Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(75) ● Falsity

Dari judulnya hmm :')))

Aku mau liat seberapa antusias sama part ini. Vote dan komennya boleh dunds😚

°°°

JIKA boleh digambarkan, Linzy seperti tertelan di kerak bumi dan tak bisa menemukan pijakan lagi. Dia terkurung di dasar hingga suara-suara di kepala cukup dia yang mendengar.

Semuanya beku, termasuk jantungnya yang lumpuh saat sebuah fakta menghempasnya dalam satu waktu.

Cuma kesadaran sekian persen, Linzy menolak percaya. Dia menggeleng saat Lian tersenyum kemenangan.

"Zarlin ... adek gue," Gak! Linzy pasti salah mendengar. "Lo gak salah denger, Zi. Itu kenyataan."

Otak Linzy mengurai fakta satu-satu. Kalau Lian saudara tiri dengan Zion berarti ...

Zion dan Zarlin?

"Ya ..." Lian seakan tahu kesimpulan yang cewek temukan. "Zion kakak tiri Zarlin."

Linzy butuh pegangan untuk menopang kakinya yang lemas.

"Dia adek gue yang terpaksa tinggal bareng bokap." Linzy mendongak. Melihat binar murka yang bercampur pilu di kelamnya mata Lian. "Dia yang ketipu sama semua sikap sok manis wanita sialan itu. Otaknya kecuci, bahkan dia mikir gue sama nyokap yang jahat ninggalin dia. Padahal ... semua orang-orang yang ada di sekitar dia yang busuk hatinya!"

Kesakitan di masa lalu membuat Lian buta, hingga lukanya butuh pelampiasan. Yang salah karena cowok itu melarikan semuanya dengan balas dendam. Berpikir pendek jika saat semua itu terlaksanakan, hidupnya bisa tenang.

Itu jelas salah!

Api tak bisa dibalas api. Justru makin membumbung tinggi dan membakar segalanya. Seperti kejahatan, ada baiknya mengikhlaskan. Lalu semuanya akan berjalan sesuai aturan Tuhan.

"Tapi gak pa-pa," Suara Lian menyentaknya sadar. "Seenggaknya gue sama dia udah ketemu. Dan semua sakit hati gue bakal terbayar hari ini."

Saat Lian memangkas jarak lebih dekat, Linzy terpojok. Tangannya terulur ke belakang, memegang pembatas besi yang berkarat. Beberapa serpihan karat melayang jatuh. Dia makin gemetaran.

"Zion pasti bakal hancur, kalo tau lo kehilangan nyawa karena dia alasannya," Melewati bahunya, Lian melirik ke bawah dan tersenyum bahagia. "Lo mau sendiri, atau gue sebagai perantara, Zi?"

Penawaran gila!

"LO GILA!" Linzy tak punya kekuatan untuk melawan selain memukul Lian berulang kali. Apalagi posisinya yang memperparah keadaan, dia tetap tak bisa melarikan diri.

Pukulan Linzy terhenti sebab Lian yang mencekal kuat tangannya.

"Kalo lo bunuh gue ..." Linzy tersendat, membiarkan air matanya mengalir. "Lo bakal masuk penjara!"

"Gue gak takut penjara," Suara Lian pelan, tapi berhasil membuatnya menggigil. "Kalo lo mati, gue juga bakal mati dan akhirnya kita bakal ketemu di neraka nanti." Tanpa sadar dia menahan napas saat Lian menyentuh pipinya. "Kalo lo emang gak mau ngelakuin itu sendiri, gue siap bantu."

Kemudian tangan Lian yang bebas mengambil sesuatu yang disembunyikan di dalam kemeja. Mengangkatnya di depan Linzy yang terperangah tak percaya.

Otot kaki Linzy sempurna lunglai merasakan dinginnya moncong pistol di kening.

"Yan ..." suaranya nyaris hilang.

"Lo bener, Zi gue emang udah gila sekarang. Luka, sakit hati, dendam, pengkhianatan, itu semua yang buat gue hilang arah. Gue gak punya tujuan lagi, jiwa gue udah mati!"

Mata Linzy refleks memejam saat Lian menekan ujung pistolnya semakin dalam. Bersama keringat dingin yang bermunculan, tangannya kebas, tak bisa merasakan apa-apa.

Pikiran pun tak mampu menemukan jalan keluar dan Linzy cuma bisa pasrah saat Tuhan memberikan keajaiban di depan mata.

"BERHENTI YAN!" teriakan itu seperti sebuah tangan yang menarik Linzy dari kegelapan. Secepat itu dia mendongak, menemukan kelegaan yang datang lewat air mata.

"Zion!" Linzy menangis sebelum terkejut setelahnya saat Lian menarik lalu mengunci tubuhnya dari belakang bersama ujung pistol di pelipisnya.

Zion memelotot. "Jauhin pistolnya, Yan!"

"Pahlawan lo udah dateng, Zi. Lo seneng kan?" bisik Lian mengerikan.

"Gue udah tau semuanya dari adek lo, Yan. Lo benci gue, dendam sama gue karena kesalahan yang nyokap gue lakuin," Zion bersuara lirih. "Ini cuma antara lo sama gue. Lo gak bisa libatin Linzy, dia gak tau apapun."

"Ternyata adek gue pinter juga," Lian senyum penuh arti. "Kalo lo di sini, seenggaknya lo bakal ngeliat cewek yang lo sayang, mati di depan mata lo, Yon! Menyedihkan bukan?" Lalu dia tergelak gila.

Zion menggeleng penuh keputusasaan. Cukup melihat Linzy yang tak hentinya menangis, yang membuat dia berani mengambil langkah mendekat.

"Berhenti di sana!" Lian menyuruh Zion untuk tetap di tempat. "Atau gue tembak cewek lo sekarang—eh maksudnya ... cewek gue," koreksinya sengaja, tersenyum meledek.

Linzy memandang Zion yang menuruti perkataan Lian, yang tentu untuk melindunginya.

"Masalah lo sama gue. Seharusnya lo lampiasin semuanya ke gue bukan Linzy!" Zion tampak berusaha keras menahan diri.

"Misalkan gue bisa hancurin lo lewat Linzy. Kenapa enggak?" Lian terlihat menang saat Zion tak mampu berkutik. "Cuma dengan ngehilangin nyawa Linzy, gue bisa ngeliat lo mati perlahan-lahan karena penyesalan. Itu jelas bukti kemenangan gue. Lo mati dengan penderitaan!"

Lalu dia menoleh pada Linzy yang cuma bisa menangis dalam diam. "Bener kan sayang?"

"Lo salah, Yan ..."

"Gue salah?" bertanya angkuh, Lian berada di puncak. "Lo yakin gue salah ... coba gue tarik pelatuknya sekarang!"

"JANGAN!" Zion berteriak frustasi saat Lian baru saja memegang kendali.

"Lo takut bukan?" Lian tertawa menang. "Akuin aja, Yon. Kalo lo gak bisa kehilangan Linzy. Cinta lo ke dia udah terlalu besar sampe lo siap buat ngasih semuanya. Termasuk nyawa lo!"

Linzy mendongak menunggu balasan yang akan Zion lontarkan. Berharap jika bisikan hatinya selama ini bukan sekadar khayalan. Membuatnya yakin jika ucapan di rumah sakit cuma sebagai sangkalan cowok itu.

Dari segala sikap manis dan perhatian yang cowok berikan, kadang membuat Linzy menyimpulkan jika hati Zion adalah miliknya. Tapi, karena Zion tak pernah mengatakan itu secara langsung. Membuat Linzy menyerah, mungkin itu hanya angan. Angan yang dia cipta sendiri untuk kebahagiannya saja.

"Gue mohon, Yan ... jangan lakuin itu!" Bentuk kekalahan telak, Zion cuma bisa memohon frustasi.

Boleh tidak dari sana, Linzy percaya kalau kata hatinya tidak salah mengira?

"Lo masih gak mau jujur, Yon?" Lian berdecih jijik. "Atau gue aja yang ngomong?"

Linzy mengernyit. Ada rahasia apa lagi?

"Lo mau tau satu hal lagi gak, Zi?" Linzy belum siap untuk kejutan lagi. Lewat tangannya yang tergenggam pistol, Lian menunjuk Zion. "Cowok yang di sana ..." Lalu Lian melanjutkan dengan percaya diri. "Dia ... secret admirer lo yang sebenarnya."

°°°°

Ucapan Lian seperti mendengung di telinga. Mematikan seluruh saraf otaknya. Bahkan dinginnya malam yang akan turun hujan tak mampu Linzy rasa. Dia mendadak tak dapat mendengar apa-apa.

Kecuali perkataan Lian yang melumpuhkan semua.

Itu bener, Yon?

Linzy ingin mengucap itu secara lantang. Mendengar kejujuran Zion langsung. Jika bukan karena bibirnya kelu dan justru air mata yang jatuh lebih deras karena sesak di dada.

Mata Zion memerah saat mengatakan, "Jangan nangis, Zi. Gue mohon ... jangan nangis."

Ucapan Zion malah memperparah laju air matanya. Linzy merasakan dadanya merintih sakit sebab dibohongi.

Kenapa Zion tidak jujur padanya?

"Sekarang lo udah tau bukan, kalo cowok depan lo itu juga pembohong," Lian menempelkan kembali ujung pistol di kepalanya. "Dia yang ngebuat lo terjebak sama gue. Andai dia jujur, mungkin sekarang lo gak ada di sini. Nunggu detik-detik kematian lo!"

Lian tergelak kejam, tanpa tahu kelengahan itu, Zion pergunakan. Cuma mengandalkan waktu lima detik, Zion berlari dan menendang tangan Lian, nyaris mengenai Linzy. Namun, beruntung pistol itu yang terlempar jatuh ke tanah.

Bukan cuma Linzy yang syok, Lian lebih syok. Dan itu kesempatan yang Zion ambil untuk menarik lengan Linzy dan menyembunyikannya di belakang tubuh. Menggenggam tangan cewek yang dipaksa memeluknya dari belakang.

"SIALAN!" Lian mengumpat lalu melayangkan kaki, yang langsung Zion tangkis. "Lo bisanya main belakang heh!"

"Pergi dari sini, Zi!" bisik Zion yang dibalas Linzy dengan gelengan. Dia justru mengeratkan pelukannya dari belakang. Bagaimana mungkin dia bisa meninggalkan Zion sendirian di situasi genting ini.

"Lo pikir semudah itu lari dari gue?" Lian senyum mengejek. Melemparkan kepalan yang lagi-lagi Zion tepis.

"Ini urusan gue sama lo, dan gue gak akan biarin lo nyakitin Linzy sedikit pun!" Decihan Lian, Zion abaikan. Dia lebih memikirkan keselamatan Linzy. "Zi ... gue mohon!"

"Gue gak mau, Yon!" tolaknya bersikeras. "Gue gak mau ninggalin lo sendiri!"

Lian tertawa remeh. "Lo berdua drama banget tau gak sih?! Jijik gue dengernya!" Setelahnya melayangkan tinjuan bertubi-tubi.

Dengan posisi melindungi Linzy, tentu Zion kesulitan melawan. Beberapa kali dia bisa menyangkal sampai tinju terakhir berhasil mendarat di pipinya.

Linzy tersentak dan sontak mundur. Zion membersihkan noda darah di ujung bibir. Kemudian, ketegangan memperparah oleh perkelahian yang terjadi. Linzy mengepalkan tangan bersama bibirnya yang tergigit menghalau ketakutan.

Saat melihat Regha bertanding boxing saja Linzy sudah gila. Apalagi ini yang terjadi di depan mata. Tanpa sebuah piagam atau gelar juara.

Tonjokkan dan serangan yang beradu itu bentuk ego mereka yang tak mau dikalahkan. Malam yang mendung tak mereka pikirkan. Senyap sekitar gedung mereka abaikan.

Tanpa peduli pakaian yang kotor, mereka cuma peduli oleh kemenangan tanpa arti. Selain Linzy, debu pun menjadi saksi, berhambur kemana-mana.

Refleks, Linzy mengangkat tangan hampir menjerit saat Zion menindih Lian dan melayangkan kepalan kosong. Yang justru lebih menyakitkan. Melihatnya saja, Linzy merasa ngilu sekaligus gemetar.

Namun ... pikiran Linzy teralihkan saat menyadari Lian yang susah payah merogoh sesuatu di kantong celana. Mengeluarkan benda yang membuatnya terbelalak tak percaya.

Tanpa berpikir lagi, Linzy berlari dan mendorong Zion begitu saja. Kemudian menjerit sakit saat lengannya tergores cutter yang Lian keluarkan. Setidaknya Linzy berhasil menghalau Lian yang mau menusuk perut Zion.

"Zi!" Setelah terkejut beberapa saat. Zion langsung berdiri dan menarik lengan Linzy yang terluka. Dan emosinya meluap hingga perbatasan saat melihat darah yang mengalir di sana. "BANGSAT!"

Linzy tersentak saat Zion langsung saja menindih Lian untuk kedua kali. Memberikan tinju yang lebih membabi buta. Percikan api dalam diri Zion seolah membumbung tinggi, membuatnya tak dapat berpikir jernih.

Lian terbatuk-batuk walau dia tetap tampak angkuh dengan senyumannya, yang justru mengundang kegilaan Zion.

"YON! UDAH YON!" Linzy menarik sweater yang Zion pakai. "Lo bisa matiin anak orang!"

Ucapan Linzy seperti mengeluarkan Zion dari lingkaran setan. Dia berdiri sambil menatap jemarinya yang bengkak dan penuh darah Lian.

"Kita pergi sekarang!" Dengan tangannya yang kotor darah, Zion menarik Linzy keluar gedung kosong itu. Menuruni tangga cepat-cepat dan Linzy harus dipaksa berlari dengan Zion menuju motornya di luar gedung.

Di dekat motor, yang cowok melepaskan sweater yang dipakainya. Merobek kaus putihnya, dililitkan di lengan Linzy untuk menghentikan laju darahnya.

Dia memberikan sweaternya pada Linzy. "Pake cepet!"

Tak perlu disuruh dua kali, Linzy langsung mengikuti perintah cowok. Mengabaikan noda darah yang bercecer di sana.

"Tas selempang gue ..." Linzy belum sempat menyelesaikan saat justru dibuat terbelalak melihat Zion melempar batu ke kaca samping mobil Lian. Suara pecahan menyusul setelahnya bersama alarm mobil.

Tanpa ada ketakutan sama sekali, Zion mengambil tas selempang di dalam mobil dan mengembalikannya pada Linzy. "Sekarang naik!" titahnya memakai helm.

Saat yang cewek sudah duduk manis di belakang, Zion memacu motornya ke jalanan. Mengegasnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Apalagi jalanan malam sangat gelap, cuma mengandalkan lampu jalan.

Cukup dua hal itu Linzy jadi merafal doa dan memeluk Zion lebih erat.

Walau tak dipungkiri, beban Linzy serasa hilang saat menyandarkan kepala di punggung Zion. Dia telah keluar dari sarang mengerikan dan seperti telah menemukan cahayanya, dia bisa tenang tanpa terbayang ketakutan.

"Kenceng banget sih meluk guenya!" Zion berteriak di tengah angin yang melambai, tapi Linzy bisa mendengar.

"Lo kekencengan bawa motornya!" Linzy jujur. Hanya saja cuma sebagian, karena setengahnya lagi dia memang tidak mau melepaskan.

"Gitu ya?" Zion tidak percaya, lalu Linzy bisa merasakan sebelah tangan Zion memegang kedua tangannya di perut cowok itu. "Tapi gak masalah sih ... karena gue suka lo peluk!"

Dengan pipi merona, senyum Linzy terangkat diam-diam.

°°°°

Kesialan ternyata belum menyerah mengejar.

Motor Zion mogok di jalan.

Seharusnya Linzy memaki atau minimal marah. Sayangnya tidak. Sungguh mengherankan, ternyata kebahagian itu dampaknya seluar biasa ini. Saat Zion meminta maaf, Linzy justru tersenyum dan mengatakan jika itu tak masalah.

Tidak jauh dari motornya berhenti, ada sebuah warung di seberang jalan. Menjual makanan sekaligus barang-barang yang Zion perlukan sekarang.

Setelah membeli obat merah, kapas, dan perekat luka, Zion kembali menyebrang. Menghampiri Linzy yang duduk menyamping di atas motor.

"Buka sweaternya!" Linzy tak membantah dan menuruti yang cowok katakan. Kemudian Zion melepaskan kain yang melilit lengan Linzy. Begitu telaten dan pelan Zion membersihkan darah di sana.

Cuma memerhatikan cowok itu dari samping, jantungnya begitu antusias merespon.

"Selesai." Sebagai bentuk terakhir, Zion menempelkan dua plester di sana.

"Pake lagi sweaternya, dingin!"

Linzy mengangguk. Meloloskan kembali sweater milik Zion ke tubuhnya. "Lo gak dingin?"

Bisa dipastikan kalau hujan akan turun. Lihat saja langit malam ini, gelap dan muram. Bintang pun memilih menyembunyikan diri.

Sebagai respon, Zion cuma menggeleng. Memerhatikannya begitu lekat.

"Mm ... kenapa kita gak ke apartemen lo? Padahal kan ada di depan gedung kosong itu."

"Itu begonya," Zion tertawa. "Saking tegangnya, gue lupa sama letak apart gue sendiri!"

Linzy ikut tertawa sebelum mendadak berhenti karena teringat sesuatu.

Bertepatan dengan Linzy yang turun dari motor, hujan turun tiba-tiba. Perkiraan Linzy tidak salah. Tidak punya banyak waktu menghindar, Zion refleks menarik Linzy menuju warung di seberang untuk meneduh.

Sayangnya, yang cewek justru melepaskan tangannya dan Zion terpaksa menoleh heran.

"Ayo, Zi!" Rinai dari langit sudah membasahi sebagian pakaian mereka. Apalagi noda darah di tangan Zion mulai luntur terkena rintiknya. "Kita bisa mati kedinginan di sini!"

Sekali lagi Linzy menolak untuk meneduh. Sudah terlambat. Jadi biarkan saja mereka berdiri di pinggir jalan ditemani derasnya hujan.

"Jawab pertanyaan gue dulu," Saking terlenanya bersama Zion, Linzy lupa oleh ucapan Lian di gedung beberapa saat lalu. "Jadi ... lo secret admirer gue?"

Zion tampak belum siap jika Linzy membawa topik ini. Diamnya dia yang menjadi jawaban.

"Lo orang yang ngirimin gue lolipop setiap pagi di loker?"

"Zi ..." Zion hendak meraih tangannya, yang langsung dia tepis.

"Jawab gue dulu!"

Yang cowok terdiam lama lalu saat anggukan itu tampak jelas di mata, Linzy mendadak hampir hilang keseimbangan.

"Ya ..." Dengan mata memerah, Zion mendongak. Nyatanya hujan tak mampu untuk menyamarkan. "Gue orangnya. Gue orang yang ngirimin lo lolipop setiap pagi. Gue ... orang yang nganggumin lo diem-diem selama ini."

Jalur napas Linzy seperti terhalang sesuatu. Air matanya mengalir tanpa disadari.

"Kenapa lo gak jujur?"

Lelaki di depannya membisu. Netra hitamnya tampak tertutup pilu. Sementara tangannya bergerak membelai pipi Linzy yang mulai pucat karena dinginnya hujan. "Kadang hidup, butuh kebohongan cuma buat nutupin luka, yang orang nggak pernah tau."

Linzy tertawa getir. "Terus kenapa lo harus bohong juga ke gue?!"

Mereka sama-sama telah berbagi luka. Berbagi setiap cerita yang memendam sesak di dalamnya. Lalu bagaimana cowok itu tetap bisa menyembunyikan sesuatu dari Linzy. Membohonginya hanya untuk kepentingan dia sendiri.

"Karena gue pengin lo senyum. Cuma itu!" Mata Zion makin memerah.

"Tapi lo tau kalo senyum gue juga palsu?!" Perempuan itu berujar tajam. "Sama kayak lo!"

Yang cowok justru tersenyum. "Gue tau," lalu merangkum wajahnya dengan sorot bersalah. "Maaf ... gue minta maaf," Zion menempelkan kening mereka. "Gue gak bermaksud bohong ... gue mau jelasin waktu itu, tapi ... gue takut lo malah jadi benci gue."

Saat Linzy mendongak, hidung mereka bertemu. "Sejak kapan?" tanyanya menyentuh kedua tangan Zion di pipinya. "Sejak kapan lo punya perasaan itu ke gue?"

"Sejak gue ngeliat cewek di depan gerbang ..." Zion tampak menerawang ke memori belakang. "Dia lagi makan lolipop, manis banget. Apalagi rambut pirangnya yang terbang kebawa angin, dia jadi kayak bidadari."

Zion terus bercerita. "Terus pas jam istirahat dia jatohin lolipopnya, gue ambilin. Setelah ngasih ke dia, gue langsung pergi salah tingkah."

"Di hari kedua, karena dateng hampir telat, dia lari keluar mobil dan jatoh pas masuk gerbang," Linzy tak percaya apa yang didengarnya. "Lututnya luka. Begonya, gue cuma bantuin dia diri terus pergi ninggalin gitu aja kayak cowok pengecut. Padahal gue mau tau namanya."

"Sampai hari ketiga mos, gue punya kesempatan buat kenalan. Ini pertama kalinya, gue deg-degan di depan cewek. Sayangnya, dia keliatan gak suka sama gue, tampangnya sinis. Tapi gak pa-pa ... yang penting gue tau namanya," senyum Zion mengembang, mengusap pipinya. "Namanya ... Linzy."

Kemudian jarak sesenti wajah mereka, Zion pangkas hingga tak tersisa. Merasakan dinginnya bibir manis Linzy di bawah langit yang meluapkan air mata. Yang cewek tak menolak dan justru ikut terlena.

Zion menjauh memberi jarak. "Karena lo udah tau," dia tersenyum lebar sambil memberikan kecupan pelan. "Jadi pacar gue?"

●●●●●

Mau tumpengan kita? Wkwkwk

Eh jangan dulu deh ... kan belum ending. Kalo kalian inget, part ini ada di prolog?😂

Oh ya ... kemarin ada yang nanya sama aku Falsity itu ada GC(grup chat) gak? Ya aku bilang gak ada, kan emang gak ada. 

Emang kalian mau ada GC Falsity?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro