FF(67) ● Merentangkan Jarak
Huhu maaf baru bisa up
Kayaknya setelah ini aku bakal lancar lagi nulisnya haha
Minta vote dan komen boleh dunds? :*
°°°
MOBIL jemputannya telah datang. Linzy senyum saat Lian turun dari mobil. Sama-sama berpamitan dengan Clara untuk berangkat sekolah. Mencium tangannya bergantian.
Inilah kehidupannya yang baru. Setelah seminggu berlalu. Dia telah mengambil pilihan. Tidak ada yang dikhawatirkan. Dia hanya perlu menatap ke depan dan melupakan masa di belakang. Mencoba membangun masa SMA sewajarnya tanpa ada beban pikiran untuk perperangan batin.
"Udah belajar?" tanya Lian setelah mobil yang dikendarainya keluar gapura perumahan.
"Udah dong," Linzy tampak bangga. Ujian kenaikan kelas kebetulan jatuh minggu ini. "Aku pelajarin rangkuman yang kamu kasih kemaren. Terus juga beberapa soal yang Retta kasih."
"Beruntung kamu punya Retta."
Linzy memelotot. Mengerti dari sindirian Lian. Maksudnya, dia sangat beruntung memiliki Retta karena yang bisa diandalkan. Jadi dia tak perlu repot berjuang jika ada orang yang bakal dia repotkan. Siapa lagi kalau bukan Retta.
"Bercanda!" Lian tertawa. Mencubit pipinya gemas. "Coba aku kasih beberapa pertanyaan. Kalo kamu gak bisa jawab ..." Lian memberi kode dengan menusuk pipinya sendiri. "Aku dapet ciuman."
"Yeee ..." Linzy mendorong bahu cowoknya pelan. "Itu mah mau kamu!"
"Emang!" Lian tertawa lagi.
"Oke," Linzy setuju. "Tapi, kalo aku bisa jawab. Kamu aku cubit pinggangnya, terus kamu juga harus ngasih aku lolipop." Senyum jahatnya terurai. "Gimana?"
"Banyak banget permintaannya," Lian protes. "Tapi ... cubitnya di pipi kan?"
"ISH!" Ceweknya memukul lagi. Sepertinya menggoda Linzy adalah kesenangan buat Lian. Dia terus saja tertawa.
"Oke-oke," Lampu merah. Lian menghentikan laju mobilnya sekaligus tawanya. "Karena pelajaran pertama PKN. Jadi aku mau nanya yang bersangkutan sama itu."
"Curang!" Linzy langsung cemberut. "Nyarinya yang susah! Bahasa Indonesia aja!"
"Aku lagi gak pengin ngedongeng!" Lian bercanda yang membuat Linzy tertawa. Mobil kembali merayap di jalan raya saat lampu berubah hijau. "Pertanyaannya; Perolehan warga negara berdasarkan pertalian darah atau keturunan dari kedua orang tuanya dinamakan ..."
"Serius kamu nanya itu, Yan?" Linzy pikir Lian akan memberikan pertanyaan sulit."Ius sanguinis," jawabnya mantap. Lalu mengulurkan tangan. "Satu lollipop dan ..." Lalu tangannya bergerak mencubit kecil pinggang cowok, yang membuat Lian mengaduh kaget.
Lian sontak mengusap pinggangnya. "Kalo mau nyubit bilang-bilang dulu sih!"
"Biarin!" Cewek menjulurkan lidah meledek. Yang cowok sontak tertawa geli, tidak bisa marah cuma karena kegemasan pacarnya.
"Pertanyaan kedua," Lian senyum mengejek. "Perpu yang mengatur pemberantasan korupsi?"
Linzy seketika diam. Sial! Padahal baru semalam dia pelajari tapi kenapa mendadak semua buyar. "Bentar," dia menggali ingatan.
"Aku kasih waktu semenit."
"Bentar ih! UU No tiga puluh tahun dua ribu ..." Linzy berpikir sangat keras. "Dua ribu ..."
"Waktunya habis," Lian senyum menang. Sementara yang cewek mendengkus kasar. "Sebagai hukuman ..." Lian menunjuk pipi kirinya.
"Gak mau!" ceweknya menggeleng.
"Udah kesepakatan tadi," ucap Lian mengulang janji awal. Linzy cemberut. Walau ada sesuatu yang menahan, dia tetap melakukan. Diciumnya pipi Lian sesuai perjanjian. Seketika itu juga senyum Lian melebar.
Ini baru permulaan. Mungkin sangat sulit diawal. Namun, Linzy percaya. Rasa nyaman itu pasti akan datang dan dia bisa kembali menebarkan bunga-bunga kasmaran pada Lian. Mencoba menghapus seseorang yang sesungguhnya hatinya inginkan.
"Yan ..." mendadak Linzy teringat sesuatu. Lalu membongkar tasnya buru-buru.
"Kenapa?"
"Kartu ujiannya!" Linzy panik. Mengeluarkan seluruh isi tas.
"Hei!" Lian mengernyit. "Kartu ujiannya kan sama ketua kelas. Baru dibagiin entar di sekolah."
Bagai keran yang dimatikan secara tiba-tiba. Linzy menoleh bego. OH TUHAN! Bagaimana bisa Linzy jadi pikun begini. "Hehe," dia nyengir. "Aku lupa." Meresponnya Lian geleng-geleng kepala.
Linzy kembali memasukkan seluruh isi tasnya dan tiba benda terakhir. Dia terdiam mendadak.
Itu kunciran berbandul lollipop. Yang langsung membawa sekelebat memori di kepala.
"Lo ketemu ini dimana?" Waktu di Bandung Linzy kaget karena Zion memberikan kunciran lolipopnya yang telah lama hilang. Seingatnya dia menghilangkannya saat kelas sepuluh. Dan benda itu kembali lagi setelah setahun berlalu. Ketika itu Zion tak mengatakan apapun. Cuma senyum sebagai balasan.
Sepertinya berusaha semaksimal apapun untuk biasa. Agar bisa menghapus semua. Sayangnya, masa lalu sealu datang tanpa diduga. Inilah kehidupan Linzy selama tujuh hari berlalu begitu cepat, terasa sangat hampa.
°°°°
Kalau saat ujian memang semuanya tampak berubah. Anak yang biasanya malas mengerjakan pr. Sekarang tampak rajin membuka buku. Entah benar-benar dibaca atau sekadar dilihat, lalu saat selesai ditutup begitu saja.
Beberapa ada yang membuat contekan dengan bahasa luar. Pakai bahasa Jerman, Italy, dan Belanda. Begonya Justin, dia ikut-ikutan seperti yang lain. Membuat contekan bahasa asalnya; Belanda. Sayangnya, dia lupa kalau Ricky berubah jadi singa saat tiba waktu kenaikan kelas. Sang ketua kelas merobeknya begitu saja dan memukul kepala Justin.
"Makanya belajar, Tin!"
Sebagiannya lagi ada yang mengulang materi sebelumnya. Ini tipikal murid-murid rajin yang sejak awal selalu menduduki ranking kelas. Mereka tidak mau posisinya tergeser rendah. Kalau bisa naik dan duduk di juara pertama.
Lalu murid yang malasnya kebangetan. Paling-paling mencontek teman paling pintar walau ujungnya dia jadi cap-cip-cup karena biasanya teman mendadak tuli saat ujian.
Contohnya sekarang. Kelas begitu hening dan khidmat usai dibagikan kertas soal. Apalagi setiap meja yang biasanya diisi dua orang kini diberi jarak. Tidak ada kerja sama. Semuanya harus mengerjakan dengan kemampuan sendiri.
Duduk sesuai absen. Linzy duduk di bagian pojok. Di bangku depannya, tertulis nama 'Falzion Herlangga'. Itu kursi Zion, sayangnya masih kosong. Sudah lima belas menit berlalu sejak ujian dimulai dan tidak ada tanda-tanda kedatangan Zion. Itu yang menjadi alasan Linzy tak fokus pada soal. Malah bertanya-tanya kemana perginya cowok itu.
"Psstt!" bisik Justin. "No sepuluh dong, Rik!"
"Ini baru mulai ya, Tin. Ya kali lo udah nanya!" ketus Erika yang duduk di depannya.
Linzy cuma bisa geleng-geleng kepala melihatnya. Dialihkan lagi pikirannya untuk menatap soal di kertas. Di waktu bersamaan pintu kelas terbuka. Refleks semua menoleh bersama.
"Maaf, Bu mengganggu." Itu Bu Santi yang berbicara. Namun, Linzy malah terfokus pada cowok yang berdiri di samping Bu Santi.
Linzy speechlees. Kedatangan Zion yang terlambat sungguh mengejutkan buatnya dan juga yang lain. Ditambah perban yang menutupi bagian kepala cowok itu.
Bu Risma yang menjadi guru pengawas di kelas mereka menganggukan kepala saat Bu Santi membisikkan sesuatu. Entah apa yang mereka bicarakan, Linzy tidak bisa mendengar dan juga tidak penasaran.
Dia lebih penasaran pada perban yang tampak baru di kepala Zion.
"Oke, Zion. Ini kertas soal ujian kamu," Bu Risma memberikan sisa kertas di meja, yang langsung Zion terima. "Kamu sekarang bisa duduk."
Sebagai balasan, Zion cuma mengangguk.
Sebelum pamit keluar, Bu Santi memberikan kalimat semangat untuk mereka. Pintu tertutup kembali. Pun Zion yang kini telah duduk di mejanya sendiri.
"Tuh kepala lo kenapa, Yon?"
"Justin!" Suara Bu Risma memperingati. "Untuk sesi introgasi bisa dilanjutkan nanti saat istirahat."
Cowok keturunan Belanda itu merengut dan memilih menjadi anak penurut.
"Zi ..." Zion tiba-tiba memanggil sambil sedikit menoleh. Linzy mendongak kaget. "Lo punya rautan gak?"
Jujur Linzy terlalu berlebihan meresponnya. Mulutnya terbuka, seakan tak percaya. Itu sebenarnya tingkah yang wajar karena sejak kejadian perkelahian di lapangan. Mereka tak pernah membuka obrolan.
Bukan mereka, lebih tepatnya Zion yang menghindar. Linzy selalu berupaya untuk mendekat, yang langsung direspon cowok dengan bentangan jarak. Linzy maju. Zion mundur. Linzy bergerak menggapai, yang langsung ditepis langsung.
Karena tahu yang dia lakukan tak ada hasil. Seperti Zion yang menjauh, Linzy juga ikut membentangkan ruang kosong antara mereka. Mereka saling lupa. Seolah kedekatan mereka beberapa saat lalu hanya khayal semata. Yang jika diingat justru jadi menyakitkan dan berusaha untuk dihapus untuk waktu lama.
"Ini," Linzy memberikan yang Zion minta. Yang cowok mengambilnya dan saat itu juga senyum Linzy mengembang luar biasa.
°°°°
Bel istrihat menggema, yang dibalas seruan kecewa. Seperti yang awal dia katakan, waktu ujian mengubah semuanya. Anak kelas justru berharap waktu ujian ditambahkan agar mereka bisa menyelesaikan soal-soal. Tanpa harus terburu-buru seperti sekarang.
Linzy telah selesai. Membiarkan kertasnya di meja. Zion selesai lebih awal darinya. Kini tengah mengobrol dengan Justin.
Samar-samar, dia mendengar. "Bokap gue sakit. Makanya gue telat karena nemenin dia di rumah sakit."
"Terus itu kepala lo kenapa?" Justin bertanya.
"Kejedot," jawabnya singkat lalu keluar kelas. Melihatnya, Linzy sontak menyusul.
"Yon!" Linzy menahan tangan cowok saat di luar kelas. Zion mau tak mau berhenti walau enggan menatapnya. "Itu ..." Dia memikirkan kata-kata yang pas. "Itu kepala lo kenapa?"
Mau menoleh Zion kali ini. Menatap Linzy datar. "Buat apa lo nanya?"
"Karena gue ..."
"Pengin tau aja?" Zion senyum sinis. "Kayak makhluk kepo? Cewek-cewek alay gitu!" Linzy sontak terdiam sebab kalimat cowok menusuknya tepat di hati.
"Gue nanya karena ... gue khawatir?" Suara Linzy memelan diujung kata.
"Khawatir?" Si cowok tertawa hambar. "Lo khawatir sama gue?" nada Zion seakan mengejek.
"Yon ... kita temen kelas. Gak ada salahnya kan kalo gue peduli dan khawatir sama lo!"
"Sori aja ... gue gak punya temen. Terutama cewek!" Zion menunduk hingga hampir membuat kening mereka bertemu. Linzy tersentak. Ingin mundur, namun yang cowok menahan pinggangnya. Tanpa sebuah alasan, tubuhnya mendadak gemetaran.
Tatapan Zion bagai elang yang mencabik mangsanya sadis. "Gak perlu sok peduli karena gue gak butuh!" Kemudian dia melangkah hendak meninggalkan kalau bukan karena Linzy yang mengeluarkan kalimatnya.
"Gue denger bokap lo sakit?"
Zion berbalik dan melemparkan tatapan tak suka. "Lo nguping?"
"Gue gak sengaja denger," jelasnya pelan. "Gue ..." Linzy agak ragu. "Gue boleh jenguk?"
Yang cowok sesaat diam. Sebelum wajah datarnya terpasang. "Gue aja gak bolehin Regha sama Arven. Terus kenapa gue harus bolehin lo?"
"Yon ..." Linzy memanggilnya lirih. Matanya mulai berkaca-kaca. Sejenak ekspresi kaku Zion berubah iba walau semuanya kembali seperti semula.
"Lo kenapa sih sama gue?"
Linzy maju selangkah. Lagi dan lagi, Zion melangkah mundur. Penolakan Zion sering terjadi seminggu ini, dia mencoba biasa. Mencoba jika semuanya mungkin telah berubah. Sayangnya, dia belum bisa menerima. Sebenarnya apa yang salah?
Oke jika ini menyangkut statusnya sekarang. Jelas itu tidak bisa dijadikan alasan buat Zion menjauh. Perkara perkelahian? Dia dan Lian telah memutuskan damai berkat bantuan Regha dan anak basket.
Jadi apa penyebabnya?
Boleh saja mengatainya cewek bego atau apa. Terserah. Karena jujur saja, dia memang tak mengerti. Saat dia meminta penjelasan, Zion mengabaikan. Saat dia mencoba mencari tahu, cowok itu menutupi. Dan kini tanpa tahu yang sebenarnya, Zion bersikap seolah-olah Linzy yang patut disalahkan. Yang patut dihakimi.
Perasaan? Zion punya perasaan padanya? Kalau iya kenapa dia tidak memberitahunya sejak awal?
"Gak ada yang ngerti gue kenapa, termasuk diri gue sendiri ..." Lirih dia memberi jawaban. "Jadi ... berhenti ngurusin privasi gue!"
Setelahnya, Zion berlalu pergi. Meninggalkan Linzy seorang diri.
°°°°
Selucu itu memang. Dulu dua orang yang dekat. Kemudian saling menjauh dan membentangkan jarak. Tak ada lagi sapaan yang pantas. Semuanya lenyap pada waktu yang berjalan.
Linzy tak pernah berharap hal itu terjadi. Jangankan berharap membayangkannya saja dia tak ingin. Usai Zion pergi, Linzy menyandar di kursi panjang depan kelas. Termenung. Memikirkan harapan-harapan yang akhirnya musnah dan berakhir menyedihkan.
Jujur saja. Hatinya menginginkan Zion. Tapi apa yang dia bisa perbuat. Janji telah mengikatnya. Mengharuskannya untuk menepati dan melupakan apa yang hatinya ingini.
"Hei," Sebuah rangkulan sungguh menyentaknya. Secepat itu dia menoleh untuk mendapatkan senyuman Lian yang tahu-tahu duduk di sebelahnya. "Gak ke kantin?"
"Aku ..." Padahal itu pertanyaan mudah. Namun, Linzy bingung mau jawab apa. "Aku males."
"Males?" Lian membenarkan rambut Linzy di sisi telinga. "Kamu belom makan kan?" Yang ditanya menggangguk. "Makan dong. Kalo nanti sakit kamu juga yang gak enak ngerasaiinnya." Diusap lagi kepala sang pacar sebelum Lian berdiri. "Ayo ke kantin. Aku temenin makan."
"Males, Yan," rengek Linzy enggan.
"Ayo," paksa Lian pelan sambil menekan kedua pipi Linzy. Kemudian menarik tangannya yang ogah-ogahan. Akhirnya pasrah, Linzy membiarkan Lian membawanya ke kantin lantai bawah. Lumayan ramai. Kursi bagian tengah yang menjadi pilihan mereka.
Lian memesankan nasi goreng sekaligus telur mata sapi di atasnya. Makanan kesukaannya. Sayang, dia lagi malas mengunyah. Dibanding menu itu, Linzy justru memilih menyedot es teh yang juga Lian pesan untuknya.
"Kamu kenapa?" Lian akhirnya bertanya. "Lagi mikirin sesuatu?"
Yang cewek menggeleng. "Gak ... aku cuma mikirin ulangan entar habis istirahat ini," bohongnya.
"Mau aku bantu?"
"Gak usah, Yan," tolaknya. Sebenarnya ada yang ingin Linzy sampaikan. Namun, dia takut Lian salah paham. "Yan ... Hm aku—pulang sekolah ini ... kamu gak usah nganterin aku pulang ya?"
Lian tentu mengernyit. "Kenapa?"
"Aku mau ke tempat lain dulu?"
"Gak mau aku anter?"
"Gak usah. Gak usah!" tolaknya buru-buru.
Kening Lian masih berkerut sebelum akhirnya berganti senyum. "Oke. Asalkan kamu habisin nasi gorengnya."
Senyumnya seketika mengembang dibarengi tangan terangkat hormat. "Aya-aye captain!" Tingkah lucu yang akhirnya membuat Lian mengusap kepalanya lagi.
°°°°
"Udah seminggu, tapi gue masih gak percaya." Di lain meja, Nara yang tengah duduk di kantin bersama Zarlin mengerutkan kening. Reaksi yang selalu diberikan jika melihat Lian dan Linzy tengah berduaan.
"Emang aneh ya?" Zarlin bingung. Di matanya, Linzy dan Lian tampak serasi. "Mereka cocok!"
"Cocok?" Nara berpaling pada sahabatnya. "Lo ngomong gitu karena emang kenyataan atau karena lo gak mau kak Linzy dicocokin sama kak Zion?"
Zarlin sontak memelotot. "Gak gitu!" Kalau dia punya pemikiran begitu, bukannya terlalu jahat. "Jujur aja sih, kak Linzy sama kak Zion emang cocok. Tapi kalo emang gak jodoh gimana."
Nara senyum penuh arti. "Jadi lo mau bilang kalo kak Zion jodohnya tuh lo ya?"
"Ih enggak!" Zarlin menggeleng bersama pipinya yang merona. "Jodoh tuh di tangan Tuhan."
"Nah!" Tiba-tiba Nara berseru. "Tuh lo tau kalo jodoh di tangan Tuhan. Jadi kita gak bisa pastiin kalo kak Lian sama kak Linzy berjodoh. Bisa aja semuanya bakal kebalikan."
"Iya," gumamnya pelan.
"Yaelah, Zar. Gue ngomong gitu aja muka lo langsung mendung. Maksud gue sama orang lain bukan sama kak Zion. Kalo kak Zion kan jodohnya Zarlin. Iya kan?"
"Nara ih!" Zarlin salah tingkah. Nara tergelak melihatnya.
°°°°
Ruangan serba putih. Bau antiseptik yang menyengat. Lalu alat-alat penunjang kehidupan yang kini bersarang di tubuh sang Papa. Cukup tiga hal itu membuat segala nasihat bundanya untuk bertahan menghilang begitu saja.
Bunda selalu mengingatkan Zion untuk tidak sedih berkepanjangan. Tampilkan senyuman. Tunjukkan pada dunia kalau dia baik-baik saja. Kalau dia bisa melawan takdirnya yang menyakitkan.
Namun ... nyatanya ini sangat sulit.
Apalagi pedoman kebahagiannya kini tengah terbaring lemah bersama alat yang menempel di tubuh. Zion tidak tahu lagi harus bagaimana. Dia berada di ujung asa. Dan berharap kalau dunianya musnah saja.
Tidak!
Zion menarik napas panjang. Mengamati lagi wajah damai papanya yang terbaring. Tidak ada lagi bentakan. Tidak ada tatapan jijik. Bahkan biasanya melihat Zion berdiri sejauh dua meter saja papanya akan mengamuk tak karuan.
Tapi lihatlah sekarang. Papanya tak bisa melakukan apapun. Saat Zion berbicara Zafar tak merespon, cuma suara monitor yang terdengar.
Zion bangkit berdiri. Ini sudah cukup. Dia melangkah keluar. Lebih dulu melepaskan pakaian hijau khas ICU.
Friska ternyata menunggunya di kursi luar.
"Gimana?"
Zion tersenyum. Raut muramnya terlalu mudah dibaca. "Di dalam Papa gak bentak Zion. Bahkan pas Zion pegang tangannya, papa gak nampar. Cuma diam dan akhirnya Zion ngobrol sama suara monitor."
Friska kehilangan kata-kata. Walau mati-matian tetap mengulas senyum. "Itu sisi positif yang bisa Zion ambil kan? Zion bisa leluasa ngeliat dan berdiri di dekat Papa sesuai keinginan Zion selama ini."
"Ya ..." Zion mengangguk bersama kesesakkan di dada. "Itu emang keinginan Zion. Zion selalu pengin ada di samping Papa. Ngobrol sama Papa lagi. Tapi ..." Lelaki itu menjatuhkan air mata akhirnya. "Gak kayak gini caranya. Mending Papa mukul Zion berkali-kali. Dibanding Zion harus ngeliat Papa lemah kayak gitu!"
Sesak didadanya mengikat begitu kuat. Sampai Zion tak bisa menjelaskan bagaimana rasanya. Cuma air mata yang dia biarkan mengalir dengan derasnya. Friska langsung bergerak memeluk.
"Ini ..." Dia menunjuk perban di kepalanya." Zion gak masalah kalo Papa bakal ngelakuin ini lagi." Luka akibat benturan kencang yang papanya lakukan kemarin.
Sebelum Papa mendadak muntah darah dan dilarikan ke rumah sakit. Zafar mengamuk enggan meminum obatnya lagi. Zion yang kebetulan berada di sana langsung berlari dan lupa oleh kekejaman sang papa. Saat melihatnya, Zafar makin menggila dan membanting seluruh barang.
"Jadi ... luka di kepala lo karena Papa lo?"
Suara itu tak asing. Zion melepaskan pelukan bundanya buru-buru. Lalu menoleh untuk melihat keberadaan Linzy dan Regha. Sedetik setelahnya Zion membuang muka untuk menghapus air matanya. Dan menatap keduanya lagi dengan sorot tak terbaca.
Regha meringis. "Sori, Yon." Lalu menunjukkan tangannya yang memerah. "Kalo gue gak kasih tau, dia gak bakal berhenti nyubitin gue."
Linzy tentu memelotot. Mulut Regha kenapa bocor banget! Kemudian dia menoleh pada Zion. "Lo bilang Regha gak tau."
Yang ditanya senyum sinis. Seolah hal itu menjadi kebiasaan saat berhadapan dengan Linzy. "Lo gak ngerti penolakan tersirat ya?" ucapnya tajam. "Gue ngomong gitu, supaya lo gak ke sini!"
Friska tak mengerti keadaan yang terjadi. Tapi cukup peka oleh aroma perselisihan yang mengambang diantaranya.
"Ya ampun Linzy sayang!" Bundanya memang pintar untuk membuat pengalihan. Dia bergerak memeluk Linzy sejenak. "Kemana aja seminggu gak dateng ke rumah Bunda?"
Linzy mau menjawab tapi kalah cepat. "Linzy udah punya pacar sekarang, Bun. Makanya sibuk." Itu Zion yang menyindir.
"Oh ya?" Friska mengernyit walau senyumannya tampak. "Mana pacarnya? Kok gak diajak?"
"Mana berani, Bun. Takut pacarnya cemburu!" Lagi-lagi Zion menyindir.
"Zion!" tegur Friska. Lalu dia senyum pada Regha. "Ini juga Regha. Kenapa gak pernah main ke rumah Bunda?"
"Lagi sibuk akhir-akhir ini, Bun."
"Kalian berdua aja. Arven?"
"Sebelum UAS selesai Arven gak bakal keluar kamar, Bunda." Regha tertawa singkat. "Buku aja yang jadi temennya." Friska tertawa. Mengangguk mengerti.
"Kalian mau jenguk Om Zafar?" Regha dan Linzy mengangguk menjawabnya. Friska menoleh lagi pada Zion. "Anter mereka ke dalam, Yon."
"Linzy duluan aja, Bun. Nanti baru Regha." Regha mengalah.
Zion tampak mau protes. Yang langsung Friska bungkam dengan pelototan. Mau tak mau, Zion melangkah ke ruangan ditemani Linzy yang berjalan di belakang.
°°°°
Seperti yang dianjurkan. Linzy telah memakai pakaian steril rumah sakit. Menatap Zafar yang kini terbaring lemah dengan alat-alat di sekitarnya.
"Papa lo kenapa bisa gini?"
"Gangguan hati. Bokap gue dulu kan sering minum minuman beralkohol. Ya jadi gitu dampaknya." Zion seperti enggan menjelaskan.
"Jadi kapan bokap lo diagnosis gangguan hati?"
"Lima tahun lalu."
Sejenak hening mengelilingi. Keduanya memilih menutup bibir dan enggan berbicara. Bukan. Mungkin lebih tepatnya hanya cowok yang tidak ingin ada percakapan. Cuma diam dan menatap muram sang Papa.
"Yon ..." panggil yang cewek lirih. "Lo kenapa ngejauh?" Secepat itu yang cowok menoleh. Bibir Linzy seketika terkatup. Jujur, dia enggan membicarakan hal ini. Namun, hatinya memberontak. Menyuruhnya cepat-cepat untuk mengeluarkan isi pikirannya seminggu ini.
"Niat lo ke sini karena mau jenguk bokap gue kan?"
Linzy menggigit bibir bawahnya. Nada dingin Zion cukup membuat dia mengurungkan lagi arah pembicaraan.
"Jadi gue harap lo gak usah ngebahas hal yang gak penting."
"Tapi ini penting, Yon." Linzy ragu-ragu.
"Zi ..." Zion maju selangkah. Linzy terjepit ruangan yang tak cukup luas ini. Dia terkunci di pijakan tak bisa kemana-mana kecuali kepalanya yang bergerak ke belakang kala Zion mendekatkan wajah. "Dengerin gue ya ..."
"Lo ngejauh bukan karena lo suka sama gue kan?" Entah itu keberanian dari mana. Linzy yang menyadari ucapannya sendiri, langsung menutup mulutnya sebagai refleks.
"Gue suka sama lo?" Nada Zion terdengar merendahkan sebelum tergelak pahit. "Kepedeean banget lo! Sori ... lo bukan tipe gue!"
Seperti dijatuhkan hingga dasar, Linzy tak mampu berkata-kata. Merasakan dadanya yang mendadak hampa. Apalagi saat Zion berbisik. "Dan setelah ini, gue harap ... lo pergi!"
●●●●●
Linzy gak paham karena Zion gak ngejelasin. Ya gitu aja terus :(
Liat komennya dulu ah, kalo yang antusias komrn banyak, aku bakal up lagi bsok sore wkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro