Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(58) ● Kemarahan Shena

Bosen gak sih aku up dua kali seminggu? Apa sekali seminggu aja? Wkwkwk

Vote dan komen jangan lupa my luv <3

°°°

UDARA dingin dengan sejuknya pepohonan yang mengelilingi sekitar. Menjadi pengakhir hari indah di kota Bandung. Tepat hari ini, mereka harus balik ke Jakarta. Linzy tidak akan lagi merasakan nyamannya tinggal di sini. Dia tak perlu memakai jaket karena kedinginan lagi. Di Jakarta pasti panas apalagi asap kendaraan yang berada di jalan.

Selesai berkemas dan memasukan koper di bagasi, mereka pamit pulang pada Kang Irman dan istrinya, Teh Rina. Mobil bergerak meninggalkan tempat itu, bersama kenang-kenangan indah di sana. Ya ... setidaknya semua memori menyenangkan tak semudah itu terlupakan, akan selalu melekat di kepala.

Sepanjang jalan. Mereka mengobrol biasa. Tak ada candaan atau lelucon yang Zion lemparkan. Terkadang mereka membiarkan keadaan menjadi sunyi. Lagu dari radio saja yang menemani.

Karena masih pagi jalanan cukup lancar. Kurang dari tiga jam akhirnya mereka tiba di Jakarta. Mobil Zion perlahan berhenti di depan gerbang rumah Linzy.

"Lo mau mampir?" tanya Linzy saat Zion mengeluarkan kopernya dari bagasi.

"Gak, Bunda udah nelpon terus tadi, nanyain kapan gue balik," tolaknya. "Katanya sih kangen."

Linzy tertawa saja mendengarnya.

"Oh ya, lo bisa bawa itu sendirian kan?" Melalui mata, Zion menunjukan koper warna-warni milik Linzy.

"Santai aja, gue bisa sendiri."

"Oke deh, gue balik ya. Titip salam buat nyokap lo."

Senyum Linzy mengembang bersama anggukan. "Nanti gue sampein."

Waktu bergulir begitu cepat saat Zion masuk mobil dan melaju menjauh. Melihat mobil Zion yang hilang dari pandangan, disaat itu juga senyum Linzy mengembang sempurna.

Gerbang rumahnya telah dibuka oleh satpam rumahnya. Pak Dayat sempat menawarkan untuk membawakan kopernya yang dia tolak begitu saja. Linzy malah melangkah masuk rumah dengan langkah riang, yang tentu membuat Pak Dayat terheran-heran.

Langkahnya dipaksa terhenti saat melihat Clara yang terduduk di sofa dengan secangkir teh bersama majalah fashion di tangan.

"Kamu udah pulang?" Clara menutup majalahnya. Melangkah mendekat. "Zionnya mana?"

"Dia buru-buru pulang udah ditelponin Bunda. Dia juga titip salam buat Mama."

Clara tersenyum sambil mengangguk. "Gimana di sana, seru?"

Pertanyaan sang mama sesaat membuat pikiran Linzy melangkah ke belakang. Mengingat kenangan membahagiakan yang sempat dia rasakan. "Ya gitu ..." dia menjawab seadanya.

Sang mama tersenyum penuh arti. "Dilihat dari wajah kamu kayaknya bener-bener seru banget di sana. Tuh liat sampe gak berhenti senyum gitu."

Secepat itu senyumnya luntur. Memangnya dia tersenyum? Bahkan dia tak sadar melakukan itu.

"Apa sih Mama!" Linzy cemberut. "Udah ah Linzy mau ke kamar. Capek."

"Minggu besok ajak Zion sama Bunda ke sini," ini yang menghentikan langkah Linzy. Dia menoleh kaget. "Mama mau masak banyak menu minggu besok. Ajak mereka, kita bisa makan bersama."

Tak tahu harus merespon apa. Linzy cuma menjawab, "Oke." Lalu teringat sesuatu. "Papa di rumah?" Bodoh! Linzy tak seharusnya mengeluarkan pertanyaan ini. Lihatlah, senyum mamanya langsung menghilang.

"Papa ada urusan bisnis di Bali. Dua minggu lagi baru balik."

Ada satu pertanyaan lagi yang mengganggunya. Tapi dia terlalu takut untuk mengeluarkan.

"Kapan sidang perceraian Mama sama Papa?" Wajar bukan Linzy ingin tahu. Ini juga menyangkut kehidupannya ke depan.

"Dua minggu lagi," jawab mamanya tenang.

"D-dua minggu la-lagi?" Linzy terbata. Tak percaya yang barusan didengarnya. Refleks digenggamnya kuat besi kopernya. "Bukan ... bukan seharusnya dua bulan lagi?"

Clara menunduk kali ini. "Maaf ... sebenernya Mama udah ngirim gugatan cerai itu dua bulan yang lalu. Mama sama Papa juga udah melewati beberapa sidang dan dua minggu lagi itu keputusannya."

Apa yang harus Linzy katakan sekarang. Tidak ada lagi harapan. Salah satu pilihan, dia cuma harus merelakan.

"Linzy mau ke kamar." Dengan semangat yang menguap. Dia menaiki tangga menuju kamar. Membiarkan Clara yang ditusuk rasa bersalahnya.

Di tempat yang berbeda. Setelah terbebas dari pelukan Bunda dan ceramahnya yang panjang lebar. Zion langsung membaringkan tubuhnya di ranjang. Memandang langit kamar dengan binar kebahagian dan senyum yang mengurai.

Bagai cermin, mudah untuk menebak suasana hati Zion sekarang.

Tangan Zion merogoh kantong celana. Mengeluarkan foto yang disimpan di sana. Dia memandangnya lama dan membuat senyumnya bertambah lebar. Itu foto disaat dia dan Linzy tak sengaja dipotret orang lain.

Jika diingat lagi, memori itu sangat lucu. Karena hal yang tak jadi mereka lakukan, kecanggungan itu membentang. Membuat mereka saling kaku dan enggan membuka percakapan.

"Kalo Regha tau gue sama Linzy hampir ciuman, dia pasti bakal ketawain gue," gumam Zion seorang diri. "Oh gak! Mungkin Regha bakal nonjok gue dulu baru ketawa. Gila! Ini karma namanya!" Baru kali Zion mendapatkan sebuah balasan. Tentu saja dia pantas mendapatkan karena pernah menertawakan Regha yang tidak jadi mencium Retta.

°°°°

Seminggu sudah berlalu sejak drama yang tercipta di lorong kelas sepuluh. Sayangnya, waktu seminggu tak cukup untuk membuat orang-orang melupakan. Saat datang ke sekolah, semua tatapan masih tertuju pada Linzy. Seperti biasa, dia memilih mengabaikan.

Tujuan Linzy kalau baru datang pasti lokernya. Dibukanya loker itu dan seperti hari-hari yang lalu dia pasti selalu menemukan lollipop di sana. Ada kertas yang menempel dan kata-kata terangkai di sana selalu sama. Cuma yang membedakan warna kertasnya. Hari ini bewarna jingga.

Lollipop yang manis, untuk senyum perempuan yang manis

Membacanya, senyumnya mengulas sempurna. Disimpannya lollipop itu di tas. Bertetapan dengan tangannya menutup loker, suara cewek terdengar dari belakang.

"Lo jalan-jalan sama Zion kemarin?"

Linzy menoleh. Ternyata itu Shena.

"Hai Shen," sapa Linzy lebih dulu dengan raut ceria. Beda dengan Shena yang berwajah datar. "Iya gue ..."

"Kenapa lo nggak cerita ke gue?" tanyanya dengan raut tak suka.

"Karena gue mau ceritanya pas udah pulang. Lo tau Shen di sana ..."

"Basi dong ceritanya," Kesinisan Shena membuat Linzy mengernyit heran. "Kalo lo anggap gue sama Retta temen, seenggaknya lo cerita-cerita kalo Zion ngajak lo jalan." Lalu terkekeh pahit. "Kalo gini, lo masih anggap gue sama Retta temen?"

"Shen, lo kenapa sih?" Linzy makin tak mengerti. Ada apa dengannya? Biasanya Shena akan menyambut Linzy ceria setelah baru masuk sekolah. Entah karena sakit atau hal lain. Bukan malah tatapan sinis seperti ini.

"Shen, gue gak ngerti. Sebenernya lo kenapa?"

"Gue juga gak ngerti kenapa lo berubah!" Linzy baru kali ini merasakan hatinya tertusuk cuma karena perkataan. Apalagi yang melakukan itu Shena, teman pertamanya saat mengenyam bangku SMA. "Lo dulu selalu bilang Zion itu brengsek. Zion itu playboy. Zion gak pantes buat dideketin. Tapi sekarang apa, lo selalu jalan sama dia. Ketawa-tawa. Seolah lo lupa sama perkataan lo dulu!"

"Ya gue masih inget kalo gue sering ngomong itu dulu. Tapi sekarang udah beda, Shen ..."

"Beda?" Shena senyum sinis. "Beda kenapa? Beda karena sekarang lo suka sama dia? Kemakan gombalan dia? Iya kan?"

"Gak gitu Shen!" Ayolah mereka bertengkar di lorong. Di depan susunan loker. Ini tidak baik karena mengundang penasaran orang yang berlalu lalang. "Zion ... lo gak kenal Zion. Dia—"

"Dia playboy!" bisik Shena melanjutkan. "Mantannya dimana-mana! Dan lo bilang gue gak kenal? Satu sekolah udah tau kalo dia brengsek!" Linzy tahu Shena sangat marah, terlihat dari wajahnya. Tapi dia tak mengerti. Dia salah presepsi. Karena yang dia tahu cuma perilaku Zion di sekolah bukan tingkah Zion tanpa topengnya.

"Gue cuma gak mau lo jadi korbannya dia. Gue gak mau lo disakitin!" Shena berkata lirih. "Dan sayangnya lo gak ngerti itu!" Setelahnya Shena melangkah melewati Linzy. Meninggalkannya yang kehabisan kata.

Cuma butuh beberapa detik untuk Linzy menyadarkan diri dan mengejar Shena yang berjalan masuk ke kelas.

"Shen," Linzy menahan tangan Shena, yang menjadikan semua teman kelasnya yang telah datang menoleh penasaran. Termasuk Zion yang lagi mengobrol dengan Justin.

"Gue paham maksud lo, gue tau lo mau lindungin gue. Tapi ..." Linzy tak dapat melanjutkan saat Shena menepis tangannya. Retta pun jadi terheran-heran melihatnya. Shena tak berkata apa-apa dan justru berjalan ke kursinya.

Linzy menarik napas panjang. Kemarahan Shena adalah hal yang tak pernah dia inginkan. Cewek itu adalah sahabatnya. Bahkan dia menganggapnya seperti keluarga. Shena selalu punya cara untuk membuat mood-nya berubah. Dia ceria walau memang terkadang kebawelannya membuatnya kesal.

Dia mendongak membuat matanya bertemu dengan iris gelap Zion. Yang cowok mengulas senyum, sayangnya cuma bisa dia balas dengan senyum kecil. Dia melangkah ke kursi yang disambut senyuman Retta.

"Gimana jalan sama Zion kemaren? Seru pasti kan?"

"Ya ..." Linzy cuma menjawab seadanya. "Lo tau dari mana, gue kan gak cerita?"

"Dari Regha."

"Lo gak marah?" tanya Linzy takut-takut. "Karena gue gak cerita-cerita soal itu?"

"Kenapa gue harus marah?" Retta tersenyum lembut. "Seenggaknya sekarang lo punya utang cerita sama gue."

Linzy cuma menggumam. Dia menoleh ke belakang, melihat Shena yang tengah asyik mengobrol dengan Fika, teman sebangkunya. Akhirnya Linzy memilih mengobrol dengan Retta sampai suara speaker terdengar menghentikan mereka. Menyuruh turun untuk upacara.

°°°°

Suara bel istirahat terdengar, menghentikan anak kelas mengerjakan ulangan maha sulit yang diberikan Bu Ainun. Banyak di antara mereka mengeluh kesal karena belom menyelesaikan dan juga ada yang senang karena setidaknya dia tak peduli pada hasil ulangan. Cuma makan yang mereka pikirkan.

Beda lagi dengan Linzy. Dia telah selesai mengerjakan. Walau tak tahu itu benar atau tidak. Tapi yang terpenting dia telah berusaha semaksimal mungkin. Seperti anak lain, Linzy meletakan lembar jawaban di meja guru.

Bu Ainun berlalu pergi sambil membawa tumpukan kertas itu.

"Lo mau kantin, Ta?" Shena yang bertanya.

"Yah sori Shen, gue mau ke perpus ngerjain tugas bahasa Jerman."

"Itu kan masih lama dikumpulinnya." Shena keliatan heran.

"Lo tau gue gimana orangnya, Shen." Retta tertawa. Shena menyusul setelahnya.

"Lo gak mau nawarin gue?" Linzy berdiri setelah memasukkan bukunya di laci meja.

"Oh ya ... gue lupa kalo punya temen satu lagi," ucapnya sarkas. "Lo sih lupa sama gue, gue jadi ikutan lupa jadinya."

"Jangan ngomong gitu, Shen." Retta menegur.

"Shen ..." anak kelas mulai memberikan perhatian pada mereka. Dan jelas Linzy tak suka itu. "Sori, gue ..."

"Lo kenapa bingung banget sih, Zi." Dari mata Shena menunjuk seseorang di belakang. Membuat Linzy menoleh dan melihat Zion yang juga memerhatikan mereka berdua. "Noh Zion kayaknya mau ngajak lo ke kantin. Pergi aja sama dia."

Shena hendak pergi jika bukan karena ucapan Ricky, "Babe, tungguin dong bareng aku aja ke kantinnya."

"Aku lagi pengin sendiri, Ky." Lalu dia berlalu sepenuhnya.

"Kenapa sih, Zi?" Ricky bertanya. "Lo berantem sama Shena? Tumben amat biasanya juga nempel terus kayak anak ayam."

"Gak seru lu berdua berantemnya. Tonjok-tonjokkan dong." Justin malah memanas-manasi.

"Lo sama Shena kenapa?" Zion juga ikut bertanya. Linzy menggeleng sebagai balasan dan memilih menyusul Shena keluar kelas.

Pandangannya mengedar ke setiap penjuru. Lorong telah penuh. Lalu lalang orang agak menyusahkannya untuk menemukan Shena. Di terus berlari di koridor yang ramai sampai dia berbelok dan menabrak Lian.

"Aduh ... sori, Yan. Gue nggak sengaja."

Lian senyum dan mengecek seluruh seragam Linzy. "Santai aja, gue malah takut seragam lo yang kenapa-napa." Lian menunjukkan cat yang berada di tangannya. "Oh ya lo kenapa buru-buru?"

Napas Linzy tak beraturan saat menjawab, "Nyari Shena. Lo liat dia?"

Lian mengangguk. "Barusan gue liat, dia jalan ke arah taman deket gudang kayaknya. Tapi keliatan kesel gitu. Gue mau nyapa jadi enggak enak."

"Oh gitu ya," Linzy tersenyum. "Thanks, Yan. Gue duluan." Dia hendak berlalu tapi tak jadi karena Lian memanggilnya lagi. Dia menoleh. "Kenapa?"

"Itu ... gue mau," Lian tampak sulit menjelaskan maksudnya. "Lo hari ini ada acara?"

Terkejut, tentu. Linzy tak menduga. Ternyata Lian selalu to the point orangnya. "Mm ... emang kenapa?"

"Gak, sebenernya gue ada tugas biologi."

"Tugas pengamatan yang dijadiin makalah itu?" tanya yang cewek dan mulai sedikit lupa tujuannya.

"Iya, lo udah dapet tugas itu?"

Yang cewek mengangguk. "Baru aja tadi."

"Gimana kalo kita nyari resensi bareng. Hari ini pulang sekolah ke toko buku. Lo mau?"

Linzy ragu. Dan teringat lagi tujuannya untuk mencari Shena. Jadi karena tak ingin membuang waktu. Dia mengangguk. "Liat nanti, ya Yan. Gue kabarin lo lagi." lalu pamit untuk menyusul Shena. Lian mengiyakan sambil senyum.

Ternyata Lian benar. Shena ada di taman kosong dekat gudang. Duduk di sebelah pohon besar sendirian. Karena di sini sepi, suara apapun mudah tertangkap indra. Termasuk langkah Linzy yang membuat Shena menoleh. Itu cuma detik pertama. Detik keduanya, dia membuang muka.

"Ngapain lo ke sini?!" Shena tak suka.

"Gue mau minta maaf," jujur Linzy. Dia berdiri di depan Shena yang masih enggan menatapnya. "Sori, Shen. Gue tau gue salah karena gak cerita. Awalnya Gue mikir mungkin itu bakal jadi kejutan pas pulang. Karena gue bisa banyak cerita ke lo dan Retta selama gue di sana. Tapi ternyata itu buat lo marah. Sori."

Shena mendongak kali ini. "Bukan itu masalahnya, Zi. Gue cuma gak suka lo makin deket sama Zion. Lo tau gimana brengseknya dia!"

"Lo salah, Shen. Zion gak gitu. Semua omongan orang itu gak bener, ada alasan kenapa Zion jadi gitu. Dia punya alasan, Shen."

"Jadi brengsek itu gak perlu pake alasan, Zi." Shena tak ingin pendapatnya disalahkan. "Brengsek ya brengsek aja!"

"Zion gak brengsek, Shen. Kalo lo kenal dia lebih deket lo pasti ngerti."

"Tiga kali lo belain Zion, Zi." Shena senyum sinis. "Lo kenapa sih? Suka sama dia?"

Pertanyaan itu cuma hal biasa. Lalu kenapa Linzy tergagap saat ingin menjawabnya. Ada yang salah dengan pikiran dan hatinya. Seolah memiliki pendapat yang berbeda.

"Enggak," Linzy akhirnya menjawab itu. "Gue gak suka sama Zion. Gue cuma ... belain dia karena dia temen gue sekarang." Setelahnya, Linzy memohon. "Pliss Shen jangan gini. Gue minta maaf. Besok-besok gue janji bakal cerita sama lo. Lagian gue gak mungkin jauhin Zion. Kita mau duet pas pensi."

Shena membuang napas kasar. Tampaknya kalah untuk terus marah. "Oke-oke. Gue maafin lo."

"Tapi tampangnya gak ikhlas gitu." Linzy meledek.

Shena menoleh kali ini dan melihat senyum Linzy mengurai di wajah. Membuatnya tak punya peluang untuk menang. Perlahan bibirnya ikut mengembang. "Cih! Kesel gue! Kenapa gue gak bisa marah lama sama lo!" Dia cemberut dan bergerak memeluk sahabatnya yang lebih tinggi itu.

Masih saling memeluk seperti teletubis Shena bergumam, "Hari ini sebagai permintaan maaf, Lo harus traktir gue! Bodo amat! Gak ada penolakan."

"Gue gak bisa kalo hari ini."

Shena mendongak dan mengurai pelukan. "Kenapa?"

"Gue ... gue mau pergi sama Lian ke toko buku. Ngerjain tugas biologi."

Linzy susah payah menjelaskan. Yang direspon Shena dengan mata melebar. Cewek itu kelihatan shock, tapi tak dipungkiri jika dia ikut senang.

"Nggak pa-pa," Shena tersenyum girang. "Lo gak usah traktir gue hari ini. Lo pergi aja sama Lian!"

"Sebenernya sih gue mau pergi ke toko buku bareng lo sama Retta ..."

"Gak usah!" Shena memotong cepat. "Gue bisa sama Ricky. Dan Retta palingan ditemenin Regha." Lalu dengan tatapan keseriusan, Shena memegang kedua bahunya. "Ini kesempatan lo buat makin deket sama dia."

"Tapi ..." Linzy tampak berpikir. "Gue ragu."

"Ragu?" Shena kali ini berkacak pinggang. "Lo masih suka sama Lian kan?"

"Ya masihlah!" Linzy menjawab cepat. "Lo tau gimana gue kalo deket Lian. Gugup gitu."

"Wajar aja sih, udahlah lo harus pergi sama dia. Titik!" ucap Shena mendukung penuh. "Lo sama Lian tuh cocok banget. Dibanding Zion, Lian jelas lebih tinggi derajatnya. Dia cool, ganteng, dewasa, kapten basket, ramah dan paling penting sopan sama guru."

"Jangan banding-bandingin sama Zion. Mereka dua orang yang beda Shen. Jadi wajar aja gak sama sifatnya"

Shena memutar matanya malas. "Plis deh ... lagi-lagi lo belain Zion."

"Gue ... gue bukan belain," elaknya tak yakin. "Gue cuma gak mau Zion denger. Kan gak enak."

"Ya ... ya serah lo!" Shena memilih topik yang lebih baik untuk dibicarakan. "Yang penting lo harus jalan sama Lian. Dia gak pernah keliatan jalan sama cewek, berdua doang, Zi. Cuma lo yang diajak jalan sama dia."

Shena senyum penuh arti, "Harusnya lo happy, gebetan lo selama setahun lebih lima bulan itu ngajak lo jalan! Cuma cewek bego yang bakalan nolak!"

°°°°

Saat diharapkan waktu bergulir cepat justru berjalan lambat. Namun, saat mengharapkan kebalikannya, harapannya tak terjadi. Begitulah siklus di bumi tak pernah tertebak bagaimana jalannya.

Suara bel pulang mengudara. Rasa-rasanya, waktu bergulir sangat cepat buat Linzy. Bukan saja anak kelas yang berkemas siap pulang. Linzy pun mulai memasukan beberapa buku ke dalam tas.

Bertepatan dengan buku terakhir yang Linzy masukan, Zion datang ke mejanya.

"Hari ini latihan?"

Linzy mendongak. Menatap binar bahagia terpancar dari mata yang cowok. Mendadak dia sulit menolak. "Sori, Yon. Hari ini gak dulu," jawabnya tak enak hati. "Gue mau ke toko buku buat ngerjain tugas biologi."

"Oh ... kalo gitu bareng aja sama gue." Zion tersenyum. Hal itulah yang membuat Linzy makin kesusahan menjawabnya.

Dan senyum itu luntur berkat kalimat sinis Shena. "Linzy udah janji sama Lian buat pergi bareng." Cewek mata sipit itu menyandangkan tasnya ke bahu.

Raut Zion tak terbaca saat bertanya, "Itu bener?"

Linzy mengangguk samar. Makin merasa tak enak karena dua kali memberikan Zion penolakan atas ajakannya.

"Gampang aja sih, kenapa kalian gak pergi aja bertiga?" Ini usulan Retta. Yang direspon Shena dengan pelototan.

"Gak bisa dong, Ta."

"Kenapa gak bisa?" tanya Retta. "Mereka kan sama-sama mau ngerjain tugas biologi. Lebih banyak orang, lebih bagus."

Tampaknya Retta tak mengerti kode dan maksud Shena. Dia makin kesal karenanya. "Ta, Linzy sama Lian tuh ..."

"Mau PDKT." Zion yang meneruskan. "Bener kan?" Yang cowok menatap Linzy datar. Yang ditatap membalas tatapannya walau tak bisa berkata apa-apa.

"Bagus kalo lo paham!" sinis Shena untuk kesekian.

"Zi!" Dari arah pintu suara cowok terdengar memanggil. Serentak membuat beberapa anak kelas yang belum keluar menoleh. Termasuk empat orang yang terlibat pembicaraan itu.

Senyum miring Zion terangkat. "Pangeran berkuda lo udah dateng," sindirnya. "Have fun."

Selanjutnya langkah Zion meninggalkan meja si cewek. Berjalan ke pintu dan berhenti hanya untuk menatap Lian. Keduanya tak bicara. Cuma saling tatap dan berakhir saat Zion benar-benar berlalu pergi.

 ●●●●●  

Ceweknya gak peka. Cowoknya gak gercep. Ya jadinya gitu :(

Untuk part selanjutnya, aku gak tau ya bisa up jumat ini atau enggak. Soalnya lagi sibuk banget ini. Tapi ... kalo emang sempat nulis nanti, aku bakal up.

Jangan bosen2 ya sama cerita ini. Jalan ceritanya emang lambat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro