Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(71) ● Ujung Perpisahan

Cepet up biar cepet kelar wkwkwk. Pas baca ini kalem aja oke?😂

Pokoknya always ngingetin buat vote dan komen :)

°°°

BERITA Zion yang berpacaran dengan seorang adik kelas sudah menyebar di seantero sekolah. Belum apa-apa, satu sekolah dibuat geger oleh berita yang baru disimpulkan. Beberapa cewek melihat Zion bersama seorang cewek di kafe lusa lalu dan menduga ada sesuatu di antara mereka.

Dari satu mulut ke mulut lain, bagai api yang tersulut, berita itu menjadi besar dan membuat semua orang penasaran. Dan beruntung mereka tidak perlu bersusah mencari kebenaran. Berita itu langsung terjawab hari ini juga, saat Zion datang sambil menggandeng seorang cewek.

Tatapan demi tatapan membuntuti mereka sejak tiba di sekolah. Di area parkir sampai di lorong kelas sepuluh. Adik kelas sepuluh—atau bisa dibilang teman satu angkatan Zarlin—menatap mereka dengan sorot kebingungan. Berbanding terbalik dengan para cewek yang mengaku sebagai pemuja Zion, tatapan sinis itu dilemparkan secara terang-terangan.

Parah lagi para mantan Zion, yang menatap Zarlin naik-turun dengan pandangan menilai. Lalu membuang muka dan berbisik bersama teman-temannya. Tidak ada yang ditutup-tutupi, mereka malah sengaja mengeraskan suara.

"Seriously itu pacar baru Zion. Jatoh banget seleranya."

"Tumben banget Zion nyari cewek yang itu-nya kecil. Ya, you know what I mean!"

"Dia kecil banget njir! Gak sepadan sama Zion."

Yang mampu Zarlin lakukan cuma menundukkan kepala. Tubuhnya gemetaran karena terlalu banyak dijadikan pusah perhatian. Tatapan demi tatapan seolah menyuruh Zarlin untuk berlari dan bersembunyi.

Dia benci situasi ini. Tidak ada sedikit pun bayangan jika dia akan menjadi pembicaraan satu sekolah. Apalagi sampai mendapatkan segitu banyaknya tatapan tidak suka. Ternyata efek berpacaran dengan Zion sungguh luar biasa.

Seharusnya Zarlin sadar, Zion itu figur populer di sekolah, jadi sudah sewajarnya berita apapun tentang Zion, selalu menjadi perbincangan panas. Terutama bagi kaum hawa.

Zion melepaskan genggaman mereka, Zarlin tersentak dari lamunannya. Ditambah, kakak kelasnya itu merangkul bahunya. Sontak Zarlin menoleh, melihat senyuman Zion menyambutnya.

"Gak usah takut. Angkat dagu lo. Selama lo di samping gue, gak ada yang berani ganggu lo. Percaya."

Zarlin menarik napas panjang, membuangnya perlahan. Menyingkirkan kegelisahan yang seharusnya dia hilangkan. Zion benar, tidak ada yang perlu dia takutkan. Dia mengangkat kepala sambil mengurai senyum, mengikuti perintah Zion.

"Bagus!" Zion tertawa sambil mengusap kepalanya.

Mereka kembali melanjutkan langkah. Kali ini Zarlin mengabaikan semuanya. Berusaha untuk tuli dan tak peduli. Ini menyangkut kehidupannya, jadi buat apa memikirkan apa yang orang katakan. Biarkan saja, ada saatnya mereka lelah nanti.

"Udah sampe," Zion melepaskan rangkulan sekaligus langkahnya di depan kelas Zarlin. "Masuk gih!"

Zarlin menoleh ke dalam kelas. Menemukan seluruh temannya menatap penasaran. Tampak curi dengar pembicaraan mereka. Lagi dan lagi, Zarlin berusaha tidak peduli.

"Zar!" Tak lama seorang perempuan menyapa sambil menyandang tas. Yang dipanggil sontak menoleh ke belakang Zion. Menemukan Nara, sahabatnya, menatapnya gugup.

"Hai, Kak!" Nara menyapa canggung. Butuh mati-matian, Zarlin menahan tawa. Aneh melihat Nara yang cerewet berubah jadi kalem begini.

"Lo Nara, sahabatnya Zarlin?"

Nara berdecak kagum. "Kak Zion tau?"

"Zarlin cerita," jawabnya. "Oke, gue balik ya." Sebagai bentuk pamit, Zion mengusap kepala Zarlin sebelum akhirnya melangkah pergi. Nara ternganga melihatnya.

"Ra!"

Nara masih diam.

"RA!"

Buat yang ini Nara langsung mengerjapkan mata beberapa kali. Menyeret Zarlin ke mejanya.

"Apa?" Zarlin duduk di kursinya. Pun Nara.

"Jadi yang lo bilang lewat telepon semalem. Itu bener?" Nara seperti baru mendapatkan kejutan tak terduga. "Kalo Kak Zion nembak lo. Gila! Gila! Gue pikir lo lagi halu semalem."

"Halu?" Zarlin refleks memukul tangan sahabatnya pelan. "Enak aja!"

"Yee mana gue tau kalo itu ternyata bener," Nara tidak mau disalahkan. "Lo kan tau gue juga sering ngehayal jadian sama Kak Regha. Ya gue pikir lo juga gitu."

Sebagai respon, Zarlin cuma bergumam. Bukan karena malas membahas atau apa. Jujur ... Zarlin masih belum percaya. Kemarin saja dia butuh puluhan kali meyakinkan diri jika dia berstatus sebagai pacar Zion sekarang. Falzion Herlangga, jejeran cowok yang paling ingin banyak cewek dapatkan.

Kebaikan apa yang Zarlin lakukan sampai bisa memiliki orang yang dia sayang. Ya. Dia sayang Zion. Lalu apa Zion menyayangi Zarlin?

Bantu gue buat ngelupain Linzy!

Dalam hati, Zarlin tertawa miris. Entah sekarang sepatutnya Zarlin bersedih atau bergembira karena tahu jika Zion menjadikannya pacar hanya untuk melupakan Linzy. Bodohnya ... Zarlin terlalu jatuh hingga menolak saja dia tak mampu.

Siapa cewek yang bisa menolak saat cowok yang dipujanya meminta menjadi pacarnya. Mungkin agak bodoh menerima padahal tahu jika kenyataannya ada alasan kenapa cowok itu memintanya menjadi pacar.

"Zar!" Suara kencang Nara menyentaknya. "Dih bengong lagi! Mikirin apa hayo?"

"Gak mikirin apa-apa!"

"Bohong!" Nara menatapnya meledek. "Pasti mikirin Kak Zion kan? Yaelah Zar, baru pisah tadi udah dipikirin aja pacarnya. Nanti pas istirahat juga dijemput buat makan bareng. Cieeee~"

"Ih Nara!" Zarlin membuang muka karena pipinya memerah.

°°°°

Tidak ada seorang pun di sekolah yang tertinggal berita Zion yang berpacaran dengan adik kelas. Berita ini menjadi pembicaraan panas di kalangan cewek. Termasuk Linzy. Berita itu telah masuk di telinganya. Awalnya dia tidak percaya. Namun ... saat Zion datang bersama Zarlin pagi tadi membuat Linzy terkejut luar biasa.

Kelasnya bising. Semua anak menciptakan keramaian dengan alat kebersihan. Beberapa cewek tampak merumpi sambil menyapu. Sebagian lagi membersihkan kelas dengan tekun. Anak lelaki lebih banyak bercanda. Membuat musik dadakan. Sapu, pel, pengki seolah alat musik yang mengiringi suara mereka yang sumbang.

Zion juga ada di sana. Menimpali nyanyian dengan suaranya yang serak. Terkadang melemparkan guyonan yang membuat semuanya tertawa. Dia ikut tertawa. Senyumnya melebar tanpa ada sedikit pun kemuraman. Beberapa kali dia menjaili anak cewek. Dibuat kesal mereka membalasnya dengan memukul Zion memakai sapu. Cowok itu tidak marah dan malahan tergelak keras.

Seperti sadar diperhatikan, Zion mendongak. Menangkap basah Linzy yang memerhatikan sejak tadi. Seharusnya Linzy membuang muka. Bukan malah tetap menatap Zion lama. Beberapa detik setelahnya, Zion yang memalingkan wajah malas.

Tanpa tahu jika itu berdampak besar, Linzy merasa tembok yang disandarkannya sekarang runtuh. Hingga dia terjatuh dan menjadi sesak tanpa alasan.

Ini hari terakhir bersekolah. Minggu besok seluruh murid diliburkan. Dua minggu waktu yang diberikan untuk mereka bisa berlibur bersama keluarga. Sebelum nanti kembali dan sudah berlanjut ke kelas yang lebih tinggi.

Waktu bergulir begitu cepat. Linzy telah melalui setiap detiknya tanpa terasa. Dia selalu berusaha untuk tidak memikirkan yang sudah lalu. Masa lalu biarlah ada di belakang. Karena sekarang lebih baik Linzy berjalan ke depan tanpa menoleh.

Mudah mungkin mengatakan. Nyatanya Linzy tak sekuat itu melakukannya. Terkadang ada masa dimana dia ingin berjalan mundur dan menemukan kebahagiannya di masa lalu. Bukan cuma bersama Papa. Atau kenang-kenangannya bersama Papa.

Ada sosok lelaki lain yang juga dia rindukan.

Zion.

Selama ini dia tidak bisa berhenti memikirkan Zion. Walau Lian sudah menyuruhnya untuk menjauh. Sulit untuk mengabulkannya.

"Yon!" Di jam istirahat Linzy memberanikan diri memanggil cowok itu. Zion yang hendak turun ke lantai bawah mengurungkan niatnya.

"Gue denger," Linzy ragu kembali. Zion balik menatapnya dengan sorot tak terbaca. Menunggu lanjutan Linzy tidak sabaran. "Lo jadian sama Zarlin?"

"Ya. Kebetulan gue mau jemput dia ke kantin." Padahal Linzy yang ingin mendengar jawaban itu secara langsung. Namun, kenapa hatinya jadi melesak perih.

"Kalo gitu ..." Linzy berusaha mengulas senyum cerah sambil mengulurkan tangan. "Congrat!"

Zion membalas jabatannya. "Thanks!"

"Semoga ... lo gak main-main kali ini."

Yang cowok mengangkat ujung bibirnya kecil. "Dia pacar pertama gue yang bakal gue kenalin ke Bunda. Apa itu masih bisa disebut main-main?"

Linzy tersentak sesaat. Merasa api memercik di dada. Mati-matian dia tetap mengulas senyum. "Oh oke ... langgeng ya." Tahukah, butuh mental kuat buat Linzy untuk mengatakan satu kata itu.

"Lo juga," nada bicara cowok dingin. "Semoga langgeng sama Lian." Setelahnya, Zion menjauhkan tangannya. Seolah malas mengobrol lebih lama, Zion kemudian berlalu pergi menuruni tangga. Lagi-lagi, Linzy diabaikan begitu saja.

°°°°

"Jadi Kak Zion mau ngajak aku ketemu Bundanya Kak Zion?"

Entah itu pertanyaan yang keberapa. Zarlin malas menghitungnya. Dia cuma ingin memastikan sekali lagi jika indra pendengarannya tidak salah menangkap. Bel pulang bergema setengah jam yang lalu, dan sekarang Zarlin tengah di boncengan motor Zion.

Cara Zion berkendara cukup membuat Zarlin mendadak punya riwayat jantung. Dadanya berdebar-debar setiap kali motornya menyalip beberapa mobil atau berbelok kencang. Lebih parahnya, saat ada sebuah truk di depan mereka dan sedan di sampingnya, Zion menyalip di tengah-tengah.

Otomatis Zarlin mengeratkan pelukan. Merasakan jantungnya seperti merosot ke bawah.

"Kak Zion jangan kenceng-kenceng dong, aku takut!" Ini juga menjadi kalimat yang paling sering Zarlin lontarkan. Dan lagi-lagi, Zion cuma akan merespon.

"Makanya meluknya lebih kenceng."

"Ini udah kenceng meluknya!" Zarlin yang polos, Zion tergelak mendengarnya.

"Ya udah nyandar di punggung gue, terus tutup mata!" Zion memberi saran. Entah benar-benar saran atau sekadar modus. Zarlin menuruti saja tanpa membantah.

"Kak Zion!"

"Gue gak denger!"

"KAK ZION!"

"GUE GAK DENGER!"

"Terus kalo gak denger kenapa jawab!" Sontak saja Zion tertawa. Senang menjaili cewek di boncengannya. "Sebenernya kita ngapain ketemu bundanya Kak Zion?"

"Itu lagi pertanyaannya?! Bosen gue!" canda yang cowok, yang cewek sontak memukul punggungnya pelan. "Wah berani mukul-mukul ya sekarang."

"Kak Zion nyebelin sih!"

"Nyebelinnya ke pacar sendiri ini!"

Zarlin sontak bungkam. Merasakan pipinya mulai memanas.

"Kok diem?" Yang cowok membelokkan motornya. "Baper ya?" Karena tak bisa menjawab Zarlin cuma memukul Zion lagi dengan senyum yang diam-diam terurai.

"Kak Zion ih! Beneran. Sebenarnya kita mau ngapain?"

"Gue mau ngenalin pacar gue ke Bunda?"

Bisa tidak Zion itu tidak perlu membuat Zarlin merona malu. Sudah dua kali ini!

"Aku takut, Kak!" jujurnya akhirnya.

"Bunda gue bukan macan. Kenapa takut?"

Zion bercanda lagi. Yang cewek jadi kesal dan memukulnya lagi, sontak disambut tawa yang cowok.

"Gak usah takut. Kalo Bunda nerkam, ada pawangnya ini ... gue!" lalu dia menunjuk dirinya sendiri sebelum tergelak keras. Setidaknya candaan Zion cukup mengurangi ketakutan Zarlin. Sebenarnya dia bukan takut hanya saja dia gugup setengah ampun.

Bayangkan Zarlin yang bertemu orang baru saja sudah dibuat gemetaran apalagi bertemu dengan seseorang yang berstatus sebagai ibu sang pacar.

Pacar? Ya ampun kenapa mengingatnya saja membuat Zarlin merona.

Sepuluh menit kemudian, ketakutan Zarlin hilang begitu saja. Ternyata Bundanya Zion, yang bernama Friska itu, sangat ramah. Dia menyambut mereka dengan senyuman keibuan yang menenangkan. Zarlin menatap sosok itu lama.

Dari cara Friska berbicara, Zarlin seolah menemukan sosok ibunya yang pergi. Suaranya lembut, penuh kasih sayang, dan membuat siapapun tenang saat suaranya terdengar.

"Jadi kalian pacaran?" Friska bertanya sambil meletakkan beberapa makanan di ruang tamu.

"Ya!" Zion mengangguk sambil menoleh pada perempuan sampingnya. Zarlin yang ditatap langsung menunduk malu.

"Kamu kenapa nunduk terus sayang?" Zarlin tersentak dan cepat mendongak.

"Dia emang gini, Bun. Maluan orangnya." Zion yang menjawab.

"Untungnya sih kamu malu-malu ya. Bukan kayak Zion malu-maluin!" Zion memelotot kenapa harus dirinya yang jadi perbandingan. Friska tertawa.

Zarlin ikut tertawa. Mencoba untuk santai dan menghilangkan kegugupan yang sering kali datang ketika bersama orang belum dikenal.

"Besok pengambilan rapot kan?" Pertanyaan Friska Zion jawab dengan anggukan. "Besok yang ngambil rapot Zarlin siapa? Mama?"

"Gak Tante, Mama sama Papa lagi di luar kota. Jadi Sekretaris Mama, yang ngambil nanti," jawabnya kaku.

"Jangan Tante, Bunda," koreksi Zion.

Zarlin bingung. "Apa?"

"Manggil Bunda gue, Bunda aja. Jangan Tante."

Zarlin terbelalak. "Tapi ..." Dia ragu.

"Bener kata Zion panggil Bunda aja." Friska tersenyum ramah.

Bagaimana Zarlin bisa melakukannya. Apalagi ini pertemuan pertamanya pada sosok ibunda Zion. "Iya, Tan—eh maksudnya Bunda," ralatnya sambil nyengir.

Padahal berkhayal menjadi kekasih Zion saja, Zarlin merasa seperti mimpi. Apalagi ini. Mengenal Friska membuat Zarlin masih tidak percaya pada jalan takdir.

°°°°

Pukul lima sore, motor Zion berhenti di depan gerbang rumah Zarlin.

"Kak Zion mau mampir?" Zarlin berdiri di depan gerbang rumahnya yang telah dibuka.

Yang cowok menggeleng. "Gak ah rumah lo sepi. Bahaya," candanya dengan kerlingan nakal. Zarlin sontak memukulnya dengan pipi memerah.

"Ih kak Zion biasaan deh!"

Zion cuma tertawa. "Nanti aja, kalo ada Mama lo. Boleh kan gue ketemu Mama lo?"

Kalau pertemuan mereka dibayangkan, Zarlin jadi diserang gugup. Saat Zarlin mengenalkan Zion nanti, pasti mamanya akan menjadikan hal itu bahan untuk menggodanya setiap hari.

"Bo-boleh," lalu Zarlin beralih topik. "Mm ... Bunda deket sama Kak Linzy ya?"

Wajah yang cowok seketika kaku. Jujur, Zarlin tidak ingin membawa Linzy di obrolan mereka. Apalagi mengingat jika Zion tengah berusaha melupakan kakak kelas cantiknya itu. Namun, saat dia tidak sengaja mendengar obrolan Zion dan sang Bunda di dapur. Dia jadi kepikiran.

Friska heran karena Linzy sudah jarang datang ke rumah. Zion yang ditanya, cuma menjawab seadanya. Mengatakan jika Linzy sibuk bersama cowoknya. Dari jauh, Zarlin cukup sadar untuk melihat air muka Zion yang berubah suram.

"Karena sering latihan dulu, Linzy jadi deket sama Bunda gue."

"Oh ..." gumamnya. "Kak Zion masih sayang sama Kak Linzy?"

Zion terdiam kali ini. Zarlin pun terkejut kenapa bisa menyuarakan isi kepalanya.

"Gue lagi berusaha, Zar. Maaf ya?"

Meski perih itu menggelayut, Zarlin berusaha tersenyum. Seakan itu tidak jadi masalah.

"Ya udah gue balik!" Yang cowok pamit. Setelah mendapat anggukan ceweknya, dia langsung meninggalkan tempat bersama motornya.

Tidak apa-apa Zarlin. Zion butuh waktu. Mungkin sekarang dia masih menyayangi Linzy, tapi siapa yang tahu ke depan nanti.

Dia berjalan melangkah ke rumah. Sayangnya, langkahnya mendadak terhenti saat menemukan boneka beruang yang terbungkus plastik yang bertengger di teras rumah.

"Pak!" Zarlin memanggil satpam rumahnya yang tengah duduk di pos. Saat dipanggil tentu membuat satpam rumahnya berlari ke arahnya.

"Kenapa Non?"

"Ini dari siapa, Pak?" Zarlin menunjuk bonekanya.

"Oh itu dari tukang pos, Non. Biasa."

"Gitu ya?" Zarlin bergumam. Lagi dan lagi, dia mendapatkan paket boneka. "Ya udah Pak, makasih." Zarlin langsung mengambil bonekanya dan berjalan masuk.

Rumahnya kosong. Sepi. Cuma terdengar suara para pembantu di dapur. Zarlin menaiki tangga dan mengurung diri di kamar.

Selalu ada kertas yang terselip di boneka kiriman itu. Zarlin sudah bisa menebak tulisan yang terangkai di sana. Dan ... salah. Kalimatnya berbeda kali ini.

Kakak denger kamu udah punya pacar sekarang?

Putusin cowok kamu itu, dia gak baik buat kamu Aurel.

Kalut setelah membaca. Zarlin menggumpalkan kertasnya dan dibuang ke tempat sampah dekat rak buku. Cukup masa lalu yang membuat Zarlin merasakan sakit. Jangan lagi ingatkan nama itu!

Zarlin tidak mau mengulang masa lalu. Dia ingin lupa. Dia ingin kenangan lamanya binasa. Namun, ada pertanyaan.

Bagaimana kakaknya bisa tahu?

°°°°

Sebelum pengambilan raport di kelas, orang tua wajib datang rapat yang diadakan di aula sekolah. Para wali murid tampak saksama mendengarkan petuah yang kepala sekolah tuangkan dalam pidato di atas panggung. Isinya tidak jauh-jauh perihal pentingnya peran orang tua selama proses belajar siswa di rumah. Lalu juga membahas kakak kelas dua belas yang telah lulus dan banyak yang di antaranya keterima di perguruan tinggi negeri.

Bahkan ada yang mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Sekolah merasa bangga pada mereka yang telah membawa nama baik sekolah.

Bukan itu saja, kepala sekolah juga mengungumkan para murid yang masuk ranking pararel untuk naik ke atas panggung. Di antara anak yang mendapatkan sebuah piagam, Retta dan Arven salah satunya. Menduduki ranking pertama dan kedua. Nama mereka juga terpasang di banner yang ditempel luar sekolah.

Setengah jam kemudian, rapat selesai. Para orang tua lalu berlanjut ke ruang kelas untuk mengambil rapot anak mereka.

"Tahun besok kamu udah harus fokus belajar!" Clara memberi nasehat setelah menerima hasil raportnya. "Ingat kamu udah jadi anak kelas dua belas setelah liburan nanti."

"Iya, Ma!"

"Bu Clara!" Sang mama sontak mendongak. Pun Linzy yang berdiri di sebelahnya. Ternyata itu Friska bersama Zion yang berjalan mendekat. Clara tersenyum lebar, membalas menyapa dan saling cipika-cipiki. Seperti kawan lama yang sudah lama tidak berjumpa.

"Gimana kabarnya, Bun?" Clara bertanya.

"Alhamdulillah baik. Udah ngambil nilainya Linzy?"

"Udah," mamanya tertawa. "Ya gitu hasilnya. Yang penting jangan semuanya merah aja." Clara meliriknya, Linzy memelotot sebal.

"Itu mending dibanding Zion yang merah malah sikapnya!" Friska menjewer telinga Zion, sontak yang dijewer merintih kesakitan. "Nakal banget emang dia!"

"Sakit Bun!" Zion mengusap telinganya yang memerah. Sang Bunda tampak tak acuh dan malahan menatap Linzy dengan senyuman cerah.

"Linzy gak mau meluk Bunda?"

Linzy tertawa dan masuk ke dalam rentangan tangan Friska.

"Kabarnya gimana sayang?"

"Baik Bun."

"Jarang banget sih main ke rumah?"

"Nanti liburan, Linzy niatnya mau main ke rumah Bunda."

"Oh ya?" Friska sedikit memberi ruang di pelukan. "Gimana kalo sekarang aja mainnya? Ajak Mama."

Sudah sewajarnya Linzy terkejut. Dia menoleh pada Clara yang tertawa mendengarnya. Beda dengan cowok yang di samping bunda. Terlihat malas dan membuang muka.

"Gak bisa, Bun. Hari ini Linzy ada acara sama Lian." Sebenarnya bisa saja dia membatalkan acara jalannya. Lian pasti tidak keberatan. Namun, melihat wajah Zion yang menunjukkan wajah malas—tolakkan secara tidak langsung—itu sudah menjadi alasan masuk akal untuknya menolak.

Friska langsung memasang raut sedih.

"Maaf, Bun. Nanti hari selasa atau rabu Linzy pasti ke rumah Bunda." Linzy memeluk Friska lagi. Yang dibalasnya lebih erat.

"Janji?"

"Janji, Bun." Friska tertawa. Mengusap rambut belakangnya penuh sayang.

"Bun!" Zion memecah keadaan manis itu dengan suara dinginnya. "Udah belom? Zion mau ke kafe hari ini!"

"Iya-iya!" Friska mengurai pelukan perlahan. Mengusap pipinya pelan. "Bunda pulang ya?" Linzy mengangguk. Kemudian Friska pamit pada mamanya. Memeluk satu sama lain. Zion pun pamit pada Clara.

Tiba tatapan mereka terkunci, Zion seketika memalingkan wajah. Menunjukkan ujung perpisahan mereka, dengan jarak yang makin tercipta panjang.

●●●●●

Makin jauh mereka :((

Tinggal beberapa part lagi, harapan kalian apa buat ending nanti?

Lebar banget Zarlin senyumnya :)))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro