FF(76) ● Menuju Akhir Kisah
Tarik napas buang tarik napas buang wkwkwk.
Siyaap buat part ini? Vote dan komen jangan lupa. Luuuuvvv
°°°
One years ago ...
SELAIN hari senin, hari pertama mos juga menyebalkan. Setelah liburan panjang, bangun pagi itu terasa memberatkan. Akibat terlalu sering meniru kelelawar; pagi tidur, malamnya begadang.
Pantas jika pagi ini cowok yang masih memakai seragam SMP asal sekolahnya itu tampak memejamkan mata di warung belakang sekolah barunya.
Bel masuk belum berdentang. Nanti pukul setengah tujuh barulah anak-anak terburu-buru masuk ke kelas sebelum disuruh ke lapangan. Berbaris mengikuti perintah sang osis. Cih! Itu yang banyak tidak suka, berdiri di tengah lapangan hanya untuk mendengar petuah.
Kalau petuahnya penting. Terkadang nasehat yang diberikan sering diulang-ulang.
Bukan cuma cowok yang memakai hoodie hijau itu yang berada di warung belakang, ada juga anak lain yang nongkrong menunggu bel masuk. Lebih banyak berasal dari sekolah yang sama dengan lelaki itu, karena kebetulan warung ini markas anak SMP asalnya, yang tidak jauh dari sekolah SMA.
"Yon!" Suara berat cowok terdengar, menyentak alam mimpi cowok yang menggantungkan name tag di lehernya itu. Asal sekolahnya tertulis jelas, tercetak di bawah nama; Falzion Herlangga.
Yang dipanggil 'Yon' atau lengkapnya Zion, mendongak pada Niko, temen SMP-nya, yang tahu-tahu datang merusak tidurnya yang nyenyak.
"Apa?" tanya malas.
Niko mendorong Zion di kursi panjang, yang dia pakai tidur tadi, untuk memberinya ruang untuk ikut duduk. "Gue denger," mulainya. "Lo putus sama Nancy?"
Pembahasan itu! Zion memutar matanya malas.
"Kenapa putus?" Niko tidak peka atau bego. Dari raut Zion saja, tampak jika dia enggan membahas.
"Biasa." Zion tidak menjelaskan lebih banyak karena tahu Niko pasti paham.
"Bosen?" Benarkan!
"Lo tau gue Nik!"
Niko berdecih. "Kasian anak orang bego! Noh nangis-nangis di kelasnya, entar kalo Pembina osis nanya gimana. Runyam entar!"
"Kenapa dia harus nangis?" Zion tersenyum. Senyum yang selalu tampak jika dia mendengar para cewek yang diputusinya mengeluarkan air mata. Rautnya terlihat senang sekaligus seram di waktu yang sama. "Dia seharusnya udah tau konsekuensinya jadi pacar gue."
"Suka kebiasan emang nih anak kambing!" Niko mengomel walau tahu Zion kepala batu. Pasti tidak akan didengar. "Kena karma lo entar. Sekalinya lo suka sama cewek, ceweknya malah gak suka sama lo!"
Zion tampak muak. "Bacot lo Nik," Benar perkiraan Niko jika Zion pasti pura-pura tuli. "Baru mau tidur gue!"
"Siapa suruh tidur malem. Cuma orang bego yang begadang, padahal tau besok mau sekolah!"
Zion lagi-lagi mengabaikan. Berdiri lalu menudungkan kepalanya dengan hoodie yang dipakai. Hendak balik ke sekolah. Bersiap untuk hari mos pertama. "Udah ah gue mau ke kelas!"
"Eh bentar, Yon!" Zion masih tetap melanjutkan langkah. "Itu telapak tangan lo kenapa lecet gitu?" Cuma sesaat Zion tersentak dan menghentikan langkah.
Dia menoleh, mengangkat senyumnya yang lebar. "Jatoh dari motor." Setelahnya dia pergi.
Zion sudah keluar gang tempat warung itu berada. Sekolah SMA-nya berada tepat di seberang. Dia menengok kanan-kiri, hendak menyeberang saat dia justru membeku di pijakan.
Kalian pasti tahu saat tiba-tiba berada di situasi tak bisa berpaling. Titik fokus kalian seolah terambil seluruhnya.
Dan ... Zion mengalami itu hari ini. Untuk pertama kalinya, dia merasa waktu seolah mati bersama bumi yang berhenti berotasi.
Apapun di sekitar seakan tak menarik lagi di mata Zion selain cewek di depan gerbang itu. Tangannya tergenggam lolipop yang sudah digigitnya setengah. Dia keliatan bingung, menengok kanan-kiri, seperti ada yang dicari.
Yang lebih menarik perhatian Zion adalah rambut pirangnya yang terkibas kebawa angin. Jantungnya tahu-tahu berdetak melebihi ritme, tentu menganggetkannya sebagai pemilik.
"Sadar, Yon!" Dia menepuk pipinya beberapa kali. "Gak usah ngeliat sampe segitunya!" Tapi matanya berkhianat, Zion justru makin terpana. Bahkan senyumnya terangkat tanpa alasan.
Sepertinya Niko tidak perlu menunggu waktu lama untuk perkataannya menjadi kenyataan. Karena mungkin hari ini, Zion sudah lebih dulu merasakan.
°°°°
Berapa lama Jakarta dia tinggalkan? Sepertinya sangat lama karena Linzy merasa asing dengan semua. Baru seminggu dia beradaptasi, melihat kota kelahirannya tampak berbeda setelah tiga tahun, dia pergi.
Saat lulus SD, Linzy mendaftar sekolah SMP di Bali karena papanya yang membuka cabang perusahaan di sana. Lalu saat Linzy telah lulus, orang tuanya memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Mendaftarkan Linzy di sekolah yang sama dengan sepupunya agar dia tidak sendirian.
Dan sekarang, dia tengah menunggu sepupunya itu di luar gerbang. Dia bingung melihat sekitar, tidak ada yang dia kenal. Mau mengajak berkenalan, tapi Linzy masih terlalu baru untuk mendapatkan teman.
Banyak di antara mereka yang lebih memilih berkumpul dengan teman sekolah lamanya.
Kelas sudah dibagikan, kertasnya tertempel di mading. Linzy belum mengecek dan maunya menunggu sepupunya dulu.
Saat sebuah mobil berhenti di depannya. Linzy tersenyum lebar karena tahu siapa pemiliknya. Regha, sang sepupu keluar dari sana bersama name tag yang tergantung di leher.
"Lama!" omelnya langsung. "Gue nungguin sendirian di sini, Gha!"
"Siapa suruh!" Regha balik mengomeli. "Gue udah ngajak lo berangkat bareng ya! Lonya malah nolak!"
Linzy cemberut. "Itu kan karena Papa mau nganter gue. Kesempatan yang mungkin gak bakal dateng dua kali, pantes dong gue lebih milih nolak lo!"
Sepupunya tertawa lalu merangkulnya masuk ke dalam gerbang. "Iya-iya," Beriiringan mereka berjalan ke arena sekolah. "Udah tau lo di kelas mana?"
"Belom." Linzy menggeleng. Mengabaikan tatapan demi tatapan terlempar pada mereka. Mungkin tepatnya para cewek yang menjadikan sepupunya pusat perhatian. Dari tatapan iri, penasaran dan memuja berlebihan, mereka menatap Regha yang makin tampan dengan sweater hitam.
Di depan mading melingkar kerumunan siswa. Tujuan mereka sama, mencari namanya tertera di kelas mana. Regha tersenyum sopan pada kerumanan untuk memberinya ruang. Cuma senyum padahal tapi dampaknya luar biasa. Mendadak padatnya orang membelah, membentuk jalan.
"Ganteng banget!"
"Main gue kayaknya kurang jauh sampe gak pernah liat cowok seganteng itu!"
"Lesung pipitnya itu anjir gak nahan!"
"Itu ceweknya ya?"
Perkataan mereka terlalu keras untuk disebut bisikan. Linzy bisa mendengar jelas. Berusaha tuli dan tak peduli.
Linzy menelusuri kertas satu-persatu.
"Zi ... udah ketemu belom?"
Pertanyaan Regha Linzy jawab gelengan. "Lo udah?"
"Udah," Regha mengangguk. "Di kelas IPA4."
"Ihh," rengeknya. "Gue belom, cariin!"
"Nama lo siapa emangnya?" Seorang cewek dengan mata sipitnya tahu-tahu menoleh pada Linzy. "Gue bantu cari."
"Mm ..." Linzy tentu saja kaget. Dia bergumam gugup. "Felinzy Lavira."
"Ohh kayaknya gue tadi liat deh," Cewek itu kembali menatap tulisan yang tercetak di kertas. Linzy dan Regha cuma saling pandang. "Nahkan bener! Ini-nih. Lo sekelas sama gue!"
Dia menatap Linzy lagi, kali ini dengan senyum bersama uluran tangan. "Shena Kirana. Panggil aja Shena."
Linzy menerima uluran itu canggung. "Linzy."
"Lo ada keturunan luar?" Shena bertanya, yang Linzy angguki. "YA AMPUN! Pantes! Gue pikir lo cat rambut lo biar pirang," dia tergelak. "Gila sih, gue bakal punya temen bule!" Detik itu juga Linzy tertawa mendengarnya.
Melihat pertama kali saja Linzy bisa menebak jika Shena adalah teman yang menyenangkan. Dia tampak heboh oleh berbagai hal.
"Oh ya ... dia siapa?" Mereka keluar dari kerumunan dan Shena menunjuk cowok yang berdiri di sampingnya.
"Dia ..."
"Pacar lo ya?" Belum sempat Linzy menjelaskan, Shena memotong heboh. "Wah! Ganteng banget cowok lo! Nemu dimana?" bisiknya, memandang Regha naik-turun.
"Eh ... bukan!"
"Bukan pacar?" Shena memotong lagi. "Friendzone? Sedih amat."
"Ih ..." Linzy gemas, Shena jadi tergelak. "Dia sepupu gue." Dan cewek sipit itu pun cuma bisa beroh panjang. Lalu mengajaknya menuju kelas.
°°°
Hari pertama mos sangat melelahkan. Setelah mendengar rentetan kata yang Pembina Osis ucapkan, ternyata penderitaan itu belum selesai. Semua anak masih disuruh berdiri di tengah lapangan dengan telinga terpasang lebar-lebar.
Cih! Ini menyebalkan!
Linzy ingin cepat-cepat pergi dan mengistirahatkan kaki. Apalagi kepalanya yang terasa terpanggang di bawah matahari. Telinganya jadi tuli, petuah panjang itu cuma masuk telinga kanan dan keluar di telinga kiri.
Seperti anak kurang kerjaan, dia memainkan kakinya. Memutarnya lalu menggosok-gosokan ujung sepatunya di tanah.
Namun, mendadak dia berhenti melakukan kegiatan tak berfaedahnya itu. Merasa seperti diawasi. Dia bukannya kegeeran, cuma terkadang sudut mata terlalu peka saat diperhatikan diam-diam.
Dia menoleh dan ... ternyata tidak ada.
Semua anak tampak sibuk oleh kegiatannya sendiri. Termasuk anak cowok kelasnya yang sibuk mengobrol di sampingnya.
Dia menunduk merasa aneh. Padahal dia yakin ada yang memerhatikan, bukan sekadar perasaan.
Oke ... mungkin itu cuma perasaannya saja. Linzy tak mau memikirkannya lagi dan memilih mendongak. Sekarang kepala sekolah yang tengah berbicara.
Bentuk terakhir penderitaan di lapangan, cukup menggembirakan. Linzy tersenyum melihat ribuan balon itu terbang bersama spanduk bertuliskan 'selamat datang para peserta didik baru'. Tampak indah dengan warnanya yang berbeda, menjauh menuju langit pagi yang cerah.
Apalagi saat Pembina OSIS mempersilahkan untuk beristirahat. Linzy tersenyum makin lebar.
Shena yang berdiri di depan Linzy sejak tadi menoleh. "Ayo ke kantin!"
"Lo duluan deh, gue mau ngambil uang. Ketinggalan di tas!"
"Oh oke, gue tungguin di sini. Entar lo nyasar lagi!" canda Shena.
"Apa sih! Enggaklah!" Linzy tertawa lalu beranjak pergi ke kelasnya.
Lorong bawah tampak padat oleh peserta didik baru. Seragamnya tampak mencolok karena berbeda-beda sesuai asal sekolahnya. Di kursi panjang luar kelas, banyak anak cewek yang mengobrol, berkerumun. Anak lelakinya kebanyakan bercanda, berlari-lari di lorong seperti kurang kerjaan.
Di tas bagian depan, Linzy mengambil uangnya. Lalu tersenyum saat mengangkat permen manis kesukaannya dalam tas juga.
Dia keluar pintu dan berjalan santai sampai tak lama dia terdorong dan lolipopnya terlepas dari tangan.
Dia mendongak marah. "Woy! Hati-hati dong!" teriaknya pada cowok yang sudah berlari menjauh, bermain lari-larian bersama temannya yang mengejar di belakang. "Anak kurang bahagia pas kecil emang suka gitu. Main gak kenal tempat!"
Dia mendumel kesal, hendak mengambil lolipopnya yang jatuh saat justru lolipopnya lebih dulu terulur. Linzy diam sesaat sebelum mengambil miliknya.
Tepat ketika dia mendongak cowok yang memakai hoodie hijau itu sudah buru-buru pergi. Padahal Linzy ingin berterima kasih.
Melihat punggung cowok itu yang menghilang di ujung koridor, Linzy akhirnya cuma mengedikan bahu enggan memikirkan.
Besoknya, di hari kedua mos Linzy hampir terlambat. Alarm kamarnya mati mendadak, ditambah semalam dia mendengar keributan yang merusak jam tidurnya. Orang tuanya lagi-lagi bertengkar, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan.
Linzy buru-buru turun dari mobil, berlari menuju gerbang yang padahal masih terbuka lebar. Saking terburunya, dia tidak sadar ternyata tali sepatunya lupa diikat. Karenanya, dia tersandung jatuh dan dengkulnya langsung mendarat di aspal.
Dia meringis perih. Saat mau berdiri, ada tangan yang lebih dulu terulur di depan wajah. Tak pelak, Linzy mendongak hanya untuk dibuat bingung karena orang itu memakai hoodie yang sama dengan orang kemarin.
Kepalanya lagi-lagi tertutup tudung hoodie, tentu Linzy jadi sulit melihat wajahnya lebih jelas.
Linzy menerima ulurannya dan cowok itu langsung membantunya berdiri. Lututnya ternyata terluka dan mengeluarkan darah walau tak banyak.
"Maka ... sih," Di ujung suara Linzy memelan karena yang cowok untuk kedua kalinya sudah pergi meninggalkannya. "Aneh banget sih tuh cowok!" gumamnya bingung.
°°°°
Hujan masih jatuh membasahi permukaan. Meski tidak sederas tadi, tetap saja angin sekitar masih mengiringi kencang. Saat malam area taman cukup sepi dan tenang. Cuma ada beberapa orang yang berteduh di tempat duduk dilindungi sebuah payung yang terbuka lebar.
Salah satunya Zion dan Linzy.
Duduk di kursi dengan payung yang menaungi, yang cewek bercerita panjang lebar dan cowok cuma mendengarkan sambil tersenyum. Sesekali mengusap kepalanya lembut, yang justru berdampak pada pipinya.
"Jadi ... orang yang berhoodie hijau itu lo!"
Zion yang duduk di sampingnya mengangguk.
Selama ini Linzy tak terlalu mau memikirkan. Berpikir jika itu semua hanya kebetulan. Begitu saja dia melupakan, tanpa tahu ternyata cowok yang menolongnya dua kali itu adalah cowok yang mengangguminya diam-diam.
Yang lebih mengejutkan karena cowok itu Zion, yang diawal berkenalan saja Linzy tolak uluran tangannya. Zion cowok menyebalkan. Yang menganggunya, menjailinya hanya untuk mendapatkan sebuah perhatian, agar mereka menjadi lebih dekat.
Tingkat kepekaan Linzy ternyata seburuk ini, dia tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Cara pendekatan Zion juga sangat buruk, kenapa harus dengan menjailinya, kenapa tidak seperti yang cowok kebanyakan lakukan.
"Gue suka jailin lo," dia mencubit pipinya. "Imut sih."
Linzy memukulnya salah tingkah. "Lo jail gitu malah buat gue kesel. Gimana bisa lo pake buat pdkt?!"
"Gak usah pdkt lagi lah," Yang cowok tersenyum penuh arti. "Kan udah jadian. Sekarang gue bisa jailin pacar gue setiap hari."
Meski memukul Zion lagi, tak ayal Linzy tersenyum lebar dengan pipi merona. Melangkah ke ingatan beberapa jam lalu saat Zion memintanya menjadi pacar. Tidak romantis memang, menyatakannya di pinggir jalan apalagi tengah hujan.
Oh ... ralat mungkin hujan bisa jadi pemanis perkataan tadi.
Linzy tersentak tak percaya. Meski sudah mengetahui semua, dia tak pernah berpikir jika Zion akan langsung menembaknya.
"Tapi ... Zarlin?" Ini yang membuat Linzy ragu untuk mengiyakan.
"Gue sama dia udah putus. Milih jadi abang dan adik tiri yang baik aja."
Keraguan itu terhapus sudah. Linzy senyum lebar, menjawab permintaan Zion dengan sebuah pelukan.
Kalau diingat lagi, Linzy jadi malu sendiri. Bagaimana bisa dia sefrontal tadi. Yang membuat Zion menjadikan hal itu untuk bahan jailan, meledeknya tanpa henti.
"Walaupun lo sama Zarlin saudara," Linzy membuka suara lagi. "Tapi itu kan cuma tiri, kalo lo mau, lo tetep bisa jadi pacar Zarlin."
"Itu emang gak masalah. Yang jadi masalah ..." Zion menekan pipinya hingga bibirnya menekuk. "Gue sayangnya sama cewek yang gue cubit sekarang." Masih dengan posisinya, dia menatap Linzy lama. Sebelum melepaskan dan geli sendiri.
"Lo tau gak sih, gue kayak cowok alay yang mau teriak saking senengnya!" Zion mengernyit geli. "Sumpah baru kali ini, gue ngerasa jijik sama diri sendiri."
"Saking senengnya kenapa?"
Zion mendengkus malas. "Ya karena jadian sama lo lah. Mikir lo jadi milik gue sekarang, buat gue kesenengan kayak orang gila!" Yang cowok asal ceplos, tanpa tahu yang cewek sudah dibuat merona untuk kesekian kalinya.
Linzy menunduk dengan senyum yang diam-diam terukir. Andai Zion tahu, jika Linzy juga merasa hal yang sama. Perutnya melilit karena bunga-bunga yang membuncah. Bahkan jantungnya tak ada hentinya meronta. Definisi bahagia yang tak pernah dia rasa sebelumnya.
"Gue mau nelpon Arven dulu." Zion mengeluarkan ponselnya yang dia simpan di tas selempang Linzy.
"Buat apa?"
"Nelponin orang bekelnya buat bawa motor gue," dia menempelkan ponselnya ke telinga. "Sekalian minta jemput, gak mungkin kan kita di sini sampe pagi."
"Gak usah," Linzy menolak. "Orang bengkel aja yang disuruh ambil motor lo. Kita naik taksi aja pulangnya, pas ujannya berhenti."
"Oke," Zion senyum. "Rumah bunda?"
Linzy tersentak sesaat lalu memilih ikut saja.
"Arven kemana sih?!" Zion tampak kesal karena panggilannya tak diangkat. Linzy memilih diam sambil memerhatikannya dari samping. Membiarkan jantungnya bergerak dengan menggebu-gebu. Kalau hati bisa berbicara, mungkin sekarang dia akan berteriak saking senangnya.
Sayangnya, mulut yang harus menjadi penyalur. Linzy tentu tidak mau jadi tampak bodoh. Memilih mengunci bibirnya yang padahal gatal untuk mengeluarkan semuanya.
Mungkin ... saat pulang nanti dia akan bercerita semua pada Retta.
"Ini-nih ..." Zion tiba-tiba menoleh. Dia menunjuk kedua matanya, Linzy tersentak. Lalu melanjutkan, "Yang buat gue makin gila karena lo liatin terus dari tadi. Udah ya ... kalo nambah sayang kan, lo yang ribet entar. Gue jadi gak mau ngelepasin lo!"
°°°°
Hujan sudah berhenti. Telepon Zion sudah diangkat oleh Arven dan katanya orang bengkel akan menjemput motor Zion yang dia titipkan di warung pinggir jalan tadi.
Linzy melepaskan sweater dari tubuhnya. Zion yang menyuruh, karena basah sweaternya jadi berat. "Emang sama ibu warungnya gak pa-pa motor lo dititip di sana?"
Mereka kini tengah menunggu taksi di pinggir jalan. Hari sudah makin larut. Jalanan sudah tampak sepi oleh kendaraan. Cuma beberapa yang melintas.
Toko pun sudah banyak yang tutup kecuali yang buka 24 jam. Cuma kafe yang masih tampak ramai, kebanyakan anak muda seusinya yang nongkrong, mengingat hari libur.
"Kata ibunya gak pa-pa, lagian entar pagi bakal diambil," Zion menoleh kanan-kiri. "Taksinya mana sih?"
"Mesen taksi online aja?" sarannya.
"Kalo mesen taksi online, terus tau-tau taksi lewat, gimana? Ujungnya nunggu juga."
Yang cewek cemberut, berjongkok karena lelah berdiri.
Tak lama matanya berbinar saat melihat sesuatu di seberang. Dia berdiri girang. "Yon gue mau jagung bakar!" dia menunjuk gerobak yang menarik perhatiannya. "Lo tunggu sini ya, gue mau beli."
Saat Linzy hendak menyebrang, Zion menahan. "Gue aja yang beli, tunggu sini!"
"Gak usah." Linzy menolak.
"Nggak pa-pa." Zion tak mau mendengarkan bantahannya, menyebrang saat tidak ada kendaraan yang melintas.
Linzy langsung mengangkat tangan dua jari saat Zion sudah memesan di seberang.
"Gue mau dua jagungnya!" teriaknya yang membuat Zion memelotot dan mengangkat satu jari.
Linzy ikut memelotot. "Gue mau dua!" Lewat jarinya dia mengkode.
"Satu!" Linzy bisa membaca kata itu dari bibir Zion.
Yang cewek cemberut. Berbeda dengan cowok yang justru tergelak. Tampak senang menjaili.
Karena takut dibohongi, Linzy ingin memastikan jika Zion benar-benar memesankan dua jagung buatnya. Dia ingin menyusul. Menengok kanan-kiri sebelum menyebrang.
Tidak ada kendaraan kecuali sebuah mobil yang terparkir jauh dari tempatnya berdiri.
Dia melangkah girang di sepinya malam. Tanpa tahu jika, Tuhan selalu punya rencana. Entah yang lewat kehendaknya atau tangan manusia yang menjadi perantara.
Dia tidak tahu, mobil yang terparkir tadi bergerak mengikuti langkahnya. Namun, Zion cukup peka membaca gerak-gerik mobil itu yang ganjal.
"AWAS ZI!" teriakan Zion kencang. Linzy langsung menoleh ke kanan, bertubrukan dengan cahaya yang tampak menyilaukan.
Pandangannya seketika buram saat merasa tubuhnya didorong disusul suara tabrakan yang terdengar memekakan.
Linzy syok luar biasa. Memegang kepalanya yang terbentur aspal. Darah. Dia menatap telapak tangannya yang basah oleh noda merah. Mendadak tubuhnya gemetar ketakutan.
Ada seorang wanita yang membantunya berdiri, menanyakan keadaannya yang dia jawab dengan kebisuan.
Linzy masih belum bisa mencerna yang terjadi sebelum matanya menangkap kerumunan orang-orang di seberang.
Dia membeku di pijakan. Merasa waktu berhenti. Teriakan orang-orang terdengar samar dan telinganya jadi tuli.
Ponselnya pun tak kenal situasi, tahu-tahu bergetar sekali. Linzy menunduk menatap ponselnya kotor dengan darahnya sendiri.
Lian. R: Gue bilang apa, Zion pasti bakal ngorbanin nyawanya demi lo!
Linzy menggeleng. Merasa sebagian nyawanya terenggut dalam sekali sentakan. "ZIOOOON!"
●●●●●
Lian gak gampang nyerah orangnya😭😭
Setelah manis-manis dijatohin gini, jadi gatel mau ngumpat pasti. Boleh aja tapi pake bahasa alus ya :)))
Enaknya kapan lagi up-nya? Sisa dua part ini :((
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro