Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(69) ● Escape Party

Mau ngasih peringatan aja sih, part ini agak nganu :v

Agak bahaya kalo pembacanya gak bisa mencerna, jadi harap bijak dalam membaca :)

Vote dan komen dunds, mau liat komen yang bejibun kayak kemarin wkwk 🐎

°°°

SATU hari berlalu, kesedihan masih kuat mengekangnya untuk keluar. Di hari kedua pun Zion masih terperosok di jurang keputusasaan. Di hari ke empat, dia mencoba bangkit. Tertatih-tatih berjalan ke depan. Membiarkan setiap kesedihan yang lalu dia tinggalkan di belakang.

Ditambah malam harinya Papa datang lewat mimpi. Mengirimkan senyum dan kalimat yang sering kali dia ucapkan dulu.

"Kalo Zion mau liat Papa senyum di atas sini, Zion juga harus tunjukkan senyum ke langit. Ke Tuhan. Ke semua orang. Buktiin kalo Zion kuat. Zion, anak lelaki Papa yang pantas buat bahagia."

Kalimat itu terngiang-ngiang hingga Zion terbangun di kamarnya yang hampa. Dia melirik jam dinding. Pukul 4 pagi. Diturunkan kakinya dari ranjang yang telah menemaninya selama empat hari berturut-turut.

Sudah dua hari Zion tidak datang ke sekolah. Sebenarnya itu tidak masalah karena setelah ujian akhir, sekolah hanya mengadakan perlombaan biasa. Walaupun memang diwajibkan datang kecuali yang memiliki alasan untuk absen.

Zion contohnya. Dia absen selama dua hari untuk menenangkan diri. Menyusun kembali semangat yang sempat dia lupakan. Berjuang untuk bangkit dengan susah payah.

Dia mampu. Dia bisa untuk melawan kesedihan yang mengikatnya ini.

Zion bergerak ke kamar mandi. Membersihkan diri sekaligus sisa-sisa kesedihan yang tertinggal. Didongakkan kepalanya, menikmati guyuran air hangat shower dengan pejaman mata. Rasanya telah lama Zion meninggalkan dunianya yang bahagia.

Dia tidak sadar saat berjalan ke depan, dia melangkah dengan posisi terbalik, hingga yang dilihat masa lalu, bukan kebahagiannya di ujung jalan.

Pukul enam Zion telah rapi dengan seragam sekolah. Keluar kamar dan menuruni tangga dengan senyuman yang terurai.

"Pagi, Bun!" sapanya mencoba ceria. Friska yang tengah sibuk di dapur, melengok ke meja makan. Mengernyit melihat Zion yang telah rapi memakai seragam sekolah dan tampak biasa saat mengolesi roti dengan selai cokelat.

"Pagi," balas sang Bunda sambil melepaskan apron yang melekat di tubuh. Berjalan mendekat dan ikut mendaratkan diri di kursi samping Zion. Selama Zion makan, Friska cuma diam sambil menatapnya seolah ada keganjalan yang terjadi.

Zion meletakkan rotinya di piring dan menoleh sambil senyum. "Bunda kenapa?"

Sebagai bentuk ketidakpercayaan, Friska menatap Zion berkaca-kaca. Terlihat haru sekaligus bahagia di waktu yang sama. Setelahnya, Zion ditarik ke dalam rengkuhan bundanya.

"Kayaknya ..." gumam Friska di bahu Zion. "Udah lama Bunda gak liat kamu senyum kayak gini?"

Senyum Zion makin melebar. "Itu semua karena Bunda. Karena Zion ingat Bunda."

Sang Bunda memberi sedikit ruang di pelukannya. Mencium keningnya sebelum mencubit hidung Zion pelan.

"Gombal kamu!" Friska tertawa. Zion menyusul di detik setelahnya.

"Bukannya emang Bunda suka Zion gombalin?"

Kini Friska mencubit pipinya. Justru Zion makin tergelak. Dalam hati, dia cuma berharap kalau semua ini awal untuknya kembali seperti semula.

°°°°

Bising seolah tak pernah lupa meninggalkan lorong sekolah saat pagi. Zion melangkah di antara padatnya siswa kelas sepuluh yang sibuk mengobrol di luar kelas. Saat tiba di lorong kelas sebelas, banyak teman kelas lain yang menyapa. Sekadar sapaan biasa atau bentuk tabokkan kencang di pundaknya. Terkadang bertos ria jika yang menyapa itu teman ekskul basketnya.

Ternyata kelasnya lebih heboh saat Zion datang.

"Wah mamen!" itu Niko yang berteriak.

"Akhirnya si raja playboy dateng juga!" Bagas tak tahu diri.

"Yon ... Yon udah selesai semedinya?" Ini Justin.

"Kalo mau semedi jangan lama-lama Yon. Dibawa kunti biang lo!" Ricky gak jelas.

Zion senyum lebar. Ini yang dia butuhkan. Dia tidak butuh kalimat belasungkawa yang menyayat hati atau kata-kata penyemangat yang terdengar menyedihkan. Cukup dari lelucon garing dan sambutan aneh seperti ini saja, Zion merasa senang dan semangat untuk ikhlas merelakan kepergian sang papa.

"Anak ceweknya cuma segini yang dateng?" Zion bertanya setelah duduk di kursi pojoknya.

"Pada lagi ke kantin," Justin duduk di sebelahnya. "Kenapa? Lo nyari Linzy? Kebetulan dia belom dateng."

Lima cowok teman kelasnya yang mengerumuni tergelak. Beda dengan Zion yang berdecih mendengarnya.

"Yon ... lo mau ikut?" Bagas duduk di kursi meja sebelah bertanya.

"Gak yakin gue dia bakal ikut. Regha sama Arven aja gak mau kan?" Niko yang duduk meja sampingnya tergelak. Membuat tangannya gatal menjewer.

"Arven Regha gak mau. Emang ikut kemana?" Zion tidak mengerti arah pembicaraan mereka.

Ricky, Justin, Niko, Bagas, dan Raka saling tatap. Lalu Raka menoleh dengan senyum penuh arti. "Club ... ada party malam ini."

"Party?"

Justin mengangguk. "Kakel yang ngadain. Buat seneng-seneng aja sebelum liburan sekolah."

"Lo harus ikut, Yon!" Bagas tampak antusias mengusulkan. "Ada banyak minuman mahal di sana. Terus juga ... ada banyak cewek." Setelahnya Bagas mengaduh karena pukulan Zion di kepalanya.

"Stress lo!"

"Ngasih saran bagus gue padahal. Malah kena gaplak!" Bagas mendengkus sambil mengusap kepalanya. "Sejak lo deket sama Linzy, lo udah jarang main-main sama cewek. Anggap aja ini waktunya buat burung lo bebas dari sangkar."

Zion memelotot lalu mengumpat. "SIALAN!" Sementara yang lain ketawa ngakak.

"Ayolah, Yon. Ikut aja. Kapan lagi ye kan?" Niko mengompor-ngompori.

Zion terdiam buat berpikir. Namun, saat menatap ke pintu ekspresinya berubah kaku. Di sana ada Lian yang mengusap kepala Linzy yang menerimanya sambil tertawa.

Tanpa sadar, Zion mengepalkan tangan.

"Gimana, Yon ikut gak?" Raka bertanya.

Zion mengangkat senyum pahit. "Oke. Gue ikut. Tapi ..." dia menatap lima teman kelasnya dan berbisik pelan. "Gue gak mau sampe Arven sama Regha tau."

"Aye-aye captain." Kompak mereka meledek.

°°°°

Dentuman musik terasa memekakkan. Dance floor sudah dipadati para manusia yang meliuk-liukan tubuh sesuai ritme musik Dj mainkan. Lampu berkedap-kedip di setiap detiknya. Menambah euphoria menyenangkan yang dirasa.

Dibanding teman sekolahnya yang sibuk menikmati pesta. Zion justru memilih terduduk di bar sambil meneguk minuman di gelas kecil. Saat tandas, dia akan mengisi gelasnya kembali.

Beberapa kali dia melakukan itu sampai Justin menahan botol yang dipegang.

"Weh, weh!" Justin menggeleng ngeri. "Stres lo ye?"

"Gue emang lagi stress!" jawabnya sambil meraih botol yang Justin jauhkan dari jangkaunnya. "Sini, Tin!"

Justin menggeleng. "Dibanding lo gila-gilaan sendiri, mending gabung sama yang lain. Ayo!" Justin mau mengajak Zion bergabung di dance floor, yang ditepisnya langsung.

"Males gue," Zion menumpukkan kepalanya di meja bar dan mengulurkan tangan meminta botol minumannya. "Tin, plis!"

"No, no, no!" Justin geleng. "Mending gue liat lo tambah stress dibanding gue bawa pulang temen nge-drunk abis! Joy gue titip nih anak, jangan lo kasih lagi!"

Ajoy, sang barista mengacungkan tangan. Mengiyakan.

"Joy ..." Saat Justin pergi, Zion meminta belas kasihan. "Pliss!"

"Sori Man." Ajoy menggeleng. "Ini soal cewek?"

"Apaan?"

"Lo mabuk sampe kayak gini, karena cewek?"

Zion berdecih. "Sok tau lo!"

Ajoy tersenyum. Tidak tersinggung. "Serius ini lo Falzion? Cowok fakboi itu?" nada Ajoy seperti menyindir. "Pacar dan mantan lo banyak, terus lo galau karena cewek? Aneh."

Memang aneh. Zion cuma bisa tertawa miris dalam hati. Tak mendapatkan apa yang diinginkan, Zion memilih diam dan membiarkan dirinya tenggelam dalam kebisingan.

Lalu tak lama, sebuah kecupan mendarat di pipinya. Dia tersentak dan menoleh.

Akibat terlalu banyak minum, pandangan Zion buram. Wajah cewek di depannya mengabur. Cuma senyum manis di sana yang jelas di mata. Dia mengerjap mata beberapa kali. Berusaha untuk melihat jelas.

Sebelum sempat Zion mengatakan apa-apa, cewek di depannya mengalungkan tangan di lehernya. Dia mengusap tengkuk Zion dengan gerakan pelan, membuatnya gelap oleh gairah. Tangan itu bergerak ke pipinya dan ke leher bagian depan. Diusapnya jakun Zion pelan.

Yang cowok meneguk ludah susah payah. Apalagi senyum cewek yang mengembang sempurna. Membuat dia teringat oleh senyum seseorang.

"Linzy!" Nama itu keluar begitu saja sekaligus menghentikan permainan tangan si cewek.

"Linzy?" Yang cewek kebingungan. Zion tentu tahu kalau dia salah orang. Didorongnya cewek itu menjauh. "Ini aku Cindy, Yon."

Dari suara, Zion pun sudah tahu kalau cewek di depannya adalah Cindy, sang mantan.

"Lo ngapain hah?!"

"Kamu ngira aku Linzy?" Cindy tergelak. Tak menjawab pertanyaan Zion dan lebih tertarik pada topik awal. "Kamu lagi galau mikirin Linzy? Cewek galak itu?!"

"Bukan urusan lo!" Seharusnya tatapan tajam Zion bisa menciutkan nyalinya. Tapi tidak, dia justru tersenyum miring.

"Jadi seorang fakboi, shitboy, playboy kayak kamu, bisa galau karena cewek?" Cindy tertawa menyindir. "Gimana rasanya, Yon? Jatuh cinta sama cewek yang udah punya pacar? Sakit?"

Zion berdiri walau sedikit hilang keseimbangan. Kepalanya yang berat tidak menghalanginya untuk menutup mulut cewek di depannya yang berstatus sebagai mantan.

"Terus kalo gue emang jatuh cinta sama Linzy, kenapa?" Zion balas senyum miring. "Lo cemburu karena gak bisa jadi Linzy yang ngambil hati gue sampai ngebuat gue gila? Lo cemburu, karena lo cuma gue anggap mainan?!"

Cindy tertawa miris. Miris untuk diri sendiri lebih tepatnya. "Dan bodohnya, aku gak pernah peduli kamu nganggep aku mainan, Yon." Zion lantas terdiam, yang cewek maju mendekat. Merapatkan tubuh mereka. "Aku di sini, selalu berharap kamu  ngeliat aku. Tapi kamu ... lebih milih Linzy, cewek yang gak pernah ngeliat kamu sedikit pun itu!"

Cindy menangkup pipinya lalu memberikan ciuman panas di bibir. Karena frustasi oleh keadaan, Zion membalasnya. Mencari pelampiasan untuk melumpuhkan seluruh ingatan yang menyesakkan dada.

Cindy semakin berani menempel lebih erat, yang Zion bantu dengan menarik bokongnya untuk merapat.

Sampai tiba, ciuman Cindy lebih liar dan menjalar ke tengkuknya. Zion ditampar kesadaran.

Dia mendorong cewek menjauh. Dan Cindy mendongak kaget, menatapnya penuh hasrat. Zion menertawakan kebrengsekannya dalam hati. Penuh sakit dan pedih. Karena nyatanya seberusaha apapun untuk berubah, dia tetaplah cowok brengsek.

"Ini salah, Cin." Zion menggeleng dan bergerak menjauh.

°°°°

Akhir-akhir ini, Linzy kembali merasa mengidap insomnia. Tiba waktunya tidur matanya sulit memejam. Rasanya kepalanya terlalu berat untuk diistirahatkan. Seperti sekarang, pukul setengah satu pagi, Linzy masih setia menatap langit kamarnya yang gelap. Cuma mengandalkan lampu samping tempat tidur.

Dia berbaring miring. Tidak ada suara apapun di kamarnya yang sunyi. Kecuali pikirannya yang memikirkan kembalinya Zion ke sekolah setelah dua hari meliburkan diri.

Sikap Zion masih biasa. Menciptakan kebisingan. Bercanda dengan anak kelas. Jail kepada anak cewek. Lalu dia akan tertawa bebas setelahnya seolah tidak ada lagi masalah yang menghalangi.

Namun ... ada pengecualiannya. Zion tak bersikap sama padanya seperti saat bersama anak cewek kelas. Dia berusaha mungkin menghindar. Merentangkan jarak makin lebar dan tak membiarkan mereka berdua berada di satu tempat yang sama.

Sejak penolakan di pemakaman, Linzy ingin ikut lupa. Ingin membuang perasaannya dan memulai kembali menyukai Lian. Tapi ternyata ... sulit. Dia selalu memikirkan Zion setiap malam. Bertanya-tanya bagaimana keadaan Zion setelah kepergian sang ayah? Lalu kapan Zion akan kembali ke sekolah?

Ponselnya tahu-tahu berdering, menjadikan lamunannya lantas buyar. Linzy mengambil ponselnya di laci samping tempat tidur. Lalu mengernyit saat membaca nama sang penelpon.

"Justin? Ngapain dia nelpon gue jam segini?" Penasaran, Linzy tentu mengangkatnya dan langsung menjauhkan ponsel saat telinganya menangkap musik yang memekakkan. Akhirnya dia memilih menekan speaker agar bisa mendengar tanpa di dekat telinga. "Halo, Tin. Kenapa?"

"Zi ..." Suara Justin tidak terdengar jelas. Tertutup oleh kebisingan di sana. Sebenarnya dia lagi dimana?

"Gue gak denger, Tin!" teriaknya kencang. "Lo lagi dimana sih?!"

Kebisingin perlahan sedikit memudar. Sepertinya Justin sedikit menjauhkan diri, mencari tempat yang lebih sepi. "Zi ... lo ke Club Lightale dong sekarang."

"Apa?!" Linzy bukannya tidak mendengar. Cuma kaget. Bagaimana bisa Justin menyuruh Linzy ke club malam. Tapi ... sebentar. "Jangan bilang lo ada di party yang kakak kelas adain itu?!"

"Iya, ada Zion juga di sini."

Linzy tambah syok. "Zi-Zion di sana?"

"Hm! Makanya lo ke sini dong, jemput Zion. Mabuk parah dia. Nyebut nama lo terus kayak orang gila!"

Tanpa pikir panjang. Linzy langsung mengiyakan. Tanpa memikirkan alasan, Zion yang terus memanggil-manggil namanya. Mematikan ponselnya dan buru-buru mengambil jaket sekaligus celana panjangnya yang digantung di belakang pintu. Setelah mengganti baju dan mengambil kunci mobil, dia menuruni tangga dengan mengendap-ngendap.

Takut sang mama bangun dan memergoki anaknya memakai baju rapi pada jam setengah satu pagi. Itu pasti sangat mengherankan. Dan Linzy tidak punya alasan yang masuk akal jika tertangkap.

Mobil Linzy akhirnya membelah jalan raya yang lumayan sepi. Namun, karena ini Jakarta, jadi banyak toko yang masih buka pada dini hari begini.

Butuh lima belas menit, Linzy tiba di tempat tujuan. Dia berjalan ke pintu masuk dan mendapati dua orang berbadan besar yang menjaga di sana.

"Password?"

Linzy mengernyit. "Password?"

"Kalo Nona mau masuk, Nona harus tau passwordnya." Salah satu penjaga menjelaskan.

Bagaimana mungkin Linzy tahu passwordnya? Dia saja menolak datang saat teman kelasnya mengajak. Sebentar ... sepertinya Shena memberitahu perihal ini. Ya. Sahabat cerewetnya itu ikut bersama Ricky.

Saat Linzy masih berpikir, kepala Justin melongok dari dalam pintu.

"ATJY!"

Setelah Justin bilang begitu, dua penjaga mempersilahkannya masuk. Langsung saja suara musik mengambang menusuk telinga menyambutnya. Linzy menutup telinga, takut-takut gendangnya menjadi pecah. Ditambah germelap lampu yang mengikuti ritme. Semuanya menyatu, termasuk para manusia yang berjoget di dance floor itu.

"Dimana Zion?" tanyanya sambil berteriak. Justin justru menyeretnya. Dan ... langkah Linzy terhenti tiba-tiba saat dilihatnya Zion yang membaringkan kepala di meja bar sambil meracau tidak jelas.

"Yon ..." Linzy memanggil lirih. Zion mendongak sebagai balasan. Lalu senyum si cowok mengulas sempurna dan susah payah bangkit berdiri. Setengah kesadarannya sudah terambil karena minuman itu.

"Linzy? Itu lo?" tanyanya tak jelas sambil mendekat. "Lo di sini? Gue gak lagi mimpi kan?"

"Liat kan?" Justin menggeleng. "Kebanyakan minum dia tadi!"

"Gue mabuk banget ya, lo gak mungkin ada di tempat ini ..." Zion tertawa.

"Lo emang mabok pea!" Justin kesal. "Ayo, Zi langsung bawa dia pulang aja."

"Yon ..."

"Yess Baby?" Zion tertawa, mengusap pipinya. Linzy menghela napas. Sadar jika Zion kini telah kehilangan fungsi otaknya karena banyak minum. Dipindahkannya tangan Zion dari pipi ke pundaknya.

Dibantu Justin dia memapah Zion keluar tempat terkutuk ini menuju mobil.

Usai mendudukan Zion di kursi samping setir, Linzy tersenyum pada Justin. "Thanks, Tin."

"Sebenarnya gue gak ngerti ya lo berdua ada masalah apa," Justin tentu sadar ada situasi yang rumit antara Zion dan Linzy. "Tapi ... kalo Zion sampe ngelampiasin kayak gini. Masalah lo berdua pasti kompleks banget kan? Dan Zion ... gue pikir dia cuma mau main-main sama lo, Zi. Tapi kayaknya gue salah. Bener gak sih?"

"Gue gak tau," Jujur Linzy juga tidak mengerti. Apa yang Justin katakan, itu juga yang pikirannya simpulkan. Namun, ucapan Zion yang menegaskan jika cowok itu tak mempunyai perasaan padanya, membuatnya tidak mau berharap lebih.

"Gue anter Zion pulang dulu, Tin," pamitnya lalu masuk ke dalam mobil.

"Kenapa lo cantik banget sih malam ini?" Zion senyam-senyum di sampingnya. Menatapnya lama lalu terkekeh dan berusaha meraih wajah Linzy, yang langsung dia jauhkan.

Linzy masih bingung oleh situasi ini. Lebih tepatnya bingung bagaimana bisa Zion meminum minuman sialan itu. "Kalo Bunda tau, dia pasti kecewa banget sama lo, Yon."

"Makanya jangan sampe Bunda tau," Zion mendekat dan menangkup wajahnya dengan kesadaran yang menipis. "Ini rahasia kita, oke?"

"Yon ..." Linzy hendak menjauh. Sayangnya, Zion justru menarik tubuhnya mendekat. Melilitkan kedua tangan di pinggangnya erat. "Lepas, Yon!" Zion mabuk parah dan wajar tak sadar apa yang dia lakukan sekarang. "Lepas!" Cara Linzy tak berhasil untuk melepaskan diri. Akhirnya dia memilih membiarkan.

"Kenapa lo ada di sini?" 

"Karena lo!" jawab Zion terkekeh-kekeh. "Gue kayak gini karena lo!" Secepat itu raut wajahnya berubah muram. Dia mendekatkan wajah dan membiarkan hidung mereka bersentuhan. Mengusap pipinya pelan. "Kenapa lo lakuin ini ke gue?"

Linzy terkunci. Tak ada ruang lagi untuk menjaga jarak. "Apa maksud lo, Yon?"

"Kenapa lo milih Lian? Kenapa harus dia? Dia ..."

"Yon lo lagi mabok!" Linzy bukan bermaksud memotong. Namun, ucapan Zion sudah terlalu melantur. "Sebenarnya lo mau ngomong apa? Kenapa gak langsung ke intinya?"

"Lupain ..." Zion senyum lebar. Dengan mata sayunya, dia menatap Linzy dalam. Kemudian selanjutnya Linzy terkejut saat Zion mengecup sudut bibirnya sekilas.

"YON!" Refleks dia mendorong Zion. "Apa-apaan lo!" Sadar terlalu kasar, Linzy menarik napas panjang dan membuang perlahan. Ingat, Zion tengah hilang sadar Linzy. Jadi jangan anggap serius setiap tindakannya itu.

"Mending lo diam, gue mau nyetir," lirihnya berkata lalu mengemudikan mobilnya membelah kegelapan jalan Ibukota menuju apartemen Zion.

°°°°

Tiba juga akhirnya. Linzy menghela napas lega. Selesai memasukkan password apartemen Zion, dia menjatuhkan cowok yang dipapahnya sejak tadi ke atas sofa ruang tamu. Yang cowok justru tertawa sambil menggeliyat dan terus mengeluarkan kalimat tidak jelas.

Linzy melepaskan sepasang sepatu yang cowok. Lalu saat hendak melepaskan hoddie hitam yang Zion pakai, dia malah menarik Linzy hingga tubuhnya oleng dan mendarat di atas tubuh Zion.

Linzy memelotot, beda dengan Zion yang mengurai senyum senang.

"Zion!" Linzy menaruh tangan di dada yang cowok agar ada sedikit jarak. "Plis, Yon ..."

"Jangan kemana-mana," pinta yang cowok sambil memejamkan mata. "Gue mau lo di sini, nemenin gue. Gue sendirian."

"Oke, tapi lepasin gue dulu!" Linzy ingin bangun, sayangnya Zion langsung menahan pinggangnya.

"Gak," Zion menggeleng seperti anak kecil. "Nanti lo malah pulang!"

"Gue gak pulang!"

Zion membuka mata. Menelisik wajahnya lama. Seperti menebak keseriusannya lewat mata. Seketika itu, senyum yang cowok mengembang sambil mengangguk. Dilepaskan pinggang Linzy.

Buru-buru, dia duduk di ujung sofa dan menjaga jarak.

Sialnya ... posisi itu malah membuat Zion menaruh kepala di pahanya. Linzy membeku. Apalagi saat Zion mencari posisi nyaman dengan terus menggerakan kepalanya. Setelahnya yang cowok mendongakkan kepala untuk menatapnya yang menunduk.

Linzy diam saat Zion mengambil tangannya lalu dibuat kaget ketika dia menciumnya sekali sambil tersenyum. Lalu Zion meletakan tangan Linzy di atas kepalanya. Digerakan tangannya untuk mengusap kepala cowok itu.

"Gue seneng kalo liat lo ada samping gue."

°°°°

Sekitar pukul lima pagi, Zion terbangun. Perutnya bergejolak mual dan langsung berlari ke kamar menuju kamar mandi. Untung tepat waktu dia memuntahkan seluruh isi perutnya ke kloset. Setelah membersihkannya, Zion bangkit berdiri dengan pusing yang tersisa sebab semalam.

Dia memukul kepalanya berulang kali. Menyesali perbuatannya yang kehilangan kontrol untuk berhenti meneguk minuman sialan itu. Tidak seharusnya dia melampiaskan semuanya ke sana. Itu adalah tindakan bodoh yang baru kali ini Zion lakukan.

Jujur saja, Zion memang bukan cowok baik-baik. Saat SMP dia sudah sering ke tempat-tempat seperti itu. Dia hanya meminum sedikit dan tak pernah membiarkan dirinya sampai mabuk dan akhirnya hangover begini. Jelas Zion telah melakukan kesalahan. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika Friska akan mengetahui hal ini.

Saat mengingat bundanya, Zion langsung teringat Linzy. Dia keluar kamar dan melihat ruang tamunya yang sepi. Ternyata saat bangun, Linzy memang sudah tidak ada di sini.

Dia membungkuk, mengambil selimut yang sempat menutupi tubuhnya saat tidur. Senyumnya lantas mengembang saat berpikir jika Linzy yang melakukan itu.

Dia melangkah ke dapur. Mengernyit melihat roti sandwich yang tersaji di atas meja bar. Lalu menemukan secarik kertas yang terselip di bawah piring.

Gue gak pinter masak, makanya cuma bisa buatin lo sandwich
dimakan ya sampai ketemu di sekolah :)

Membaca tulisan di sana, Zion terkekeh. Cuma karena dua potong sandwich, dia merasa senang luar biasa. Senyumnya mengulas sempurna. Kapan terakhir kali Zion merasakan ini semua?

●●●●●

Bahaya-bahaya ... 🙈🙈

Part ini Lian cuma nongol sebentar, kasian bener :((

Gimana? Gimana pas baca part ini? Haha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro