FF(65) ● Hati Memberi Jawaban
Woohooo padahal cuma seminggu gak up tapi berasa berbulan-bulan ...
Untuk ngobatin rasa kangen, part ini panjaaaang banget. Tinggalin vote dan komennya say, biar akunya semangat gitu wkwk :*
°°°
ADA karung tidak di sini? Linzy butuh itu untuk menutupi wajahnya sekarang. Bagaimana tidak, di tengah lapangan, saat dia dan Zion berjalan menuju backstage, suara nyaring teman kelasnya mengisi sekeliling. Bahkan, jika digambarkan, musik dari DJ di samping panggung kalah oleh toa mereka.
"Tolong, ya Yon. Itu tangan dikondisikan!" sindir Echa melihat tangan Zion kini memeluk pinggang Linzy.
"Bisa banget lo nyari kesempatanya monyet!" Bagas iri bilang saja.
"Zi, jangan mau dipeluk-peluk sama titisan setan!" Ricky minta ditonjok.
"Hamba gak kuat ya Allah. Berasa ngeliat bidadari pas Linzy lewat." Justin lebih lebay.
"Kalau gini mah Aa' siap ngelamar neng Linzy. Sekarang juga Aa' bawa ke KUA. Hayuk!" Ini lagi Raka ikut-ikutan.
Bagai pawang, Zion memelotot sambil mendekat. "Mata lo semua pengin gue colok rasanya!"
"Dih ... jadi Zion yang galak!" Erika mengernyit.
"Calm down mas Bro," Ricky tergelak. "Digodain dikit aja, calonnya. Udah ngonggong kayak anjing penjaga!"
Apa-apaan Ricky! Linzy mulai merasa pipinya memanas lagi.
"Linzy udah punya calonnya sendiri Ricky sayang." Shena muncul dari belakang. Membawa kamera di tangan. "Dan itu jelas bukan Zion." Lalu saat di depan Linzy, senyum Shena mengembang lebar. "Foto yuk, Zi?"
"Eh kalo foto gue juga maulah!" Anak cowok berebutan. Melupakan begitu saja ucapan Shena barusan. Padahal tampaknya begitu besar. Untuk dua sosok yang kini memakai baju samaan.
"Eh-eh," Bu Santi keluar dari tenda belakang panggung. "Kalo mau foto nanti, kalo mereka udah selesai tampil," ucap gurunya yang dibalas seruan kecewa. "Ayo Zion- Linzy. Sebentar lagi kalian."
Di backstage, tak ada hentinya Linzy mengusap tangannya berulang kali. Bukan karena kedinginan, ini jelas karena gugup. Entah bagaimana bisa dia menghilangkan rasa nerveous. Membayangkan ditatap ratusan orang di atas panggung saja bikin nyalinya ciut.
Kelas 11-IPA1 telah selesai sejak tadi. Sekarang kelas 11-IPA2, menampilkan drama musikal. Di belakang panggung ini, Linzy bisa mendengar dialog setiap tokoh. Tentang Romeo and Juliet. Tentu saja terdengar tidak asing lagi.
Zion tiba-tiba tergelak. Linzy menoleh. "Kenapa lo?"
"Lucu gue denger dialog-nya," Tawa Zion tak berhenti juga. "Oh Juliet ... betapa cantiknya dirimu," Zion meniru sambil mengulurkan tangan menyentuh pipi Linzy. Yang cewek sontak memukulnya kencang.
Tidak ada alasan yang bagus untuk Linzy baper sekarang. Zion cuma menirukan adegan. Bukan benar-benar memujinya. Lalu kenapa demam panggungnya hilang dan berganti dag-dig-dug?
°°°°
Ini saatnya.
Mereka duduk di kursi tinggi yang telah diletakan. Stand mic pun telah siap di depan. Zion mengalungkan tali gitarnya lewat kepala. Beberapa anggota osis membantu memasang mikrofon tempel di gitar Zion. Saat semuanya ready, mereka mengucapkan salam pembukaan lebih dulu.
Karena suasana sedikit tegang, Zion mencairkannya dengan lelucon. Untungnya tidak garing, sebagian orang tertawa mendengarnya.
Di depan panggung. Ada Retta yang mengangkat tangan figthing. Regha tersenyum sambil mengangkat kamera. Shena melambai-lambai sambil senyum lebar. Dan sisa anak kelasnya yang heboh.
Linzy menarik napas panjang ketika Zion mulai memainkan senar. Petikan gitar mengambang. Pertama pelan dan menggebu saat mendekati lirik lagu.
"I know you're scared, I can feel it." Baru Zion menyanyikan intro, namun semuanya langsung dibuat diam. Terutama para mantan yang kini berjejer seperti lagi reunian. "It's in the air, I know you feel that too. But take a chance on me. You won't regret it, no ..."
Di bait kedua, Zion menoleh. Tatapannya tulus. Bagai air jernih yang membuat Linzy ingin menyelam lebih dalam. "One more "No" and I'll believe you. I'll walk away and I will leave you be. And that's the last time you'll say no, say no to me."
Sekarang bagian Linzy. "It won't take me long to find another lover, but I want you." Saat itu juga senyum Zion terangkat. "I can't spend another minute getting over loving you."
Di bagian chorus. Mereka bernyanyi bersama. "If you don't ever say yeah. Let me hear you say yeah. Wanna hear you say yeah yeah yeah. Till my heart is open. Now you're gonna say yeah ..."
Verse kedua. Linzy yang menyanyikan bagian pertama. "It's just a moment go and seize it
Don't be afraid to give your heart to me." lalu berlanjut berdua. "And if you do, I know that I won't let you down, no ..."
"Yeah, so hand it over, trust me with your love ..." Tiba dilirik ini Linzy selalu bisa dibuat diam. Cara Zion bernyanyi dengan hati seolah menghanyutkan Linzy untuk kesekian kali. Lirik itu seperti kejujuran Zion, yang tak Linzy mengerti. "I'll do anything you want me to. 'Cause I can't breathe until I can see your face."
Lagu terus berlanjut. Sampai akhirnya tiba di ujung lirik. Perlahan gitar Zion berhenti mengayun. Yang disambut langsung tepuk tangan meriah dari segala penjuru. Bahkan Justin dan Ricky kompak membunyikan priwitan dengan tangan. Bu Santi yang berdiri tak jauh dari panggung tersenyum dan mengangkat dua jempol bangga.
Senyum Linzy melebar. Lalu menoleh dan melihat Zion yang ikut mengulas senyum. Setelahnya mereka mengucapkan salam penutupan.
°°°°
Saat turun panggung, Linzy dan Zion tertawa. Alasannya cuma satu, mereka puas oleh penampilan tadi hingga kebahagian yang dirasakan tak bisa lagi dideskripsikan oleh kata.
Tawa Zion maupun Linzy lenyap seketika. Yang cewek tersenyum melihat Lian di depan mereka. Sementara Zion berekspresi kaku. Kesenangannya seolah lenyap saat itu.
"Lo keren banget tadi," puji Lian.
"Keren-lah, apalagi yang main gitar." Zion memuji diri sendiri. Jelas terlihat tidak suka oleh kedatangan Lian.
"Makasih, Yan. Ini juga berkat kita yang sering latihan." Linzy bersikap ramah.
"Iya gue tau," Lian melangkah lebih dekat. Zion di sebelahnya seperti siap menyembelih orang. "Lo juga cantik hari ini."
Pujian itu biasa. Namun, dampak yang ditimbulkannya sungguh luar biasa. Linzy menunduk malu sambil menyelipkan anak rambut di belakang telinga. Senyumnya diam-diam mengurai bersama pipi yang merona.
"Ah enggak ah ... biasa aja." Linzy salah tingkah.
"Ya ... ya ... ya ..." Zion ganggu. Lian tak menanggapi. Beda dengan Linzy yang menghunuskan pedang lewat mata.
Tiba-tiba Lian mengulurkan paper bag. "Buat lo."
Linzy menerimanya kikuk. "Apa nih?"
"Cokelat warna-warni. Hadiah buat penampilan lo tadi." Penjelasan yang cowok cukup membuat mata Linzy berbinar. Dia bukan pecinta cokelat. Tapi hal-hal yang bewarna-warni sangat menarik buatnya.
"Makasih, Yan." Sekali lagi ucapan itu. Lian terkekeh jadinya. Zion seperti jadi kambing di sini.
"Gimana kalo lo ngobrol sama gue sebagai bentuk makasih?" tawarnya.
"Eh enggak ... Linzy di sini aja." Zion langsung menahan tangan Linzy. "Lo kalo mau ngobrol-ngobrol aja."
"Lo mau, Zi?" Lian masa bodoh pada Zion.
"Mm ..." Linzy menatap Lian lalu pada Zion dan kembali ke Lian. "Oke, bentar aja kan?"
"Lo di sini aja sih!" Zion tampak tak suka.
"Sebentar aja, gak lama." Lian senyum.
"Tuh denger, gue keluar sebentar!" ucap Linzy yang direspon Zion dengan melepas tangannya.
"Ya udah sana. Pergi jauh-jauh!"
"Ayo, Zi." Linzy sesaat menoleh ke Zion dan mengangguk pada Lian. Mereka keluar. Tersisa Zion yang mendumel sendirian. Menghentak-hentak kaki kesal. Mulutnya tak henti-hentinya mengeluarkan umpatan.
"Kak Zion!"
Tak lama setelah Lian dan Linzy pergi. Terdengar sapaan. Zion sontak mengangkat kepala.
"Zarlin?"
°°°°
"Harus pake izin Zion dulu ya. Kalo mau ngobrol sama lo?"
"Ah ... enggak juga," Linzy menggeleng, menerima gelas yang Lian sodorkan di meja dekat mereka. "Ya gue cuma gak enak aja ninggal Zion sendirian tadi."
Lian mengangguk. Penjelasan itu cukup masuk akal. Topik untung berganti. Ada saja obrolan yang menemani. Sesekali Linzy menimpali. Walau kebanyakan tertawa geli. Lian punya selera humor yang bagus ternyata.
Namun, tanpa rencana. Hening menyelimuti tiba-tiba. Linzy mengernyit, mau buka suara, yang langsung bungkam saat Lian akhirnya membuka mulut.
"Zi ... Mm," Lian tampak ragu. "Gue mau jujur ..."
"Jujur?" Linzy menunggu.
"Ini soal ..."
"YAN!" Dari jauh seseorang berteriak. Membuat Lian hampir mengumpat. Itu Gevan. Salah satu anggota basket. Dia mendekat. "Lo dicariin Ragel."
"Ngapain?"
Gevan mengangkat bahu. "Ya mana gue tau! Udah sih samperin aja." Lalu saat matanya menangkap sileut Linzy. Dia terbengong bego. "Anjir! Linzy. Pantes Yan lo ...."
Lian langsung mengusap wajah Gevan, menghentikan omongannya. "Gue duluan, ya Zi." Yang langsung menyeret Gevan menjauh.
Karena ditinggal sendirian, Linzy memilih kembali ke belakang panggung. Dan di sana langkahnya mendadak terhenti.
Zion tak lagi sendiri, ada Zarlin yang menemani. Apalagi tawa yang mendominasi. Linzy senyum setengah hati dan hendak berbalik pergi.
"Zi!" Sayangnya, si cowok menyadari. Linzy menoleh dan terpaksa mendekat. Zion menyodorkan kotak berisi cupcake ke arahnya. "Lo mau, enak banget ini?"
"Dari siapa?"
"Zarlin," Namanya disebut Zarlin senyum padanya. Linzy sesaat diam. Melongok isi kotak, cupcake-nya tampak lucu. Bewarna-warni. Linzy hendak meraih. Namun, terhenti. "Dia buat cupcake ini sendiri. Hebat kan?" Linzy menaruh lagi tangannya di sisi. Tak jadi mengambilnya.
"Hebat banget loh, Zar! Kapan-kapan ajarin gue ya?"" Zion memuji. Apalagi saat yang cowok mengusap kepala Zarlin semudah itu. Linzy makin kaku di pijakan.
"Iya, Kak." Zarlin senyum malu-malu. Pipinya terlihat merona.
"Lo juga mau diajarin, Zi?" Zion cuma bertanya. Namun, dia mendengarnya lain. Seketika emosinya meluap.
"Gak perlu, masak bukan bakat gue!" Suaranya tajam. "Gue mau keluar, kebetulan yang lain ngajak foto." Tanpa ingin berlama-lama dia keluar, merasa gerah.
Linzy duduk di kursi yang tersedia di tengah lapangan. Memilih kursi paling pojok. Menatap hampa anak IPS, menampilkan sebuah bakat biola. Tampak keren, tapi suasana hatinya tengah memburuk untuk menyimak.
Kesendirian ini yang dia butuhkan. Ya setidaknya, dia tidak merasa dijatuhkan cuma karena bakat memasaknya yang nol besar. Semua orang tidak ada yang sempurna. Termasuk dirinya yang tidak punya keahlian apapun selain menggunakan kamera.
Memangnya salah jika cewek tidak bisa memasak?
Bukankah pasti banyak cewek di luar sana yang bernasib sama? Itu yang selalu Linzy pikirkan, yang membuatnya selalu masa bodoh. Lalu cuma karena Zion memuji bakat Zarlin, kenapa Linzy sesedih ini? Seolah dia perempuan paling buruk. Perempuan manja yang tak bisa melakukan apapun.
"Katanya mau foto, eh malah sendirian di sini."
Suara tak asing itu menyentaknya. Linzy langsung menoleh dan kaget setengah mati. Itu Zion yang entah kapan tiba dan duduk di sebelahnya.
"Ngapain lo di sini?" ketusnya saat sadar.
"Nemenin lo yang lagi sendirian mungkin."
Yang cewek berdecih. "Sama Zarlin aja sana. Kasian ditinggal sendirian!"
"Lucu banget sih kalo marah gini," Zion mencubit pipinya, yang langsung dia tepis. "Zarlin udah balik ke kelasnya."
"Gue gak nanya!" Linzy ketus lagi. "Udah lo sana! Cewek masak tuh lebih juara ya kan?!"
Alis Zion terangkat heran. "Gak juga, kata siapa?" Lalu tersenyum geli. "Malah cewek-cewek jutek kayak gini," mencubit pipi Linzy lagi. "Yang juara."
Yang cewek menepis lagi tangan yang cowok. Walau kali ini berbeda, pipinya jadi memerah.
°°°°
Pukul tujuh malam. Para band kebanggan sekolah tengah berada di panggung. Meramaikan suasana. Beberapa ekskul pun tak tertinggal menunjukkan performa.
Penampilan dari tiap perwakilan kelas telah selesai. Juri pun telah memutuskan pemenang setengah jam lalu. Tentu saja kelasnya kalah saing dengan kelas IPA1, yang menampilkan acara debat tentang kondisi yang pantas untuk pendidikan.
Otak memang sulit dikalahkan. Namun, skill tetaplah pendamping yang dibutuhkan untuk masa depan. Kelasnya bukan juara satu. Tapi tidak apa-apa. Juara ketiga juga itu terbaik. Jika dibayangkan, banyak kelas yang tampak lebih hebat. Lebih keren penampilannya. Apalagi bajunya yang berlomba mewah-mewahan.
"Sambut pemenang kita," Ricky heboh. Dia bersama anak laki lain menggendong Zion dan membuangnya ke tengah lapangan. Meninggalkannya begitu saja dan malahan memuji Linzy sendirian.
Cowok yang ditinggal. Mengumpat dengan berbagai jenis binatang.
"Sumpah, Zi. Tadi lo cantik banget!" Raka mulai.
"Linzy dibanding ngejomblo, mending jadi pacar gue aja yuk." entengnya Bagas ngomong.
"Boleh dong, neng Linzy setiap malam abang dinyanyiin." Niko lebih modus lagi mencolek Linzy, yang langsung dibalas tabokkan.
Zion langsung bangun dan mendorong yang cowok untuk menjauh. "Apaan dah lo semua!"
"Apaan sih! Ganggu lo nyet!" Bagas tidak mau menyerah. "Ya kan, Zi lo mau jadi pacar gue?" Tawaran itu malah Zion yang membalas dengan mendorong keningnya.
"Jangan mimpi lo pantat anoa!" Zion kesal.
"Yeee ... kenapa sih, Yon?" Niko senyum jail. "Cemburu ya?"
"Tonjok gak nih?" Zion mengangkat kepalan tangan.
Niko dan Bagas kompak tergelak.
"Ngenes banget lo, Yon. Baru kali ini gue liat lo digantungin cewek." Niko benar-benar mau kena tonjokkannya.
"Jahat lo ama temen," Justin nongol sambil merangkul Zion. "Tenang, Yon. Kalo lo digantungin Linzy banyak mantan lo yang ngantri minta balikkkan." Justin menunjuk bagian pojok. Keberadan para cewek yang sibuk mengobrol.
Pukulan kencang Justin dapatkan di bahunya. "Kenapa bahasnya gituan sih!" Pelakunya ternyata Linzy yang merona malu. "Gue sama Zion cuma temen kali!"
Beberapa detik hening sebelum pecah oleh tawa anak kelasnya.
"Pliss ... Zi jangan polos-polos banget kenapa sih?" Ricky senyum sambil geleng-geleng.
Yang cewek sontak memutar bola mata. "Tapi itu emang kenyataan!"
"Bener," Shena menyeruak dan merangkul sahabatnya. "Linzy-Zion cuma temenan. Tenang, Zi lo ada yang belain."
Retta datang tiba-tiba. Tugasnya sebagai anak fotografi mengharuskannya membawa kamera kemana-mana. "Dibanding lo semua ribut gak jelas, mending kita foto." dia mengangkat kamera di lehernya. Yang dibalas seruan setuju anak-anak.
Bu Santi datang tepat waktu. Kamera miliknya, Retta letakan di atas tripod. Mengatur waktu untuk bisa mengabadikan. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Momen kebersamaan itu terpotret menjadi kenangan.
Cuma sampai foto kelima Bu Santi ikut serta. Beliau kemudian pergi karena ada urusan dengan guru lain. Tinggalah anak kelas saja yang heboh minta Retta memotretnya.
"Gue dong, Ta!" teriak Erika.
"Ta, potret kita berlima!" Echa bersama keempat teman akrabnya sibuk membetulkan rambut.
"Retta!" Justin berteriak. "Potoin gue sama Linzy dong!"
"Eh enak aja! Kita semua juga mau kali!" Anak cowok berebutan posisi di samping Linzy. Hingga cewek yang jadi rebutan mengumpati, seketika mereka diam. Retta yang melihatnya cuma geleng-geleng kepala.
"Kalian semua gue foto. Tapi gantian. Anak cowok duluan!" Seperti anak-anak bebek. Semua cowok mengikuti perintahnya. "Siap?"
Mereka semua mengangguk dan bergaya aneh. Justin tiduran. Ricky mengangkat kaki seakan menginjaknya. Bagas yang memasang raut sedih. Niko tergelak dan anak lain yang mengangkat tangan berdoa.
Stress!
Giliran anak cewek. Semuanya berlagak candid dengan pose yang disamakan.
"Sekarang bareng-bareng!" ucapnya dan direspon dengan kehebohan. Lebih tepatnya berlomba-lomba untuk berdiri di samping Linzy. "Anak cowok belakang semua!" titahnya dan tak didengarkan. "Kalian mau foto apa enggak sih?!"
Semuanya langsung kaget.
"Retta bisa galak juga?"
"Serem Retta kalo udah marah. Abang atut jadinya neng Linzy!" Bagas modus memeluk lengan Linzy. Dari arah belakang, Zion menarik telinga Bagas untuk ke belakang.
"Kecuali Zion," Cowok yang disebutkan mendongak kaget. "Lo berdiri di samping Linzy." Anak cowok lain hendak protes, Retta langsung menahan dengan mengangkat tangan. "Gue nyuruh Zion diri samping Linzy karena mereka menang hari ini. Biar bisa jadi kenang-kenangan."
"Tapi, Ta ..."
"Ayolah Shen, buat hari ini." Retta memotong protesan Shena.
Tidak ada lagi yang membantah Retta, semua mengikuti perintahnya. Termasuk membiarkan Zion berdiri di samping Linzy. Seolah kesempatan, Zion memeluk pinggang cewek sebelahnya. Anak cowok memelotot dan baru buka mulut, Retta langsung mendekatkan jari ke bibir. Menyuruhnya diam.
Pertama mereka bergaya biasa. Pose kedua sedikit alay. Pose ketiga anak cowok di belakang membuat tangan mereka membentuk tulisan. IPA3 juara. Retta pun ikut serta. Membiarkan kamera di atas tripod-nya.
Lalu di foto terakhir. Retta menyuruh semua mundur kecuali Linzy dan Zion. Yang ditinggalkan kebingungan. Terutama Linzy.
"Nanti," ucap yang cowok memulai. Mereka berdiri berhadapan. "Pulang bareng gue?"
Linzy bergumam. Berpikir.
"Zi ... tangan lo di pundak Zion," titah Retta sambil senyum tipis.
"Hah?" Linzy jadi kaget. "Buat apa?"
"Udah sih ikut aja." Retta pura-pura polos. Tatapan curiga Shena, dia abaikan.
Karena ragu, Linzy diam saja. Namun, detik berikutnya dia tersentak saat Zion menarik kedua tangannya ke bahunya. "Gimana? Nanti mau gue anter pulang?"
"Mm ..." Linzy mendongak. Menatap Zion yang berharap penuh. "Oke."
Padahal cuma ucapan singkat itu, senyum Zion meresponnya luar biasa. Melebar tak terkira. Lalu selanjutnya sungguh tak terduga saat Zion mengangkat pinggangnya tinggi-tinggi. Sontak Linzy memegang bahu Zion erat dengan mata dan mulut terbuka lebar.
Anak lain pun shock. Mungkin cuma Retta yang senyum sambil menangkap gambar momen manis itu.
°°°°
Sepanjang jalan tak ada hentinya Linzy mengeluarkan kekesalannya. Yang menyebalkannya, Zion malah meresponnya dengan tawa.
"Stop ya Yon. Itu gak lucu!" Linzy cemberut. Memukul bahu Zion kencang. "Apaan sih lo pake angkat-angkat gue kayak tadi. Malu tau!"
Laju kendaraan terhenti sebab lampu merah. "Sengaja gue," Zion mengerem lalu ketawa lagi. "Lo gak liat muka anak cowok tadi, bikin ngakak njir!"
Yang cewek mencubitnya. "Tapi kan tetep aja! Seharusnya lo gak usah angkat-angkat gue!"
"Kenapa?" Kepala yang cowok mendekat hingga yang cewek memundurkan wajah. "Lo baper?" Senyum kecilnya mengulas. "Tenang aja, lo baper gue siap tanggung!"
Linzy terkaku bersama degup jantung yang menggebu. Itu karena keseriusan dari mata yang cowok. Apa maksudnya?
"Gu-gue gak baper!" ketusnya tak yakin lalu membuang muka. Itu hanya kaget. IYA! Linzy cuma kaget saat Zion mengangkatnya tadi.
"Beneran gak baper?"
"Bener!" Linzy meyakinkan diri.
"Serius?" Yang cowok suka menjaili. Sengaja memberikan pertanyaan dibarengi kelitikan di pinggang. Yang cewek tersentak dan melotot.
"Seriuslah!" Lagi, Zion mengelitikinya di sana. Mau tak mau, Linzy memukulnya bertubi-tubi. Yang dibalas Zion dengan kelitikan yang menjadi-jadi.
Tubuh Linzy itu sensitif. Kelitikan Zion membuatnya kegelian dan tergelak. "Stop Yon!" Disela tawanya, dia menyuruh si cowok berhenti. Walau Zion malah meresponnya lebih.
"Jawab dulu, lo baper kan tadi?" Sejenak si cowok berhenti.
"Gak!" tegasnya
"Oke," Zion senyum jahat sambil mengusap-ngusap tangannya sendiri. Lalu mecondongkan tubuh untuk mengelitikinya lagi. Linzy terkejut dan berusaha menghindar walau sia-sia saja. Dia tertawa geli sambil memukul bahu yang cowok dengan sisa tenaga. Sampai akhirnya suara klakson mobil di belakang, menganggetkan sekaligus menghentikan semuanya.
Rupanya lampu telah berubah hijau.
"Bebas lo kali ini!"
Linzy sontak melingkarkan tangan di tubuhnya dengan raut polos. Hal itu berhasil membuat Zion tertawa.
°°°°
"Udah sampe Tuan putri!" Zion tersenyum setelah menghentikan mobilnya di depan gerbang rumah Linzy.
Yang cewek ikut tersenyum karena ucapannya. Lalu terdiam. "Lo mau mampir?" Yang langsung dibalas gelengan cowok sebelahnya. "Beneran gak mau mampir?" Ini sudah pukul sembilan malam. Jadi wajar, Zion menolak tawarannya.
Yang cewek belum juga beranjak pergi. Ini aneh. Seolah ada yang menahan Linzy di tempat. Untuk tinggal dan berlama-lama di sini. Tanpa alasan. Tanpa sebuah kejelasan. Dia tak mengerti maksud dari keinginannya sekarang.
Kalau dijelaskan dengan mudah, dia cuma tidak ingin menghentikan suasana yang ada.
"Lo gak mau turun?"
Linzy menoleh. Bukannya mengatakan sesuatu bibirnya malah jadi kelu.
"Sedikit lagi kenaikan kelas. Pensi juga udah selesai."
"Ya terus kenapa?" Yang cowok ikut menoleh.
"Kita gak perlu latihan lagi kan?"
Zion mengangguk. Bahkan kali ini memiringkan tubuh untuk lebih mudah menatap cewek sebelahnya.
"Karena pensi udah selesai, kita gak akan jadi musuh lagi kan?" Entah apa yang merasuki, hingga Linzy berani bertanya itu.
"Ya," Zion mencondongkan tubuh. "Kita bukan musuh dan gue gak pernah benci sama lo."
Linzy ikut memajukan tubuhnya. "Kita bakal tetep kayak gini kan?"
"Gak akan ada yang berubah." Yang cowok memangkas lagi jarak mereka.
Seolah sebagian dirinya hilang. Linzy tak bisa menahan ikut memajukan wajah. Tinggal tiga senti jarak mereka.
"Lo gak akan ngejauh kan?"
Zion mengangkat kedua tangan dan menangkup wajahnya. Memotong jarak hingga tersisa sesenti. Akibatnya, hidung dan kening mereka bersentuhan.
"Gak akan!" Kemudian wajahnya mereka tak lagi berjarak. Linzy sesaat tersentak merasakan bibir dingin Zion di bibirnya.
Matanya perlahan memejam. Satu detik. Dua detik. Linzy menghitung dalam hati. Menunggu penyesalan itu menyerang dan membuatnya bisa sadar jika ini kesalahan. Namun, nyatanya yang ditunggunya tak datang.
Linzy justru terhanyut saat Zion mengusap pipinya perlahan. Dia merasa nyaman dan tak ingin ini cepat selesai.
Tak lama, jarak itu pun tercipta.
Wajah Zion menjauh. Pandangan itu menggelap. Mata Linzy meredup saat mendongak. Apalagi pipinya yang memerah sempurna. Mereka menatap dalam diam. Lalu yang cewek sedikit terkejut saat menerima kecupan ringan di bibirnya lagi.
"Gue," Suara Zion serak. Tak menjauhkan tangan dari pipinya. "Mau ngomong sesuatu sama lo besok."
"Kenapa gak sekarang?"
"Udah malem," Zion senyum mengusap bibirnya perlahan. "Besok aja pas pulang sekolah."
"Gak di sekolah aja?" Linzy penasaran. "Kan besok acara bebas."
Si cowok menggeleng. "Mending lo masuk sekarang. Udah malem." Kemudian menjauhkan tangan sekaligus tubuhnya.
Sebab masih bingung oleh keadaan yang terjadi, cewek cuma mengangguk dan hendak pergi. Yang cowok menahan lagi.
"Buat yang tadi, gue gak akan minta maaf." Lirih si cowok. "Hati gue yang nyuruh."
Merah pipinya belum sempurna hilang. Zion malah menambahkannya lagi. Dia tak mengatakan apapun lagi dan beranjak keluar. Dia tak menengok ke belakang selama melangkah melewati gerbang yang telah terbuka. Saat suara deru mesin yang menjauh barulah dia berani menoleh.
Mobil Zion telah hilang dari pandangan.
Linzy langsung berlari ke dalam rumah. Mengabaikan pertanyaan Pak Dayat. Bahkan sapaan Clara tak terbalaskan. Dia langsung menuju kamar, mengunci pintunya.
Sambil bersandar di belakang pintu, Linzy diam. Walau otaknya penuh dengan perperangan kata. Jantungnya berdegup kencang, entah alasannya karena habis berlari menaiki tangga atau karena kejadian di mobil tadi.
Disentuhnya bibir pelan. Linzy memejamkan mata bersama senyum yang tanpa alasan mengurai lebar. Untuk menjelaskan keadaan ini, dia tak bisa. Rasanya seperti dibawa terbang dan Linzy bisa merasakan kebahagian yang begitu membuncah. Buncahan yang sungguh terasa menyenangkan.
Kembali terbayang memori tadi. Yang langsung membuat kepalanya menolak untuk mengingatnya.
Dia bergerak ke ranjang. Duduk di pinggirnya sambil memeluk bantal lollipop. Tanpa diduga pertanyaan Retta menelusup tiba-tiba.
Lo lebih nyaman ke siapa? Zion atau Lian?
Linzy terkaku di tengah kegelapan kamarnya.
Zion!
Di tengah hening yang membentang, suara hatinya terdengar jelas menyerukan nama itu. Begitu keras. Begitu menimbulkan gelenyar aneh di dada.
Zion!
Zion!
Tiga kali sang hati memberi jawaban. Dia terdiam sesaat. "Zion," ucapnya lirih bersama senyum yang diukir di wajah.
●●●●●
FINALLY YESS? Wkwkwk
Gimana, gimana buat part ini? Gak sia-sia kan nunggu seminggu?
Siap buat part besok?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro