Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(6) ● Olahraga

PENDIDIKAN jasmani dan olahraga. Pelajaran yang membuat keinginan membolos Linzy tercipta. Dia bukan malas berolahraga, hanya saja ada alasan yang membuatnya membenci pelajaran itu. Pelajaran penjas menjadi urutan kedua setelah pelajaran kimia—kedua pelajaran yang benar-benar membuat Linzy merasa muak.

Bagi Linzy, kimia itu rumit, serumit pikiran Linzy, bagaimana mungkin seseorang disuruh mencari berapa banyak atom yang dibutuhkan atom C dan atom H untuk berpasangan membentuk senyawa. Sedangkan Linzy saja tidak pernah memiliki pasangan.

Lalu, pelajaran olahraga, Linzy justru lebih menyukai materinya dibanding prakteknya. Bukan tanpa alasan Linzy tidak menyukai pelajaran itu. Karena setiap kali tubuh Linzy terbalut baju olahraga dengan tubuh ramping dan tinggi yang menjulang, menarik banyaknya lelaki untuk menatapnya bagaikan santapan makan malam.

Seharusnya Linzy merasa bersyukur dengan tubuhnya ini, namun, apa yang bisa disyukuri jika tubuhnya dijadikan bahan tatapan untuk para cowok brengsek itu.

Linzy membuka pintu lokernya, mengambil baju olahraga yang tersimpan di sana. Ketika menutup lokernya, saat itulah semua kefokusan Linzy teralihkan. Menangkap sosok Lian tengah berjalan menggunakan seragam olahraga dengan peluh keringat mendominasi.

Linzy tahu, kelas Lian pada saat jam pertama adalah olahraga. Dan bel pergantian jam pelajaran berbunyi lima menit yang lalu, mengharuskan pelajaran olahraga kelas cowok itu selesai.

Jarak masih membentang di antara mereka. Namun, Linzy telah merasakan jantungnya yang berpacu gila. Oh Tuhan ... bahkan seluruh sendi Linzy tidak dapat digerakan. Terdiam bodoh di pijakannya.

Pandangan Lian bertemu pada Linzy. Membuat langkah lelaki tampan itu berhenti di depannya. "Hai, Zi," sapanya sambil mengukir senyum.

Tubuh Linzy bertambah kaku, otot jantungnya semakin meronta tidak tahu malu. Bodoh, seharusnya dia bisa mengendalikan diri di depan Lian untuk tidak terlihat gugup. Namun ... ini sulit.

"Hai, Yan," mengontrol dirinya sendiri, Linzy memaksa menampilkan raut yang berbanding terbalik dengan suasana hatinya. Dia tersenyum singkat. "Jam pelajaran olahraga kelas lo udah selesai?"

Bodoh, untuk apa Linzy bertanya. Padahal dia sudah tau jawabannya.

Kepala lelaki itu mengangguk. "Lo hari ini juga ada pelajaran olahraga?"

"Iya," Linzy menjawab singkat. Menyembunyikan kekecewaan, karena lelaki itu bahkan tidak tahu jadwal kelasnya. Bodoh ... memangnya dirinya siapa, hingga mengharapkan itu pada Lian.

"Oh iya, Zi," Lian seperti teringat sesuatu. "Lo emang mau keluar dari cheers?"

Kok bisa dia tau? batin Linzy. Entah kenapa harapan tentang perasaan yang selama ini dipendamnya, seolah terbangun lebih tinggi. Bolehkah Linzy berharap jika Lian ternyata diam-diam mencari tahu tentangnya? Diam-diam memerhatikannya?

"Lo tau dari mana?" Linzy bertanya.

"Dari Regha."

"Oh, dari sepupu gue." Linzy sudah menyiapkan diri jika pada dasarnya semua khayalannya akan selalu menjadi khayalan. Jadi mendengar jawaban Lian, dia tak terkejut lagi. "Iya, niatnya emang gue mau keluar."

"Kenapa pengin keluar?" tanya Lian. Matanya intens melekat pada Linzy, menarik kepalanya untuk memandang ke arah lain. "Padahal lo hebat banget di cheers."

Secepat itu Linzy kembali menatap Lian, lelaki itu tersenyum. Membisukan seluruh suara yang hendak dikeluarkan. Itu tadi pujian kan? Lian baru saja memuji bakat Linzy iya, kan? Detaknya tidak bisa berjalan normal lagi.

"Gue cuma pengen fokus sama satu ekskul aja. Mau fokus ke ekskul fotografi," jelas Linzy tidak bertenaga membalas tatapan Lian. "Lagian gue nggak hebat kok, masih hebatan Shena kemana-mana."

"Jangan merendah diri, Zi. Lo sama Shena punya kehebatan masing-masing, dan menurut gue lo juga hebat."

Sekadar pujian itu saja. Rona perlahan menghias di pipi Linzy.

"Oh iya, Yan, gue-" niatnya Linzy ingin mengalihkan pembicaraan. Tetapi...

"Zi, ayo cepetan ganti baju!"

Ah shit ... ganggu aja! umpat Linzy dalam hati.

Kedua insan yang tengah serius berbagi obrolan itu lantas menoleh. Menemukan Shena yang berdiri tidak jauh dari mereka. Mendengkap baju olahraga di dada.

Sepertinya Shena baru sadar Linzy tengah berbicara dengan siapa. Dia termangu di tempat. Terlebih mendapat tatapan laser dari Linzy, tidak bisa berkutik lagi Shena.

Lian kembali memusatkan pandangannya pada Linzy. "Gue duluan ya, Zi. Gue harap lo mempertimbangkan untuk nggak keluar dari ekskul cheers. Kenapa harus satu ekskul kalo sepupu lo aja bisa megang lima ekskul."

Setelahnya Lian terkekeh. Senyum Linzy kembali terangkat. Apalagi mendengar Lian yang menghubungkan nama Regha-sepupunya yang memang mengikuti sampai lima kendali ekskul-untuk tetap membuat Linzy bertahan di cheers.

"Bye, Zi!" Lian mulai melangkahkan kakinya meninggalkan Linzy yang masih berusaha mengontrol detak jantungnya.

Melihat punggung Lian yang menjauh, Linzy menoleh kembali pada Shena yang menunjukkan cengiran bersalah. Dia mendelik pada sahabatnya itu. Baru saja Linzy mendapat kesempatan mengobrol dengan Lian, namun, orang yang berstatus sebagai sahabatnya menganggu.

Menyebalkan!

"Sorry," Shena menyengir tiga jari setelah mendekat pada Linzy.

Melihat wajah Linzy yang siap murka, melemparkan seluruh kekesalannya pada Shena. Dengan cepat perempuan itu mengeluarkan jurus andalannya.

"Zi, lo denger suara, nggak?"

Raut marah Linzy perlahan berganti dengan kebingungan. "Suara?"

"Iya, suaranya jelas banget. Dari mana ya?" Shena menampilkan raut sebingung mungkin. Tak pelak, Linzy ikut-ikutan mengernyit tak mengerti.

"Suaranya dari..." Shena sengaja menggantungkan kata, mendekatkan kepalanya tepat di dada sahabatnya. Refleks Linzy terkejut. "Dari sini." Shena menunjuk tepat di keberadaan jantung Linzy. "Zi, lo kenapa? Lo nggak punya penyakit jantung kan?"

Kalimat tanya Shena mendapat pukulan dari Linzy di kepalanya. "Apaan sih lo!" Linzy terlihat kesal sekaligus ... malu, pipinya memerah.

Seorang Felinzy Lavira yang biasanya terlihat galak dan kasar sebagai seorang perempuan berubah malu-malu sekarang.

Biasanya juga malu-maluin! Shena merengut kesal, sambil mengusap kepalanya.

Tanpa peduli lagi dengan Shena, dia berlalu pergi membawa wajahnya yang merah padam.

  °°°°  

Di bawah sinar terik mentari, yang terlihat sangat bersemangat memancarkan panasnya. Linzy bersama teman perempuan satu kelasnya melakukan pemanasan sebelum lari mengelilingi lima kali putaran.

Para anak lelaki kelasnya sudah selesai lebih dulu dibanding mereka. Terlihat duduk-duduk di pinggir lapangan. Inilah yang Linzy benci, melihat semua teman cowok kelasnya, terlihat seperti serigala kelaparan.

Lebih lagi saat Linzy melakukan gerakan stretching. Terdengar sudah sahut-sahutan para lelaki berhidung belang itu.

"Aduh-duh jangan ditekuk neng Linzy badannya, abang nggak kuat."

"Anjir Linzy lama-lama minta dibawa pulang, ya!"

"Linzy cakep-cakep jomblo, kasian."

Oke, dari semua kalimat yang sejak tadi terulang bagai kaset rusak mengisi pendengaran Linzy. Dia merasa gondok setengah mati dengan kalimat terakhir. Dia menghunuskan pandangannya pada Justin, seseorang yang mengatakan kata ajaib yang selalu berhasil membuat Linzy merasa kesal.

"Lo semua nggak bisa diam banget mulutnya," tiba-tiba Zion datang dengan membawa minuman di tangan. Dia menyeruput es teh di gelas plastiknya itu. "Demen banget lo semua bangunin macan tidur."

"APA LO BILANG!" Linzy menghentikan gerakannya, melangkah mendekati Zion yang memasang muka sok polos.

Shena yang sejak tadi memimpin gerakan pemanasan, terpaksa menghentikan seluruh sistem gerak tubuhnya.

"Udah, Zi, nggak usah diladenin." Suara Retta terdengar menenangkan Linzy.

Tanpa ada raut berdosa, Zion kembali menyeruput minumannya. Sebelum berbicara lagi. "Kenapa? Gue salah ngomong? Padahal tadi gue belain lo lho."

"Belain gue dengan ngatain juga, maksud lo!" Wajah Linzy yang sudah merah padam karena terik sinar. Ditambah kemarahan yang berkumpul, tak pelak wajahnya semakin memerah.

"Masih mending gue manggil lo macan tidur, dibanding gue manggil lo kuda nil kelaparan." Zion tersenyum jail.

"Nah iya bener," Justin ikut-ikutan. "Dibanding lo dipanggil kuda nil yang selalu mangap kalo lapar. Kan itu lebih parah."

Tangan Linzy terangkat, terasa gatal ingin mencakar wajah kedua orang itu. "Terserah lo Titin."

Setelahnya Linzy kembali ke posisinya yang tadi. Mengabaikan kedua orang itu dan juga teman cowok kelasnya. Masa bodoh dengan mereka. Mereka memang gila, mesum, tidak punya otak untuk berpikir. Dan Dia pun mulai berkonsentrasi kembali pada gerakan Shena lalu mengikutinya.

"Astaga, lo bisa nggak sih berhenti manggil gue pake nama Titin," protes Justin tak terima. "Nama gue udah keren ya, sekelas sama penyanyi luar negeri." Justin menoleh kesal pada Zion. "Nih gara-gara lo, Yon. Sekarang anak kelas manggil gue pake nama itu."

"Nama Titin itu lebih cocok buat lo. Dibanding Justin, itu terlalu kebarat-baratan."

"Vloek," Justin mengumpat dengan bahasa asalnya. Zion melotot. "Lo nggak lupa kan kalo gue orang Belanda, dari luar Indonesia juga!"

"Iya dan mungkin kalo ini masih masa penjajahan gue orang pertama yang bakal nembak mati lo!" Kali ini Justin yang melotot karena ucapan Zion. Sedangkan Zion tergelak setelahnya. Tentu saja, Justin tahu jika Zion hanya bercanda.

"Lagian heran gue mana nyambung sih, nama Justin ke Titin. Jauh banget kan." Justin masih belum terima. "Tampang gue udah ganteng gini dipanggil Titin." Zion di sebelahnya seperti ingin muntah. "Tampang gue kan sebelas-duabelas sama Justin bieber."

"Tin, lo biasa ngaca dimana sih?" tanya Zion mengejek. "Air comberan apa air kobokan?"

"Sialan lo!" kedua kalinya Justin mengumpat. Zion hanya mampu tergelak sendiri.

Tiba-tiba Justin menyenggol bahu, Zion. "Yon, Yon," panggilnya.

"Apaan sih?!" tanyanya kesal.

"Itu kenapa Linzy tumben banget ngeliatin lo, ya?"

Alis Zion terangkat seakan tak percaya. Dia menaikkan pandangan, melihat tatapan Linzy lurus ke arahnya. Keningnya tak tahan untuk mengerut. Di sebelahnya, Justin terlihat tak peduli lagi, mengobrol dengan teman sekelasnya.

Tetapi tatapan Linzy sepertinya terasa aneh. Alis Zion menukik lebih dalam. Dan menyadari jika Linzy bukan sedang menatapnya, tetapi ke arah belakangnya. Mengikuti arah pandang perempuan itu, Zion tertegun.

Linzy bukan memandangnya. Tetapi...

"Lian?"

TBC(14-05-18)

Danke

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro