Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(62) ● Yang Hati Inginkan?

Cieee nungguin ya? Wkwkwk

Jangan lupa vote sama komennya, biar semangat gitu akunya

°°°

KEPUTUSAN hakim sudah diambil. Orang tuanya resmi bercerai sore kemarin. Sisa semalam Papa tinggal di sini, sebelum besoknya kembali ke Italy—negara asalnya.

Sesakit-sakit hatinya Linzy karena hal yang papanya lakukan di masa lalu. Dia masih menyayangi Papanya. Dia tak mampu membayangkan kehidupan Papa di sana.

Di Negara asal, Jeovan tidak punya siapa-siapa. Keluarga Jeovan telah tiada. Orang tuanya sudah meninggal sejak papanya berusia lima belas tahun. Dia anak satu-satunya.

Jadi bisa bayangkan bagaimana Jeovan yang bekerja banting tulang, meneruskan bisnis keluarga sejak usianya yang masih remaja.

Saat kecil, Jeovan sering menceritakan kisah kehidupannya itu. Linzy yang masih berusia tujuh tahun cuma bisa memberikan papanya ciuman dan pelukan di ujung kisah. Dan mengatakan, "Tapi sekarang Papa punya, Zizi."

Kenang-kenangan manis itu yang sirna dari kepala. Semuanya lenyap tak tersisa. Terdorong oleh satu kesalahan fatal yang papanya lakukan. Itu rencana yang Tuhan berikan. Kebahagian yang utama dan kesedihan hanya pelengkapnya. Yang di bagian akhir kesedihan itu punah dan kebahagian yang menang.

Linzy menarik napas panjang. Dia telah menerima takdir dan dia yakin dia bisa melepaskan papanya pergi.

Barang-barang penting telah dimasukan di dalam mobil. Linzy menatapnya dengan ketegaran yang diupayakan. Para pembantu bekerja keras merapihkan sisanya. Saat semuanya beres, ruang keluarga ramai. Semua yang bekerja di rumah Linzy, berkumpul untuk perpisahan terakhir.

Di sana banyak orang. Namun, Linzy merasa sepi. Kesepian yang menyesakkan dadanya. Papa keluar kamar bersama koper di tangan. Untuk koper-koper yang lain telah dimasukkan ke dalam bagasi.

Dia mengepalkan kedua tangan, cara agar tirta tak jatuh di sudut mata. Semalaman Linzy telah berpikir. Bahwa dia bisa melepaskan sang papa.

Namun, nyatanya bayangan tak selalu sama seperti kenyataan.

Melihat kepergian sang papa secara langsung, membuat sesaknya lebih mengikat. Begitu kuat hingga dia tak bisa bernapas. Sakit. Dadanya sakit.

Jeovan berjalan mendekat. Linzy langsung menyambutnya dengan pelukan. "Linzy gak mau Papa pergi!" jujurnya sambil terisak. Tidak ada anak perempuan yang bisa membenci papanya lama-lama. Walaupun seberapa dia menyakiti. Apalagi disaat sang Papa bersiap pergi dan pertemuan mereka akan jarang terjadi.

Linzy tidak bisa. Nyatanya dia belum siap berpisah dengan papanya.

"Pa—Papa, Linzy gak mau ...." Pilu itu terdengar dalam nada tangisnya. Jeovan makin mengeratkan pelukan. Berharap anaknya akan tenang.

Sunyi tercipta di sana. Cuma tangisan Linzy bersama isakannya. Para pekerja lelaki sekadar diam. Berbeda dengan para perempuan yang mulai berkaca-kaca. Mereka telah bekerja sejak lama. Jadi tak ada alasan mereka untuk tidak ikut sedih melihat situasi ini.

Jeovan sedikit mengurai rengkuhan. Menatap anaknya bersama air mata yang menggenang. Diusapnya air mata Linzy perlahan, yang justru mengundang air matanya yang mengalir di pipi. Seperti yang papanya lakukan, Linzy ikut mengusap air mata di pipi papanya.

Clara yang juga menjadi saksi, hanya membuang muka. Seolah pemandangan di depan mata sangat menganggu keputusan yang telah diambilnya.

Jeovan tersenyum dalam tangisnya. Mengambil tangan Linzy di pipinya dan dicium berulang kali.

"Papa gak akan kemana-mana. Kalo Linzy butuh Papa ..." lirih suara papanya. "Papa langsung lepas landas ke sini buat ketemu anak Papa dan kabulin semua permintaannya."

"Kalo Linzy minta Papa jangan pergi? Apa Papa bakal kabulin itu?"

Jeovan tak menjawab karena jelas itu permintaan yang tak bisa diwujudkan.

"Linzy dengerin Papa," Jeovan menangkup pipi anaknya. "Ada atau gak adanya Papa di sini. Kita masih bisa sering ngobrol lewat videocall. Bercanda-canda di telepon. Semuanya bakal sama kayak dulu. Mulai sekarang Papa akan selalu ada buat Linzy." Papa mencium puncak kepalanya lama dan Linzy semakin dipukul telak oleh kesesakkan.

"Pas Linzy lulus SMA ..."

"Papa pasti datang." Jeovan meneruskan dengan senyum.

"Pas Linzy wisuda ..."

"Papa juga ada di sana, meluk Linzy. Janji."

Sekali lagi, Linzy memeluk leher papanya. Yang dibalasnya lebih erat.

Waktu berlalu cepat ketika dua bodyguard Jeovan menyampaikan kalimat yang Linzy benci. Ini saatnya papanya pergi ke bandara sebelum terlambat. Dan ini waktu terakhirnya melihat sang Papa di sini.

Awalnya Linzy enggan melepas pelukan. Namun, suara dingin Clara mau tak mau membuat Linzy menjauh. Dia mencium tangan Papa sebagai kata perpisahan dan Papa membalasnya dengan mengecup kening lalu kedua pipinya.

Seluruh pembantu mengucapkan salam perpisahan dengan dramatis. Yang direspon Jeovan dengan tawa dan senyuman.

Linzy menoleh kaget saat dilihat mamanya mencium tangan Jeovan untuk terakhir kali. Bentuk akhir hubungan mereka.

"Hati-hati, Mas." Suara Clara dingin. Tapi mamanya tak cukup pintar untuk menyembunyikan nada getir di sana. Linzy menangkapnya jelas.

Jeovan mengangguk sambil tersenyum kecil. "Sampai jumpa, Ra. Jaga Linzy baik-baik."

°°°°

Seragam sekolah telah usai dipakainya. Di depan cermin, Linzy berdiri lemas. Bayangan di sana berekspresi datar. Bibir di wajah pucat walau telah disamarkan lip-ice. Kantung matanya membesar layaknya mata panda. Beberapa kali dia menjejalkan concealer di sana. Namun, rasa percaya dirinya justru jatuh dan lebih memilih menutupinya dengan bedak.

Terhitung tepat satu hari papanya pergi dan justru terasa bertahun-tahun papa meninggalkannya. Lama dan menyesakkan dada. Membuat matanya kembali berkaca-kaca.

Jeovan memang brengsek dan suka bermain perempuan. Namun, seburuk-buruknya Jeovan, dia tetaplah papanya. Lelaki pertama yang Linzy sayangi. Lelaki pertama yang memeluk dan mencium Linzy.

Dia sering melontarkan kata benci. Jangan percaya, karena hatinya selalu berkata jika dia sangat menyayangi sang papa.

Ditarik napas panjang, Linzy membuangnya perlahan. Jemarinya menghapus air mata di wajah. Ingat. Ini hari senin. Awal yang baik untuk memulai. Dia perlahan menarik kedua sudut bibirnya. Membentuk senyuman untuk awal bahagia. Dia yakin, dia bisa.

Diambilnya tas di meja belajar, Linzy lalu melangkah keluar kamar dan menuruni tangga. Berjalan menuju meja makan. Namun, langkahnya mendadak tertahan.

"Zion?" Siapa yang tidak kaget melihat keberadaan cowok itu di ruang makan rumahnya tengah sarapan. Tanpa adanya komunikasi sebelumnya.

Cowok yang dipanggil menoleh. Melambaikan tangan. Dan bukannya menjelaskan kebingungannya, dia justru kembali menikmati makanan di piring.

"Hai sayang,"sapa Clara yang keluar dari dapur yang tepat berada di sebelah ruang makan. Cuma dibatasi sekat dinding. "Ayo makan. Mama buatin pasta kesukaan kamu."

Pertanyaan yang ingin Linzy tanyakan harus ditunda. Dia menarik kursi dan mendaratkan diri di depan Zion yang lahap.

"Spaghetti-nya enak banget, Tan!" puji Zion. Clara yang telah mendaratkan duduk di sebelah Linzy tersenyum. Bersamaan itu, Bi Marni meletakkan piring makanan milik Linzy.

"Enaklah. Itu spaghetti ayam puttanesca. Dari Italy. Pasta kesukaan gue sama Papa." Linzy santai saja menjawab. Tanpa tahu sang mama terduduk kaku karenanya.

Zion yang peka keadaan, memilih diam.

Clara berusaha mengulas senyum. "Kalo Zion suka, Tante bisa ambilin lagi."

"Mungkin kalo makan siang, Zion mau nambah, Tan. Tapi ini kan sarapan, nanti Zion gak fokus belajar karena kekenyangan." Linzy hampir tersedak mendengarnya. Beda dengan Clara yang tertawa karena candaan Zion.

"Bisa aja kamu!" Lalu Clara berdiri. "Tante tinggal dulu, ya. Mau siap-siap ke kantor." Dia menoleh pada anak perempuannya dan mengusap kepalanya. "Nanti, pas berangkat, Linzy langsung jalan aja. Kemungkinan Mama lama di kamar."

Linzy mengangguk saja. Melihat Clara yang mulai melangkah keluar dapur dan lama-kelamaan hilang di belokkan.

"Lo kok ada di sini?" Akhirnya pertanyaan yang ditundanya bisa keluar juga. "Ngapain?"

"Jemput lo." Zion menjawab sambil memutar pastanya menggunakan garpu. "Kan lo yang minta."

"Hah?" Linzy lebih kaget kali ini. Kapan dia menelpon Zion? Dan bagaimana caranya dia menelpon jika dia tengah digeluti kesedihan karena papanya yang pergi seharian kemarin. "Gue gak pernah nelpon atau chat lo buat minta jemput?"

Zion ikutan heran. "Tapi Mama lo nelpon gue kemarin dan bilang kalo lo minta jemput?"

Yang cewek jadi ternganga. Mamanya? Bagaimana mungkin Ma ... Oh oke. Sepertinya Mama sengaja merencanakan ini.

Linzy tak percaya. Bagaimana bisa Clara yang selalu melarang anaknya berdekatan dengan lelaki justru kini menciptakan rencana seperti ini.

"Udah lupain aja." Linzy lanjut makan.

Selesai sarapan. Mereka langsung keluar rumah menuju mobil Zion yang terparkir di halaman rumahnya. Seperti yang Clara katakan. Dia terlalu lama bersiap-siap di kamar. Jadi Linzy dan Zion segera berangkat ke sekolah tanpa pamit lebih dulu.

Mobil Zion keluar gerbang rumahnya. Jalanan lancar. Mereka berangkat tidak mendahului para pekerja yang pasti akan menciptakan kemacetan di jalan. Membuat Zion bisa mengemudi dengan semena-mena.

Matahari bersinar cerah. Tak ada tanda-tanda kemuraman yang akan ditunjukkan. Ini hari senin yang dianggapnya orang penuh kesialan. Namun, Linzy berusaha menganggapnya awal kebahagian.

Mendadak dahi Linzy mengerut ketika mobil Zion berhenti di depan supermarket.

"Lo tunggu sini sebentar." Zion sengaja memarkirkan mobilnya di pinggir jalan karena tak ingin berlama-lama di sana. Linzy makin dibuat bingung ketika melihat si cowok keluar sambil membawa kantong es batu yang telah jadi.

Dia masuk ke dalam mobil. Mengambil es batunya beberapa kemudian sisanya dia lempar ke luar. Tepatnya ke tempat sampah yang ada di samping mobil. Lalu dia mengambil handuk kecil yang tersimpan di dashboard depannya.

Linzy diam. Menebak-nebak apa yang akan Zion lakukan selanjutnya.

Zion memasukkan esnya di handuk. Digumpalkan. Lalu memberikannya pada Linzy. "Nih," Melihat kerutan di dahi cewek membuat yang cowok menjelaskan. "Mata lo bengkak. Mungkin lo pinter nutupin itu pake bedak. Tapi gue bukan cowok bego yang bisa lo tipu."

Linzy speechlees luar biasa. Tidak menyangka jika kepekakaan Zion cukup besar untuk sadar. Apalagi semua kelakukaannya tidak bisa ditebak di awal.

"Sini," Zion menarik pelan tangan yang cewek untuk mendekat. Linzy diam sekaligus memejamkan mata saat cowok itu mulai menempelkan handuk dingin itu di kantung matanya. Sensasinya cukup terasa di mata.

Seharusnya Linzy fokus pada pejaman matanya saja. Bukan pada jantungnya yang melompat-lompat tak terduga. Zion itu aneh. Tingkah absurd dan segala kejailannya selalu punya akhir yang sering kali menciptakan senyumannya.

Bahkan dia tak ingin menjauh. Alasannya karena kedekatan ini, ada kenyamanan yang enggan Linzy akhiri.

"Kenapa lo nangis mulu sih dari kemarin? Kasian mata lo tuh bengkak. Emang suka disamaan sama panda?"

Zion menjauhkan handuk itu. Sementara Linzy kembali membuka mata. Menatap Zion yang juga menatapnya.

"Panda lucu kan?"

"Tanpa nangis juga lo udah lucu. Apalagi kalo ketawa, lo tambah lucu," puji cowok terdengar tulus. "Dan gue suka."

Linzy membuang muka dan tanpa sepengetahuan Zion yang kembali mengemudi. Senyumnya terangkat diam-diam.

°°°°

"Ceria banget lo?" Itu kata sambutan Retta ketika Linzy baru masuk kelas. Senyum Linzy memudar karenanya. Pipinya memerah seakan tertangkap basah.

"Apa sih, Ta?" Linzy berjalan ke bangkunya dan telah merubah wajahnya yang biasa. "Gue kayaknya biasa aja."

"Oh ya?" Retta menutup buku novelnya dan sepenuhnya memberikan Linzy perhatian. "Terus kenapa senyum-senyum?"

"Gue gak senyum, Ta!" ketusnya seperti biasa kalau lagi salah tingkah.

"Ini karena secret admirer lo. MR. L ngirimin lo lollipop?"

Diingatkan oleh hal itu, bibir Linzy seketika mencebik. rautnya muram. "Enggak," dia menggeleng sedih. "Hari ini dia gak ada lollipop di loker gue."

Retta kaget. "Serius?"

Cewek pirang itu mengangguk lemas.

"Terus alasan lo senyum-senyum gitu apa?"

Cita-cita Retta itu ingin menjadi psikolog. Namun, kenapa Linzy merasa sahabatnya itu telah mengubahnya menjadi polisi. Selalu mengintrogasi sebelum menemukan jawaban yang diinginkan.

Melihat Linzy yang memelotot—yang maksudnya lagi malas membahas—Retta terkekeh.

Linzy melirik bangku belakang. "Shena kemana?"

"Biasa, lagi sama Ricky."

"Terus kenapa lo gak sama Regha?"

Sepertinya Linzy salah mengangkat topik. Retta cemberut ketika ditanya.

"Kenapa? Berantem?"

"Gue kesel ya, sepupu lo tuh kenapa nyebelin banget sih!" Akhirnya Retta bisa juga meluapkan emosinya. "Kemarin gue udah rapi pagi-pagi. Niatnya mau pergi sama Regha kan. Eh tau-tau dia nelpon gue dan batalin gitu aja karena ada acara sama anak boxing. Ngeselin gak sih?!"

"Dia udah minta maaf?"

"Lo tau gimana gue, Zi. Sekali kesel, gue butuh dua hari buat maafin."

"Tapi lo tau Regha keras kepala. Lo batu, Regha lebih batu. Dia pasti cari cara supaya lo maafin dia," Linzy terkekeh. "Seharusnya lo seneng dong, ada yang merhatiin."

"Dan akhir-akhir ini lo juga ada yang merhatiin." Retta melempar balik umpan. Linzy seketika tergagap bersama pipinya yang memerah.

"Mer-merhatiin siapa? Gak ada." Linzy membuang muka.

"Siapa lagi kalo bukan Zion," Retta senyum jail. "Ciee makin deket aja nih. Lo berangkat bareng Zion kan tadi?"

"Tau dari mana?" Linzy masih menatap ke arah lain.

"Dari penggosip di kelas." Retta tertawa. "Zionnya mana sekarang?"

Linzy mengangkat bahu tak acuh. "Gue gak tau, tadi katanya mau ke toilet." Teringat sesuatu, Linzy menoleh. "Ta, hari ini lo ke rumah gue ya?" pintanya sambil berbisik.

"Buat apa?"

"Mm ..." Linzy ragu. "Ada yang mau gue omongin dan tanyain."

"Shena diajak?"

Linzy langsung menggeleng. "Enggak. Dia gak boleh tau soal ini."

"Kenapa?" Retta mengernyit. "Lo mau buat kejutan? Kayaknya ultah Shena masih lama deh."

"Bukan. Gue nggak ngajak dia, karena pasti dia gak suka kalo gue ngebahas topik ini."

Perkataan Linzy penuh rahasia. Retta bingung dibuatnya.

°°°°

Tepat bel pulang berdering. Memecah keadaan beberapa kelas yang sempat hening. Sebelum akhirnya sorak senang terdengar di sepunjuru sekolah. Permintaan Linzy, Retta kabulkan. Bahkan Zion yang hendak mengajaknya berlatih di ruang musik, ditolak Linzy begitu saja. Seolah hal yang ingin dia katakan pada Retta sangatlah penting.

Pak Edi, supir mamanya telah datang menjemput. Itu karena Linzy menelponnya.

"Sebenernya lo mau ngomongin apa sih?" Selama mobil melaju di jalan, Retta membuka percakapan.

Linzy yang duduk di sebelahnya menoleh. "Gue mau curhat sebenernya."

"Curhat?" Tidak biasanya seorang Felinzy Lavira curhat rahasia seperti ini. "Lo mau curhat apa?"

"Mm ... nanti juga lo tau."

Mobil silver itu akhirnya berhenti di pelataran rumah. Linzy langsung keluar dan menarik Retta menuju kamarnya yang di atas. Tanpa peduli oleh kesepian yang terasa menusuk, Linzy menutup pintu kamarnya.

Retta memandang sekeliling dan tersenyum kecil. "Gak ada yang berubah. Semuanya masih warna-warni." Itu komentar pertama Retta setelah lamanya tidak berkunjung ke rumah Linzy. Apalagi kamarnya yang didominasi oleh warna pelangi.

Dari dinding yang berwarna pastel. Seprai ranjangnya bercorak biru laut bersama kuning pucat. Bahkan lampu lollipop masih tertempel di langit-langit kamar tepat di atas ranjang.

Karena masalah keluarga, Retta sekarang tahu kenapa Linzy selalu beralasan jika mereka—dia dan Shena—mengusulkan rumah Linzy untuk movie marathon mingguan mereka. Cewek itu selalu punya alasan masuk akal untuk mereka mengurungkan niat.

Jangan salah, Retta dan Shena pernah ke rumahnya bahkan sampai menginap walau tak sering. Itu juga waktu orang tuanya berada di luar kota atau negeri.

"Jadi lo mau curhat apa?" Retta duduk di pinggir ranjang. Melihat Linzy yang tengkurap bersama bantal lollipop-nya.

"Ta ..." Sebenarnya Linzy ingin menyimpan itu sendirian. Namun, ini sangat mengganjal. "Lo kan pernah putus sama Regha. Terus bahkan selama dua tahun lo gak ketemu Regha karena pindah sekolah. Terus lo ..."

"Kenapa lo ngomong berbelit-belit sih? Langsung ke intinya aja." Retta pusing mendengarnya.

"Oke ... oke," Linzy menarik napas. "Jadi selama lo sekolah di Bandung. Gak ada cowok yang lo suka gitu? Cowok yang bikin lo move on dari Regha?"

Retta mengetuk telunjuk di dagu. Mengingat-ingat. "Gak ada," jawab akhirnya. "Jujur aja gue selalu berharap gue bisa move on dari sepupu lo itu. Sialnya, gue gak bisa."

"Yakin?" Linzy seperti kecewa. Beringsut bangun untuk duduk menyilang. "Gini ... mungkin lo gak sadar, selama sekolah di sana, ada cowok yang narik perhatian lo. Tapi karena pikiran lo stuck ke Regha. Ngebuat lo selalu berpikir kalo lo cuma sayang Regha, padahal ada cowok lain yang lo suka."

Alis Retta terangkat. Mulai curiga. "Lo ngalamin itu?"

"Hah?" Linzy kaget. Seharusnya dia tahu Retta adalah sahabatnya yang paling peka. "Bukan, gue tuh ..."

"Lo lagi ngerasa hati lo kayak kebagi dua," simpul Retta. "Dan lo jadi bimbang. Sebenernya hati lo lebih milih ke siapa?"

Linzy kehilangan kata. "Gue ..."

"Ini soal Zion dan Lian kan?"

Seharusnya Linzy tak perlu bertele-tele saat curhat ke Retta. Entah bagaimana nalar Retta menyimpulkan secepat itu.

"Kenapa lo bisa tau?"

Retta senyum. "Insting," ucapnya sambil menunjuk kepalanya. "Jadi curhat rahasia ini tentang Zion sama Lian. Pantes lo gak mau ngajak Shena."

"Iya, gue gak tau kenapa Shena akhir-akhir ini sensitif tiap kali gue bawa-bawa nama Zion. Makanya gue gak mau dia tau."

"Gue ngerti kenapa Shena jadi gitu," Retta mengangkat kedua kakinya yang menggantung ke atas ranjang. Ikut memangku bantal di kakinya yang tersilang. "Zion terkenal playboy. Bukan di sekolah aja, dari masa smp, bahkan sekolah lain, udah tau soal itu. Dia cuma takut lo jadi korbannya. Makanya ngelarang lo habis-habisan kalo deket Zion."

Dia berpangku dagu. "Itu salah sih. Shena gak tau aslinya Zion kayak apa. Gue yakin dia punya sisi yang baik."

Linzy ikut tersenyum sambil mengangguk. Itulah Retta, yang tak pernah memandang orang sebelah mata. Dia jadi tampak dewasa. Ya. Sejak kembali berpacaran dengan Regha. Makin ke sini, Retta memang terlihat lebih dewasa dan selalu punya kalimat bijak di ujung kata.

"Udahlah gak usah omongin Shena, nanti keselek dia pas makan." Retta bercanda. Linzy tertawa menimpalinya.

"So, gue bener kalo lo lagi bingung sekarang?"

"Mm." Linzy mengangguk. "Selama dua tahun gue cuma sayang sama Lian. Agak jijik sih gue, ngomongnya, tapi jujur Lian yang buat gue jatuh cinta untuk pertama kali. Cuma liat dia dari jauh aja gue udah deg-degan. Apalagi kalo diajak ngomong, gue langsung gagap."

Pandangan Linzy menerawang ke depan. "Tapi akhir-akhir ini ada yang aneh. Gue masih deg-degan kalo deket Lian, tapi saat sama Zion gue juga ngerasain itu. Gak wajar banget kan?"

"Yang lo rasain wajar sih, Zi."

"Wajar?" Bagaimana bisa Retta mengatakan perkara hati itu dengan kata 'wajar'. Tidak ada yang wajar kalau sudah bersangkutan dengan hati yang bimbang.

"Gue jelasin biar gampang. Lo nunggu cowok yang lo suka selama bertahun-tahun. Lo berharap dia bisa peka suatu saat. Dan di waktu yang sama ada cowok yang buat lo nyaman. Dia deketin lo. Dia selalu buat lo ketawa dan lo ngerasa jadi cewek paling beruntung karena dia."

Retta mempermudah penjelasannya. "Itu ibarat Lian dan Zion. Lo nunggu Lian peka. Di waktu yang sama Zion deketin lo dan buat lo nyaman."

"Oke gue ngerti," penjelasan Retta membuatnya paham. "Yang jadi pertanyaannya; hati gue lebih milih siapa? Jujur aja ya, Ta. Gue masih sayang sama Lian. Dan Zion ... gue ragu, gue belom bisa pastiin kalo gue suka dia." Linzy menendang-nendang udara kosong di ranjang. "Cih! Kenapa gue jadi plinplan gini sih!" rengeknya.

Retta tersenyum. Senyum menenangkan. Yang mampu membuat orang-orang bertahan lama melihatnya. "Gampang buat nyari jawabannya, Zi. Siapa yang lebih buat lo nyaman?"

"Gue gak tau," Linzy menjawab seadanya.

"Lo sebenernya tau, cuma lo pura-pura gak tau," Kalimat Retta begitu menyentil. "Coba lo renungin. Tanya hati lo. Hati itu lebih jujur. Dan ... gak lama pasti lo nemuin jawabannya." Sahabatnya itu menepuk pundaknya sambil senyum yakin.

●●●●●

Cieee Linzy lagi bimbang sekarang. Kayak lagunya melly goeslaw

Nanya aja sih, sampai sini yang ngebuat kalian penasaran, terus gak sabar nunggu kelanjutan cerita ini apa? 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro