mulai terdengar mendominasi.
"Sudah berapa kali kalian bertengkar di waktu pelajaran saya?" Mata tua Pak Herman terhalang kacamata yang bertengger di hidung. Rambut yang mulai beruban di bagian kepala belakang dan pelontos di bagian depan menjadi tanda bahwa gurunya itu tipe pemikir.
"Enam ribu sembilan ratus enam puluh sembilan kali (6.969), Pak." Itu bukan Zion atau pun Linzy yang menjawab, melainkan Justin. Tentu saja itu jawaban yang asal.
Zion memelotot pada teman sebangkunya itu. "Harus banget jawabannya pakai tuh angka ajaib!"
Justin hanya menyengir. Sementara Zion semakin merintih kesakitan karena Pak Herman menarik telinganya bertambah kencang.
"Aaaaa sakit pak!" pekik Zion.
"Pak lepas dong, Pak. Sakit telinga saya Pak!" Linzy memelas.
"Saya harus menghukum kalian berdua karena sering kali menciptakan keributan di dalam kelas. Terlebih di dalam pelajaran saya!" Pak Herman memberi ultimatum. Tangannya bergerak melepas tarikan di telinga anak didiknya.
"Dihukum Pak?!" Zion dan Linzy sontak berucap bersamaan. Mata melebar, terkejut.
"Tapi kan, Pak. Zion yang mulai duluan bukan saya!" protes Linzy.
"Yee pantat kuda nil. Jelas-jelas lo duluan yang nyari masalah!" Linzy memelotot mendengar Zion mengatainya.
"Lo yang mulai duluan Bagong!" Linzy merasa tak terima. "Kalo lo nggak ngambil pulpen gue—"
"Berhenti!" Pak Herman kembali menyela. Saat tahu situasi yang akan membuat mereka berdua kembali adu mulut. "Kalian berdua saya hukum untuk mencabut semua rumput di taman. Sekarang!"
Kedua bola mata orang yang mendapat titah itu sontak saja melebar tak terkira. Mulut terbuka seakan tak percaya dengan hukuman yang diberi Pak Herman.
"Pak, tapi kan..." Linzy baru saja bersuara. Pak Herman kembali memotong.
"Tidak ada bantahan Linzy. Kalo kalian berdua ingin protes, saya tambahkan hukuman kalian dengan lari keliling lapangan sepuluh kali." Perintah Pak Herman sudah tidak bisa diganggu gugat. "Sekarang kalian ke taman, cabut rumput panjang di sana!"
Akhirnya Linzy hanya mampu mengembuskan napas lesu.
Dia menoleh pada Zion. Menatap tajam cowok yang sudah menjebaknya itu masuk ke dalam hukuman Pak Herman.
Sebelum berbalik keluar kelas bersama Zion menuju taman belakang, dia menyempatkan diri untuk menginjak kaki Zion. Yang sontak membuat korban injakkannya merintih kesakitan.
Warga kelas meringis melihatnya. Sementara Pak Herman hanya mampu geleng-geleng kepala.
°°°°
Kekesalan jelas terlukis di wajah Linzy. Bibir merah mudanya mencebik sebal. Tubuhnya dipaksa berjongkok sedangkan tangannya bergerak kasar menarik rerumputan panjang di taman belakang.
"Ini gara-gara lo ya, Yon!" Linzy mencabut rumput lebih banyak lalu dilempar pada Zion yang juga sibuk mencabut beberapa rumput.
"Lo bisa nggak sih sehari aja nggak nyalahin gue?!" Karena merasa kepanasan, Zion mulai terbawa emosi. "Itu juga karena lo! Kalo aja lo nggak nyari masalah duluan tadi, gue nggak akan kena hukuman kayak gini!"
"Gue nggak nyari masalah duluan ya!" Linzy bangkit berdiri, kesal karena cowok itu menyalahkannya. "Jelas-jelas lo yang nyari masalah duluan dengan nyuri pulpen kesayangan gue!"
Ikut bangkit berdiri, Zion melempar sembarangan beberapa rumput cabutannya karena kesal. "Gue nggak ngambil pulpen lo! Harus berapa kali gue jelasin!"
Tergerak tangan Linzy melipat di dada. "Mana ada maling ngaku!" cibirnya.
Zion mengacak-acak rambutnya yang memang berantakkan. "Maling emang nggak pernah ngaku, karena kebanyakan jadi korban salah tuduh! Seharusnya lo dengerin dulu penjelasan dari malingnya baru nuduh!"
Apa hubungannya coba?! Dengkusan sebal keluar dari indra penciuman Linzy. Telunjuknya teracung tepat di depan wajah Zion. "Tapi karena lo isi pulpen gue abis!"
Iris gelap Zion tak tahan untuk tidak bergerak jengkel. "Terserah lo, Zi, gue emang selalu salah di mata lo."
"Lo emang selalu salah!" geram Linzy tertahan. "Seharusnya lo pergi jauh-jauh, supaya hidup gue nggak selalu sial!"
Murka yang menghias di wajah Zion perlahan berganti dengan senyum manis yang bertengger. "Kalo gue pergi jauh dari hidup lo. Nanti lo kangen lagi sama gue."
Raut Linzy mengerut jijik. "Taiklah najis!"
Memutuskan untuk mengabaikan. Linzy kembali berjongkok, tak mengacuhkan seluruh sifat pede cowok di sebelahnya. Kembali ke kegiatannya. Linzy menarik malas rumput panjang yang ada di depannya.
Linzy mulai lelah. "Pak Herman kayak nggak ada ide buat ngasih hukuman yang lebih bagus aja!" dumelnya, Zion hanya melirik sekilas. "Di sekolah kan udah ada tukang yang ngurus taman. Jadi ngapain ngasih hukuman aneh begini?!"
"Masih mending dikasih hukuman cabutin rumput, dibanding lo disuruh cabutin uban Pak Herman," Zion menceletuki aksi mendumel Linzy. "Mau?"
Membayangkannya Linzy bergidik ngeri. Tentu saja dia tidak mau.
Kembali tekun tangan Linzy menarik semua rumput di sana. Sampai di detik tangannya itu berhenti fungsi, memandang sepasang sepatu tepat di depan matanya.
Posisi Linzy yang tengah menunduk dituntut untuk menengadah. Menemukan rok abu-abu yang berada di atas lutut dan seragam yang mencetak tubuhnya untuk terekspos lebih jelas. Sebelum wajah perempuan yang berdiri di hadapan Linzy terlihat.
Tahu siapa yang berdiri menghalangi arah pandangnya, bola mata Linzy bergerak jengkel. "Ngapain lo di sini?!" tanyanya ketus.
"Galak banget sih lo, kayak anjing tetangga gue!" Linzy memelotot mendengar dirinya disamakan dengan binatang rumahan itu. Sedang Cindy, perempuan di depannya tertawa. Sebelum menunjukkan wajah angkuhnya. "Gue ke sini bukan karena lo ya! Tapi gue mau ketemu sama cowok gue!"
Telinga Linzy tidak salah mengartikan bukan? Matanya terbelalak. "Cowok lo?"
Di taman belakang, di waktu jam pelajaran masih berlangsung tentu saja tidak ada orang yang datang ke sana. Kecuali Linzy dan Zion yang dihukum. Tunggu ... benang kusut di inti pikiran Linzy perlahan teruraikan menjadi satu kesimpulan. Kesimpulan yang membuat dia terperangah.
"Lo pacaran sama Zion?" Linzy sontak bangkit berdiri.
Bukan jawaban yang Linzy dapatkan, melainkan senyum yang bertengger di bibir Cindy. Kemudian dia melangkah mendekati cowok yang dia bilang adalah cowoknya. Linzy termangu, tidak bisa berkata-kata.
"Hai babe, aku bawain minum!" Suara lembut Cindy terdengar menelusup di telinga. Tangan perempuan itu mengulurkan botol minuman pada Zion. Tentu saja Zion langsung bangkit berdiri dan menerimanya.
"Thanks!" respon Zion pada kekasihnya. Sebelum membuka botol minuman pemberian perempuan itu dan meneguknya.
Tersadar, Linzy berjalan mendekati kedua sepasang kekasih itu. Langkahnya yang terkesan cepat, yang pantas saja menganggetkan Zion. Membuat lelaki itu tersedak.
"Kamu nggak pa-pa, Yon?" Cindy terlihat panik, mengusap punggung Zion.
Meresponnya, Zion mengangkat tangan bermaksud mengatakan jika dia baik-baik saja. Cindy mengalihkan arah pandang pada Linzy, memelotot kesal. "Lo apaan sih, Zi! Ganggu aja!"
"Lo beneran pacaran sama Zion?!" Tak peduli dengan drama lebay kedua orang itu, Linzy tetap mempertanyakan pertanyaan yang belum terjawab.
"Kenapa lo kaget gitu sih?" Senyum angkuh Cindy terangkat. "Lo yang ngirim foto gue sama Zion ke Laras pas kita berdua jalan di mall. Iya kan? Seharusnya lo nggak usah kaget lagi, kalo gue sekarang pacaran sama Zion."
Mulut Linzy ternganga. Sebelum tawa hambarnya meluncur. "Lo bego, hah? Lo pacaran sama mantan pacar sahabat lo?!"
"Kenapa nggak?" tanya Cindy, tangannya terlipat di dada. "Mereka udah putus kan, jadi itu nggak masalah dong."
"Cih ... lo bangga pacaran karena hasil nikung?! Gila!" ucap Linzy dengan nada mencibir.
"Lo yang gila!" sentak Cindy tanpa bisa dicegah. "Lo itu gak tau apapun, Zi. Jadi nggak usah banyak omong!"
"Nggak tau apapun lo bilang!" Emosi Linzy memuncak. "Jelas-jelas gue ngeliat sendiri lo jalan sama Zion di belakang Laras."
Cindy terkekeh tidak jelas. Sebelum dia menoleh pada Zion yang justru terdiam. "Kamu nggak jelasin yang sebenernya ke dia, Yon?"
Alis Linzy tertaut. Menjelaskan yang sebenarnya? Apa maksudnya?
Pandangan Zion bertemu dengan iris kelabu Linzy. Senyum kecil terangkat di wajah lelaki itu. "Buat apa? Lagian dia nggak akan peduli?"
"Maksud lo berdua apa sih?" Linzy tidak mengerti sekaligus kesal setengah mati. "Lo berdua udah ketahuan, jadi nggak usah berusaha berkelit. Jelas-jelas lo berdua salah!"
"Salah?" tanya Cindy tak percaya. "Kita berdua nggak salah, tapi Laras yang salah."
What the hell! Linzy ingin mencaci perempuan ini rasanya. Kentara saja mereka yang salah, lalu menyalahkan orang lain. Hebat sekali!
"Lo itu nggak tau apapun atau kurang nyari informasi selama seminggu ini, Zi?" Wajah angkuh Cindy tampak kembali. "Jelas-jelas Laras salah di sini, dia yang selingkuh di belakang Zion. Lo tau apa selama ini, hah?! Lo cuma ngeliat apa yang lo lihat terus narik kesimpulan tanpa cari tau dulu siapa yang benar."
"Gue emang jalan sama Zion di belakang Laras," Cindy mengakui. "Tapi apa lo tau di hari sebelumnya disaat Zion ngajak Laras jalan, tapi justru dia nolak dan lebih milih jalan sama Kevin."
"Kevin?" lirih Linzy dan terdengar oleh Cindy.
"Ya, Kevin, teman Zion di ekskul basket."
Linzy terdiam beberapa jenak. Sebelum semua penjelasan itu dia tepis. "Lo pikir gue segampang itu percaya."
"Woy udah-udah kenapa lo berdua nggak selesai-selesai debatnya." Zion angkat suara, berusaha mencairkan suasana panas di sekitar.
"Terserah lo! Lagian gue sama Zion gak butuh lo percaya atau enggak!" tekan Cindy sinis.
"Udah, Cin," Zion mengintrupsi. "Mending kamu ke kelas aja."
Cindy berpaling menatap Zion, senyum manis pun tersemat di sana. "Oke, aku balik ke kelas dulu, ya." Perempuan itu mengikis jarak lalu mendaratkan bibirnya di pipi Zion.
Sontak saja Linzy berpaling muka. Berdecih jijik dalam hati.
Lalu Cindy melangkah meninggalkan Zion, melambaikan tangan pada kekasihnya itu. Setelahnya hanya hening, Linzy terdiam. Zion di sampingnya pun tampak enggan berbicara lagi. Namun, entah kenapa bibir Linzy gatal untuk tidak berkomentar.
Dia tertawa singkat. "Kalo pun ucapan Cindy itu bener kalo Laras selingkuh di belakang lo, itu bagus bukan?" Zion menoleh mendengarnya. "Seenggaknya cowok kayak lo itu kena karmanya, karena suka main-main sama perasaan banyak cewek."
Kalimat Linzy justru mengundang senyum simpul Zion. "Karma?" tanyanya pelan dan terkekeh setelahnya. "Buat apa gue peduli? Hidup gue udah biasa ditinggalin bahkan dianggap nggak ada. Terus kenapa gue harus takut sama yang namanya karma?"
Perkataan Zion membungkam Linzy. Senyum manis yang bertengger di wajah lelaki itu berbanding terbalik dengan perkataan tajamnya.
Tepat saat itu, bunyi bel pergantian jam pelajaran terdengar. Waktu hukuman mereka selesai. Linzy melirik Zion sejenak, sebelum melangkah meninggalkan lelaki itu.
Tanpa menghilangkan senyumnya, Zion terdiam memandang punggung Linzy yang perlahan menjauh.
Lo nggak tau apapun!
TBC(29-05-18)
●●●●●
Part ini kayaknya panjang banget ya, maafkan wkwk.
Danke
Aping( ˘ ³˘)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro