FF(77) ● Sebuah akhir menuju awal
Aye-ayee udah diup again ;))
Minta vote dan komennya my luv💖🐎
°°°
EMPAT lolipop di atas nakas sangat kontras dengan warna sekitar yang serba putih. Dari dinding, seprai, pun horden, warna-warninya jadi tampak mencolok dan mendominasi. Seolah lolipop itu mimpi, yang diharapkan bisa terjadi seperti pelangi. Bukan sekadar angan, yang lenyap ditelan bumi.
Hari ini lolipop di bekas kaca bertambah menjadi lima. Menggenapkan jumlah hari yang lelaki itu pakai untuk berbaring damai. Tanpa peduli, hidupnya yang sudah diambang hidup atau pun mati. Sekitar tubuhnya terpasang alat yang hanya ilmu kedokteran yang mengerti.
Kehidupannya seolah bergantung pada tabung oksigen yang menangkup hidung. Kalau-kalau alat itu dicabut, bisa saja takdir membawanya kembali pada Tuhan. Dan ... melupakan rangkaian masa depan yang telah dia siapkan.
Lelaki itu bahkan masih memejamkan mata, tidak tahu jika ada seorang perempuan yang setiap hari datang menjenguknya. Berdiri di sampingnya, memakai pakaian hijau rumah sakit karena peraturan. Mengajaknya mengobrol walau suara monitor yang terdengar.
Lima hari berlalu, Zion cuma bisa berbaring kaku. Tidak tahu, jika orang sekelilingnya banyak berharap dan berdoa. Dia membuka mata dan kembali seperti sedia kala.
Zion yang terkenal jail. Zion yang ramai. Zion yang selalu tersenyum. Zion yang menciptakan semuanya penuh warna, seperti lolipop yang Linzy letakan setiap hari di nakas.
Dia senyum getir, menatap Zion yang tidak sibuk menjailinya, menggodanya hingga membuat pipinya merona. Selalu bertingkah tak terduga dan berhasil menciptakan tawa. Lelaki itu kini, sekali lagi Zion mengabaikan. Memilih tenggelam di tidurnya yang tenang.
"Hei," sapanya tanpa ada jawaban. "Lo gak bosen tidur mulu?" Ruangan cukup lega, sayangnya Linzy merasa sesak luar biasa. "Mata lo entar pegel, Yon diajak merem terus."
Suara monitor mendengung pelan tapi terdengar menusuk. Memporak-porandakan pertahanan yang tengah Linzy usahakan.
Kakinya gemetar hingga dia harus menarik kursi untuk mencegah dirinya terjatuh. Ternyata lima hari belum cukup mampu untuk membangun kekuatan Linzy membunuh kesesakan.
Termasuk rasa bersalahnya yang amat besar.
Melihat Zion yang harus terbaring di ruang ICU, menjadi alasan masuk akal kenapa penyesalan terasa menekan Linzy kuat-kuat. Mengikatnya di ruangan kosong dan gelap. Rasanya begitu sesak sampai tidur pun tak nyenyak. Matanya membuka nyalang setiap malam. Ditemani kesendirian, Linzy menangis penuh kepedihan.
Zion menderita di sini karenanya.
Karena dia mengorbankan nyawa hanya untuk melindunginya.
"Yon ..." Linzy memegang tangan Zion yang jari tengahnya terjepit alat. "Lo gak mau buka mata? Lo gak mau ganggu dan jailin gue lagi? Padahal hari pertama kita jadian, lo bilang ..." pertahanan Linzy tak kuat juga akhirnya. Mengalir lewat air mata. "Lo bilang ... bakal jailin gue terus, karena sekarang kita udah pacaran."
Bukan cuma Zion yang butuh tabung oksigen, Linzy pun membutuhkan karena dadanya yang terasa terjepit. "Bangun, Yon. Jailin gue, buat gue kesel kayak yang setiap hari lo lakuin!" Air matanya tak dapat berhenti. "Gue kangen tingkah gak jelas lo. Kangen gombalan receh lo. Kangen denger lawakan garing lo."
Linzy menangkup tangan Zion dipipinya. "Ayo, Yon bangun! Gue mohon ..." Kali ini dia tak mampu menyembunyikan isakannya yang pedih. Hatinya terasa tersembelih. Begitu perih hingga rasanya dia ingin keluar dari rasa sakit ini. "Gue mohon ... buka matanya!"
°°°°
Seperti sudah biasa, Retta dan Shena tidak kaget lagi melihat Linzy keluar ruangan Zion dengan matanya yang sembab dan meninggalkan jejak basah di pipi. Pandangannya tampak kosong saat mendaratkan diri di samping Retta, yang langsung Retta rengkuh tubuhnya.
"Gimana?" tanya Retta sambil mengusap bahunya. Shena yang berada di kiri sekadar diam.
"Masih sama," ucapnya getir. "Dia diam doang."
"Coba aja gue tau semuanya bakal gini," Shena bersuara dengan penyesalan besarnya. Kalimat yang sering kali dia ucapkan lima hari belakangan ini. "Mungkin gue gak akan jodoh-jodohin lo sama Lian, Zi."
"Karena lo gak tau, Shen. Gue juga bahkan masih gak nyangka kalo Lian kayak gitu," Retta mencoba menghibur. "Dibalik sikap baiknya, dia punya niat jahat yang gak pernah orang pikir bakal dia lakuin sebelumnya." Retta senyum. "Tapi ... inget kita gak bisa ngejudge dia. Dia punya alasan kenapa jadi kayak gitu. Jadi lupain aja, biarin polisi yang nanganin semuanya."
"Masalahnya ..." Shena ikut menangis. "Sikap baik Lian itu yang ngebuat gue berpikir kalo dia yang terbaik buat Linzy. Dia yang pantes buat Linzy, bukan Zion. Gue selalu jelek-jelekin Zion, selalu mikir dia pasti bakalan nyakitin Linzy. Makanya gue selalu nyindir kasar Zion supaya dia ngejauh dari Linzy, tanpa tau kalo dia beneran sayang sama sahabat gue."
Perkataan akhir Shena, membuat Linzy seolah ditikam berkali-kali. Dia makin terisak, yang tentu saja Retta dan Shena jadi kaget luar biasa.
"Zi!" Retta merengkuhnya lebih kuat. "Jangan kayak gini!"
"Jangankan Shena, gue yang bahkan deket sama dia," Linzy tersendat karena isakan. "Gak pernah tau kalo Zion sesayang itu sama gue. Dia ngorbanin nyawanya buat gue. Dia ... dia terluka karena gua!"
Linzy menekan dadanya. Sebelahnya Shena semakin menangis. Retta yang tengah berusaha untuk tidak ikut terlibat emosi, ujungnya runtuh juga. Air matanya mengalir di pipi.
"Kalian udah dong!" Retta masih berusaha yang paling tenang. "Lo juga Shen, jangan nangis gitu!"
"Gue kayak gini karena merasa bersalah banget sama Zion, Ta," Shena terisak. "Gue udah jahat banget sama dia. Setiap kali gue inget omongan yang udah gue pake buat nyindir dia, kayaknya gue orang yang paling jahat gitu!"
"Omongan lo emang pedes banget, Shen!" Retta tidak menutupi-nutupi karena memang kenyataan. Shena yang mendengarnya makin menangis. "Tapi ... lo gak tau waktu itu. Nah karena sekarang lo udah tau, berhenti nilai orang dari luarnya, karena kita gak tau hatinya kayak apa."
Shena mengangguk. Bergerak ikut memeluk Linzy. Mereka bertahan dengan posisi itu cukup lama.
"Berhenti nangisnya dong, Zi. Gue jadi pengin makin mewek." Lalu dia mengernyit saat mengeratkan pelukan. "Ini kenapa badan lo makin kurus ya. Lo makan kan?"
Makan? Tadi pagi Linzy sarapan, cuma harus dipaksa Clara dengan melempar ancaman. Jika Linzy menolak makan seperti ini terus, dia akan melarangnya datang menjenguk Zion. Tentu Linzy terpaksa menuruti walau perutnya enggan diisi.
Bagaimana bisa Linzy menikmati makanannya disaat Zion cuma bisa dapat asupan dari jarum infus.
"Gue kenyang, Shen." Linzy beralasan sambil melepaskan pelukan.
Shena ikut menjauh. Menghapus air mata di pipi. "Kenyang makan apaan? Angin!" sindirnya.
"Makan, Zi, nanti lo sakit." Retta mengingatkan. "Bunda cuma punya lo buat jagain Zion pas dia harus pulang ke rumah, contohnya kayak sekarang. Kalo lo sakit, siapa lagi yang gantiin Bunda."
"Emang," Shena mengangguk. "Lagian ya, Zi gak bagus banget kalo Zion bangun nanti ngeliat lo yang kurus kering, berasa pacaran sama nenek-nenek."
Linzy tahu Shena tengah memanasi-manasinya agar makan. "Gue males, Shen."
"Bodo amat, lo harus makan. Gue maksa!" Shena memelotot.
Retta geleng-geleng kepala sebelum tersentak karena ponselnya bergetar. Linzy menoleh, mengangkat alis bertanya.
"Dari Regha." Lalu dia menempelkan ponselnya di telinga. "Halo, Gha ..." seketika itu juga raut Retta berubah. Linzy tentu bingung bersama Shena. "Oh oke ..." Retta lalu mematikan sambungannya.
"Zi ..." Retta ragu. "Lian udah ketangkep."
°°°°
Kalau bukan mematuhi peraturan. Linzy rasanya ingin menghancurkan kaca di depan, yang menjadi penghalang dirinya untuk memberikan orang yang duduk di sebrangnya pelajaran.
Cukup dari senyum yang mengembang penuh kemenangan, Lian tampak tak menyesali perbuatannya yang keji. Hampir menghilangkan nyawa orang dan terlihat tak berdosa sama sekali. Cih! Cowok itu sudah seperti iblis.
Linzy mengepalkan tangan kuat, bertahan di batas kesabarannya yang sudah berada di tingkat akhir.
"Hai, babe," sapanya sambil senyum. Aura psikopatnya terasa menusuk. "Kamu kenapa? Beda banget hari ini. Lebih keliatan kurus dan mendung, kayak gak punya jalan tujuan pulang." Lian tertawa mengejek. "Oh ... kayaknya aku tau kamu kenapa, Zionnya kamu lagi berada di ambang kematian ya? Cuma tinggal tunggu Tuhan ambil dia dari kamu."
"JAGA MULUT LO!" teriaknya karena tak tahan. "Zion bakalan hidup. Kecelakaan yang lo buat itu gak berarti apa-apa. Zion bakal buka mata dan akhirnya, gue sama dia bakal ngetawain lo yang ada di penjara."
Senyum Lian lenyap diganti sorot menyeramkan. "Lo pikir gue bakal lama di penjara, tinggal tunggu waktunya gue keluar, Zi."
Linzy tersenyum menang kali ini. "Dan gue bakal pastiin kalo lo gak akan pernah keluar dari tempat ini. Lo lupa gue siapa?" Linzy tentu punya kartu asnya. "Gue cucu Dalfario, cuma dengan perintah, gue bisa buat lo busuk di penjara!"
"Jadi lo pake Marga heh?" Lian senyum kali ini. "Kita liat aja entar."
Muak oleh situasi dan enggan berlama-lama, Linzy bangkit berdiri, menatap Lian penuh benci. "Lo udah ngelukain Zion, jadi lo pantes dapet ini semua, Yan!" Setelahnya dia melangkah, meninggalkan tempat penjengukan tawanan itu dengan perasaan sedikit lega.
Setidaknya Linzy tidak perlu dihantui ketakutan karena Lian yang berkeliaran tanpa diketahui keberadaannya dan bisa saja melukainya diam-diam, dengan cara yang lebih mengerikan.
Linzy berjalan menuju parkiran saat langkahnya tiba-tiba berhenti.
"Kak Linzy."
Itu Zarlin yang datang bersama seorang pria paruh baya di sisinya. Tanpa berpikir, dia sudah bisa menebak keperluan apa yang membuat mereka datang ke sini.
"Hai, Zar." Sepertinya sudah sangat lama Linzy tidak bertemu Zarlin. Cewek itu jadi tampak makin kecil, dengan wajah muramnya. Bahkan ada sisa air mata yang tertinggal di sudut mata.
"Papa duluan aja, Zarlin mau ngobrol sama kakak ini." Papanya menatap Linzy lama berusaha tersenyum di wajahnya yang kusut. Linzy membalas dengan dengan hal serupa. Lalu beliau melangkah meninggalkan mereka berdua.
"Kakak mau ngobrol sama aku sebentar di kafe depan polsek?"
"Oke ..." Linzy tentu tak punya pilihan lain.
Kafe itu tidak terlalu jauh karena memang berada di pinggir jalan. Di meja pojok, Linzy dan Zarlin duduk ditemani minuman yang telah mereka pesan sebelumnya.
"Apa kabar, Zar?" Linzy mencoba basa-basi walau ada kecanggungan yang membentang.
"Kayak yang kak Linzy liat," Zarlin menunduk, memainkan kukunya. "Aku minta maaf ya kak, andai aku tau kak Lian kakak aku yang hilang selama ini, mungkin ini gak bakal terjadi."
Zarlin yang tidak tahu apa-apa, tampak jadi yang paling merasa bersalah. "Aku syok saat tau kalo kak Lian itu kakakku, lebih syok lagi saat dia ceritain semua."
"Kak Lian benci Mama Mayra. Dia bahkan bilang kalo rencananya hampir selesai, aku gak ngerti awalnya sebelum sadar kalo ini ada kaitannya sama kak Zion. Buru-buru aku langsung kasih tau kak Zion, mungkin kak Lian punya rencana jahat sama dia."
"Yang aku gak nyangka ... rencana kak Lian sebesar ini," Zarlin menitikkan air mata, lalu menghapusnya cepat-cepat. "Dia hampir ngelukain kak Linzy, yang parahnya dia ngelukain kak Zion sampe harus dirawat di rumah sakit. Aku minta maaf, kak."
Zarlin terisak. "Sebagai perwakilan kak Lian, aku dan papa bener-bener minta maaf."
"Nggak pa-pa, Zar." Linzy tidak tahu cara menenangkan, cuma sebatas mengusap punggung tangan Zarlin. Karena dia paham. Yang Lian lakukan bukan cuma berdampak pada diri cowok itu saja tapi juga keluarganya.
"Lo gak salah ... dan lagian masalahnya udah selesai. Maaf karena gue harus ngelaporin abang lo ke polisi, gue gak mungkin biarin dia ada di dunia luar setelah semua perbuatannya."
"Dia pantes dapetin itu," Zarlin tampak berusaha tersenyum. "Seenggaknya itu bisa jadi pelajaran buat dia karena kejahatan yang dia lakuin. Papa juga mutusin buat gak nyewa pengacara buat bebasin kak Lian. Papa ngebiarin kak Lian ngejalanin masa hukumannya sampe selesai dan saat dia keluar nanti, Papa bakal kirim kak Lian keluar negeri."
"Kak Linzy tenang aja," Zarlin berkata yakin. "Aku dan Papa bakal pastiin Kak Lian gak bakal ngelukain kak Linzy dan kak Zion lagi."
"Lo bakal pindah keluar negeri?" Linzy malah fokus pada kalimat itu.
"Kayaknya kak Linzy seneng ya aku pindah keluar negeri?"
"Eh ..." Linzy memelotot. "Enggak-enggak!"
Zarlin malah tertawa. "Aku cuma bercanda kak," Linzy lebih terbelalak lagi, Zarlin bisa bercanda ternyata. "Aku bakal tetep tinggal di sini sama Mama Mayra."
"Mama Mayra, ibu kandungnya Zion kan?" Linzy tahu karena wanita itu sering datang menjenguk. Walau secara langsung Linzy belum bertemu. "Dia sering dateng ngejenguk Zion. Kenapa lo enggak?"
"Mm ..." Zarlin bergumam bingung
"Lo gak enak sama gue?" simpul Linzy seperti tepat sasaran. "Santai aja kali. Gue gak pa-pa kok."
"Aku cuma ngerasa canggung aja gitu," Zarlin menikmati minumannya. "Tapi nanti sore mungkin aku bakal ikut mama jenguk kak Zion."
°°°°
Sore menjelang malam, Linzy menemani Friska di kursi luar ICU. Mengobrol yang diselipi beberapa cerita lama. Contohnya cerita Zion dari kecil hingga beranjak remaja. Dari semua cerita, Linzy seperti punya sudut berbeda untuk mengenali Zion.
Sejak kecil Zion tak pernah mempermasalahkan apapun. Menganggap semua masalah bisa selesai dengan canda dan tawa. Belajar dewasa sejak dini dan tak pernah meminta keinginannya untuk dituruti. Dia selalu berpikir positif terhadap semua masalah karena dia tahu Tuhan punya rencana lebih baik di depannya.
"Waktu itu, Bunda inget banget. Pas hari pertama masuk TK Zion ngeliat temen TK-nya gak sengaja jatohin tempat pensilnya di selokan," Ini salah satu cerita yang Bunda ceritakan. "Temennya itu nangis, bahkan mamanya berusaha nenangin tapi dia tetep nangis sambil nunjuk-nunjuk tempat pensilnya."
Selama bercerita, Bunda tampak menerawang dengan senyum. "Terus Zion tiba-tiba nanya gini 'Bunda Iyon kasih tempat pensil yang Bunda kasih gak pa-pa kan? Kasian dia nangis'. Setelah Bunda bilang iya, dia senyum dan keluarin tempat pensilnya itu buat kasih ke cewek kecil tadi."
"Cewek kecil?" Linzy salah mengira. "Jadi temennya Tk-nya itu cewek Bun?"
"Emang kamu pikir yang Zion tolongin itu cowok?" Friska tergelak, mengusap kepalanya. "Dia anak cewek, yang langsung senyam-senyum pas Zion kasih tempat pensilnya yang gambar robot."
Linzy berdecih dalam hati. Ternyata Zion sudah jadi playboy sejak kecil.
"Kamu gak pa-pa nemenin Bunda setiap malam? Emang Mama Clara ngizinin?" Setelah selesai bercerita semua kenangan lucu Zion, Bunda merangkul Linzy. Membuat Linzy bisa membaringkan kepala di bahunya, terkadang jika seperti ini Linzy bisa merasa tenang walau ada pedih yang datang.
"Malah Mama yang nyuruh Linzy buat ke sini, walaupun tadi ngelarang."
"Ngelarang kenapa?"
"Karena Linzy gak mau makan."
"Makan dong sayang," Friska mengusap rambutnya. "Nanti sakit."
"Dari kemarin Linzy juga gak liat Bunda makan," Dia mendongak. "Bener kan?"
Friska tertawa sebagai respon. "Kata siapa? Bunda tetep makan walau dikit. Bunda mau sehat supaya bisa jagain Zion. Linzy juga harus kayak gitu."
Linzy cuma bergumam akhirnya. Pelukan itu terpaksa terurai saat ada orang yang memanggil Friska. Berbarengan mereka menoleh untuk melihat Mayra yang datang bersama Zarlin.
"Mbak," Friska senyum sambil berdiri. Bercipika-cipiki sebagai salam pertemuan. Linzy ikut berdiri tepat Zarlin mencium tangan Bunda.
"Hai Zarlin!"
Linzy mengernyit. "Bunda udah pernah ketemu Zarlin?"
"Zion kan pernah bawa Zarlin ke rumah sebagai pacar."
"Iya ..." Linzy baru ingat soal itu.
"Oh ya Mbak," Friska tahu-tahu merangkulnya dengan senyum lebar. "Kenalin ... calon mantu aku, Mbak."
Matanya tentu melebar. "Bunda!"
Friska justru tertawa sambil memeluknya lebih erat. Zarlin pun tertawa. Mayra tersenyum. Berjalan mendekat dan membelai rambut pirangnya.
"Cantik," pujinya. "Kalo mantu kamu, berarti dia mantu aku juga kan Fris?"
Friska tersenyum lebar. "Pastinya Mbak."
°°°°
Ini nyata atau mimpi. Linzy kebingungan menatap sekeliling. Melihat gedung sekitar yang menjulang megah.
Dia mendongak. Langit tampak gelap dengan bintang yang menebar tak beraturan. Bulan pun terlihat lebih besar dari biasanya.
Gedung yang menjadi tempat Linzy berdiri sekarang tentu tak asing. Ini tempat yang Zion kenalkan. Awal semua cerita menyedihkan, yang Linzy ketahui. Setiap cerita yang mereka bagi selalu tertinggal di sini.
Dari kenangan manis, pedih, dan tragedi sebelum kecelakaan. Tempat ini menjadi saksi bisu semua memori.
Tapi ... suasananya begitu getir. Membuat bulu kuduk merinding tanpa adanya kejelasan. Linzy memeluk tubuhnya karena dingin sekitar yang terasa aneh. Udaranya sejuk tapi juga terasa menusuk.
Linzy masih berusaha mengerti situasi. Berpikir buat apa dia di sini, saat dia justru tiba-tiba tersentak mundur melihat Zion yang duduk di sofa usang.
Linzy menangkup mulutnya syok. Yang Linzy lihat pasti salah. Zion masih ada di rumah sakit, terbaring bersama alat-alat medis. Dan tentu mustahil jika Zion bisa berdiri dan berjalan mendekat seperti sekarang.
"Hai," Zion tersenyum. Linzy speechless luar biasa. Melihat senyum yang sudah tak pernah dia lihat lima hari ini.
"Yon ..." Linzy meraba wajah Zion yang dingin, begitu terasa nyata di kulit. "Gue mimpi kan? Lo udah bangun?"
"Gue emang udah bangun, Zi." Zion mengusap rambutnya, mengundang rasa haru yang membuat Linzy menjatuhkan air mata. "Tapi sekarang gue mau pamit."
"Pa-pamit?" Linzy tiba-tiba merasa ganjal.
"Iya ..." Zion melangkah mundur. "Gue pamit ... jaga diri baik-baik ya. Jangan nangis terus, gue yang dengernya tambah sakit."
"Yon!" Linzy berteriak saat Zion terus menjauh dengan mata tetap fokus padanya. "Lo bercanda kan?!"
Yang cowok menggeleng sambil senyum. Linzy menjerit, menangis, dan meronta di sana. Tapi Zion mengabaikan sebelum Linzy merasa hidupnya lenyap dalam sekejap saat Zion melompat dari atas gedung.
"NGGAK!"
Linzy terbangun dengan napas tersengal. Keringat bercucuran. Jantungnya seperti merosot hingga dasar.
Dia menatap sekeliling, bernapas lega saat sadar jika dia ada di kamar. Beruntung itu cuma mimpi, yang walau tampak begitu nyata. Dia menatap tangan kirinya lalu merasa sesak, mengingat dia sempat membelai Zion di dunia mimpi.
Dia menggeleng, mengabaikan rasa aneh yang tiba-tiba menyergap. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan pagi, ini saatnya Linzy bersiap-siap untuk datang ke rumah sakit. Meletakan lolipop ke tujuh yang berarti sudah seminggu Zion menjadi pangeran tidur.
Sebelum itu dia mengecek ponselnya yang mati karena kehabisan baterai. Mengisi dayanya lalu menyalakan. Tapi saat melihat banyak panggilan tak terjawab, Linzy tentu mengernyit heran.
Apalagi itu ternyata dari sepupunya yang menyebalkan.
Bukan ...
Bukan cuma Regha yang berusaha menghubunginya. Bahkan ada pesan singkat dari Retta yang bertanya dia ada di mana. Setelah menelponnya berkali-kali.
Jantungnya berdebar-debar tanpa alasan. Firasat buruk mulai datang dan terasa tak mengenakan. Linzy menggeleng, berusaha tenang saat menelpon Regha.
"Halo, Gha ..." Tak lama panggilannya terangkat. "Kenapa nelepon gue?"
"Zion ..." Mendengar gumaman pelan Regha, keresahannya makin tak terkendali.
"Kenapa Zion?" Tanpa sadar, Linzy sudah gemetaran ketika bertanya. "ZION KENAPA?!"
"Sori, Zi ... Zion ... dia ..." Setelahnya panggilan terputus tiba-tiba. Linzy terbelalak. Menelpon Regha berkali-kali yang sayangnya cuma operator yang menjawab.
Linzy memegang ujung meja, menjaga keseimbangannya yang hampir hilang. Dia belum siap untuk kemungkinan buruk yang akan terjadi.
●●●●●
Masalah Lian dan Zarlin udah selesai. Tinggal Zionnya nih, suruh bangun, Zi ... ;((
Tinggal satu part hmm :')
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro