FF(66) ● Pengirim lollipop (?)
Akhirnya punya waktu lagi buat up, vote dan komen jangan lupa sayangkuhh :*
Semoga kalian suka part ini wkwk
°°°
TIDAK biasanya Linzy datang ke sekolah pagi-pagi. Menghentikan secara paksa mimpi indahnya. Ada yang dia hindari. Inti dari dia yang sudah berada di lobi saat jam enam kurang lima menit itu karena ...
"Tumben lo udah dateng?"
Zion.
Kakinya terpaku di lantai lobi sekolah. Cowok itu mengangkat alis bingung. Ekspresi yang wajar kalau melihat seorang Felinzy Lavira sudah tiba di sekolah pada jam segini. Apalagi hari ini adalah hari bebas pelajaran. Itu ritual yang terjadi setelah pensi yang sekolah adakan. Biasanya hari bebas itu akan mereka pergunakan untuk kerja bakti. Membereskan sisa-sia euphoria semalam.
Lalu ini ... secara tanpa diduga. Orang yang dia hindari berada tepat di depannya. Menggagalkan seluruh usaha yang telah Linzy lakukan untuk menghindar. Salah satunya merusak tidur nyenyaknya hanya agar bangun lebih pagi.
Tidak ada orang bodoh untuk tidak mengetahui alasan Linzy menghindari Zion bukan?
Melihat Zion lagi, membawa reka ulang adegan kiss semalam di kepala. Setiap incinya masih dia ingat jelas. Butuh banyak waktu untuk tertidur malam tadi. Insomnianya kambuh karena kejadian di mobil itu. Ditambah sekarang dia telah menemukan jawaban dari sang penghuni singgasana hatinya. Siapa yang lebih dominan membuatnya nyaman.
Itu Zion. Yang kini makin memporak-porandakan jantungnya. Sebelum sadar akan perasaannya, dia masih bisa biasa. Namun, saat semuanya telah dikonfirmasi. Linzy tak bisa lagi menahan kegugupan yang menyerangnya tiba-tiba.
"Zi," Panggilan cowok, memecah lamunannya begitu saja. "Lo mau ke kelas bareng gak?"
"I-iya," Linzy mengangguk cepat.
Kegugupan Linzy terlihat jelas hingga Zion bertanya. "Lo kenapa?"
"Mm?" Linzy mendongak. Menatap cowok yang juga balik menatapnya. Tanpa sadar, Linzy menggigit bibir. Bingung bagaimana menjelaskan apa yang terjadi dengannya.
Yang cowok melangkah mendekat. Refleks Linzy menengadah kaget. Membalas tatapan dalam Zion yang terasa membelah jiwanya. Lalu selanjutnya dia menarik bibir Linzy agar melepaskan gigitan bibirnya sendiri.
Dia terkaku. Napasnya terenggut habis. Apalagi saat Zion memangkas jarak yang membentang. Sontak matanya memejam. Dihitungnya dalam hati, menunggu-nunggu untuk antisipasi. Namun ... tidak ada yang terjadi.
Dibuka pejaman itu dan melihat si cowok tersenyum lebar. Lalu melangkah menjauh.
"Ayo ke kelas."
Barulah Linzy bisa menghirup udara sebanyak-banyakanya. Hal tadi sungguh mengejutkannya. Membuatnya menunggu dengan debaran kencang. Dia pikir ... ah tidak! tidak!
Lupakan Linzy! Lupakan!
Berbanding terbalik dengan Linzy. Zion justru tampak santai. Melangkah meninggalkan Linzy yang terdiam. Yang cewek sontak cemberut. Ini tidak adil. Bagaimana bisa Zion terlihat biasa saja. Sedangkan dirinya mendapatkan badai yang merusak seluruh sel otak.
"Yon tungguin!" teriaknya sambil menyusul. Cowok yang dipanggil menoleh dan menghentikan langkah. Menunggu langkah Linzy berhenti di sampingnya.
"Cih! Ninggalin!" omelnya saat berdiri di samping Zion.
"Lagian malah bengong. Siapa suruh!" Rasanya Linzy ingin memaki. Ini hatinya tidak salah bukan, untuk menjatuhkan perasaannya ke cowok menyebalkan yang minta digampar sampingnya ini.
Linzy cemberut. Karena hatinya telah memilih. Pikirannya telah kalah argumentasi. Akhirnya dia memukul Zion saja sebagai emosi.
Yang dipukul malah tersenyum dan menoleh. Menjulurkan sebelah tangan untuk menangkup pipi Linzy lalu menekannya. Hingga bibir Linzy menekuk lucu.
"Cih! Bisa gak sih, lo gak imut gini. Jadi pengin cium lagi rasanya!"
Eh ...
Linzy terdiam. Merasakan pipinya yang mulai memanas dan tak lama menciptakan rona. Si cowok malah masa bodoh dan menautkan jemari di sela jemarinya. Menggenggamnya erat.
"Biar lo gak diambil orang," jelasnya sambil senyum lebar.
Yang cewek menunduk. Melihat genggaman tangan mereka. Diam-diam senyumnya mengulas. Kalau bisa dideskripsikan, hatinya seperti membuncah oleh kebahagian.
"Lo jadi ngomong sesuatu pulang sekolah nanti?" Linzy bertanya saat mereka melangkah di koridor bersama. Untungnya jam segini lorong masih sepi, cuma beberapa adik kelas yang menatapnya saat di lorong bawah. Dan yang diabaikan mereka.
"Jadi." Lalu Zion semakin mengeratkan genggaman.
"Gue juga mau ngomong sesuatu."
Zion menghentikan langkah. Mau tak mau Linzy juga.
"Mau ngomong apa?" Zion tampak penasaran. "Sekarang aja."
Yang cewek jadi memelotot. "Nanti!" tegasnya.
"Sekarang aja sih," paksanya. "Kepo."
"Ya udah lo juga ngomong sekarang aja!" Linzy melempar balik bom.
Zion berdecak. "Gak bisa! Ya udahlah pas pulang sekolah aja ngomong bareng."
Senyum kemenangan, Linzy mengangguk setuju. Langkah mereka berlanjut di lorong sepuluh lalu menaiki tangga untuk mencapai kelas. Beberapa siswa telah datang di lantai dua. Menatap tautan jemari mereka penasaran. Sayangnya, mereka enggan peduli.
Jejeran loker berada di samping kiri. Disaat itulah langkah mereka berhenti. Terkunci di pijakan bersama pandangan curiga.
"Hei!" teriak Linzy. Refleks sang cowok yang membuka pintu lokernya terkejut setengah mati. Hingga menjatuhkan benda yang dibawanya. Pusat perhatian Linzy tentu berpaling ke benda yang mendarat di lantai.
Itu lollipop.
Dia speechless. Otaknya mendadak mati walau sebuah kesimpulan dia temukan pelan-pelan. Apalagi saat cowok itu menoleh kaget, rasanya jantung Linzy merosot ke bawah. Mulutnya terbuka refleks karena tercengang luar biasa. Matanya melebar dengan detak yang berhenti sesaat.
"Lian?" Sisa terkejutnya masih belum sepenuhnya hilang. Linzy diam tak percaya apa yang baru saja dilihatnya. Sementara cowok di sampingnya membisu bersama ekspresi kaku.
Lian, cowok yang menjadi tersangka, membungkuk. Memungut lollipop yang terjatuh sebelum kembali melihat Linzy dengan tatapan seolah siap untuk dihakimi.
"Jadi ..." Linzy susah payah berucap. "Jadi lo ... orang itu, orang yang ngirimin gue lollipop? Lo orangnya?"
"Zi ..." ini suara Zion yang berbisik. "Dengerin gue ..."
"Bentar, Yon!" Linzy memotong. Ini bukan waktunya Zion mengajaknya bicara. Harus ada yang diklarifikasi di sini.
"Yan ..." karena Lian membisu, suara Linzy terdengar memaksa. "Jawab gue!"
"Zi ..." Sosok pengirim itu terungkap hari ini dan jelas Lian tidak punya ruang untuk mengelak. "Gue bisa jelasin. Gue ... ya!" Lian melangkah mendekat dan berhenti selangkah di depan Linzy. "Gue orangnya! Gue penganggum rahasia lo itu!"
"Seriously man!" Zion tampak marah di sebelah Linzy. Entah karena apa. Mungkin karena fakta Lian yang notabennya gebetan Linzy sejak kelas sepuluh ternyata juga orang yang menganggumi Linzy diam-diam.
"Zi ..." Zion menangkup pipi yang cewek agar menoleh padanya. "Lo harus dengerin gue ..."
"Gue sayang sama lo, Zi." Linzy langsung memalingkan muka. Kembali menatap Lian tak percaya. Itu pengakuan Lian secara langsung. Di depan loker. Di lorong kelas sebelas yang mulai ramai.
Beberapa teman angkatan tampak penasaran. Mereka yang baru datang sudah disuguhkan oleh sebuah drama. Sudah selayaknya mereka menonton tanpa peduli oleh tas mereka yang enteng tanpa buku.
Dari satu orang membuat anak lain ikut serta. Lama-kelamaan membentuk kerumunan yang menyesakkan.
"Gue sayang sama lo, Zi." Lian maju lagi selangkah. Hingga jarak mereka lumayan tipis. "Gue suka sama lo sejak dulu. Sejak di taman. Sejak gue ngasih lo lollipop pertama saat lo sedih."
Linzy tak bisa mendeskripsikan lagi bagaimana keadaan sekarang. Yang intinya dia mendadak merasa tak punya ruang untuk lari. Lorong mendadak menyempit sebab para manusia kepo yang mengelilingi.
Linzy terjebak ditambah genggaman Zion yang menguat. Membuat jawabannya membeku di otak.
"Yan, gue ..." Linzy ingin menolak. Mengungkapkan secara jujur apa yang dia rasa. Namun, semuanya mendadak hilang karena ikatan janji yang dibuat sendiri. Apalagi dia bukanlah seseorang yang akan tega menolak cowok di depan banyak orang.
"Sekarang lo udah tau gue penganggum rahasia lo itu," Lian mengenggam sebelah tangan Linzy. Sementara Zion juga masih menggenggam satunya lagi.
Jadi bisa bayangkan. Bagaimana terdesaknya Linzy.
"So ... lo mau jadi cewek gue?"
Zion memelotot dengan tangan sebelahnya mengepal. Bagaimana dengan Linzy, yang sekarang melebarkan mata syok. Tidak menyangka jika langkah yang Lian ambil akan sejauh ini.
Sekitarnya justru memperkeruh suasana. Mengucapkan kata 'terima' bersama-sama. Semakin membuat Linzy tak berdaya.
"Gak, Zi." Itu bisikan Zion. Dia menguatkan genggaman mereka. Membuat Linzy terpaksa menoleh menatapnya. "Gak ... gue mohon ..."
"Terima ... terima!" Yang lain makin ramai. Linzy menolehkan ke khalayak kerumunan. Ternyata ada Retta dan Regha di antaranya. Arven pun. Bahkan tak tertiggal, ada teman-teman kelasnya termasuk, Ricky dan Shena. Sahabat sipitnya itu mengacungkan dua jempol sebagai bentuk persetujuan.
"Terima, Linzy!" Itu Ricky yang berteriak.
"Jangan neng, potek nanti hati abang!" Wajah Bagas nelangsa.
"Kalo gue gak sih, Zi. Kasian ada yang patah hati entar!" Justin ikut-ikutan.
"Terima ... terima. Kalian cocok tau!" Ini lagi anak cewek kelasnya.
"Lo mau jadi cewek gue, Zi?" Lian melemparkan lagi pertanyaan itu. Seolah dia tak sabar menunggu.
Linzy menunduk. Kepalanya mulai terasa berat karena beban-beban yang harus ditanggungnya jika dia menjawab 'iya ataupun menolak. Semua ada konsekuensi yang bakal dia terima nanti.
"Gue," Dia menggigit bibirnya. Dadanya terasa sesak hingga dia ingin menjatuhkan air mata—yang mati-matian dia tahan. "Gue ..." dia menoleh pada Retta. Mungkin sahabat pendiamnya itu akan memberikannya pencerahan.
"Ikutin kata hati lo." Itu yang Linzy baca dari gerakan bibir Retta.
Maunya Linzy itu. Tetapi dia tidak bisa. Dia tidak bisa!
"Ingat janji, Zi!" Seakan ada malaikat yang berbisik di kepala. Linzy membatu mendengarnya. Mengulang memori saat dia mengikrarkan janji itu untuk pertama kali.
"Saat lo tau siapa Mr. L lo itu. Lo bakal apa?" Shena pernah bertanya soal ini saat kelas sepuluh.
"Gue bakal nerima dia!" Saat itu dia yakin menjawabnya.
"Seriusan?" Shena kaget. "Kalo orangnya jelek gimana?"
"Shen, jangan gitu. Gak boleh mandang orang dari fisik." Linzy sok ceramah. Padahal dirinya sendiri begitu. "Entah kenapa gue punya insting kalo dia ganteng." Senyumnya malu-malu sambil mengenggam lollipop di tangan.
"Lagian kalo gue tolak dia, gue gak bisa. Dia yang udah buat gue senyum setiap pagi. Dia yang udah buat gue seneng datang ke sekolah. Dan juga ... gue tau rasanya kagum sama orang diam-diam." Kebetulan saat itu Lian lewat. Linzy menatap cowok itu lama.
"Gue janji siapapun itu Mr. L gue bakal nerima dia kalo dia jujur sama perasaannya."
"Zi ... lo nangis?" Suara Lian menyentaknya. Linzy terkejut sontak mengusap pipinya yang basah. Lalu dia menggeleng sebagai jawaban.
"Lo gak mau jadi pacar gue?" Lian menyimpulkan.
"Bu-bukan gitu. Gue ..."
"Lo suka sama gue bukan?"
"Hah?" Linzy kaget sepenuhnya. Bagaimana Lian mengetahui itu. "Lo tau darimana?"
"Dari tingkah lo," Lian senyum kecut. "Bego ya gue ... gue sadar perasaan lo ke gue selama ini. Dan bukannya ngungkapin, justru gue cuma diam kayak cowok pengecut." lalu dia memainkan jemari tangan Linzy walau dia terkadang melirik genggaman Zion. "Gue gak berani. Cuma bisa mandang lo dari jauh dan ngirimin lo lolipop setiap pagi. Cuma buat bisa liat senyum lo!"
"Cih!" Zion memasang muka jijik. "Lo gak usah ..." kalimatnya berhenti sebab Lian melepaskan genggaman mereka dan menarik kedua tangan Linzy semudah itu. Yang cewek membatu. Pun Zion yang kini terdiam kaku.
"Gue bener-bener sayang sama lo, Zi." Mata Lian berkaca-kaca. Lalu mengusap pipi Linzy lembut. "Gue mohon jangan nolak gue!" mintanya lirih.
"Ya ampun Zi, lama banget sih! Terima ajalah!" Anak IPA5 bersuara. Terutama ceweknya.
"Eh jangan dong. Habis stock cogan lama-lama."
"Emang nih Telvi, bukannya suruh nolak!" temannya satu lagi protes.
"Mereka cocok njir!" Telvi, yang disebutkan tadi berdecak kesal.
"Gue ... gue mau," Semua orang tercekat kaget. Termasuk Zion yang tak percaya mendengarnya. "Gue ... gue mau jadi pacar lo!"
Tangan Zion mengepal kuat hingga kuku terasa tertancap di sana. "Gak, Zi." Dia menggeleng. "Lo bercanda kan?" Linzy menatap raut Zion yang tak terbaca. Dia tidak punya pilihan. Terdesak oleh kerumunan, ditambah janjinya sendiri.
Air matanya bergulir di pipi. Sambil senyum perih, yang cewek menggeleng. "Gak ... gue gak bercanda." Beda dengan Zion yang menatapnya datar. Lian justru tersenyum lebar dan langsung menariknya ke pelukan. Yang langsung disambut kehebohan sekitar.
"Makasih! Makasih, Zi!" bisik Lian. Sementara Linzy cuma terdiam. Dia telah memilih, jadi dia juga harus siap pada konsekuensi.
Zion yang menyaksikan semua. Cuma bisa melangkah mundur dengan kepalan tangan. Kemudian meninggalkan kerumunan. Termasuk melupakan mimpinya yang ingin dia bangun menjadi kenyataan.
°°°°
Peristiwa pagi tadi telah usai tapi masih meninggalkan bekas di kepala orang-orang. Banyak yang membicarakan. Apalagi topik Lian dan Linzy yang baru jadian masih hangat-hangatnya dijadikan perbincangan.
Bagai kopi yang baru diseduh. Asapnya masih mengepul dan butuh didiamkan agar bisa diteguk. Jadi begitulah caranya hidup. Omongan orang abaikan saja. Karena ada masanya mereka lupa. Dan punya hal yang baru untuk dibahas mereka.
Beruntungnya hari ini ajang rumpi memiliki kesibukan masing-masing. Sebenarnya bukan mereka saja, tapi seluruh murid SMA Taruna Jaya. Tampak sibuk oleh peralatan kebersihan. Pikul-memikul membersihkan akibat euphoria semalam.
Setiap kelas gaduh. Berisik menyuruh. Lupa kalau jika dirinya malah sibuk berleha-leha di meja guru. Itu contoh yang tidak baik dari Ricky, ketua kelas sebelas IPA3. Tidak seperti yang lain tengah berperang pada lantai, kolong meja, jendela kelas. Ricky tampak santai, menikmati es tehnya.
"WOY KAMBING!" Bagas melempar penghapus. "Kerja lo bangsat!"
"Tolong ya itu mulut. Pengin gue sambelin rasanya!" Ricky memelotot. "Sebagai pemimpin kelas yang bijaksana, santun, dermawan dan rajin menabung. Itu udah wajar duduk santai dan tinggal perintahin bawahannya doang buat kerja."
Ricky benar-benar minta disleding. Bagas maju hendak mencekik lehernya. Namun, Shena lebih dulu menjewer telinga Ricky.
"Ricky sayang," Shena senyum walau suaranya terdengar mengancam. "Kamu gak kerja kayak yang lain?"
Yang ditanya tergagap. Pacarnya sungguh menyeramkan saat seperti ini. "I-in-ini juga mau ikut bantu. Nih liat," Ricky berdiri buru-buru. Mengecek kolong meja guru yang telah bersih sempurna. Dia mencolek lantai di sana dan menunjukkannya pada Shena. "Tuh liat ... masih kotor. Nanti aku bersihin." Kemudian dia ngacir mengambil sapu.
"Jinak lo ye kalo ama pawang lo!" sindir Bagas. Shena sontak melotot yang dibalas cengiran bego ala Bagas.
"Yaelah, yang baru jadian lemes amat!" Ini sindiran Raka buat Linzy yang malah bengong di depan jendela. Tangannya mengelap kaca dengan pandangan kosong. "Zi, weh jangan bengong! Nanti kalo lo kemasukan mak kunti, gue orang pertama yang bakal kabur."
Saat sadar, Linzy refleks memukul cowok yang mendapatkan tugas yang sama dengannya. Dia dan Raka disuruh Ricky untuk membersihkan jendela kelas. Bukan cuma mereka berdua, Retta dan Shena juga. Namun, karena Shena punya misi untuk memberi 'pelajaran' pada Ricky dia sontak meninggalkan tugasnya sejenak.
"Lo kenapa, Zi? Gak seneng ya jadian sama Lian?" Bagas tiba-tiba menyempil. "Tuhkan! Lo tuh seharusnya jadian sama gue aja. Damai, langgeng dan pastinya bahagia."
"Gas, lo gak mau muka lo kena lap kotor kan?" Linzy lagi mood malas bercanda dan jelas dia tidak ingin meladeni gombalan receh itu.
"Hahaha mampus lo kutil," Raka tergelak lalu nyanyi, "Cinta ditolak emang gak enak. Cinta ditolak emang gak enak!"
"Eh jangan dong, gak ganteng lagi abang nanti—Aw!" akhirannya Bagas memekik saat bokongnya merasakan pukulan. Bagas mengumpat siap mengeluarkan jurus silat sebagai balasan. Sayangnya, dia terdiam dengan cengiran saat tahu pelakunya itu Shena besama kemoceng di tangan.
"Linzy tuh bukannya gak seneng jadian sama Lian," Shena yang menjelaskan. "Dia cuma masih di mode gak percaya kalo akhirnya dia bisa jadian sama gebetan."
Bagas memasang muka bego. "Bisa gitu?"
"Bisalah!" Galak Shena.
"WOY!" seruan kencang itu membuat seluruh perhatian kelas menoleh ke pintu. Melihat Justin yang terengah-engah sambil memegang dada. "Zi ..." panggil Justin putus-putus. "Lian ..." Nama Lian disebut Linzy tentu saja mengernyit. "LIAN SAMA ZION BERANTEM DI LAPANGAN!" akhirnya Justin bisa juga menjelaskan.
Beda dengan Justin yang kini bernapas lega. Semua anak kelas justru tercengang luar biasa.
"Kok bisa?"
"Lah gimana dah?"
"Apa sebabnya coba?"
"Ini bukan karena lo kan, Zi?"
Pertanyaan dari temannya tumpang tindih menjadi kegaduhan. Linzy mendadak tuli. Semuanya terasa mati kecuali gerak kakinya yang langsung berlari keluar kelas. Termasuk Shena dan Retta di belakang. Yang lain sontak ikut-ikutan.
Di tengah lapangan ramai. Penuh oleh para murid yang berdiri membentuk kerumunan. Linzy melangkah terburu-buru. Mendorong sekitar untuk memberinya ruang. Tatapan merasa diganggu meraka, dia abaikan. Dia terus membelah kerumunan sampai langkahnya terkunci di pijakan.
Refleks dia mengangkat tangan menutup mulutnya syok. Apa yang Justin katakan ternyata benar. Regha berusaha mengunci pergerakan Zion dari belakang. Walau akhirnya dia terdorong menabrak pilar pinggir lapangan.
Linzy tak percaya menyaksikan. Apalagi saat Zion menindih Lian dan melayangkan pukulan bertubi-tubi seolah kesetanan.
Di dekat pohon Arven bernasib sama. Tergeletak dengan bibir sobek. Itu akibat mencoba menghalau perkelahian yang terjadi.
"Yon!" Regha berteriak. Berdiri susah payah. Benturan itu cukup kencang mengenai punggungnya. "Berhenti!"
Sebagai refleks karena melihat ketidakberdayaan Lian melawan Zion yang dirasuki setan. Linzy berlari mendekat dan langsung mendorong Zion menjauh dari atas tubuh cowok yang baru menjadi pacarnya beberapa jam lalu.
Dorongan itu tiba-tiba. Sontak Zion tak bisa menahan bobot tubuh dan mendarat jatuh.
"LO GILA YON!" teriaknya sambil mengangkat Lian yang babak belur ke dalam pelukan. "KENAPA LO LAKUIN INI?!"
"Gue ..." Lian terbatuk-batuk. "Gue nggak pa-pa, Zi," Dia susah payah tersenyum yang langsung memuncakkan emosi yang Linzy tahan. Dia melepaskan Lian pelan-pelan. Sebelum berdiri berhadapan dengan Zion yang beringsut bangun usai menghilangkan keterkejutan.
"LO KENAPA HAH?!" Linzy berteriak. Emosi yang menyesak di dada mengalir lewat air mata. "Lian salah apa sama lo?!" lirihnya.
Lelaki yang berdiri tepat sepuluh senti di depannya, mengangkat senyum sinis di bibirnya yang membiru. Wajah Zion tak jauh buruk dari kondisi mengenaskan Lian. Beberapa luka tertinggal di wajah cowok. Terutama di bagian sudut mata.
"Salah apa? Dia salah karena udah ..." Kalimatnya terhenti. Linzy menunggu dengan wajah kaku. Sementara yang menonton menunggu penasaran. Zion tertawa hambar. "Kalo pun gue jelasin ribuan kata ... lo gak bakal ngerti!" ucapnya penuh penekanan.
Yang perempuan diam karena ketidakmengertian dan otaknya yang memaksa penjelasan. Dia butuh jawaban dari semua tindakan Zion di luar dugaan.
"Gimana gue bisa ngerti kalo lo gak jelasin apapun?!" Linzy mengusap air matanya kasar. Sungguh dia tidak ingin tampak lemah di depan banyak orang seperti ini. Apalagi depan Zion yang kini tak berekspresi.
"Gevan, Ragel. Bawa Lian ke UKS!" Ini Regha yang berteriak.
"Zi ..." Disaat Linzy masih menunggu Zion menjelaskan. Suara lirih Lian memanggil. "Lo mau nemenin gue kan?" Linzy menoleh sebelum kembali menatap Zion.
"Lo gak butuh penjelasan gue! Urusan aja cowok lo itu!" kasarnya Zion lalu melangkah meninggalkan kekacauan. Arven melangkah di belakangnya. Sementara Regha menatapnya lebih dulu. Mengulas senyum. Mengusap kepalanya dan ikut menyusul.
°°°°
Butuh sedikit waktu untuk Linzy langsung menilai Zion dari awal berkenalan. Namun, butuh banyak waktu untuk Linzy bisa mengerti dan mengenal Zion lebih dalam. Semuanya berjalan mudah untuk mereka dekat dan bercanda bersama. Zion cowok menyebalkan yang berhasil menghapus seluruh luka dan membuatnya tersenyum bahagia.
Lalu kenapa waktu harus mengakhiri segalanya? Membuat seluruh waktu yang telah mereka pergunakan cuma berakhir sia-sia. Kedekatan mereka tak berakhir seperti harapannya dan justru memperparah keadaan yang tak dimengertinya.
"AW!"
"Eh," Linzy langsung sadar jika sekarang dia berada di UKS. Mengobati Lian yang terluka. Sebenarnya ada banyak anak PMR yang menawarkan. Yang langsung Lian tolak dengan alasan. "Biar cewek gue aja yang ngobatin gue." Sontak Gevan dan Ragel yang masih berada beberapa menit lalu langsung menyerukan kata 'cie' panjang.
"Maaf, Yan. Sakit ya?"
Lian yang terduduk lemah sambil menyandar cuma menggeleng. "Lo kenapa? Bengong gitu?"
"Gak kenapa-napa," Linzy berbohong. Jelas! Karena tidak mungkin, dia memberitahu pacarnya jika dia tengah memikirkan cowok lain. Cuma cewek bego yang akan melakukannya.
"Zion?" Lian sepeka itu ternyata. Linzy terbelalak langsung. "Lo mikirin dia?"
"Gini, Yan ..." Linzy tidak mau ada kesalahpahaman. "Gue cuma mikirin ... kenapa—kenapa Zion jadi gitu? Dia gak pernah emosi sampe segitunya." Itu yang membuat Linzy kepikiran. Zion itu selalu bisa mengatur ambang sabarnya. Jika emosi, dia akan mengandalkan candaan sebagai pengalihan. Atau tawa untuk menutupinya.
"Karena cemburu mungkin," simpul Lian yang sekali lagi membuat Linzy terkejut luar biasa. "Karena dia suka sama lo."
Kesimpulan itu sering menyelinap masuk di kepala. Sayangnya, Linzy tak mau berharap. Zion tak pernah mengucapkan kalimat itu walau tindakannya sering kali membuatnya menyimpulkan. Kalau mau Linzy percaya, Zion harus berbicara langsung di depannya. Berkata jujur mengenai perasaannya.
"AW!" Lian refleks berteriak. Saat Linzy tak sengaja menekan kapas di sudut matanya yang lebam. "Makin sakit ini kalo lo obatinnya kayak gitu."
Linzy meringis. "Maaf, Yan." Dia sontak meniup-niup sudut matanya yang terluka. Berpikir jika itu akan mengurangi sakitnya.
"Kalo lo tiup tambah perih jadinya, Zi."
"Eh iya?" Linzy langsung berhenti. Sementara Lian menahan tawa. Apalagi saat yang cewek bertanya dengan polos. "Terus diapain dong biar gak sakit?"
"Biar gak sakit?" Lian senyum penuh arti dan berbisik. "Dicium." Lalu dia menjauh dan melihat mata Linzy melebar tak terkira.
Sontak yang cewek memukul kaki Lian, yang malah membuat cowok itu tertawa. "Bercanda."
Kemudian Linzy tersentak saat Lian menariknya ke pelukan.
"Gue masih gak percaya, lo milik gue sekarang," suara Lian pelan. "Gue boleh minta satu hal?"
"Apa?" Linzy sedikit menjauhkan kepala agar bisa menatap cowok yang memeluknya.
"Boleh kita saling manggil 'aku-kamu'?"
Linzy kaget awalnya sebelum menganggukan kepala. Memaksakan senyumnya yang kaku. "Kenapa enggak?"
Senyum Lian lebih lebar kali ini. "Zi ... kamu milik aku sekarang." Lian sekadar mencontohkan tapi tak ayal Linzy mendadak sakit dan sesak di waktu bersamaan.
●●●●●
Dibawa terbang terus dijatohin. Emang sesakit ini rasanya ye kan? Wkwk
Lapang dada aja, mungkin ada kebahagian nanti--eh gak tau juga sih
*Senyumin aja, Yon*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro