FF(59) ● Cemburu yang disimpan
Vote dan komen dunds buat penyemangat nih :(
°°°
BENAR kata Shena. Seharusnya Linzy tak perlu ragu untuk menerima ajakan Lian. Sekalian mengerjakan tugas biologi, dia bisa jalan bersama sang gebetan. Keinginan banyak cewek untuk melakukan pendekatan. Kesempatan ini jarang datang, karena itu tak baik jika Linzy abaikan.
Begitu tiba di salah satu mall Jakarta, mereka tak menyia-nyiakan waktu. Usai memarkirkan mobil, Lian mengajaknya tenggelam di ribuan buku yang berjejer rapi di setiap rak. Harum khas buku baru mengudara dan langsung menyerbu penciuman Linzy.
Buku yang mereka cari adalah buku-buku kesehatan yang menjelaskan sistem kekebalan tubuh. Ada di rak bagian depan.
Untuk semester terakhir dan persiapan ujian kenaikan kelas yang akan datang. Pak Herman menugaskan mereka untuk menganalisa tentang sistem imun dan membuat laporan. Itu menyebalkan. Linzy tak membenci biologi. Terkadang ada beberapa bab yang dia sukai.
Tapi percayalah, sebagian murid pasti malas saat disuruh menganalisa dan menulis laporannya. Termasuk Linzy.
Lian tengah membaca salah satu buku saat bertanya ini, "Lo mau menganalisa bagian apa?"
"Mm ..." Linzy bergumam sambil mengambil satu judul buku. "Gue masih ragu sih. Tapi kayaknya gue mau menganalisa Interaksi Antibodi dan Antigen," Lian tampak mengangguk setuju. "Kalo lo?" tanyanya balik.
"Imunoglobulin."
"Serius lo mau bahas itu?" Linzy kagum. Bagaimana mungkin tidak kagum. Imunoglobulin dibagi menjadi lima kelas. Dan cuma ada dua yang baru Linzy ketahui kegunaannya. Ayolah bab ini masih baru, lagipula siapa yang ingin menghafalkan itu disaat sang guru pun belum menjelaskan.
"Ya. Emang kenapa?"
"Gak," Linzy menggeleng lalu mengacungkan dua jempol. "Lo keren!"
"Enggaklah, biasa aja menurut gue," Lian terlihat salah tingkah. Entah itu benar atau cuma mata Linzy yang melihatnya. "Masih kerenan Retta sama Arven. Penduduk ranking pararel sekolah yang lagi rebutan posisi pertama."
Mendengarnya Linzy tertawa. Lucu saja jika mengingat persaingan sahabatnya dengan Arven, sang ketua osis.
"Lo udah ketemu bukunya?" Ini pertanyaan Linzy di menit-menit yang telah terbuang dalam keheningan yang terbentang tanpa obrolan.
Lian yang berada di seberang rak. Mengangkat buku di tangannya tinggi-tinggi. "Udah," ucapnya agak keras.
Cuma tingkah biasa itu, Linzy meresponnya dengan senyuman lebar. Tanpa alasan yang pantas. Tanpa penyebab yang jelas. Linzy merasa seperti orang bodoh. Atau lebih tepatnya bodoh karena jatuh cinta.
Jatuh cinta? Cih menjijikan! Kenapa dia jadi selebay ini?
Mau menyangkal atau tidak. Itu kenyataan. Dia jadi sedikit lebay jika berurusan dengan Lian. Cuma karena senyum si cowok, Linzy berdiri bego. Cuma karena Lian mengajaknya bicara, Linzy tergagap dungu.
Dari kelas sepuluh sampai kelas sebelas semester akhir, perasaanya tak berubah. Linzy mengetahui itu pasti. Tapi beberapa minggu ini Linzy bimbang. Maksudnya ada yang ganjal. Ada sesuatu yang membuat hatinya bertanya yang langsung dibantah oleh pikiran.
Oke abaikan saja hal itu. Karena sampai kapan pun Linzy sangat tahu kalau hatinya menginginkan Lian. Cowok itu menduduki singgasana dan selalu berhasil membuat detak jantung bergerak di luar batasnya. Linzy berharap Lian peka walau berujung dia yang sedih akhirnya.
Bagaimana Lian bisa peka kalau Linzy tak pernah menunjukkan isi hatinya?
"Lo udah?" Lian memutari rak dan berhenti di samping Linzy.
Yang ditanya mengangguk sambil menunjukkan buku yang telah dia dapatkan. "Udah nih."
Waktunya untuk membayar di kasir. Mereka keluar dari beberapa rak yang saling berhimpitan. Tepat saat itu, langkah keduanya terhenti.
"Kak Linzy!" Si cewek di depan mereka pun menghentikan langkah. Sekaligus menyapa.
"Hei, Zarlin. Lo di sini?" Linzy senyum. Ikut menyapa. Sementara Lian sekadar diam.
"Iya, beli beberapa novel." Zarlin menunjukkan tas plastik berisikan buku yang dibelinya. Sebelum memandang cowok di sampingnya.
Linzy yang peka, langsung berbicara. "Dia Lian," dia memperkenalkan Lian pada Zarlin lalu sebaliknya. "Lian dia Zarlin, adek kelas kita."
Yang lelaki mengulurkan tangan lebih dulu. "Lian," sebutnya ramah.
Zarlin meremas kedua tangan sambil menunduk. Gugup, kebiasaan Zarlin yang Linzy tahu saat berkenalan dengan orang baru. Tangannya perlahan membalas jabatan Lian dan menyebut nama, "Zarlin, Kak."
Mereka berjabatan lama. Linzy mengernyit sebab Lian tak kunjung melepaskan. Zarlin pun sampai mendongakkan kepala.
"Yan!" panggil Linzy, yang lantas menyadarkan Lian dari lamunan.
"Eh," Lian buru-buru melepaskan. "Sori-sori, gue cuma lagi inget-inget. Soalnya nama lo familiar."
"Familiar?" Linzy bingung. "Lo kenal dia?"
Lian menggeleng. "Ya enggaklah. Baru kenalan sekarang. Gue baru inget kalo nama Zarlin tuh ada di mading. Pemenang lomba poetry antar-sekolah itu. Lo orangnya kan?"
Senyum kaku itu yang Zarlin urai di wajah. Dia mengangguk pelan dan mengiyakan.
"Wah, itu bener, Zar?" Linzy berdecak kagum sambil senyum lebar. "Keren banget. Congrats ya!"
"Ma-makasih, Kak." Zarlin senyum malu-malu. Sementara Linzy melongok ke sana kemari mencari keberadaan orang lain yang mungkin bersama Zarlin saat ini.
"Lo ke sini sendiri?"
"Gak, sama Mama," jawabnya pelan lalu menunjuk rak di pojok. "Tuh lagi milih-milih majalah fashion."
"Yang mana?" Linzy melongokkan kepala ke rak panjang di pojok. Agak susah karena terhalang banyak rak.
"Kak Linzy mau ketemu Mamaku?"
"Zi," Lian tiba-tiba mengintrupsi. "Ayo. Lo belom makan kan? Pasti laper."
Tak ada alasan Linzy menolak. Dia mengangguk sekaligus pamit. "Mungkin lain waktu, Zar buat gue ketemu Mama lo. Kita duluan, ya." lalu berpaling pada Lian. "Ayo, Yan."
Sesaat Lian menatap Zarlin. Tak mengatakan apapun. Sebelum akhirnya mengenggam tangan Linzy yang membuatnya kaget luar biasa sekaligus jantungnya jadi menggila. Keanehan yang sempat ditangkapnya hilang karena itu.
Selama melakukan pembayaran, Lian tak pernah melepaskan genggaman. Cuma di restaurant Jepang, tangan mereka terlepas karena digunakan untuk makan. Lalu saat mencari makanan penutup, Lian kembali membiarkan tangan mereka bertautan.
Linzy membiarkan. Karena genggaman itu terasa nyaman dan membuat dia lupa kebimbangannya.
°°°°
Melihat tulisan baskin robins terpampang. Membuat kepala Linzy langsung membayang keenakan es krim di sana. Seolah bisa membaca pikiran, Lian menuruti keinginannya. Dalam hati, dia bersorak girang. Tentu saja.
Lian bertanya Linzy mau memesan apa, yang langsung dijawabnya antusias. "Gue mau festive aja."
"Gak mau founde?"
"Gak ah!" tolak Linzy langsung. "Gue masih kenyang. Makan founde pasti gak abis."
"Mumpung gue traktir. Beneran gak mau nih?"
"Gue bayar sendiri aja, Yan," Linzy merasa tidak enak. "Tadi pas makan udah lo bayarin. Kan gak enak kalo dibayarin mulu."
"Masalahnya gue gak suka cewek bayar makanannya sendiri pas jalan sama gue." Lian menoleh dan mengumbar senyum. Yang untuk jutaan kali Linzy jelaskan berhasil membuat jantung bertingkah tak jelas.
"Terserahl lo," ucapnya menyerah.
"Gitu, dong." Lian mengusap kepala Linzy tanpa diduga. Dia kaget dan mendongak. Lian sepertinya sadar telah melakukan kesalahan, seketika itu dia membuang muka dan menjauhkan tangan dari kepalanya.
Mereka makan di tempat. Baskin robins memiliki tempat yang kecil. Di sana hanya ada tiga meja, yang masing-masing memiliki dua kursi.
Yang cowok memilih meja pojok. Sambil membawa nampan pesanan, Lian mendaratkan diri di kursi. Linzy duduk di kursi satunya.
"Warna-warni hm?" Lian memandang piring es krim Linzy yang tidak satupun memiliki warna yang sama. Berbanding terbalik dengan Lian yang cuma didominasi es krim cokelat dan vanilla.
Yang cewek tertawa mendengarnya. "Sengaja. Lebih keliatan enak. Kayak lollipop."
"Sampe segitunya ya lo sama lollipop."
"Ya gitu deh," responnya sambil memotong waffle di piring.
"Secret admirer lo masih ..."
"Lo tau gue punya penganggum rahasia?" Linzy kaget. Tak menduga Lian mengetahui soal itu.
Yang cowok sesaat diam. "Taulah. Anak satu sekolah juga tau kan?"
Iya sih. Linzy mengangguk. "Masih."
"Lo gak penasaran?" tanya cowok sambil menyuap es krim ke mulut.
Lagi-lagi dia mendapat pertanyaan itu. "Lo orang kesekian yang nanya itu." Linzy tertawa. "Jujur ... gue penasaran. Tapi ya gue gak mau ambil pusing. Gue lebih milih dia nunjukkin diri kalo emang beneran suka sama gue. Dibanding cari tau."
"Ya lo bener ..." gumam Lian pelan. "Oh ya," dia berganti topik. "Lo kenal Zarlin dari mana?"
Linzy terdiam. Jika mengingat pertemuan pertamanya dengan Zarlin. Apalagi siapa yang membuat mereka saling berkenalan. Membuat suasana hati Linzy memburuk. "Zion."
"Zion?" Lian agak tak percaya. "Jangan bilang dia adek kelas yang jadi omongan cewek satu sekolah itu?"
"Lo suka sama gosip?"
Lantas Lian tergelak. "Gue gak suka gosip. Cuma kan gue punya dua telinga yang bisa dengar cewek-cewek yang gosipin orang terang-terangan."
"Emang gak punya malu mereka. Generasinya lambe turah!" ketus si cewek.
"Zion sama cewek itu deket?"
Bukannya menjawab justru Linzy memakan es krimnya kasar. "Mungkin!" jawabnya datar.
"Selera Zion berubah banget kali ini. Cewek itu pendek, keliatan imut sih. Bukannya cewek tinggi kayak model yang biasanya Zion incar." Lian diam berpikir. Namun, tersentak saat mendengar suara keras sendok yang diletakan di piring oleh Linzy.
"Iya lo bener. Kata Zion, cewek pendek tuh imut. Apalagi pas dipeluk, lebih pas!" jawabnya sambil memotong waffle kasar.
"Lo kesel?" Lian senyum lucu.
"Gue gak kesel!" ketusnya. Lalu dibuat tersentak oleh Lian yang membersihkan ujung bibirnya dengan tisu.
"Kalo emang gak kesal. Makan yang bener dong!"
Sesaat Linzy berusaha mencari oksigen yang mendadak hilang. Apalagi jantungnya yang kembali memberontak. Untungnya dia punya pengalihan. "Lo bilang makan gue gak bener. Tapi tuh ..." Si cewek menunjuk ujung bibir si cowok lewat mata. "Lo juga gak bener makannya."
Linzy balas dendam, yang disambut gelak tawanya. Lian menyentuh ujung bibir kanan dan langsung diprotes sama yang cewek. "Yang kiri."
Lian mengusap bagian yang Linzy ucapkan. "Udah?"
"Belom. Masih ada."
Lian hendak membersihkan. Yang dihentikan Linzy tanpa terduga. "Sini deh gue aja," tisu di tangan itu yang Linzy pakai untuk membersihkannya. Lian tak bisa menahan senyum seketika itu juga.
"Eh," Linzy seperti baru sadar akan tindakannya. Pipinya memerah sedetik setelahnya. "Kenapa kita jadi kayak drama gini?" Yang cewek tertawa canggung.
"Dan seharusnya lo gak ngelakuin itu ke gue," Lian senyum kecil. "Kan kalo ada yang baper bahaya."
Linzy mendongak. Menatap Lian yang juga balas menatapnya. Lama. Dan suasana itu terpecah saat keduanya tergelak.
Dari jauh. Tanpa bertemu. Dan tanpa menyentuh. Zion berdiri memakai hoddie hitam. Memerhatikan tingkah keduanya tanpa diketahui. Dia tersenyum miris. Meneguk kaleng soda di tangan.
"Yon! Ayo!" Itu suara Arven.
"Regha sama Retta mana?"
"Nunggu di tempat makan."
Zion tak membiarkan kejadian ini dengan sengaja. Takdir yang mempertemukan tanpa disangka. Zion cuma pergi bersama Arven ke toko buku untuk mengerjakan tugas biologi. Pun Retta dan Regha. Yang makin tak disangka ternyata Lian dan Linzy ada di sini.
Mall di Jakarta tak terhitung jumlahnya. Lalu kenapa mereka harus dipertemukan di tempat yang sama?
Arven memanggilnya lagi. Mau tak mau, Zion beranjak dari sana. Menutupi kepala dengan tudung hoddienya.
°°°°
Halaman belakang rumah Regha terbilang sangat luas. Ada saung tempat Regha latihan boxing. Ada taman di pojoknya. Apalagi kolam renang yang butuh tiga tangga untuk sampai ke sana. Luasnya hampir seperti lapangan sekolah. Mungkin kalau diadakan pengajian bisa mengundang ratusan orang. Atau bisa juga mengundang para pendemo yang mau beristirahat.
Sial! Zion mendadak makin tidak waras. Salahkan saja Linzy. Cewek itu yang menciptakan pikirannya kacau. Dan lebih kacaunya lagi karena Zion tak bisa melakukan apapun.
Suara bola yang memantul mendominasi. Tangan Zion bergerak lincah. Mendribble bola basket sebelum men-shootnya ke ring. Itu pelampiasan yang Zion butuhkan. Yang setidaknya bisa mengurangi kekosongan yang dia rasakan.
Kesendirian bodoh ini kembali datang, walau ada keberadaan Regha dan Arven di pinggir halaman. Tengah duduk sambil memakan camilan yang mama Regha letakkan.
"BANGSAT!" teriak Zion. Gairah kekesalannya memuncak dan melempar kencang bola basket di tangannya.
"Woah santai!" Itu Regha yang kaget luar biasa. "Kenapa lo? Laper?"
"Biasa," Arven menjawab datar. "Lo marah buat apa? Lo sendiri yang biarin diri lo jadi pengecut!"
Seperti biasa, ucapan Arven bagai pedang yang menusuk langsung lawan bicaranya.
"Tai!" Zion mengumpat sambil melemparkan tatapan tajam pada Arven. "Lebih pengecut mana cowok yang gak bisa move on dari mantan?!" tusuknya balik.
"WOY!" Regha tersindir.
"Gak usah kesindir, Gha. Ini bukan lo! Tapi cowok samping lo!"
Arven membalas tatapan Zion yang begitu menusuk. Sayangnya, Arven adalah makhluk batu yang tak memiliki ekspresi apapun. "Lo tau dari mana gue gak bisa move on?" Raut Arven memang datar tapi kalimatnya terdengar tajam.
"Kalo lo emang bukan cowok gamon. Lo udah punya pacar sekarang!"
"Masalahnya lebih besar dari itu, Yon dan lo gak tau apapun!" Pembahasan ini tentu saja paling sensitif buat Arven. Beruntungnya dia masih bisa mengontrol diri. "Dan gak usah ngalihin topik. Ini tentang lo! Kalo lo bukan pengecut seharusnya lo buktiin. Tapi mana? Sampai sekarang lo gak gerak dan akhirnya kalah!"
Zion butuh mengepalkan tangan karena kalimat Arven mengenainya tepat sasaran.
"Kalo lo gak mau kalah seharusnya lo jujur, Yon." Itu Regha yang menyarankan.
"Mantan lo udah berserakan dimana-mana!" ucap Arven dingin. "Terus kenapa lo gak bisa ngungkapin itu ke satu cewek?"
Zion kalah argumen. Mengusap wajah frustasi. "Gue gak bisa. Linzy ... dia beda," Sesaat dia diam. "Gue gak mau semuanya berubah. Gue gak mau dia jadi jauh. Apalagi sekarang kita udah deket dan kalo gue ngomong, pasti dia bakal jaga jarak."
"Alasan lo basi tau gak!" ketus Arven.
"Lo gal bakal tau ke depannya kalo lo aja gak pernah nyoba!" Regha berusaha meyakinkan.
"Gue udah bisa nebak akhirnya, Gha!" Zion tampak lelah. "Sepupu lo suka sama Lian. Sampe sekarang gue masih bisa liat itu di matanya. Lo pun pasti gak bego ngeliat tingkah Linzy kalo ada Lian. Bener kan?!"
Regha menghela napas. Arven pun memilih diam. Karena mereka tahu. Cara memaksa itu salah dan sekadar meyakinkan yang bisa dilakukan. Semua keputusan ada di tangan sahabatnya itu. Apapun ke depannya sebagai teman mereka ingin terbaik buat Zion.
Regha dan Arven sudah bisa mencium kehancuran Zion. Selama berteman, Zion terbilang lebih menutup diri. Dia tak pernah bercerita. Yang dia tahu cuma menutupi semua dengan topengnya. Berusaha terlihat baik-baik saja. Padahal kenyatannya ada luka yang cowok itu sembunyikan.
Cowok itu mengambil kembali bola jingga yang sempat dilemparkannya sembarangan. Mendribble-nya kembali lalu Menshoot-nya. Beberapa menit waktu Zion terbuang cuma dengan hal tak penting itu. Tapi ini yang cukup berhasil membuatnya lupa segala hal.
°°°°
Lima menit lalu, Lian baru saja mengantarkannya pulang. Tiba di kamar Linzy membongkar isi tas untuk mencari buku biologi. Sayangnya, buku itu tak dia temukan. Jika mengingat, Linzy jarang membawa buku paketnya dan cuma membawa buku tulis karena Pak Herman memang kebanyakan mencatat dibanding mengerjakan soal.
Dan ... berita bodohnya, Linzy selalu meletakan buku itu sembarang tempat. Yang lebih bodohnya lagi sekarang. Dia lupa meletakan buku itu dimana.
Sial! Sial! Sial!
Bahkan tiga kali mengumpat pun itu tak cukup membuatnya tenang. Di tas tak ada. Bergerak ke rak bukunya. Laci atas dan bawah. Linzy memegang kepalanya frustasi. Karena di semua tempat itu tak ada tanda-tanda keberadaan bukunya.
Pencarian terakhir. Dia mengecek bawah ranjang. Mungkin saja ada. Dan ... dia kecewa. Yang dia kerjakan sia-sia.
Tunggu! Mendadak Linzy diam. Rumah Regha. Ya. Tentu saja di sana. Terakhir kali, Linzy menginap di rumah sang sepupu. Kebetulan ada pr biologi yang harus dia kerjakan.
Baiklah, sepertinya dia harus buang-buang tenaga lebih dulu untuk bisa teringat bukunya dimana.
Segera saja dia mengambil kunci mobil. Tanpa mengganti seragamnya lebih dulu, dia menuruni tangga dan terburu-buru berjalan ke garasi. Mengeluarkan mobilnya dari sana. Beruntung dewi fortuna tengah memihaknya. Jalanan cukup lancar.
Cuma beberapa menit, dia akhirnya tiba. Gerbang rumah mewah Regha terbuka. Dia langsung memarkirkan mobilnya dan secepat mungkin melangkah ke dalam. Beberapa pembantu menyapanya yang cuma dia balas dengan senyuman.
Ternyata Regha ada di halaman belakang bersama kedua temannya yang masih memakai seragam sekolah. Linzy berhenti dan memanggil sang sepupu. Padahal cuma satu yang dipanggil, tapi semuanya ikut menoleh. Sesaat tatapannya dengan Zion bertemu, cowok itu berhenti mendribble bola di tangannya.
"Gha ..." Linzy melangkah mendekat. "Buku biologi gue kayaknya ketinggalan di sini."
Regha berdiri. "Coba cari aja di kamar yang biasa lo pake."
"Oke ..." Regha benar. Mungkin bukunya ketinggalan di sana. "Hai, Ven!" sapa Linzy senyum kecil. "Hai, Yon." Senyumnya lebih melebar kali ini.
Yang disapa terakhir malah membuang muka dan melempar sembarang bola basket. Zion melirik jam di tangan. "Gha, gue balik ya. Udah sore."
Linzy yang melihat tingkah aneh Zion cuma bisa mengernyit. Apalagi saat Zion mendekat dan mengambil tasnya yang berada di kursi dekat kaki Linzy berdiri. Tidak ada sapaan. Sekadar menyandangkan tasnya di sebelah bahu. Menatapnya sesaat lalu melangkah melewati bahunya.
Ada yang salahkah? Linzy menoleh ke belakang melihat punggung Zion yang berjalan menuju kolam renang arah keluar. "Zion kenapa?"
Arven dan Regha mengedikan bahu.
"Coba lo tanya langsung aja." Regha yang memberi perintah itu.
Linzy mendengkus karena tak mendapatkan jawaban atas keganjalan yang terjadi. Refleks dia langsung meninggalkan tempat dan berlari menyusul cowok itu. Di tepi kolam, Linzy menahan tangan yang cowok ketika terbentang sedikit jarak.
"Yon ..." panggilnya. "Lo kenapa?"
Zion menatap jemari Linzy di tangannya. Yang cewek sadar dan segera menjauhkan.
"Gue gak pa-pa." Itu jawaban singkat yang Zion berikan.
"Terus kenapa lo pergi gitu aja?"
"Udah sore. Gue mau pulang."
Linzy mengangguk mengerti. Benar juga. Mungkin itu alasan kenapa Zion terlihat terburu-buru.
"Besok kita latihan kan?" Linzy mengganti topik.
Zion menoleh. "Bakal dibatalin gak nih? Nanti lo pergi lagi sama Lian." Nadanya menyindir.
"Gue batalin latihan karena udah janji sama Lian. Besok kan gue gak ada janji sama dia."
"Terus kalo ada janji lagi lo lebih milih pergi sama Lian dibanding latihan?" Dua kalimat sindiran Zion berikan.
"Enggaklah. Lagian gue baru sekali batalin latihan."
Bersama senyum sinis, Zion mendengkus. "Udah ah gue mau pulang," pamitnya yang sekali lagi Linzy tahan. "Apa?"
"Ini," Linzy merogoh saku seragam di dan mengulurkan benda kecil yang tersimpan di sana. "Pick. Buat lo."
Yang cowok tak percaya sambil menerima benda kecil yang Linzy berikan.
"Pick lo kan rusak. Terus pas liburan kemarin tangan lo sedikit luka karena metik senar cuma pake tangan kosong. Jadinya ... ya gue beliin lo itu tadi." Linzy tersenyum. Sementara yang cowok diam sambil menatapnya. "Lagian gambarnya lucu. Iya kan?"
Yang cowok speechlees. Kehilangan kata untuk berbicara. Kemudian dia maju selangkah. Menipiskan jarak yang tercipta. Tangannya menangkup wajah yang cewek, sedikit menekan di bagian pipi. Hingga bibir Linzy sedikit maju.
"Kenapa sih gue gak bisa kesel sama lo sehari aja?!" Walau pertanyaan itu terlempar kesal. Wajah Zion tak bisa membohongi. Raut muramnya perlahan pudar dan ... hilang. "Btw, thanks!" ucapnya sambil senyum lebar.
●●●●●
Beruntung aku masih bisa sisain waktu buat nulis hari ini :)
Ya ampun Yon gampang amat disogoknya :(cuma pake Pick gitar
Gimana partnya? Hmm
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro