Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(61) ● Hari Sidang

Yah telat up lagi. Gapapalah ya. Dibanding gak bisa up.

Butuh penyemangat nih ... minta vote dan komennya hm :*

°°°

EFEK dimanja sejak kecil. Merasakan kasih sayang orang tua yang berlebihan. Membuatnya berpikir jika hidupnya cuma ada kebahagian. Tidak ada kesedihan. Tidak ada kehampaan.

Dan jelas itu ... kesalahan.

Kehidupan bukan melulu membahas tentang tawa. Senyum. Dan bahagia. Hidup tak semudah itu. Bagaikan mendaki gunung. Pasti mudah untuk melewati di bagian awal. Lalu untuk mencapai puncaknya, butuh perjuangan ekstra yang harus dikeluarkan untuk mencapainya.

Hidup tanpa ada lawan kata. Tidak akan pernah berjalan seimbang. Ada lelaki pasti ada perempuan. Di antara yang baik pasti ada yang jahat.

Sama seperti itu ujian yang Tuhan berikan. Ada kebahagian pasti ada kesedihan. Ada tawa pasti ada air mata. Dan ada senyum pasti ada isakan.

Dan kesabaran pedoman utama buat Linzy sekarang. Seminggu telah berlalu begitu cepat. Sidang pembacaan putusan hakim jatuh hari ini. Karena yang Linzy tidak ketahui, Mama-papanya telah melewati setiap proses sidang dua bulan lalu.

Linzy tak bisa ikut dan dititipkan di rumah Regha. Katanya, untuk menghindar yang tidak-tidak.

Di dalam kamar yang senyap, dia mengurung diri. Duduk bersandar di kepala ranjang. Mengabaikan ketukan-ketukan di pintu. Panggilan Seli dan Regha bahkan cuma direspon dengan kebisuan. Sekarang dia hanya ingin sendirian.

Kekosongan dan keheningan ini seakan menenggelamkan. Membuat Linzy lupa pikiran.

Pandangannya kosong. Berbeda dengan pikirannya yang meracau. Berkhayal kalau dia ada di tempat sidang. Melihat mama dan papanya duduk di kursi depan. Mendengar hakim membaca putusan. Lalu hakim mengetuk palu.

Terdengar nyata.

Seperti mengambang di sekitarnya.

Begitu menusuk telinganya.

Linzy tak sadar mengangkat tangan untuk menutupi kedua indra pendengaran. Bahkan tubuhnya mendadak gemetar tanpa alasan. Dia meringkuk. Menggeleng. Menangis sejadi-jadinya.

Jika diperumpamakan Linzy merasa ada di hutan yang gelap. Berdiri di antara pepohonan yang lebat. Dia tersesat. Ketakutan dan berusaha mencari jalan keluar. Namun, sayangnya dia makin terperosok ke dalam dan akhirnya jatuh ke jurang.

Tanpa sadar Linzy berteriak kencang. Isakannya tak bisa lagi ditahan. Terdengar begitu menyakitkan.

"Zi ..." pintu luar diketuk berkali-kali. "Lo kenapa?!" Itu suara Regha yang khawatir. "Jawab, Zi!" lalu suara yang lain ikut menelusup di telinga.

"Linzy ... ini gue Zion. Buka pintunya!"

Linzy tetap tak menjawab. Karena segalanya terasa sesak sampai akhirnya membuka suara saja dia tak bisa.

Selanjutnya terdengar langkah yang diayunkan menjauh terburu-buru. Pun tak lama kembali dengan langkah cepat. Sedetik setelahnya, ada suara besi beradu disusul pintu didorong dari luar. Segera itu Linzy menoleh hanya untuk melihat keberadaan Regha bersama Zion.

Linzy sesaat diam menatap mereka. Namun, seakan melihat cahaya sebagai awal jalan keluarnya. Pertahanannya runtuh. Zion berjalan mendekat dan Linzy langsung menyerangnya dengan pelukan.

Dia menangis di bahu cowok itu. Melampiaskan kesedihan yang seorang diri dia simpan. "Gue takut ..." lirih si cewek. "Gue takut ..."

Tangisan Linzy terlalu pedih untuk didengar. Regha membuang muka. Tampak tak mampu melihat kehancuran yang Linzy tunjukkan.

"Gak usah takut. Ada gue di sini," bisik Zion sambil mengeratkan pelukan. "Lo gak sendirian. Banyak temen yang bakal ada buat lo."

Yang cewek memundurkan kepala dan menatap Zion tepat di mata. "Lo bakal tetep di sini kan? Nemenin gue?" tanya yang cewek dengan isakan.

Zion mengangguk. Mengusap pipi Linzy pelan dan kembali merengkuhnya. "Ya gue di sini. Gue gak kemana-mana dan bakal terus nemenin lo."

Bersama sesak yang berusaha dihilangkan, Linzy mengangkat tangan untuk memeluk leher Zion dan mengeratkan pelukannya.

Melihat sang sepupu yang mulai tenang. Regha memilih keluar. Meninggalkan kedua sosok di sana.

°°°°

Entah memakai jurus apa, Zion berhasil membujuk Linzy keluar rumah untuk menghirup udara segar. Tapi Regha sungguh berterima kasih pada Zion, karena setidaknya dia tidak harus melihat Linzy yang memenjarakan diri dalam kesedihan. Apalagi sejak pagi, dia menolak makan.

Baru beberapa menit Linzy keluar menaiki motor bersama Zion. Ada tamu yang datang. Itu Shena dan Retta. Regha dan Arven yang tengah duduk di ruang tamu agak kaget melihat kedua perempuan.

"Hei," Setelah muram seharian karena Linzy. Kedatangan Retta yang menjadi alasan Regha tersenyum sekarang. Dia berjalan mendekat dan memeluk pinggang Retta seenaknya. "Kok gak ngabarin aku dulu pas mau ke sini?"

"Gha ... lepas. Ada Arven sama Shena," bisik Retta sambil memelotot.

"Ya terus kenapa?" Regha malah mencium pipinya.

Retta mendorong Regha dengan pipi merona. "Malu, Gha!"

"Santai, Ta. Gue udah biasa ngeliatnya." Itu nada dingin Arven.

"Gha ..." Ini Shena yang berbicara. "Retta ke sini bukan buat pacaran. Kita mau ketemu Linzy."

Tentu saja alasan Shena ke sini karena Linzy. Kalau Retta bisa dua kemungkinan. Ketemu Linzy atau Regha.

Retta mengangguk. "Aku mau ketemu Linzy bukan ketemu kamu!" ketusnya.

"Linzy dimana?" Shena tak sabaran.

"Dia pergi sama Zion." Arven yang menjawab.

Shena terbelalak. "Lagi?!" lalu dia berdecih.

"Kemana?" Retta bertanya.

Regha mengedikkan bahu. "Zion bilang mau nyari angin. Bagus sih, karena dari pagi Linzy gak keluar kamar bahkan dia gak mau makan."

"SERIUS?!" Retta shock. Dari kondisi itu, dia bisa menebak kesedihan Linzy karena perceraian orang tuanya.

Shena senyum miring. "Lo yakin. Kalo Zion gak lagi nyari kesempatan sama sepupu lo, Gha?"

"Shen!" Retta tidak ingin Shena memulai kekacauan.

"Maksud lo?" Regha tak mengerti. "Zion sahabat gue dan gue percaya dia nggak bakal ngelakuin itu."

Shena memutar matanya malas. "Walaupun dia sahabat lo. Seharusnya lo gak biarin sepupu lo deket sama sahabat brengsek lo itu!"

Retta menghela napas panjang. "C'mon Shen jangan mulai ..."

"Zion gak sebrengsek itu!" Arven berdiri lalu dengan wajah dingin melanjutkan, "Lo cuma tau kehidupan Zion dari omongan orang. Lo gak tau dia dari deket."

°°°°

Jika mengingat hal yang Linzy lakukan saat di kamar. Dia berharap ada tanah untuk menguburnya hidup-hidup sekarang. Sumpah demi sempaknya nobita! Linzy malu setengah ampun!

Diawal Linzy sudah bilang. Karena kesedihan yang begitu kuat menerjang, dia lupa pikiran. Apapun tampak tak nyata. Semuanya terasa seperti mimpi yang tenggelam di kegelapan. Kekosongan itu membuatnya tersesat. Dan melihat Zion, dia seperti menemukan jalan keluar.

Maka dari itu, Linzy langsung memeluk Zion tanpa pikir panjang. Apalagi saat dia meracau. Meminta Zion untuk tidak meninggalkannya.

Apa-apaan itu!

Ya Tuhan! Linzy tidak lagi kerasukan kan tadi?

Untuk melihat wajah Zion secara dekat, sepertinya Linzy tak mampu lagi!

Tapi dia tak mau berbohong kalau Zion benar-benar bagai cahaya yang datang di kegelapan. Seperti sekarang, cowok itu punya banyak cara untuk membinasakan seluruh kesedihan Linzy. Dia tak membiarkan Linzy terkurung di kamar. Dia mengajaknya keluar.

Katanya untuk mencari udara segar.

Dengan motor, mereka menjelajah sudut-sudut Jakarta. Tanpa berhenti mereka pergi ke berbagai tempat. Menikmati semilir angin yang terbawa arus. Perjalanan berhenti jika mau membeli makanan. Duduk di dalam minimarket sampai snack mereka habis sebelum melanjutkan perjalanan lagi.

Sebelum melakukan perjalanan panjang ini, Zion mengajak Linzy mampir ke warung sate. Mengisi perut kosongnya. Ternyata Zion tahu kalau Linzy mengunci mulut sejak pagi. Menolak perutnya diisi.

Motor itu raja kendaraan. Dia tidak akan terjebak di kemacetan karena lihai untuk menghindar. Apalagi ini Zion yang mengendarainya. Begitu pintar untuk bisa menyalip di sela-sela. Di keadaan begini, Linzy cuma bisa merafal doa dan mengeratkan pegangan di pinggang Zion.

Dan tindakan itu, Zion respon dengan menarik tangannya untuk digenggam. Setiap ada kemacetan, yang menyuruhnya untuk menyalip, Zion selalu melakukannya. Menggenggam tangannya erat dan membiarkan tangan yang lain memegang stang motor.

Cewek mana yang tidak bisa menahan senyum saat diperlakukan seperti ini. Termasuk Linzy. Bahkan dia lupa beban pikiran yang menimpanya hari ini. Arus kencang angin seolah membawanya pergi. Membuat Linzy senang karenanya.

Tak terasa perjalanan mereka menemukan ujungnya. Di pengakhir sore, motor itu berhenti di depan gedung kosong. Tempat biasanya Zion melumpahkan seluruh kesedihannya. Seng karat itu masih tergeletak menjadi pembatas. Yang cowok membantu Linzy melewatinya pelan-pelan.

Pemandangan yang sama. Linzy sudah biasa. Keadaan di sana tak tampak mengerikan lagi di mata. Mereka menaiki undakan tangga yang terbuat dari batu bata yang tertutup semen hingga tiba di puncaknya.

Yang cowok lebih dulu tiba. Tengah mendorong sofa ke tepian gedung. Yang cuma terhalang besi-besi tak rapat. Linzy mendadak panik, takut saja Zion terpeleset di ujung sana.

"Yon!"

Nada khawatir Linzy malah Zion tertawakan. "Santai, Zi gue gak bakal jatoh." Lalu menepuk-nepuk sofa. "Sini duduk," pintanya sambil mendaratkan diri di sofa usang itu.

Linzy melangkah mendekat dan seperti yang diminta, dia duduk di sebelah Zion. Yang cuma berjarak lima senti dari ujung gedung. Sekali menunduk, keadaan bawah langsung terlihat jelas. Untungnya Linzy tidak punya phobia ketinggian. Jika iya, dia pasti akan jerit-jerit dan gemetaran duduk di sini.

Barisan padat mobil di bawah layaknya semut yang bergotong royong mencari makan. Dari atas semua tampak kecil. Pun mereka yang di bawah pasti melihat mereka yang di atas seperti setitik bayangan.

Dari situ saja, bisa disimpulkan.

Yang tinggi belum tentu terlihat sejahtera. Berlagak yang paling berkuasa. Memandang setiap orang dengan sebelah mata. Dan mereka tidak tahu, bisa saja orang yang di bawah malah mengasihaninnya.

Linzy mendongak. Ditatapnya jingga yang mengukir angkasa. Begitu apik dan indah. Lukisan sang Maha Kuasa yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Cowok di sebelahnya melirik jam di pergelangan tangan. "Lima menit lagi."

"Apa?" Linzy menoleh.

"Sunset," Zion senyum. "Kalo gue kadang mau nyerah sama hidup, Bunda suka bilang ..." Si cowok mendongak, memerhatikan langit. Linzy menatapnya, cowok meneruskan, "Lihat aja jingga sama pelangi. Mereka indah. Mereka selalu buat orang-orang pengin ngeliatnya. Dan sayangnya, banyak orang lupa, kalo jingga dan pelangi gak pernah bertahan lama."

Zion menarik napas panjang. Sepertinya perkataan itu cukup pedih. Karena dia pun merasakan sendiri. "Kayak bahagia. Kita sering ngerasa hidup kita indah. Gak ada kesedihan di sana. Gak ada air mata. Kita lupa sebelum ada pelangi, pasti turun hujan. Hidup juga gitu harus ada kesedihan baru ada bahagia."

Yang cowok menoleh. Menjatuhkan iris tepat di mata Linzy yang ikut menatapnya. "Sebelum lo, gue udah duluan denger kata sialan itu, Zi. 'Cerai' siapa anak yang gak benci sama kata itu? Semua anak pasti berharap keluarganya selalu utuh dan harmonis."

"Tapi kita kan gak pernah tau takdir dari Tuhan, jadi jalanin aja. Gue juga sedih pas orang tua gue pisah. Apalagi pas itu gue masih kecil. Gue gak ngerti apa-apa. Gue pikir Mama cuma pergi sebentar terus balik lagi. Ternyata gue salah." Zion mengambil tangan Linzy dan mengenggamnya dengan kedua tangan.

"Mama gak pernah balik lagi. Dan bahkan gue gak tau ada dimana dia sekarang. Papa gue keganggu kewarasannya," Linzy diam. Cuma tangan satunya yang bergerak menangkup genggaman mereka. Dari situ, siapapun pasti tahu jika mereka telah ditimpa kehancuran bersama.

"Untungnya ada Bunda. Gue bisa bahagia karena dia."

Zion memiringkan posisi duduk menghadap Linzy. "Lo gak sendiri. Setiap orang punya masalah," cowok itu melepaskan genggaman tangan mereka lalu memegang pipinya sambil diusap. "Lagian di sini ada gue, gak usah sedih. Senyum. Gue lebih suka ngeliat Linzy senyum. Dibanding buang air mata kayak tadi."

Linzy tak mampu berbicara. Segalanya terikat karena semua kalimat Zion sungguh telak memukulnya. Apalagi segala ungkapan manis yang membuat Linzy terbuai. Jantungnya tak bisa diam. Meronta yang bodohnya terasa nyaman. Usapan itu terasa meyakinkan. Bahwa kebahagian menantinya di depan.

Linzy senyum perlahan. Tak bertahan lama, sayangnya. Itu semua karena Zion yang mendekatkan kepala.

"Gue mau bilang ..." si cowok tampak ragu untuk meneruskan. "Gue tuh sebenernya ..." dia diam lagi diselingi dengan umpatan kasar. "Gue tuh ..."

Getaran ponsel di saku membuat Zion mengumpat kasar berkali-kali. Alis Linzy terangkat, si cowok tak bisa lagi meneruskan dan mengeluarkan ponsel lalu mengangkat panggilan itu.

"APA SIH?!" bentak si cowok tanpa melihat lebih dulu si penelpon.

"Kamu bentak Bunda?!" Suara marah Friska terdengar di ujung sana. Diam-diam, Linzy menahan tawa melihat bagaimana raut Zion yang meringis bersalah.

"Ma-maf Bun, Zi-Zion pikir, Justin." Zion memelotot pada Linzy yang tak bisa menghentikan tawanya.

"Dimana kamu? Udah sore ini. Kenapa gak pulang?!" omel Friska. "Kamu lagi di apart? Gak mau tidur di rumah sendiri?!"

Yang cowok menghela napas. Mau menjelaskan tapi kalah cepat.

"Bunda tuh mau nyuruh kamu ke supermarket buat beli tepung. Bunda mau buat kue ini! Pulang sekarang!"

"Kenapa gak nyuruh Mbak Rosa? Lagian sekarang Zion lagi sama Linzy, Bun."

"Sama Linzy?" Suara Friska melembut seketika. Yang mau tak mau Zion hadiahi dengan dengkusan sebal. "Mana dia? Speaker, Bunda mau ngomong sama dia?"

Dituruti perintah sang Bunda. Dengan wajah cemberut, Zion mendekatkan ponsel ke wajah Linzy.

"Benar, Bun. Zion lagi sama Linzy," ucapnya diselingi kekehen.

"Mm ... Bunda pikir dia kemana. Takut aja gitu dia main ke tempat joget gelap itu."

"Gak ada club buka sore, Bun!" Zion mengeraskan suara agar sang Bunda dengar di sana. "Lagian Zion gak pernah ke sana."

"Ya udah, sekarang kamu pulang aja. Ajak Linzy. Kebetulan Bunda lagi iseng buat kue. Dan sekalian mampir ke supermarket beli tepung."

Zion tak pernah bisa membantah Friska. Dia tentu langsung mengiyakan. Memutuskan panggilan lalu berdiri. "Ayo!"

Linzy juga berdiri. "Tadi lo mau ngomong apa?"

"Gak jadi, gue lupa mau ngomong apa." Yang cowok melangkah menuju tangga bersisian dengan perempuan sampingnya.

"Gue masih inget. Kalimat awal lo tadi 'gue tuh sebenernya...' sebenernya apa?"

Zion berhenti dan menoleh. Linzy juga ikut-ikutan. "Gue tuh sebenernya suka ..." lalu melanjutkan. "Celana kotaknya spongebob."

Yang cewek terdiam sesaat sebelum tergelak. Memukul pelan bahu Zion. "Receh lo, mau ngelawak aja susah banget ngomongnya." Linzy masih tertawa sambil menurunkan tangga. Tanpa peduli cowok di belakang terdiam kaku.

°°°°

Di supermarket mereka tak berlama-lama. Cuma mengambil tepung dan berjalan menuju kasir. Namun, langkah yang cowok berhenti di dekat salah satu etalase. Dia ambil permen berbentuk love yang digantung berderet di sana.

"Lo mau, Zi?"

Linzy yang lagi sibuk mengamati es krim di freezer, menoleh akhirnya dan berbinar setelahnya. "Lollipop?" dia mengambilnya dengan girang. "Bentuknya love," dia tertawa. "Satu lagi dong," pintanya.

"Gue cuma mau beliin satu," cowok langsung menolak.

"Gue bayar sendiri!" Linzy cemberut. "Ambilin tiga lagi itu."

"Kebanyakan!" Zion mengomel jadinya. "Sakit gigi lo!"

"Gak! Ambilin aja sih."

"Ini-nih!" Zion mengalah. Diambilnya tiga lollipop di sana dan disodorkan pada Linzy. "Gue aja yang bayar." Melangkah lagi ke tempat kasir, selama itu Zion tak henti mendumel. "Salah gue, kalo gitu gak usah gue tunjukkin!"

"Lo ngomong apa?" Yang cewek melemparkan tatapan tajam. Zion lantas bungkam.

Mereka disambut ramah penjaga kasir. Zion langsung saja meletakan tepung yang disuruh beli oleh sang Bunda dan empat lollipop milik si cewek. Mereka tak jajan yang lain. Karena selama perjalanan tadi. Sudah banyak uang yang mereka hamburkan.

"Penganggum rahasia lo masih suka ngirimin lo lollipop?" Zion bertanya selama menunggu.

"Sekarang udah dua cowok yang nanya itu?" Linzy senyum kecil.

"Hah? Dua cowok?"

"Ya lo sama Lian?"

"Lian?" Zion heran. "Dia nanya soal itu juga?"

Linzy bergumam sambil menganggukan kepala.

Zion sesaat diam. "Kalo secret admirer lo nunjukkin wajah di depan lo. Lo bakal apa?"

"Kalo dia nyatain perasaannya, gue bakal terima dia," jawab Linzy yakin. Yang membuat mata Zion terbelalak lebar. "Selama ini dia yang udah buat gue seneng setiap pagi. Seenggaknya gue bisa bales kebaikannya."

"Lo bakal terima dia?" Zion masih tak percaya. "Walaupun lo gak tau dia siapa?"

"Ya."

"Kalo dia jelek gimana?"

Linzy memelotot. "Gue gak pernah mandang fisik orang ya. Lagian gue punya alesan kenapa gue yakin mau nerima dia. Dia pasti satu sekolah sama kita. Dan di SMA Taruna Jaya, terkenal sama cogannya. Kalau dia berkulit cokelat. Pasti manis. Atau gak cowok cool gitu."

Zion berdecih melihat Linzy yang menerawang sambil senyam-senyum. "Kalo dia cowok yang lo benci gimana?"

Linzy sesaat diam. "Orang yang gue benci kan cuma lo!" ketusnya.

"Oh ya?" Senyum Zion penuh arti. "Gue pikir sekarang lo udah sayang sama gue."

Kesimpulan itu tak masuk akal. Linzy sayang Zion. Ayolah! Perasaannya tak lebih dari rasa sayang seorang teman. Iya kan? Lalu kenapa dia jadi ragu? "Apa sih! Geer lo!"

"Mas-mbaknya tolong urusan pribadi ngobrol di luar aja ya?" Ternyata perdebatan itu ditonton penjaga kasir cewek di depan mereka. "Ini Mas belanjaannya," si mbak menyodorkan dan menyebutkan nominal yang harus dibayar.

Mereka keluar usai melakukan pembayaran. Perdebatan mereka tadi tak cukup memuaskan rasa penasaran Zion.

"Gimana kalo dia itu orang yang lo suka?"

"Apa?" Linzy menghentikan langkah. Zion pun.

"Gimana kalo orang yang selama ini ngirimin lo lollipop adalah orang yang lo kagumin?"

Linzy diam. Sementara Zion menunggu.

"Bagus dong. Gue gak akan mikir dua kali buat nerima. Gue langsung bilang iya. Itu janji gue." Si cewek senyum lebar dan melanjutkan langkah. Buat hari ini, sekali lagi Zion kehilangan kata.

°°°°

Langit memang tak pernah bisa ditebak suasana hatinya. Tak ada mendung, tak ada petir. Mendadak hujan turun begitu derasnya. Meluapkan kesedihan tanpa tanda.

Beruntung mereka telah tiba di rumah Bunda. Walaupun sempat menghindar, namun beberapa tetes tetap mengenai pakaian mereka. Zion mengganti kaos basahnya di kamar. Bergantian dengan Linzy yang disuruh Friska untuk mengganti baju dengan kaos milik Zion. Bunda tak ingin, Linzy masuk angin nanti.

Setelah urusan pakaian selesai. Mereka disuruh ke dapur untuk membantu.

Linzy diam. Tak tahu harus melakukan apa. Memasak adalah plihan terakhir jika dia disuruh memilih hobi. Sudah beribu kali dia mengatakan jika memasak dan dirinya tak bisa sinkron.

"Linzy kenapa diam aja?" Bunda yang tengah menyaring tepung bertanya. "Kamu bisa masak?"

Seolah punya kesempatan untuk meledek. Cowok kurang ajar di samping Bunda tergelak. "Mana bisa masak dia, Bun? Ceplok telur aja kayaknya bakal gosong."

Linzy memelotot. Tuhkan! Mulut Zion memang harus disumpal. Supaya diam dan tak bertingkah!

"Gak usah ketawa kamu, Zion!" Friska mengomel lalu melembut saat menatap Linzy. "Gak apa-apa, sayang Bunda juga gak bisa masak dulu. Tapi karena rajin belajar dan gak pernah nyerah buat nyoba, Bunda sekarang bisa masak apa aja. Apalagi sekarang Bunda punya toko kue. Kamu bisa lihat kan kalo perjuangan gak pernah mengkhianati hasil."

Linzy tersenyum lebar karenanya.

"Coba Linzy ayak tepung ini? Pasti bisa." Friska menyodorkan penyaring tepung di tangan dan menyuruh Linzy mencobanya. "Pelan-pelan aja goyang-goyanginnya." Dia mengajarkan Linzy begitu sabar lalu saat tiba giliran Linzy disuruh melakukan sendiri, Bunda tersenyum.

"Nah! Tuh bisa," puji Friska bangga. "Kamu tau, Linzy. Kalo cowok kebanyakan lebih suka cewek yang pintar masak."

"Ah gak juga, Bun," Zion menolak pendapat sang Bunda. "Kalo cowoknya bisa masak. Kenapa ceweknya harus bisa masak? Zion terima cewek apa adanya. Walaupun dia gak bisa masak."

Kompak Bunda dan Linzy menatap Zion kaget. Terperangah oleh ucapan bijak si cowok.

"Kamu ... gak abis minum kan Zion?" Friska mendadak panik. "Kalo bener? Bunda gak segan-segan buat sunat sekali lagi."

"Eh," Zion seketika memegang bawah celananya. "Bunda kalo ngomong ... Zion emang minum, Bun. Kalo gak minum haus dong," ucapnya pura-pura bodoh. Friska tentu memelotot. "Gak Bun! Zion mana berani minum minuman kayak gitu," ucapnya setengah jujur.

Friska bisa lega. "Ya udah. Bunda tinggal dulu ya. Ngambil kardus toples di mobil."

"Lo serius sama omongan lo tadi?" Zion itu suka bercanda. Jadi Linzy tak bisa langsung percaya apapun yang cowok katakan.

"Seriuslah. Kenapa? Lo mau jadi cewek gue?" ucapnya asal.

"Najis!" Linzy memukul pipi Zion dengan tangan yang berlumuran tepung. Membuat pipi sebelah Zion putih seketika.

Zion menaruh telur begitu saja. Awalnya dia sedang memisahkan putih telur dengan kuningnya. Namun, karena yang Linzy lakukan sungguh memancing perpecahan. Zion meraup tepung dan didaratkan di pipi cewek. Linzy memelotot dan hendak membalas yang lebih sadis.

Namun, teringat tepungnya yang sayang-sayang dibuang. Dia urungkan. Lagipula mereka bukan pemain drama romance yang saling bercanda selagi memasak. Supaya terlihat romantis. Cih! Itu menjijikan.

Yang cowok mengambil tisu basah. Mengelap pipinya. Linzy yang terlalu sibuk tampak masa bodoh. Tak lama kemudian dia membeku di tempat saat Zion membersihkan pipinya dari tepung.

Pelan Linzy menoleh dan melihat Zion menatap manik matanya tepat. Linzy merasa ruang menyempit dan kehilangan udara untuk bernapas. Tatapan mereka lama dan di antara keduanya tak ada yang mengalah untuk menjauh.

"Zi ..." panggil cowok lirih. "Lo jangan marah ya?"

Linzy tentu bingung. "Marah ke ..." ciuman yang mendarat di pipinya, menahan seluruh kosa kata yang ingin dilontarkan. Dia terdiam. Tak menduga kiss kilat itu. Sementara Zion telah menyibukkan diri dengan kegiatannya tadi.

Perlahan tangan Linzy terangkat menyentuh pipi. Bekas ciuman tadi. Ciuman itu seperti mimpi. Yang terlalu cepat Zion akhiri. Jadi itu maksud pertanyaan Zion. 'Jangan marah ya?' Benar. Seharusnya Linzy marah. Bukan malah diam-diam tersenyum dan merasakan jantungnya yang antusias begini.

●●●●●

Mulai berani ya Zion cium-cium. Cubit nih? WKWKWKKWK

Baru mau jujur Zion tadi, eh Bunda malah nelpon. Gak jadi deh :v

Jangan bosen-bosen ya. Pinky luv💖💖

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro