Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(74) ● Kebohongan yang Terungkap

Mumpung udah libur ye kan ... jadi lancar buat update :)))

Nih up lagi, minta vote sama komennya. Maksa aku pokoknya wkwkwk

°°°

DIBOHONGI dan dikhianati Linzy tidak mau merasakannya lagi. Cukup sang papa yang membuat Linzy membenci seluruh lelaki. Cukup sang papa yang menjebak Linzy dalam perih.

Setelah kebohongan yang papanya ciptakan, keluarganya rusak tanpa sisa. Semuanya berubah, termasuk orang-orang yang Linzy percaya. Cuma hitungan jari, sisanya dia anggap tak ada.

Itu pembalasan yang bisa dia lakukan karena tidak ingin terjebak terus-terusan. Namun ... kali ini Linzy tidak mau membiarkan ego yang maju dan membelakangi adanya kesempatan.

Setiap tindakan pasti ada alasan. Mungkin papanya saja yang melakukan kebohongan untuk bersenang-senang.

Tapi ... papa telah menyesalinya dan Linzy tidak ingin membenci, yang padahal ikut sakit hati. Kesempatan itu Linzy berikan walau rasanya tak sama lagi.

Seperti sang papa, Linzy tidak bisa langsung men-cap Lian sebagai pembohong. Karena mungkin ada penjelasan di balik kebohongan yang cowok ciptakan. Lagipula pengkhianatan itu tak sebesar yang papanya lakukan. Jika Lian menjelaskan dengan masuk akal, Linzy pasti mudah memaafkan.

Beruntung hari ini mereka punya janji jalan karena batalnya hari kemarin. Linzy telah rapi lalu keluar rumah. Berjalan menuju mobil Lian yang sudah terparkir di halaman. Clara ada di luar kota sekarang, rumahnya tampak sepi apalagi para pekerja yang berisitirahat saat siang.

"Hei," Lian senyum lebar. Tampak tampan dengan kemeja hitam yang membalut kaus abu-abunya. Apalagi snapback di kepala. "Cantik banget sih pacar aku hari ini."

Hari ini Linzy memakai baju off shoulder yang dipadukan Button Front Skirts. Dia menatap bajunya lama sebelum mendengkus. "Gombal!"

"Serius," ucap Lian yakin. "Jadi pengin cium rasanya," Wajah Lian mendekat, jika bukan karena Linzy yang membuang muka, menghindar. "Kenapa?" Lian heran.

"Nggak pa-pa." Linzy menggeleng.

Lian mengernyit, sebelum berujung mencubit pipinya saja. Kemudian melajukan mobilnya di jalan raya.

"Kemarin gimana jalan-jalannya?" Lian memulai obrolan sambil menyetir. Pandangannya lurus ke depan, tanpa tahu raut cewek di sebelahnya berubah. "Seru?"

"Seru," jawabnya. "Kalo kamu? Gimana di sana?" Linzy bertanya lalu melanjutkan dengan sedikit menyindir. "Seru ya? Apalagi banyak cewek."

Lian terdiam. Rautnya sedikit berubah. "Aku mau jujur sama kamu," Linzy menoleh, menunggu kelanjutan. Menduga jika yang akan Lian katakan adalah perihal kebohongannya. Bagus jika itu benar, karena dia tidak perlu memancingnya lebih dulu.

"Maaf ... sebenarnya aku kemarin gak reunian tapi ketemuan sama ..."

"Cewek," potong Linzy yang dibalas Lian menginjak rem mendadak. Klakson dari belakang terdengar menyusul. Bahkan Linzy hampir terantuk dashboard jika tidak menjaga keseimbangan.

Lian syok, menepikan mobilnya di pinggir jalan. "Kamu tau?"

Linzy senyum setengah hati. "Aku ada di restaurant yang sama kemarin. Kenapa kamu bohong?"

"Itu yang mau aku omongin," Lian tampak tersenyum. Seperti sebuah isyarat yang tak Linzy mengerti. "Aku bakal jelasin itu nanti."

°°°°

Seperti malam sebelumnya, Zion mengurung diri di kamar. Gelap di langit membawanya tenggelam dalam kesepian. Inginnya dia tidur di ranjang. Membiarkan matanya memejam. Nyatanya dia justru terduduk di balkon.

Belakangan ini dia jadi menderita insomnia. Matanya tak bisa diajak berkompromi. Apalagi pikirannya yang penuh oleh beban yang ingin dia akhiri. Semua terasa berat untuk dijalani. Terkadang membuatnya lupa pada tujuannya tetap berdiri.

Seharusnya Zion keluar dari zona terpuruknya. Berlari untuk mencari bongkahan yang mampu menyumbat kekosongan hatinya.

Dan ... seharusnya Zion mengingat alasannya bertahan di titik terendah.

Sang Bunda yang selalu membujuknya sarapan saat pagi menjelang. Selalu membuatnya tersenyum ketika melempar omelan. Atau bahkan tertawa saat dia berhasil membuat bundanya kesal.

Cukup semalaman Zion meratapi nasibnya yang malang. Besok paginya dia terbangun dengan senyuman. Menunjukkan pada matahari bahwa dia masih bisa mendapatkan kebahagian.

Setelah sarapan, Zion izin keluar pada Friska. Membawa motornya berkeliling Ibukota. Tanpa arah tujuan kemana.

Tujuan kepergiannya sekadar untuk mengurangi segala pikiran yang bersarang di kepala. Berharap angin akan menyeretnya agar binasa.

Jika dipikirkan Zion jadi tampak bodoh. Padahal sejak dulu dia yang bilang. Ketika takdir mempertemukannya kembali dengan ibu kandungnya, dia akan memaki. Mengatakan segala luka yang di hati lalu melupakan begitu saja. Menganggap sosok itu tak lagi ada.

Ternyata itu cuma omongan belaka. Niatnya tak terencana. Dia tidak mampu mengeluarkan semua sakitnya.

Tahukah mamanya jika selama bertahun-tahun, Zion harus selalu memastikan jika wajahnya tertutup topeng kepura-puraan. Memperlihatkan pada dunia, pada semua orang, jika dia baik-baik saja, jika dia kuat menopang semua masalah.

Walau hatinya menjerit luka. Menjerit meminta bahagia.

Mamanya tidak pernah tahu dan mungkin tidak akan mau tahu.

Karena pikirannya mulai jernih, motor Zion akhirnya berhenti. Di sebuah minimarket pinggir jalan, dia memarkirkan motor dan berjalan masuk. Jam ternyata sudah menunjukan angka satu saat Zion melirik jam di tangan.

Dia mengambil pop mie untuk mengisi perutnya, mencegah saat tiba-tiba dia kelaparan. Sambil memandang langit yang muram di luar jendela minimarket, Zion duduk di bangku yang tersedia, menikmati pop-mienya.

Beberapa orang masuk ke dalam minimarket untuk membeli makanan kemudian berlalu keluar setelah membayar.

Ditemani hening yang terasa menenangkan, Zion memandang hampa jalanan di depan.

Tiba-tiba terdengar suara kursi yang digeser, dia tersentak dan langsung menoleh yang hanya untuk dibuat lebih kaget lagi.

"Zarlin?" Siapa sangka mereka akan bertemu di sini.

"Hai, Kak," Zarlin senyum, menyilangkan tangan di atas meja. "Kemana aja Kak, kenapa gak nelpon dua hari ini?" Dua hari tak bertemu, ternyata Zarlin jadi cewek yang tak suka basa-basi.

Mana Zarlin yang pendiam dan kaku saat berbicara?

Bukan tanpa alasan, Zion tidak mengontak Zarlin. Setelah bertemu Mayra, Zion seperti tidak sanggup lagi melihat cewek kecil ini. Melihat pacarnya yang ternyata saudara tirinya.

Sampai sekarang Zion masih tidak mengerti dengan takdir Tuhan.

"Kak Zion lagi ngehindarin aku?"

Yang Zion lakukan memang bisa dibilang menghindar. Hanya saja ini memiliki arti yang berbeda. Zion tidak benar-benar menjauhi Zarlin. Dia punya alasan kenapa melakukan ini.

"Gue gak bermaksud ..."

"Aku udah tau semuanya, Kak."

Zion tidak bisa menahan ketidakpercayaannya. "Lo udah tau?"

Yang cewek senyum kecil sebagai balasan. Lalu dia menunduk untuk menarik napas panjang. "Aku gak nyangka, pacar aku ternyata kakak tiri aku sendiri." Zarlin tertawa perih.

"Kayak sinetron ya?" Zion coba mencairkan keadaan canggung.

Cewek di sebelahnya tertawa walau tak lama sebelum menatap Zion serius. "Apa keputusan Kak Zion? Kak Zion mau akhiri hubungan ini?" tanyanya pelan. Zarlin berusaha tampak mengulas senyum. "Kalo Kak Zion mau putus ... aku gak masalah."

Zion terbungkam. Dilemparkan bertubi-tubi pertanyaan membuatnya bingung memproses yang mana lebih dulu yang harus dijawab.

"Aku juga mau bilang sesuatu sama kakak, ini soal ..." Zarlin keliatan ragu. "Kakakku."

°°°°

Seharian Linzy pergi bersama Lian. Pergi melihat atraksi sirkus di jalan. Melihat parade besar-besaran. Bahkan mereka mendatangi beberapa festival yang diadakan karena perayaan khusus. Ada bazzar. Berbagai tarian. Penjaja makanan yang menggugah.

Cukup dari situ, sebenarnya bisa membuat Linzy merasa gembira. Apalagi Lian yang tak pernah melepaskan jemari dari ruas tangannya. Kadang kala untuk menghindari badut-badut yang memeriahkan acara, Lian langsung merangkulnya. Memeluknya agar tak terantuk benda-benda di sekitar.

Tapi ... sayangnya, Linzy malah memikirkan ucapan Lian saat di mobil. Apa yang cowok itu ingin ucapkan? Kenapa harus menunggu hingga mereka pulang?

Padahal Linzy mulai mati penasaran.

Akhirnya saat sore menjelang mereka meninggalkan acara festival itu. Lian menjalankan mobil tenang. Linzy menoleh pelan, berharap Lian peka keadaan dan langsung saja memberitahunya persoalan yang ingin dia bahas.

Sampai Lian menghentikan mobilnya, Linzy terbelalak luar biasa. Menatap gedung kosong yang terpampang jelas di depan kaca.

"Yan ..." Linzy butuh penjelasan. Kenapa Lian menghentikan mobilnya di depan gedung kosong yang sering Zion dan Linzy habiskan waktu di sana. "Kenapa ..." ucapan Linzy tak dapat dilanjut karena Lian keluar mobil dan berjalan membukakan pintu mobilnya.

"Ayo keluar," ucapnya dengan senyuman.

"Yan ... aku gak ngerti, kenapa ..."

"Nanti aku jelasin," dia menarik tangan Linzy yang enggan. "Ayo ... kamu pasti penasaran kenapa aku bawa kamu ke sini kan?"

Mau tak mau Linzy akhirnya mengikuti. Terpaksa melewati seng karat yang Lian bantu penuh perhatian. Cukup melihat keadaan di sekitar, Linzy seperti terlempar ke belakang. Membawa seluruh ingatan yang telah usang.

Memori yang sebenarnya terasa menyenangkan, tapi kini justru jadi boomerang. Yang melempar balik dan menyakiti.

"Yan ..." Linzy berhenti di tangga kedua. Lian yang berada di satu tangga lebih atas ikut berhenti. "Tas selempang aku ketinggalan di mobil."

"Gak pa-pa," Lian mengusap kepalanya. "Kita cuma sebentar di atas."

Sampai di puncak, Linzy menatap sekeliling yang tak asing. Gedung pencakar langit tampak berlomba-lomba menarik perhatian. Menjulang begitu tinggi, menunjukkan kekuasaan.

Meski begitu, tidak ada tangan manusia yang mampu mengalahkan tangan Tuhan. Senja menarik saat di penghujung hari. Sayang, sore ini langit tampak suram. Mendung menghampar angkasa. Tinggal tunggu rinai jatuh dan membawa dingin bersamanya.

"YAN!" Linzy refleks berteriak saat dilihatnya Lian mendekati ujung gedung. Ada pembatas memang. Namun ... besinya tampak berkarat dan tak rapat. Apalagi tingginya cuma sepinggang. Lian tidak mendengarkan. Dia justru menjulurkan sebelah kaki di antara besi pembatas. Linzy memelotot. "Yan ... nanti kamu jatoh!"

Lian tertawa. Terdengar berbeda. "Kalo pun aku jatoh gak akan ada yang peduli."

Linzy mengernyit bingung. Ini aneh. Lian bertingkah tak wajar dari awal menjemputnya. Keganjalan itu terlalu jelas, walau dia berusaha menepis karena tidak mau berburuk sangka.

Tetapi ... aroma ganjal itu makin pekat dan Linzy mendadak takut.

"Aku peduli sama kamu, Yan."

Yang cowok menoleh. Baru mau menjauh dan mendekat ke arahnya. "Kamu peduli?" tanyanya meremehkan. "Bukannya kamu lagi bernostalgia sekarang?"

Linzy mengernyit, tak mengerti.

"Liat sekeliling kamu, tempat ini ngingetin kamu sama Zion. Iya kan?" Kebingungannya luruh berganti terkejut. "Dari raut muka kamu yang kaget banget, kayaknya aku nembak tepat sasaran." Lian tersenyum.

Senyum yang tak pernah Linzy lihat sebelumnya. Terlalu seram, menyembunyikan banyak hal.

Linzy menunduk, tak mampu mengatakan balasan. Yang Lian yang katakan benar adanya. Namun ... sejak menjatuhkan pilihan, Linzy dan Zion tak pernah lagi menginjakan kaki ke tempat ini. Sudah sering Linzy bilang jika mereka sama-sama membentangkan jarak dan membangun tembok kokoh untuk bertahan.

Yang cowok melangkah lebih dekat dan berbisik, "Aku pernah cerita soal keluarga aku kan?"

Atmosfer sekitar mendadak suram dan Linzy merasa tenggelam dalam keheningan mencekam. "Mm ... ya," dia mengangguk ragu.

"Kamu inget," Lian menyelipkan anak rambutnya ke telinga. "Aku sama Mama diusir dari rumah?"

Seperti boneka yang punya pengatur sistem, Linzy mengangguk lagi. Enggan menyela apalagi berkomentar.

Jika mau, Linzy akan mengikuti akalnya yang menyuruh lari. Berbagai prasangka buruk mulai bermain di kepala. Terurai satu-satu dan mengharuskannya untuk menjauh.

Pergi dari Lian sekarang.

Tapi tidak, Linzy tetap di pijakan. Sangat penasaran apa yang ingin Lian katakan. Apalagi tak mungkin Linzy mengikuti ego dan meninggalkan Lian sendirian. Walau konsekuensinya, Linzy harus terjebak bahaya bersama sosok Lian yang lain.

"Papa lebih milih wanita itu!" Wujud itu terlihat lebih jelas, bersama senyumnya yang tampak keji. "PAPA LEBIH MILIH WANITA JALANG ITU!"

"Dengerin aku, Yan ..." Linzy memberanikan buka suara. "Aku tau ... masa lalu kamu, tapi bukannya kamu bilang udah nerima semuanya? Kamu udah ikhlas dan coba ngelupain."

"Nerima semuanya? Ngelupain?" Lian tertawa. Walau kepahitan terdengar di sela tawanya, ada sesuatu yang lain, yang berhasil Linzy tangkap. Seperti suara yang cukup membuatnya lebih ngeri. "Kamu pikir semudah itu?"

Kekecewaan itu terkadang sulit termaafkan, tentunya Linzy berpengalaman. Malah bisa lebih besar dampaknya hingga menimbulkan kebencian. Kisah Lian tak jauh berbeda dengannya. Mereka sama-sama terjatuh di luka dalam. Yang cuma satu obatnya. Yaitu; memaafkan atau mencoba melupakan.

"Hati aku sakit, Zi." Linzy tahu. "Dan cara ngobatinnya cuma satu yaitu ... balas dendam!"

Linzy terperangah oleh kalimat Lian yang dilemparkan penuh kedengkian.

"Kamu mau nasehatin aku ..." Itu yang baru mau Linzy lakukan. "Tapi kamu telat," Kini Lian jadi sering menampilkan raut penuh teka-teki. Apalagi senyumnya yang terurai tak dimengerti. "Aku udah lakuin itu jauh-jauh dan sampai di titik ini."

Bukan cuma wajah, semua yang Lian lontarkan tak mampu tercena otaknya. "Maksud kamu?"

Tanpa ada kelucuan, Lian tergelak tiba-tiba. Menggema begitu nyaring dan terdengar mengerikan. "Kamu terlalu polos sayang," dinginnya tangan Lian terasa menggigit saat mengusap pipinya. "Entah beneran polos atau bego!"

Butuh penopang Linzy sekarang. Kakinya gemetar saat bergerak mundur. Tangannya terkepal menahan ketakutan.

"Kenapa kamu mundur?" Lian menahan tangannya. Terlalu kencang sampai Linzy tak bisa melepaskan. "Kamu takut sama aku?"

"Yan ... lepas!" Linzy berusaha mengeluarkan tenaga. Walau sia-sia. "Aku mau pulang!"

"Aku belom selesai ngomong Linzy sayang," Lian mendekatkan kepala di sisi telinganya. Embusan napasnya terasa, yang justru membuat Linzy jadi menahan napas gelisah. Apalagi kecupan yang terasa, Linzy makin dibuat tak berdaya. "Kamu harus dengerin aku dulu ..."

"Sebenernya kamu mau ngomong apa?!" Linzy berteriak frustasi. "Jangan buat aku takut, Yan!"

"Kamu beneran takut?" Wajah penuh bengis bersama senyum miring Lian, alasan masuk akal Linzy ingin pulang sekarang. "Seharusnya sejak awal kamu takut sama aku."

"Maksud kamu apa?" Napas Linzy berlarian cepat. Jantungnya berdebar oleh berbagai praduga.

"Ternyata kamu emang cewek paling bego!" Tak Linzy pedulikan, kesempatan itu malah dia ambil untuk melepaskan tangannya dari cekalan Lian. Yang cowok membiarkan, malah tersenyum saat melarikan tangannya di pipi Linzy dan berakhir di kulit pundaknya yang terbebas dari kain.

"Kamu pikir aku beneran sayang kamu?" Didukung oleh langit yang mendung, bagai terompet kematian Lian melanjutkan. "Aku cuma peralat kamu ..."

Menerima fakta secara langsung, Linzy seolah hampir hilang kesadaran.

"Kamu kaget?" Lian menundukkan kepala, mensejajarkan wajah. "Sebenernya aku beneran sayang sama kamu, tapi saat aku tau Zion ..."

"Zion?" Linzy langsung sadar.

"Ah ... kayak gitu ternyata cinta sejati. Sama-sama sayang, tapi gak bisa memiliki!" Lian maju selangkah, yang membuat Linzy melangkah mundur. "Kamu pikir alasan aku peralat kamu apa? Selain karena Zion?"

Selain berusaha menjaga jarak dari Lian, tidak ada yang bisa Linzy mengerti. Apa yang Lian maksud?

Bagai iblis yang bersembunyi di sosok pangeran, Lian membuka topeng seluruhnya. Menunjukkan wajahnya yang penuh kekejian.

"Cowok yang lo sayang itu, menjadi penyebab semuanya!" Dia mencekal pergelangan Linzy. Sangat kencang dan menekannya hingga menimbulkan perih. "Dia yang jadi alasan, gue hancur, sehancur-hancurnya!"

"Wanita jalang yang gue sebutin diawal," sorot Lian begitu tajam, merusak seluruh keberanian yang Linzy punya untuk mengeluarkan kebingungan di kepala. "Yang gak lain, gak bukan itu ibu kandungnya Zion!"

Seolah terjawab seluruh kebingungan, Linzy seperti ingin luruh ke dasar.

"Wanita jalang itu ibu kandungnya Zion!" teriak Lian sekali lagi.

"Ibunya Zion yang ngerusak keluarga gue!" Lian berucap penuh kepahitan. Linzy tak mampu berbicara karena terlalu banyak kejutan yang diterimanya dalam satu waktu. "Dia yang ngebuat gue dan nyokap diusir dari rumah. Bokap lebih milih dia dan ceraiin nyokap gue!"

Walau Lian lebih tampak mengerikan, tapi Linzy tak bodoh menangkap luka yang tersirat di sana. "Untuk penderitaan yang gue alamin sama nyokap bertahun-tahun, mereka juga harus rasain. Gimana rasanya hancur!"

"Jadi ..." Linzy seakan kehilangan arah. "Kamu sama Zion, sa-saudara tiri?"

Kesimpulan yang dia lontarkan, Lian respon dengan senyuman jijik. "Sebenarnya gue benci sih ngakuinnya, tapi ... ya, kita saudara tiri."

Linzy berusaha berdiri di atas kakinya yang gemetar. "Kamu salah, Yan ... dia juga menderita kayak kamu. Bahkan lebih menderita!"

"Lebih menderita?" Lian menarik tangannya kencang. Terasa lebih kuat. "Definisi menderita yang mana dulu maksud lo!" Tangan Linzy sakit. "Lo gak tau apapun! Omongan lo itu cuma karena lo sayang dia!"

"Lepas, Yan! Sakit!" Meronta pun Linzy tak mampu lagi.

"Lo sakit? Bagus dong, seenggaknya pangeran lo bakal nangis ngeliat tuan putrinya menderita!" Bukannya melonggarkan, Lian justru memperparah penderitaan yang Linzy rasakan. Kuku cowok itu menancap di kulitnya.

"Gue awalnya pengin Zion dan nyokapnya mati, biar membusuk di neraka!" Perih di tangan, yang akhirnya mengundang air mata Linzy. Ditambah, kelam di wajah Lian lebih menakutkan. "Tapi ... kalo dia di neraka, gue gak bakal liat penderitaannya gimana. Jadi gue ubah rencana, lewat lo gue bisa buat Zion hancur!"

Dilepaskannya cekalan itu, Linzy langsung menyembunyikan tangannya yang memerah.

"Dan gue beruntung karena cewek yang Zion sayang selain bundanya ..." Lian melangkah mendekat, sampai Linzy tak punya ruang buat mundur. Dia sudah berada di ujung pembatas gedung. "Ternyata cuma cewek bego, yang gak pernah peka sama sekitar!"

Susah payah Linzy meneguk ludah saat melirik ke bawah. Siapapun yang jatuh pasti terenggut nyawanya. Atau mungkin jika Tuhan masih mengkehendaki, sebatas tulang yang remuk dan tak mampu berjalan lagi.

"Lo tau seberapa sayang Zion sama lo?" Lian jadi tampak psikopat di mata Linzy. "Kalo disuruh lompat ke ke bawah, kayaknya dia bakal siap kalo lo yang nyuruh. Bahkan kalo lo mau, Zion bakal ngasih lo semuanya. Termasuk nyawanya!"

Bersama air mata yang tak henti mengalir, napasnya memburu. "LO PSIKOPAT YAN!"

"Ya ... itu gue," Lian malah mengakui, hendak menghapus air matanya, yang langsung Linzy tepis. "Lo seharusnya sadar dari awal."

"Dan lo mau tau satu hal lagi?" tanya Lian. Suasana sekitar makin menusuk dan Linzy berharap Tuhan memberikannya jalannya untuk lari dari iblis ini. "Ini tentang adik gue ..."

Hapus kata pergi untuk sementara, karena sekarang Linzy dibuat lebih kaget lagi. Adik? Selama ini Lian tak pernah membahas soal itu.

"Cewek yang kemarin lo liat, dia adik gue ..." Lalu Lian melanjutkan seperti sambaran petir di langit yang suram. "Zarlin namanya!"

°°°°

Antara percaya dan tidak. Zion terkejut luar biasa saat Zarlin membeberkan sebuah fakta. Cewek kecil itu telah pergi, meninggalkan Zion sendiri bersama bekas obrolan yang tak ingin dia percayai.

Alih-alih memikirkan diri sendiri, justru pikiran Zion langsung berlari memikirkan cewek yang berusaha kuat untuk dia lupakan berhari-hari. Untuk kesekian kali, Zion menelpon Linzy, yang cuma dijawab oleh operator.

Di dekat motornya yang terparkir, Zion bergerak gelisah. Mengusap rambutnya ke belakang, berkat frustasi yang mengekang.

"Angkat, Zi gue mohon ..." ujar Zion penuh harap. Yang detik berikutnya mengumpat kasar karena mendapatkan nomor yang ditujunya tak diangkat. Dia mencari kontak lain dan menghubunginya.

"Halo, Gha!" Zion tak ingin basa-basi. "Lo tau dimana Linzy sekarang?"

"Weh santai, Yon!" Suara kaki Regha terdengar seperti menuruni tangga.

"SIALAN! Gue gak bisa santai sekarang!" Zion mengacak rambutnya.

"Lo kenapa sih?" Regha bingung. "Ya mana gue tau Linzy dimana sekarang!"

Zion mengumpat beberapa kali. "Lo masang GPS di tas Linzy kan? Cek sekarang, dia ada di mana?!"

"Emang kenapa sih, Yon?"

"Gue bakal jelasin itu nanti ..." Zion sudah kalang kabut untuk menjelaskan panjang lebar. "Gue butuh tau keberadaan Linzy sekarang."

"Oke-oke," Kaki Regha menggema di seberang. Kursi digeser terdengar disusul ketikan keyboard laptop.

"Yon ..." suara Regha bingung.

"Apa? Dimana Linzy?" Zion tak punya waktu lagi.

"Dia ada di depan apartemen lo, Yon."

"Hah?" Zion bingung sebelum otaknya mencerna. "Thanks, Gha!" Lalu mematikan panggilan sepihak. Tanpa ingin membuang waktu, Zion langsung membawa motornya ke jalan.

●●●●●

Lian jangan jadi rangga yang jahat dunds :((

Ada pesan-pesan yang mau disampein ke Lian atau 

ke Zion?

Mau update kapan lagi ya hmmmm

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro