FF(64) ● Pensi Sekolah
Untungnya kemarin sore ada waktu ngetik. Editnya baru sekarang wkwk. Jadi baru bisa di up.
Vote dan komen jangan lupa :*
°°°
PERJUANGAN Zion untuk mendapatkan pengampunan Linzy patut diacungi jempol. Semua pengabaian dan ketidakpeduliannya tidak membuat cowok itu menyerah. Dia selalu punya cara agar Linzy memaafkannya.
Ini telah dua hari berlalu dari kejadian kemarin. Kejadian yang berakibat fatal hingga semua hal yang Zion lakukan tak berarti apa-apa. Sikap Zion masih biasa. Menegur Linzy saat berjumpa. Mengajaknya bercanda walau kedataran yang diterima. Lalu menawarkannya pulang walau selalu tolakkan yang menjadi jawabannya.
Bertengkar, bukan saja menghancurkan kedekatan mereka. Tapi, sekaligus performa latihan yang telah mereka bangun bersama. Kekompakkan mereka tak lagi padu. Lirik yang diiringi gitar terdengar tak lagi utuh.
Dan Bu Santi menyadari itu.
"Kalian ini kenapa? Kemarin Ibu liat penampilan kalian bagus-bagus aja. Lalu kenapa tiba-tiba gak kompak gini?"
Zion melirik, Linzy langsung membuang muka.
"Ini, Bu. Linzy-nya ngambek sama saya." Zion cuma mau bercanda. Sayangnya, Linzy merespon serius.
"Gimana saya gak kesel, Bu! Pas jadwal latihan kemaren, dia telat dateng. Sejam saya nungguin dia, sampe keujanan!" jelasnya meluap.
Yang cowok menatap Linzy. "Gue kemaren gak bermaksud telat, Zi. Gue kan mau jelasin tapi lo-nya udah keburu marah dan pergi."
"Buat apa lo jelasin? Intinya lo telat karena Zarlin!" Linzy senyum mengejek. "Kenapa gak sekalian aja lo gak usah dateng. Nemenin Zarlin lo itu!"
Zion tak percaya. "Kenapa bawa-bawa Zarlin? Dia gak salah ..."
"Kenapa? Lo gak suka? Lo mau marah karena calon lo gue bawa-bawa?!" Dada Linzy naik turun karena emosi.
"Apaan sih, Zi. Lo tuh ..."
"Berhenti!" potong Bu Santi tegas. "Ibu suka ngeliat kalian akur kemaren-kemaren. Kelas jadi damai tanpa ada pertengkaran kalian. Gak ada lagi guru yang pusing sama kalian berdua. Lalu kenapa kalian bertengkar lagi cuma karena hal sepele?"
"Sepele, Bu?" Linzy tak senang. "Saya nungguin dia selama sejam kemaren, dan hampir mati kedinginan! Gimana bisa Ibu anggap itu hal sepele?!"
"Ibu mengerti, Linzy. Ibu mengerti sekali. Yang jadi pertanyaan, kamu tau mau turun hujan lalu kenapa gak pulang? Tinggalin aja Zionnya. Biar dia yang keujanan!" Ucapan Bu Santi mengenai Linzy tepat sasaran. Sontak bibirnya mengatup.
Sampai sekarang pun dia tidak mengerti kenapa dia melakukan itu.
Guru mudanya itu menghela napas. "Ibu mau kalian saling minta maaf. Dan untuk latihan besok ibu mau melihat penampilan kalian kembali seperti minggu-minggu lalu."
Bu Santi berlalu pergi. Meninggalkan Zion dan Linzy di ruang musik.
"Zi," Zion memanggil. Linzy menoleh sesaat. Dibanding merespon Zion, dia lebih memilih menyandang tas dan keluar ruangan.
Linzy pikir sikap kemarin di ruang musik akan membuat Zion benar-benar di ujung putus asa.
Namun ... perkiraannya ternyata salah.
Hari ini kebetulan Linzy mendapatkan tamu bulanan hari pertama. Perutnya melilit. Sakitnya luar biasa, seperti ditusuk-tusuk dengan sadisnya. Disaat yang lain berleha-leha di kantin, Linzy memilih mendekam di kelas. Menidurkan kepala di meja dan memegangi perutnya.
Biasanya, setelah meneguk perasan jahe yang Bi Marni buat, nyeri di perutnya bakal berkurang. Tapi, entah kenapa untuk hari ini berbeda. Retta pergi bersama Shena ke kantin. Menawarkan Linzy makanan yang langsung dia tolak.
Jangan cuma karena PMS-nya. Mereka jadi ikut kerepotan.
Linzy memejam mata sejenak. Sebelum akhirnya membukanya dan kaget melihat botol kiranti tergeletak di meja. Apalagi ketika mendongak, dia lebih terkejut lagi melihat Zion yang meletakkan minuman itu.
Yang cewek langsung mengubah ekspresi sekaligus membetulkan posisi duduk menjadi tegak. "Ngapain lo?" tanyanya datar.
"Beliin lo kiranti. Lagi PMS kan?"
"Gue gak minta lo beliin!" kalimatnya lebih tajam.
"Emang. Itu gue inisiatif sendiri!" Yang cowok tersenyum. Seolah aura dingin perempuan, sama sekali tak berpengaruh untuknya menjauh.
"Lo minum aja sendiri!"
Yang cowok memelotot kaget. "Kalo gue minum, nanti gue jadi pms dong. Serem jadinya, masa nanti gue harus pake pembalut bersayap." Zion bercanda. Sayangnya, yang cewek tak bisa diajak bercanda.
"Gak lucu, Yon! Pergi sana!" usirnya. "Lagian gue gak butuh minuman yang lo beli!"
"Minum dong, Zi," minta si cowok lirih. "Gue sampe minta izin sama guru piket cuma mau beli ini. Belom lagi gue diketawain sama penjaga kasir beli jamu gituan. Masa lo tega sih."
"Gue emang tega! Lo aja tega kan, biarin gue nunggu dan keujanan kemaren?" sindirnya ke inti.
Pembahasan itu lagi. Zion menghela napas. "Gue kan udah minta maaf, Zi. Kalo lo itung udah ribuan gue ngomong gitu. Bisa lo beliin mie ayam mak kantin saking banyaknya," Senyum kecilnya mengembang. "Lagian ya, Zi ini udah dua hari lo marah sama gue. Kalo udah tiga hari dosa nanti?"
Linzy terlihat lelah dan frustasi. Menahan tabung emosinya yang siap meledak. "Sebenernya lo maunya apa sih?!"
Yang cowok langsung tersenyum lebar. "Gue mau lo minum jamunya," lalu terdiam. "Terus kalo lo emang marah banget, mending tonjok gue atau cubit gue aja dibanding diam kayak gini. Gak enak tau!" Lalu cemberut.
Sepertinya yang Zion lakukan detik ini berbuah hasil. Walau tak banyak. Linzy tetap tak tega melihat bagaimana rautnya yang tampak sangat menyesal.
"Iya-iya! Gue minum!" Linzy mengambil jamu kemasan itu akhirnya.
"Gitu dong," dagu terbelah Zion tampak karena senyumnya yang makin melebar. "Nanti latihan ya. Jangan marah-marah terus kayak kemaren." Si cowok mencubit pipinya, yang langsung dia tepis.
°°°°
Di kelokan menuju ruang musik. Zion tahu-tahu menghentikan langkah. Pun Linzy jadi ikut-ikutan. Bel pulang telah menggema beberapa saat lalu.
"Hai, Kak Zion." Itu Zarlin yang menyapa. "Hai juga kak Linzy."
Sebagai balasan, Linzy cuma tersenyum. Senyum dipaksa.
"Mau ke perpus?" Zion bertanya.
Zarlin mengangguk. "Iya, kak," lalu dia seperti ingin mengatakan sesuatu. "Oh ya kak, mama nyuruh aku buat bilang makasih ke kak Zion karena udah nolongin aku dari preman itu."
Linzy mendadak beku di tempat. Preman?
"Kalo gak ada kak Zion, gak tau deh aku bakal kayak apa. Mama juga bilang kalo ada waktu, ajak Kak Zion buat mampir ke rumah."
"Bilangin Mama lo. Gue bakal dengan senang hati nerima undangannya." Zion senyum ramah yang dibalas Zarlin kekehan geli.
"Oke, aku pergi ke perpus dulu ya. Dah Kak Zion, Kak Linzy." Setelahnya Zarlin pergi dari pandangan mereka.
"Jadi ..." Tersisa mereka, Linzy baru berani buka suara. Suaranya terdengar tak percaya. "Lo ... nolongin Zarlin karena dia hampir celaka karena preman?"
"Itu yang mau gue jelasin kemaren." Linzy menoleh. Zion membalasnya. Seketika hening. Entah apa yang ada pikiran Zion sekarang. Karena yang ada di pikiran Linzy kini adalah rasa bersalah yang amat besar.
Asal saja dia menuduh tanpa mendengar penjelasan. Asal saja dia menyimpulkan tanpa tahu kebenaran.
"Sori ... seharusnya gue dengerin penjelasan lo." Dia menunduk. Tak berani menatap Zion karena malu.
"Nggak pa-pa, wajar lo marah," tutur yang cowok lembut sambil menarik pipi yang cewek untuk mendongak menatapnya. "Tapi karena lo udah tau. Berhenti marahnya? Lo marah hidup gue jadi hampa gitu rasanya." Akhirnya lebay.
Linzy tertawa sambil memukul cowok pelan. "Najis! Lebay lo!" Tawa Zion menyusul setelahnya.
Tiba di ruang tujuan. Mereka langsung disambut Bu Santi yang tengah memainkan piano. Tahu anak didik yang ditunggunya datang, jari wali kelasnya itu berhenti lalu beringsut dari duduknya dan mendekati mereka yang berdiri di tengah ruangan.
"Gimana? Udah akur?" Bu Santi sungguh tak tertebak. Kenapa harus kalimat itu yang menyambut kedatangan mereka? Zion dan Linzy saling pandang. Tidak mengatakan apapun.
"Ibu mau liat penampilan kalian sekarang," Bu Santi senyum. "Ambil gitarnya Zion."
Zion mengangguk. Dipatuhi perintah itu. Usai mengambil gitar. Mereka duduk di kursi tinggi. Sementara Bu Santi berdiri untuk menilai. Dibanding penilaian kemarin-kemarin, entah kenapa Linzy lebih gugup sekarang.
"Ayo, Zion. Mainin gitarnya."
Tak lama setelah perintah guru mudanya itu. Petikan gitar terdengar mengayun. Terdengar pelan diawal sebelum sedikit menggebu.
"I know you're scared, I can feel it. It's in the air, I know you feel that too." Itu lirik pertama. Bagian Zion. Linzy diam memainkan jarinya yang mulai gemetaran.
" ... And that's the last time you'll say no, say no to me." Zion menoleh dan melempar senyum. Tanpa ada alasan yang jelas, senyum Zion seakan meyakinkan. Dia ikut tersenyum dan menyanyikan bagian liriknya.
"It won't take me long to find another lover, but I want you." Senyum Linzy melebar. Sementara cowok yang ditatap diam sejenak. Namun, itu bukan kendalanya. Mereka akhirnya bisa menyanyikan lagu itu sampai akhir.
Tepuk tangan Bu Santi sebagai hadiah di akhir lagu. Senyum sang wali kelas melebar. Tampak puas oleh kinerja mereka. Buruknya performa kemarin seolah tergantikan hari ini.
"Kayak gini dong. Seneng Ibu liatnya," Bu Santi melangkah maju dan mengusap lembut kepala mereka bergantian. "Kalo bagus gini kan, Ibu yakin kelas kita bisa menang. Tiga hari lagi, kita bakal berperang dengan kelas lain."
Zion dan Linzy saling tatap. Cukup sedetik senyumnya merekah bersamaan.
°°°°
Tiga hari telah berlalu. Hari yang ditunggu-tunggu warga sekolah akhirnya tiba.
Lapangan sekolah telah diubahnya layaknya pesta. Panggung besar berdiri tegak di tengah lapangan, tampak mewah dengan juntaian hiasan yang mengelilinginya. Lampu kerlap-kerlip menggantung di atas sekitar lapangan. Saling menyilang indah.
Sebuah banner dengan tulisan 'Semangat menempuh pendidikan selanjutnya untuk kakak kelas kita' tergeletak cantik di antara lampu-lampu kecil itu dan ditambah balon di kanan-kiri.
Bahkan di sekeliling lapangan, ada stan penjaja makanan dari kelas-kelas yang berdonatur. Menyumbang makanan tanpa minta imbalan. Semuanya bisa dimakan tanpa bayar. Siswa satu sekolah luar biasa senang.
Siapa yang tidak bahagia mendapatkan makanan gratis?
Setiap stan dihias semenarik mungkin. Dibedakan dengan sesuai makanannya. Minuman bersoda diwarnai kelabu. Merah muda untuk stan beragam kue. Seperti sengaja untuk makin mempercantik cupcake di sana. Beberapa cemilan dituang di mangkuk besar, tinggal diambil dengan mangkuk kecil yang diletakan di sampingnya.
Semuanya sibuk. Terutama anggota osis dan anggota Fotografi. Arven, sang ketua osis yang kebanyakan diam, saat ini berubah jadi orang yang paling bawel.
Seluruh tanggung jawab jatuh di pundaknya. Jadi tak salah. Dia selalu berkomentar apapun yang tampak salah di mata. Dia ingin hasil yang sempurna. Tanpa ada cacat sedikit saja.
"Ron!" Itu suara dingin Arven yang berbicara lewat Hand Talk. Jas osis bewarna krem tampak pas membungkus kaus hitamnya."Gue udah bilang bangku juri di dekat panggung. Terus kenapa lo letakkin di pojok?"
"Tadi gue udah taro situ, Ven. Tapi Askar nyuruh pindahin ..."
"Lo lebih dengerin wakil ketua osis, dibanding gue ketua osisnya?" dipotong ucapan Veron dingin. "Gue gak mau tau, lo harus pindahin sekarang!" ucapnya pelan, tapi terdengar begitu mengancam. Tanpa ingin mendengar bantahan. Di tutupnya komunikasi itu.
"Ven," Yang dipanggil seketika menoleh, yang langsung disambut jepretan kamera.
"Lo iseng, Gha." Arven menatap datar. Sementara si pelaku tersenyum.
Senyum Regha selalu menarik perhatian. Terutama kaum hawa yang seolah tak kenal bosan. Cowok itu tampak makin tampan dengan kaos putih yang tertutup jaket berwarna abu-abu—jaket ekskulnya.
Tatapan mereka tak Regha pedulikan. Dia justru penasaran dengan raut sahabatnya.
"Kucel banget sih muka lo. Santai, Ven. Biar gak cape kerjaan tuh harus dikerjain santai. Jangan buru-buru."
Sebelah alis Arven terangkat. "Gimana gue bisa santai, kalo dua jam lagi acaranya dimulai. Ini udah jam satu dan jam tiga semuanya harus selesai."
"Lo kebiasaan," Regha membetulkan posisi kamera yang menggantung di lehernya. "Jangan dibawa serius-lah. Santai dikit."
"Masalahnya sejak kecil gue udah didik buat serius." Raut Arven makin kaku. Regha menghela napas dan memilih tak memperpanjang pembicaraan.
"Bukannya seharusnya lo prepare buat entar?" Lebih baik Arven mengganti topik.
"Semuanya udah selesai. Gue udah bagi-bagi tugas. Tinggal tunggu acaranya mulai aja." Regha senyum dan tersentak saat ponselnya bergetar di saku celana.
"Siapa?"
Regha menerima panggilan dan meyalakan speaker.
"WOY! Lo dimana sih, Gha?"
Zion. Arven tidak kaget lagi.
"Ngapain lo nyariin gue?"
"Jahat banget lo. Temen mau tampil bukan bantuin." Suara Zion terdengar merajuk.
"Semua orang sibuk!" Arven yang membalas datar.
"Eh ... ada tembok cina di sana?" Arven terbelalak sesaat. Suara Zion terdengar merengek setelahnya. "Kesini kek lo berdua bantuin gue!"
"Mau bantu ngapain? Kita juga sibuk di sini?" Regha merespon.
"Ini resleting gue gak bisa ditutup. Bantuin gue elah!"
"Serioulsy Yon lo nelpon gue cuma karena itu?!" Regha tampak ingin meledak.
"Yaiyalah emang mau ngapain lagi! Mau nanyain lo udah makan apa belom ... emang gue—"
Diputusnya langsung panggilan itu oleh Regha. Dia dan Arven saling tatap dan menggeleng.
"Sahabat lo!"
"Sori gak kenal gue kayaknya!" ucap Arven datar sebelum berlalu meninggalkan Regha.
°°°°
Tidak ketinggalan, aula juga disulapnya menjadi tempat para perwakilan kelas berganti kostum. Bahkan anggota-anggota ekskul yang akan tampil juga menyiapkan diri di sana. Ada anak modern dance, theater, paduan suara dan anak band.
Setiap ruangan dibagi-bagi. Disekat dengan horden dan tripleks tipis. Di antara ruangan bersekat, cuma Zion seorang mungkin yang sibuk mengumpat menatap layar ponsel.
"SAHABAT DURHAKA! PENGHUNI NERAKA!" lalu dia berhenti dan cemberut. "Jahat amat. Gue butuh bantuan ini!"
"Yon ..." Horden bergeser. Linzy muncul. Zion terbelalak dan refleks menutup bagian celananya yang belum bisa diperbaiki.
Linzy sesaat mengernyit. "Lo kenapa?" Kegugupan Zion sepertinya terlalu jelas. Dia tergagap buat menjelaskan.
"Eng-enggak. Gue gak kenapa-napa." Dia menggeleng.
"Tapi ... kenapa lo tutupin celana kayak begitu?" Yang cewek penasaran.
"Ini ... ini tuh belum gue resleting."
Si perempuan sontak terbelalak dan refleks menutup mata dengan kedua tangan. "Ya resleting-lah. Kenapa diem aja!" omelnya.
Yang cowok memutar matanya malas. Kalau bisa juga dia sudah lakukan sejak tadi. "Ini ... rusak!" jujur dia akhirnya.
"Rusak?" Linzy menurunkan tangan dari wajah. "Lo cuma bawa satu celana?"
"Enggak," Zion geleng. Karena melihat Linzy ingin marah. Dia menambahkan. "Ya cuma celana ini doang yang enak dipake."
"Serah lo deh. Entar pas tampil, pake aja celana yang gak diresleting itu! Supaya banyak cewek liat!"
Zion melangkah mendekat lalu senyum nakal. "Cewek ya? Lo emang mau liat?"
Mata yang cewek membeliak lebar dan memukul cowok kencang. "MESUM!" Zion seketika tergelak.
"Canda doang elah!" Dia tertawa. "Terus kenapa lo belum ganti baju?"
"Ini gue lagi nunggu Bu Santi. Kan dia bilang mau make up-in gue."
Zion duduk di satu kursi yang tergeletak di ruangan mereka sambil tetap menutupi bagian celananya. "Terus lo udah bawa bajunya?"
"Udah!" ucap yang cewek antusias. Lalu mengambil pakaian yang telah disiapkan di gantungan pakaian "Ini!" tunjuknya sambil mendekatkan pakaian itu di tubuhnya. "Cocok kan?"
Zion menilai lama dari atas pakaian sampai bawah. "Pundak lo bakal keliatan dong."
"Ya-iya kan emang baju ini tonjolin bagian pundaknya."
Zion diam lalu berkata, "Gue gak suka."
Yang cewek bingung. "Gak suka? Ini kan bagus," ucapnya sambil memutar-mutari bajunya. "Lagian Bu Santi udah setuju gue pake baju ini."
"Serah lo."
Setelahnya mereka sama-sama diam. Sebelum Linzy buka suara lagi. "Emang kemeja lo warna apa?"
"Biru langit.
"Terus kaos dalemnya?"
"Putih. Lo kenapa nanyain itu?" Zion heran.
Yang cewek menggeleng dan senyum penuh arti.
°°°°
Untuk hari ini. Baju dibebaskan, dibolehkan memakai baju apapun asal sopan. Acara akan dimulai pukul tiga sore sampai malam menjelang. Ini tinggal sejam untuk Linzy bersiap-siap. Bu Santi datang tak lama setelah Zion akhirnya mau mengganti celana. Si cowok juga sudah rapi dan beranjak pergi untuk menemui Regha dan Arven. Itu katanya.
Kalau dipikirkan. Kelasnya mungkin paling beruntung. Memiliki wali kelas yang terbilang muda. Apalagi Bu Santi adalah guru seni. Jadi mudah bagi beliau mengerti lagu-lagu hits jaman sekarang. Bukan itu saja, beliau pintar memainkan alat musik. Terutama harpa.
Pensi tahun lalu. Bu Santi pernah tampil bersama harpanya. Suara petikannya merdu didengar. Apalagi alunannya yang pelan, menarik banyak orang untuk menikmati.
Ditambah sekarang ... Bu Santi ternyata pintar bermake-up. Tidak seperti kelas lain, yang menyewa tukang rias dari salon termahal. Kelasnya cuma butuh Bu Santi untuk make over penampilannya.
Pertama Bu Santi merias wajahnya dengan beragam make up yang tergeletak di meja. Linzy menatap cermin, menunggu polesan pertamanya yang jatuh di bagian mata. Lalu berlanjut ke hidung dan pipi. Yang terakhir polesan di bibirnya.
Jujur, Linzy sebenarnya agak takut dirias oleh Bu Santi. Takut hasilnya nanti tampak berlebihan. Namun, nyatanya bayangan menor menyeramkan itu cuma sebatas imajinasi. Lihatlah, make-up tampak natural dan dia sukai.
Setelah wajah. Rambutnya yang ditata. Diblow ujung rambutnya hingga bergelombang. Untuk rambut Bu Santi tidak mau yang ribet. Dia tidak menguncir atau menggelung rambut pirangnya. Dia membiarkannya tergerai dengan bandana putih biru di kepala.
"Kamu gak jadi pake yang kuning? Kenapa?" tanya Bu Santi yang sibuk merapihkan rambut belakangnya. "Karena Zion pake baju biru?"
Entah itu karena blush on-nya yang terlalu tebal. Atau memang pipi Linzy memerah. "Ga-gak, Bu. Biar keliatan kompak aja."
Bu Santi mengangguk saja. Linzy bernapas lega. Takut saja guru mudanya itu curiga. Padahal tak perlu ada yang dibingungkan. Linzy memakai baju biru ini cuma karena kelasnya dianggap kompak saja.
"Selesai!" Wali kelasnya tampak puas. Apalagi Linzy yang terpana menatap cermin. Merasa jika bayangan di sana bukanlah dirinya.
Horden ruangan mendadak terbuka. Linzy refleks berdiri. Pun Bu Santi yang sampai mengulas dada. Ternyata Zion yang datang tanpa diduga.
"Bu anak kelas lain pada udah selesai. Sekarang ada di backstage ..." Suara Zion memelan di ujung ketika menatap Linzy yang kini berdiri kikuk sambil memegangi ujung roknya.
Bukan tanpa alasan, Linzy jadi kikuk. Mengingat beberapa saat lagi. Dia bakal tampil. Sungguh membawa seluruh kegugupannya.
"Oke," Bu Santi mengangguk. "Ibu ke backstage duluan. Kalian nyusul ya?"
Cuma Linzy yang mengangguk. Zion tak membalas apapun. Matanya tak sedikit pun berpaling.
"Ayo, ke backstage," ucap yang cewek sedikit menyentak Zion yang diam. Lebih tepatnya terpana.
"Cantik," pelan Zion bersuara. Sayangnya, sepinya sekitar memudahkan Linzy mendengarnya jelas.
"Apa?"
Zion berdeham. Merubah rautnya. "Sepatu boot lo cantik. Jangan salah paham."
Cih! Linzy mencibir dalam hati.
Tiba-tiba, Zion menyodorkan lengannya.
"Biar apa?" Linzy bingung.
"Biar keliatan romantis." Yang cowok senyum lebar. Beda dengannya yang terdiam. Karena tak mau menunggu, Zion menarik saja tangan Linzy untuk dilingkarkan di lengannya.
Pipi Linzy memanas tak lama kemudian. Setidaknya itu tertolong oleh blush on di pipi.
"Bukan cuma sepatu lo yang cantik," Zion berbisik saat mereka berjalan menuju backstage. "Tapi lo emang cantik hari ini."
●●●●●
Baikan lagi kan mereka? Baik akutu wkwkwk.
Tapi ya ... belom tentu nanti2 :v
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro