FF(7) ● Alasan Dibaliknya?
Banyak orang lebih suka menghakimi, tanpa tahu alasan dibaliknya.
°°°°°
WARNA cokelat susu itu menghiasi setiap dinding kamar milik sahabatnya. Lemari berisi buku-buku novel dan beberapa buku antalogi berbaris rapi di sana. Suasana sunyi tercipta karena dua manusia yang berbaring di atas ranjang tampak sibuk dengan dunianya sendiri.
Namun, sesekali suara obrolan terdengar mengisi kamar. Di ranjang bersprei putih itu, Linzy berbaring menelungkup sambil memainkan jarinya di atas keyboard laptop milik sahabatnya. Mencari resensi film yang ingin mereka tonton.
Di pinggir ranjang, Retta tampak tentram bersandar di kepala ranjang sambil membaca buku bacaannya. Dan tak lupa, sebatang cokelat tergenggam di tangannya.
Seperti hari minggu yang biasanya. Dua minggu sekali Linzy akan melakukan quality time bersama kedua sahabatnya. Menonton film yang ingin mereka tonton setiap minggu. Home theater yang berada di lantai bawah akan mereka pergunakan untuk menghabiskan waktu bersama.
Dan seperti biasa juga, di antara mereka Shena yang paling suka datang terlambat. Anak itu selalu saja tidak pernah tepat waktu. Memberi berbagai alasan setiap kali ditanya kenapa bisa telat datang. Linzy terkadang mencoba mengerti, walau itu terasa menjengkelkan.
Tangan Linzy berhenti mengetik. Kesabaran mulai menipis. Dia meraih ponsel dan mengetikan pesan ke sahabat ngaret-nya itu.
Linzy. L: Lo dimana sih?!!!!
Menunggu diam. Tak lama, ponsel Linzy bergetar. Membuka pesan balasan sahabatnya.
Shenana: Tanda serunya kurang banyak mbaknya, tambahin lagi biar panjang kayak jalan tol. Nggak nyantai banget sih. Lagi OTW ini.
On the way, dia bilang?! Astaga sejak sejam lalu, perempuan itu selalu mengatakan on the way. Tapi lihatlah sampai sekarang raganya pun belum tiba.
Linzy. L: OTW OTW LO BILANG GITU DARI SEJAM YANG LALU YA! TAPI SAMPE SEKARANG BATANG HIDUNG LO PUN BELUM NONGOL JUGA!
Shenana: Capslock jebol woy, jari lo jempol semua atau keyboard lo lagi rusak? Tunggu aja kenapa? Udah biasa nunggu kan?
Shit! Lagi-lagi Shena merusak mood-nya dengan balasan terakhirnya itu.
Linzy. L: Bodo shen, bodo! -______-
Setelah mengetikkan balasan. Linzy melempar sembarangan ponselnya di atas ranjang. Kenapa kata menunggu selalu disanding-sandingkan dengannya? Arghhh!! Shena sudah merusak mood hari minggu Linzy yang menyenangkan.
Dapat dipastikan saat Shena datang nanti, dia akan melemparkan seluruh kekesalannya pada perempuan itu.
"Shena udah dimana?" Retta menutup buku bacaannya.
Linzy hanya mengangkat bahu tak peduli. "Nggak tau! Diculik tante-tante girang di jalan mungkin!"
"Gila aja!" Tawa Retta terdengar. "Lo udah tau mau nonton apa kita nanti?"
"Entah, gue masih bingung." Linzy terdiam, tiba-tiba ide jail itu menelusup di pikiran, membuat senyum jail juga ikut tersemat. "Kalo horor aja gimana, Ta?"
Sukses kalimat tanya Linzy mendapat lemparan bantal dari Retta. "Gila lo, nggak mau gue!"
"Penakut!" cibir Linzy.
Retta memelotot, merasa tak terima. "Gue bukannya penakut. Gue cuma nggak biasa nonton horor. Setiap gue nonton film berbau horor gue bakalan mimpi hantu yang gue tonton."
Dijelaskan begitu, Linzy mengerti. Berteman dengan Retta hampir setengah tahun. Membuat dia mengetahui seluruh sifat Retta yang dulunya cenderung pendiam. Retta itu pintar. Otaknya selalu bisa menyerap materi dengan mudah. Terlebih soal hitung-menghitung, Retta pakarnya.
Tapi siapa yang tahu dibalik kepintaran dan sifat pendiam Retta, perempuan itu penakut dan terkadang suka bersikap galak. Tapi tentu saja sifat galak Retta tidak bisa mengalahkan Linzy.
Sifat mereka berbanding seratus delapan puluh derajat. Retta yang suka menyendiri dan Linzy yang lebih menyukai keramaian. Retta yang sulit berinteraksi dengan dunia luar dan Linzy yang mudah menunjukkan kecerian di depan banyak orang.
Bagai bumi dan langit, persahabatan mereka saling melengkapi walau perbedaan itu membentang. Ditambah dengan Shena di antara mereka. Perempuan yang selalu membuat tensi darah Linzy naik karena tingkah dan sikapnya yang menyebalkan. Meski begitu, persahabatan mereka kurang lengkap jika keberadaan Shena diabaikan.
"Zi gue boleh nanya sesuatu sama lo?"
Sedikit terpaksa Linzy melepas pandangan dari layar laptop. Menatap Retta yang menunjukkan wajah serius.
"Apa?" Linzy beringsut dari tidur menelungkupnya. Dan duduk menyilang menatap Retta.
Wajah Retta ragu untuk sesaat, sebelum akhirnya dia berani mengatakan, "Ini tentang ... Zion?"
Secepat api menyambar bensin. Raut Linzy secepat itu berubah. Senyum yang sejak tadi bertengger terhapus begitu saja. "Lo mau ngerusak mood gue, Ta?"
"Nggak, nggak bukan begitu." Refleks tangan Retta terangkat seakan menepis opini Linzy. "Gue cuma heran aja sama lo." Kedua alis Linzy terangkat menunggu. "Kenapa lo segitu nggak sukanya sama Zion?"
Retta sengaja menekan kata 'nggak sukanya', meski yang akhirnya dia dapatkan tatapan kemarahan Linzy.
"Gini lo, Zi." Sedikit ragu, Retta memulai lagi. Tapi karena mengingat Retta sudah terlanjur tenggelam, jadi biarkan saja Retta lebih dalam menenggalamkan diri. "Lo tau, Zion bukan cowok berandalan, cowok yang suka tawuran, cowok yang suka bolak-balik ke ruang BK. Pengecualian untuk sikap brengseknya." Retta menambahkan saat melihat Linzy ingin menyuarakan protesnya.
"Lo bisa kasih gue alasan kenapa lo segitu bencinya sama Zion?" tatapan bingung dan penasaran tergambar di mata Retta. Linzy melihatnya tertegun. "Maksud gue alasan yang masuk akal."
Selama ini Retta selalu menahan diri untuk bertanya. Dulu, memang Retta pernah mempertanyakan alasan itu, tetapi Linzy selalu menjawab 'Zion itu brengsek', sekadar itu. Linzy itu perempuan ceria, dia mudah memamerkan senyum pada siapapun. Namun, kecuali untuk Zion. Setiap kali ada Zion, entah kenapa senyum Linzy lenyap tanpa bekas.
"Lo masih nggak ngerti juga kenapa cowok kayak Zion itu pantes buat dibenci?" Suara Linzy bertanya seakan tak percaya dengan Retta. "Ta, dia itu suka mainin cewek, dia suka gonta-ganti cewek. Cowok kayak dia itu pantes buat dijauhin, Ta."
Senyum ironis Retta terulas tipis di sudut bibirnya. "Zi, kita nggak bisa ngehakimin orang, cuma karena sifatnya. Apalagi kita nggak tau alasan dibalik sifat brengseknya itu."
Kepala Linzy berpaling ke arah lain. Mengembuskan napas untuk pertama kalinya. "Oke gue kasih lo alasan yang lain. Zion itu jail, tebar pesona, selalu kepedean, nggak jelas, gila, absurd, konyol, mesum, playboy, dan..."
"Dan?" Retta menunggu.
Linzy terdiam, berpikir sekeras mungkin. Namun, lagi-lagi kata brengsek yang berputar di kepalanya meminta untuk dikeluarkan di alasan yang dia sebutkan.
"Dan apa, Zi?"
Tangan Linzy terkepal. Bara kebencian mengalir penuh di seluruh indranya. "Dan ... dan ... dan dia pokoknya brengsek! Titik nggak pake koma ataupun tanda tanya!"
Retta menghela napas. Tak tahu lagi harus bagaimana.
"Brengsek itu sifat alamiah, Ta. Nggak ada penyebab ataupun alasan dibaliknya." Linzy terdiam. Emosi yang dipendamnya beberapa tahun menyeruak. "Dan tanpa ada yang peduli, kadang sifat brengsek itu nyakitin siapapun, Ta. Orang yang suka selingkuh di belakang, dia nggak pernah mikir kalo itu bakalan nyakitin orang yang jadi korbannya."
Tanpa bisa ditahan lagi, seluruh luka yang Linzy pendam hampir terbuka hari ini. Hampir terlepas tanpa diketahui. Linzy tahu ini masih membahas topik mengenai Zion, tapi entah kenapa luka lain akibat sifat yang mirip dengan lelaki yang Linzy benci itu memenuhi pangkal pikirannya. Menenggelamkannya pada sesuatu yang menyakitkan.
Bagi Linzy, brengsek itu berjalan tanpa adanya alasan. Sekalinya cowok brengsek akan selalu jadi cowok brengsek. Dia tidak peduli kalaupun sifat yang selama ini Zion tunjukkan ada alasan dibaliknya.
Dia tidak ingin ambil pusing, karena ada hal lain yang lebih Linzy pikirkan. Sifat brengsek yang hampir menghancurkan keluarganya. Menghancurkan kebersamaan papa dan mamanya.
"Yuhuuuu spada. Spada ontel. Punten permisi." Suara cempreng dibalik daun pintu kamar Retta menyentak Linzy dari rasa getir. Tanpa membuka pintu pun, dia sangat tahu asal pemilik suara itu.
"Anybody home! Nggak ada orang kah di dalam? Kalian berdua nggak mati cuma karena nunggu kelamaan kan?"
Refleks iris kelabu Linzy bergerak jengkel. Entah kenapa ucapan Shena jadi melantur tidak jelas. Ya ... Tuhan temannya itu tidak kebentur aspal saat dijalan tadi kan?
"WOY BUKANYA PINTUNYA, KAKI GUE SAKIT INI KELAMAAN BERDIRI." Shena benar-benar terbentur aspal sepertinya. Dia menggedor-gedor pintu kamar Retta dengan kekuatan super. Tanpa peduli dengan etika bertamu di rumah orang.
"Santai, Shen." Retta bangkit berdiri. Dia melirik Linzy sesaat. Entah kenapa perkataan Linzy mengenai sifat kebrengsekkan cowok tadi menyentil Retta. Seperti ada sesuatu yang Linzy sembunyikan darinya. Dan tak bisa dicegah, Retta mulai penasaran dengan seluruh kehidupan Linzy.
Ya ... seluruhnya bukan hanya kecerian yang selalu perempuan itu tunjukkan di depannya. Sifat bawel, galak, atau kasarnya. Tapi sesuatu yang lebih melibatkan emosi.
Setelah Retta menarik pintu terbuka, Shena langsung berbaring terlentang di atas ranjang miliknya. Kantung plastik berisi makanan snack yang dibawanya ikut terjatuh di samping tubuhnya. Linzy sedikit menyingkir, menatap Shena penuh kesal.
"Lo kemana aja? Hah? Lama banget!" Linzy langsung menyerbu.
"Bentar, Zi, bentar." Shena memejamkan mata sejenak. "Gue capek banget."
Wajah Shena sukses mendapat lemparan bantal dari Linzy.
"Aduh sakit!" pekik Shena lalu bangkit duduk menyilang. Dia tahu kali ini dia tidak bisa menghindari kemurkaaan Linzy. "Iya, iya maaf, tadi malam gue keasyikan nonton drama. Sampe bangun kesiangan."
Tidak ingin berlarut mendapat kekesalan Linzy. Shena mengalihkan topik. "Kalian udah tau mau nonton film apa hari ini?"
Retta mengangkat bahu tak acuh. "Nggak tau, kita dari tadi juga bingung mau nonton apa. Kita ke bawah aja langsung, liat beberapa film yang gue beli kemarin bareng Regha."
Usulan Retta mendapat anggukan oleh Linzy. Sedang Shena masih berusaha mengatur napasnya lelah. Tadi dia harus berlari dari depan kompleks rumah Retta karena taksi yang ditumpanginya mendadak mogok.
°°°°
"Lo sama Regha kemarin beli film horor semua?"
"Hah?" Retta terkejut dengan pertanyaan Linzy. Dia ikut memeriksa semua Film yang masih dibungkus plastik hitam. Sama sekali belum dia buka kemarin. Dan seketika matanya terbelalak. "Regha bohongin gue?!"
Linzy meringis melihat wajah kesal Retta. "Emang lo nggak tau Regha milih DVD horor semua?"
"Gue nggak tau, dia cuma nyuruh gue duduk diam, biarin dia aja yang milih. Lagian dia bilang mau beli film kartun, gue percaya aja." Bibir Retta merengut. "Arghh Regha ngerjain gue!"
"Lagian lo bego, gampang banget percaya." Shena menceletuk, tampak sudah duduk manis di belakang Linzy dan Retta sambil memakan beberapa snack miliknya dan tambahan snack di kulkas Retta.
Retta hanya mampu merengut sebal.
"Ya udah kita nonton horor aja," putus Linzy langsung. Melihat Retta ingin protes. "Nggak ada yang boleh protes. Lagian semua film di rumah lo udah kita tonton semua, Ta. Dan kita lupa buat beli film-film baru, jadi terpaksa kita nonton DVD film yang lo beli sama Regha. Kalo mau protes, protes sama cowok lo."
Retta menghela napas pasrah. Pada akhirnya dia pun mengalah.
Lampu ruangan sengaja Linzy matikan. Di belakang Retta sudah bersiap-siap memegang bantal erat di depan wajahnya. Sedang Shena terlihat tenang bersama cemilan. Linzy pun berkuasa penuh pada remot DVD. Seperti mengecilkan atau membesarkan volume.
Film mulai bermain. Tulisan seram dengan kata 'Bethany ' tampak mengerikan di layar tipis televisi yang menempel di dinding.
Ya ... setidaknya hari ini film horor yang menyeramkan akan sedikit menghapus pikiran kalut Linzy.
TBC(21-05-18)
●●●●
Marhaban ya ramadhan, selamat berpuasa bagi yang menjalankan.
Mohon maaf ya misalkan selama ini ada hal yang gak berkenan di cerita aku. Atau ada kata-kata kasar di dalamnya ;)
Danke❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro