FF(63) ● Perkiraan yang Salah
Waduh udah 10k vote-nya. Luar biasa kalian tuh :*
Makin Rajin vote sama komen. Biar akunya juga rajin ngetik di tengah kesibukkan wkwkwk
°°°
ANEH itu kata yang bisa digambarkan bila melihat Zion tengah mengobrol serius dengan Retta. Linzy yang baru tiba di kelas mengernyit. Si cowok berdiri di depan mejanya dan Retta. Sementara yang ceweknya mengangguk sambil senyum.
Sebenarnya tidak ada yang salah. Zion teman Regha dan Retta pacar Regha. Namun, kalau mengingat tabiat Retta yang tak pernah suka diganggu pasti jadi merasa ganjal.
Retta itu malas kalau dekat Zion. Cowok itu jail. Biang rusuh. Selalu menganggu dengan kejailannya. Walau jailnya Zion ke Retta tidak separah saat menjaili Linzy. Namun, tetap saja terkadang Retta lebih milih menghindar.
Retta pernah bilang begini saat Zion berhasil membuat dia meledak kesal, "Pliss ya ... pacar gue udah nyebelin. Jadi lo gak usah ikut nyebelin, Yon. Pecah kepala gue! Pergi sana!"
Linzy melangkah mendekati mejanya. Retta dan Zion serempak menoleh. Dan selembar kertas yang berada di meja, Zion masukkan buru-buru di kantong celana.
"Hai, Zi," sapanya tampak basa-basi. Linzy malas meladeni dan langsung melempar ke inti.
"Kalian ngapain? Serius banget kayaknya."
Retta menoleh pada Zion, terkekeh singkat. "Zion kemaren minta ..."
"ZI!" Zion manggil kencang. Seperti sengaja memotong ucapan Retta. "Nanti pulang sekolah kita latihan di gedung biasa. Lo dateng duluan, nanti gue nyusul. Gue mau nganter Bunda dulu. Oke?"
Belum diiyakan. Zion sudah lebih dulu beranjak pergi. Linzy mengernyit sementara Retta tergelak.
Aneh!
Eh. Zion kan emang aneh!
"Dia kenapa sih?" Sambil bertanya, Linzy meletakan tas di kursi sebelum tubuhnya yang dijatuhkan di sana.
"Tanya aja langsung." Retta bermain teka-teki.
"Males nanya dia, ngelantur pasti jawabnya."
Retta tergelak sekali lagi. "Dia minta gue bikinin puisi."
"What?" Zion meminta Retta membuatkan puisi? PUISI? Linzy tak mungkin tidak terperangah. Zion itu bukan lelaki puitis yang dapat merangkai kata. Otaknya cuma terisi hal-hal gila. Mana mungkin cowok gesrek itu berkata manis seperti sang pujangga.
"Kenapa dia minta itu?"
Retta mengedikkan bahu. "Katanya sih mau buat lagu dari puisi itu. Zion pinter bikin nada tapi dia bodoh soal ngerangkai kata. Makanya dia minta buatin puisi ke gue."
"Lagu?" Linzy bingung. "Buat siapa?"
Senyum samar tampak di wajah Retta. "Mungkin lo tau jawabannya."
°°°°
Ketika kantuk mulai menyerang, Linzy berharap bel istirahat cepat berdering. Apalagi perutnya keroncongan. Cacing-cacing perutnya meronta meminta makan.
Sialan!
Dia tidak dapat fokus pada penjelasan sang guru di depan. Semuanya tampak buyar. Materi pelajaran cuma masuk ke telinga. Belum sampai otak, penjelasannya sudah berhenti di tengah-tengah. Inilah nasib disaat sang mama menyuruh sarapan yang ditolaknya begitu saja.
Linzy menopang dagu. Menghitung detik demi detik di dalam pikiran.
Satu.
Dia mulai menghitung.
Dua.
Tiga.
Empat. Dan terus dia berhitung dalam diam. Lalu di detik ke lima belas. Bel istirahat menggema. Begitu kencang. Namun, justru terasa membahagiakan. Akhirnya Linzy terbebas dari penderitaan.
"Shen, Ta. Kantin." Linzy langsung berdiri dari kursi.
"Kamu sepertinya lapar sekali ya Linzy?" Suara mengerikan Bu Ainun menelusup telinga membuatnya kaku di tempat.
Bodoh! Saking antusiasnya dia lupa jika Bu Ainun belum keluar kelas dan masih berdiri di depan papan tulis. Linzy memejamkan mata.
Triple sial!
Siap-siap untuk ajalmu di depan Linzy!
Dia mendongak sambil senyum kaku. "Iya, Bu?"
Bu Ainun tersenyum manis. Jangan bilang, wajah guru fisikanya itu jadi tampak bersahabat. Justru tambah menyeramkan. "Kamu lapar?"
Pertanyaan jebakan, Linzy memilih diam tak menjawab.
"Ibu juga lapar nih kebetulan. Gimana kalo kamu beliin Ibu mie ayam kantin. Terus bawa ke kantor. Boleh?"
Jelas itu hukuman. Cuma Linzy yang meringis. Semua anak kelas malah tergelak. Bahkan anak lelaki sampai memuku-mukul meja.
Mereka sepertinya senang melihat penderitaan Linzy.
Dia cemberut. Apalagi saat sang guru mengambil barang-barang di meja dan mengatakan. "Kalian boleh beristirahat sekarang."
Sebelum melangkah keluar, dia berpesan. "Jangan lupa ya Linzy. Mie ayam buat Ibu."
Gelak tawa di sana makin menjadi. Menepuk-nepuk pundak Linzy prihatin. Padahal Liny tahu pasti, mereka cuma lagi meledeknya.
Tidak ada satu pun murid yang berani menolak permintaan Bu Ainun. Berani menolak, maka siap untuk mendapatkan hukuman yang lebih parah. Jelas Linzy menjadi salah satunya. Seperti yang dipesankan Bu Ainun, dia langsung pergi ke kantin dan membelikannya mie ayam.
Betapa berunutungnya Linzy, karena kedua sahabatnya mau menemani ke ruang guru. Sejenak waktu istirahat mereka terbuang, namun itu tidak masalah. Usai mengantarkan mie ayam ke ruang guru, mereka bisa kembali ke kantin. Untuk mengisi perut mereka yang berbunyi.
Namun, saat berbelok menuju kantin bawah langkah Linzy berhenti. Disusul Shena dan Retta. Dia berdiri kaku dan berharap hanya ada keheningan yang bisa menetralkan kerja otaknya yang mendadak mati. Sayangnya, dia lupa pada Shena yang tak pernah kenal situasi.
"Berduaan aja, Yon." Itu komentar Shena. "Eh iya, ini siapa?" Dia menunjuk gadis kecil yang berdiri di samping Zion. "Calon ya?"
Tak perlu dijelaskan lagi siapa dua sosok penyebab langkah Linzy berhenti bukan? Zion dan Zarlin tengah mengobrol sebelumnya. Bahkan tertawa. Namun, kedatangan mereka sepertinya menganggu. Menghentikan obrolan mereka yang tampak menyenangkan.
"Eng-gak, Kak." Zarlin yang kebiasaan gugup depan orang baru. "Ki-kita cuma lagi ngobrol."
Linzy membuang muka. Entah apa yang salah. Tapi sesuatu seperti menggerayang di hati dan terasa tak mengenakan sama sekali.
"Kita cuma ngobrol biasa, Shen. Gak usah mikir aneh." Dari sudut mata, Linzy merasa Zion menatapnya.
"Oh ya?" Nada Shena terdengar mencibir. "Seru banget ya kayaknya. Sampe ketawa-tawa gitu."
"Shen ..." Retta menegur. Lalu senyum pada dua sosok di sana. "Emang kalian ngobrolin apa?"
Suara Retta yang lebih bersahabat mengangkat kepala Zarlin yang tertunduk. "Ini Kak, kita lagi ngebahas puisi."
Retta diam sesaat dan tersadar. "Bentar. Lo yang pemenang kontes poetry itu kan?"
Yang ditanya mengangguk malu-malu. "Iya!" Lalu senyum polosnya merekah. "Ini aku lagi ketawain kak Zion, yang bacain puisi katanya dia buat sendiri." Dia tiba-tiba tertawa. "Eh ternyata itu puisi asal-asalan. Bahasanya aneh. Jadinya lucu."
Bukan cuma Retta yang kaget. Linzy bahkan sampai menatap lagi keduanya.
"Stt ..." Cowok yang di sebelah berbisik. "Jangan bongkar rahasia dong, Zar." Zion bercanda.
"Kalian cocok tau gak sih," Shena tersenyum lebar. Senyum menyindir. "Cepet-cepet jadian ya. Jadi couple Z. Kan kali aja bisa saingan sama couple R. Iya kan, Ta?"
Retta menoleh. Dari raut dia menyuruh Shena untuk berhenti. Lalu hendak membuka mulut tepat Linzy yang lebih dulu buka suara.
"Gue udah laper. Ayo!" Linzy meninggalkan kedua sahabat sekaligus dua sosok yang menciptakan percikan api di dada. Shena berteriak memanggil. Kedua sahabatnya langsung menyusul. Sebelum belokkan, samar-samar dia mendengar teriakan Zion.
"Zi jangan lupa, ke gedung biasa buat latihan."
Seolah tuli, Linzy tidak membalas dan meneruskan langkah ke kantin.
Keramaian kantin sungguh menghanyutkan. Terdengar bising yang entah kenapa bisa memecah indra pendengaran. Bodohnya, Linzy tak ikut tertarik di sana dan malah makin terjerumus dalam kehampaan.
Dadanya terbakar. Seperti ada asap yang mengebul keluar dan membuatnya sesak napas.
Di meja kantin bawah bagian tengah, itu tempat Linzy bersama temannya. Dia dan Retta menunggu dan membiarkan Shena yang memesan makanan.
"Zi ..." Retta memanggil pelan. Seakan dia benci keheningan ini.
"Lo bener, Ta." Suara lirih Linzy menggema. "Gue tau buat siapa lagu puisi itu."
°°°°
Walau dalam kekesalan. Entah dengan alasan apa. Linzy tetap datang sesuai yang Zion minta. Dia datang ke gedung kosong itu seorang diri. Di awal, mungkin dia takut melihat gedung menyeramkan tanpa penghuni itu.
Namun, makin ke sini. Dia mulai terbiasa. Coretan pilok. Dinding yang mengusam. Tumbuhan merambat dan rerumputan liar tak terasa asing lagi. Di puncak gedung, Linzy duduk di sofa usang sambil memerhatikan langit yang muram. Angin melambai. Terasa dingin dan sedikit menusuk kulit.
Jujur yang membuat Linzy takut adalah langit yang menggelap sekarang. Takutnya hujan turun tanpa diduga.
Tapi belum ada tanda-tanda turun hujan. Jadi tidak masalah jika Linzy menunggu Zion di sini.
Lima menit berlalu, dia masih bersantai ria di sofa.
Lima belas menit berlalu, dia juga masih biasa sambil memainkan ponsel.
Tiga puluh menit berlalu, Linzy mulai was-was. Ditelponnya Zion berkali-kali. Hanya untuk mendengar suara operator yang tak ada lelahnya menjawab. Dia mulai ketakutan bercampur cemas. Apalagi rintik kecil yang satu-persatu mulai jatuh membasahi bumi.
°°°°
Dengan kekencangan penuh. Zion mengendarai motornya membelah derasnya hujan. Sialan! Sialan! Sudah berapa kali mulutnya mengeluarkan kata hina itu. Kalau diingat lagi alasannya melakukan ini, Zion rasanya ingin menjerumuskan diri ke jurang. Dia telat. Seharusnya lima belas menit lalu, dia sudah tiba dan tengah latihan bersama Linzy di gedung biasa.
Namun, karena ada sesi perkenalan diri Zion pada teman-teman reunian Friska. Dia harus tertahan bersama ibu-ibu lupa umur itu. Saat melihatnya, teman bunda seakan ingin menerkam. Mengedipkan mata dan membelai-belai otot lengan Zion yang tertutup seragam.
Dia mengernyit geli setiap kali digoda. Kalau bukan karena sopan santun, dia ingin muntah rasanya. Beruntung Friska peka. Dia langsung meminta izin pada teman-temannya. Kalau Zion harus pulang karena ada urusan.
Tanpa acuh pada seruan kecewa yang didengar, Zion keluar dari kafe dan menancap gas. Jalanan basah dan licin, tak lagi dia pedulikan. Yang dia tahu, dia harus cepat tiba di gedung kosong itu.
Ponselnya mati karena kehabisan baterai. Jalan Ibukota yang cukup padat karena deraian hujan. Sepertinya semesta bersongkol untuk membuat Zion menderita. Selalu saja ada kendala, yang menjadi hambatan untuknya.
Dan saat berada di jalan menuju sekolah. Motor Zion direm mendadak saat melihat sesuatu di halte.
°°°°
Dua preman di depannya sudah membuat Zarlin ketakutan luar biasa. Ditambah salah satu preman yang bertindik itu menarik tasnya begitu saja.
"Siniin, tasnya!" Suaranya kasar sekaligus tarikannya yang sedikit membuat Zarlin terseret. Pertahanannya tak sebesar mereka, apalagi tubuhnya yang cenderung kurus dan kecil. Zarlin tak punya kekuatan apa-apa untuk mempertahankan hak tasnya.
"Sa-saya mohon, jangan!" cicit Zarlin pelan. Dia ingin berteriak. Namun, derasnya hujan cukup membuat kesepian di jalan tercipta. Siapa yang akan berhenti hanya untuk menolong di tengah hujan yang kerasnya menimpa. Pasti orang-orang sudah sibuk dengan dirinya sendiri dibanding peduli.
"Lepas, bang. Kasar banget lo sama cewek!"
Zarlin telah pasrah, disaat Tuhan memberikan bala bantuan. Bahkan dia tak pernah berharap pahlawan yang akan datang itu Zion. Kakak kelasnya, yang dia sukai diam-diam. Zarlin menatapnya tak percaya. Membawa pelan-pelan kelegaan yang mengundang air mata.
"Balikin tasnya, bro!" Si cowok melepaskan helm dan ditaruh di jok motor. Senyumnya mengembang dan tampak santai.
Preman satu lagi yang bertato di sepanjang lengan berjalan mendekati Zion. Bahkan yang bertindik pun maju dan melupakan tasnya. Zarlin langsung mendekap miliknya di dada.
"Heh bocah tengik!" Preman bertato berucap tajam. "Gak usah ikut campur!"
Zarlin bingung bagaimana bisa kakak kelasnya itu masih tersenyum lebar di situasi seperti ini.
"Sori aja nih bang. Gue bukan bocah," Zion menanggapi santai. "Gue udah gak minum di dot. Terus urusan cewek, gue udah bisa bedain mana cewek yang pinter di ranjang!"
"Banyak omong lo!" Sepertinya preman bertindik lebih temperamental. "Pergi lo! Atau gue patahin tulang leher lo!"
"Mau bagian leher mana bang?" tantangnya sambil menunjuk leher kiri. "Kiri," lalu menujuk leher bagian kanan. "Atau kanan?"
"BANGSAT!" Yang bertindik meludah. Zarlin mengernyit jiik dan segera mundur.
"Mending lo pergi deh, bang. Masa lo beraninya sama cewek," ledeknya lalu menunjuk bagian bawah si preman. "Gue yakin tuh 'benda sakti' lo langsung sujud kalo liat cewek telanjang dikit!"
"Anjing!" Sekarang yang bertato terpancing. Melangkah dan melayangkan tonjokkan yang Zion tahan langsung.
Dua lawan satu. Jelas Zion kalah jumlah. Zarlin makin ketakutan. Terpojok melihat perkelahian di depan. Sekarang bukan dirinya sendiri yang dia khawatirkan, tapi Zion yang kini berusaha menghalau tinjuan yang datang tanpa henti.
Dia sempat teriak tertahan saat pipi Zion tertonjok. Apalagi sudut bibirnya yang tampak sobek. Cukup dinginnya hujan yang membuat tubuhnya gemeteran. Aksi tinju di sana pun memperparah gemetaran tubuhnya. Apalagi sekuat mungkin dia menahan tangis di sini.
Tiba disaat Zion terlempar ke aspal. Zarlin tak bisa lagi menahan air mata dan teriakannya. Dia hendak mendekat. Namun, preman bertindik itu kembali dan mengambil tasnya. Bersamaan dengan itu suara sirine menggema.
Sang preman kalang kabut dan melepas begitu saja benda yang ingin dicuri dan langsung menaiki motornya untuk melaju pergi.
Hening.
Hening.
Hening.
Semuanya berlalu begitu cepat. Dia terdiam di tempat dan tak mengerti apa yang telah terjadi. Zion berdiri dan berjalan mendekat.
"Ta-tadi ..." Zarlin bingung bagaimana menjelaskan. Itu suara sirine. Namun, mana mobil polisi?
Seolah tahu kebingungan Zarlin, Zion tersenyum sambil mengeluarkan benda di saku celana. "Suaranya dari sini." Itu benda kecil yang tak lain mp3 player. Jadi suaranya berasal dari benda itu?
Zarlin terperangah sebelum kelegaan menyapa. Dia tertawa sambil menjatuhkan sisa air mata.
Yang cowok kaget. "Lah lo kenapa nangis?"
Zarlin buru-buru menghapus air matanya. "Aku gak pa-pa, Kak ... makasih," ucapnya tulus. Lalu dia tersentak karena kakak kelasnya membantu membersihkan sisa tangisnya di pipi.
"Santai aja," yang cowok menjauhkan tangan kemudian. "Lo kenapa di sini? Belom balik ke rumah?"
"Aku lagi nunggu Pak Oni jemput tadi. Katanya, mobil lagi di bengkel makanya lama buat jemput."
Yang cowok mengangguk mengerti lalu melirik jam yang melingkar di tangan. Seperti ragu saat menawarkan, "Mau gue anterin pulang? Rumah lo gak jauh kan?"
"Lumayan sih kak," jawabnya. "Kalo Kak Zion gak bisa. Gak pa-pa, Kak. Aku di sini aja nunggu."
"Nanti kalo ada preman lagi, lo bakal kenapa-napa," Zarlin merasa Zion seperti dikejar-kejar sesuatu yang membuatnya terburu-buru. "Udah ayo—oh ya ..." di melepas jaket kulitnya yang anti basah dan diserahkan pada Zarlin. "Lo pake. Baju dalem lo keliatan."
"Eh," Zarlin refleks menutupi bagian dadanya. Yang cowok tertawa.
"Biar gak keliatan. Pake ini aja."
Mau tak mau, Zarlin menerimanya. "Ini udah dua kali Kak Zion minjemin aku jaket."
Sebatas senyum yang Zion urai. "Ayo cepet."
"Kalo lo ada kesempatan. Seharusnya lo jujur, Zar."
Kalimat Nara terngiang-ngiang di kepala. Beberapa hari ini Zarlin akui. Jika Tuhan selalu memberikannya ruang untuk Zarlin bisa mengatakan isi hatinya. Namun, bukan digunakan sebaik-baiknya, dia malah membuangnya sia-sia.
Dia menyia-nyiakannya bukan tanpa alasan. Dia takut untuk jujur. Bibirnya kelu setiap merangkai kata yang ingin diungkapkan.
"Ampun Zar, gitu aja takut. Biasanya juga lo orangnya selalu jujur. Pas gue dandan pertama kali, lo langsung ngatain gue badut jalan. Ayo dong berani!"
Seakan ada Nara di sini mengacaukan segalanya.
"Kak ..." Zarlin menahan tangan Zion yang hendak menaiki motor.
"Apa?"
"Aku mau jujur. Boleh?"
"Jujur itu bagus kan? Kecuali lo mau boong. Pasti gue omelin!" Candaan Zion sama sekali tidak mengurangi kegugupan yang menyerang Zarlin tiba-tiba.
"Aku mau bilang ..." Zarlin menunduk. Memainkan jari. "Kalo aku tuh sebenernya ..."
"Lesbi?" Zion asal menebak. Zarlin sontak menggeleng.
"Transgender?" Zarlin terbelalak.
"Oh atau lo sebenernya berumur lima puluh ..."
"Aku tuh sebenernya suka sama kak Zion!"
Zarlin segera menutup mulutnya yang keceplosan. Gantian Zion yang terbelalak. Shock luar biasa.
"A-apa?"
Ini sudah terlanjur. Zarlin tak punya ruang untuk mundur. "Aku sa- sayang sama Kak Zion. Bukan sebagai kakak, tapi ..."
"Zar ..." Zion tampak kebingungan.
"Kak Zion gak perlu ngebalas apapun," Buru-buru Zarlin menambahkan. "Aku cuma mau jujur. Anggap aja, gak ngomong apapun, biar gak jadi beban buat Kak Zion."
"Sori ... gue gak bisa jawab apapun sekarang."
"Nggak apa-apa," Zarlin mendongak. Senyumnya terangkat kecil. "Aku juga gak berharap bakal dapet jawaban dari Kak Zion."
"Zar ..." Zion memanggil lirih. "Gue boleh meluk lo?"
Yang ditanya kaget luar biasa. Apalagi saat merasakan tangan kakak kelasnya sedikit ragu mengelilingi tubuhnya. Perlahan kekagetan itu memudar berganti kenyamanan yang dia inginkan. Begitu pelan dia mengangkat tangan dan membalas pelukan.
Sementara di lain tempat.
Linzy berdiri memeluk tubuhnya sendiri. Menghalau kedinginan hujan. Namun, apa daya. Semua itu percuma. Seragamnya basah dan seluruh tubuhnya dibuat mati kedinginan. Apalagi air mata yang jatuh di pipi dan tersamarkan oleh rintik hujan.
"Lo di-dimana, Yon?" Dia masih menunggu selama sejam dan masih berharap cowok yang ditunggunya datang.
°°°°
Akhirnya mereka tiba, Zarlin turun dan tersenyum. "Makasih, Kak Zion. Mau mampir dulu? Kebetulan ada Mama di dalem?" Gerbang belakang rumahnya terbuka oleh satpam seolah menyuruh Zion untuk mampir.
Yang cowok menggeleng. "Gak usah. Gue buru-buru. Titip salam aja buat nyokap lo!"
Zarlin senyum dan mengangguk. Hendak mengucapkan 'hati-hati di jalan' sayangnya malah kalimat Nara yang terngiang lagi.
"Kalo lo cium pipi cowok. Biasanya dia jadi naksir sama lo."
"Kamu dapet info itu dari mana?" Zarlin bingung saat itu. "Itu malah keliatan agresif, Ra."
"Gak. Percaya deh sama gue, cium aja pipinya!"
Zion membatalkan niat untuk mengegas motornya karena Zarlin tahu-tahu memegang tangannya yang berada di stang. Dia bingung dan menatap Zarlin menunggu. Dan selanjutnya sungguh tak tertebak. Zion terdiam merasakan bibir lembut Zarlin di pipinya.
Dia masih shock. Zarlin menjauh dengan pipinya yang memerah. "Hati-hati, ya Kak." lalu dia segera berlari melewati gerbang.
Yang cowok terdiam lama. Memegang pipinya sendiri. Itu beneran Zarlin yang menciumnya?
Lo jahat, Yon!
Dan semuanya terhapus begitu saja saat suara lirih Linzy menggema di kepala. Terdengar begitu kecewa. Tanpa berpikir lagi, Zion menancap gasnya dan melaju kencang di jalanan.
°°°°
Yang Linzy lakukan sia-sia bukan? Menunggu seseorang yang mungkin lupa dan tak akan datang. Buat apa dia masih bertahan di sini? Seharusnya dia pulang dan lupakan saja janji yang telah disepakati.
Lihatlah, dia bahkan membiarkan tangannya mengerut karena kedinginan. Membiarkan tubuhnya menggigil gemetaran. Dan ... membiarkan air matanya bergulir begitu deras seperti langit yang meluapkan kesedihan.
"Zi ..."
Panggilan dari arah belakang. Membuat kepala Linzy lantas menoleh. Dalam keadaan memeluk dirinya sendiri, dia menatap Zion yang juga basah kuyup dan menatapnya dengan khawatir.
Khawatir? Cowok itu khawatir padanya?
Kalau memang iya. Bukankah seharusnya dia datang tepat waktu. Menepati apa yang dia telah ucapkan?
Langkah Zion berhenti di depannya. "Kenapa lo masih di sini? Kenapa lo gak pulang aja? Kenapa lo biarin diri lo ujan-ujanan?"
"Gue juga gak tau karena apa." Tatapan Linzy kosong tanpa binar.
"Sori ... gue gak bermaksud buat lo nunggu. Apalagi sampe keujanan kayak gini."
Senyum miris Linzy terangkat. "Gue nunggu lo selama sejam. Berharap lo dateng. Tapi kenapa pas ngeliat lo ... gue justru mau pulang?"
Yang Linzy rasakan tak mampu dia jelaskan dengan kata. Seperti ada kekosongan menusuk bagian dadanya. Perih dan terasa menyakitkan.
Dia mengambil tasnya yang basah di sofa usang itu. "Gue pulang aja," tangan Linzy langsung Zion tahan.
"Zi ... gue minta maaf. Gue bener-bener gak ada niat dateng telat. Ada kendala di jalan," jelas Zion dengan penyesalan di mata. "Apalagi tadi gue harus nolong Zarlin ..."
"Zarlin?" Sepenuhnya, Linzy menatap yang cowok. "Jadi lo telat dateng ke sini karena Zarlin?"
"Gak gitu, Zi. Tadi ..."
"Udahlah, Yon!" Linzy langsung menyentak genggaman Zion di tangannya. "Gue hampir mati kedinginan karena sejam nungguin lo. Apa lo tau itu? Enggak kan?!" Air mata itu kembali bergulir.
Apa-apaan ini Linzy! Kenapa dia jadi secengeng ini?!
"Zi ... gue bener-bener ..." Zion berniat mengambil tangannya, sontak Linzy mundur. Melihat penolakan yang cewek, dia terdiam sesaat. "Ini jaket ..." Zion memegang seragam di bahunya dan tidak ada jaket yang tersampir di sana. Sepertinya Zion lupa jika jaketnya dia berikan pada Zarlin.
"Jaket?" Linzy tertawa hambar. "Lo mau buat adegan sweet gitu kayak pemeran utama di dalam drama?" Dia senyum sedih. "Sayangnya, lo lupa. Kalo lo udah ngasih jaket itu ke pemeran cewek lain!"
Tanpa kata lagi, Linzy berjalan melewati Zion begitu saja.
"Zi ..." yang cowok memanggil. "Zi ... gue mohon ...."
Bodohnya, penjelasan Zion cukup sampai di ujung lidah. Linzy tidak menggubrisnya dan menghilang menuruni tangga.
●●●●●
Mohon maaf nih mungkin sampe pertengahan april, aku bakal gak teratur up-nya. Bisa seminggu sekali atau gak sama sekali. Tergantung ada waktu ngetiknya. Jujur, aku bener-bener sibuk. Jadi harap maklum.
Tenang aja, cuma sampe pertengahan april. Setelahnya aku usahain up cepet. Lagian juga aku harus cepet nyelesain cerita ini. Arven udah nunggu, kasian dia tuh wkwkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro