Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(54) ● Jalur Perbaikan

50k yeaaaaaay🎉🎉🎉
Thanks youuu buat kalian yang selalu setia sama cerita ini.

TEERRRR-debes kalian emang 💖

Ngingetin aja, jangan lupa vote dan komen :)

°°°

RUANGAN serba putih. Bau antiseptik. Dan selang infus. Ketiga hal itu yang menyambut Linzy ketika membuka mata. Dia mengerjap beberapa kali lalu mengecek sekeliling. Jiwanya baru setengah sadar saat menjatuhkan iris ke kiri. Di sana, ada ... mamanya.

Clara langsung berdiri. Menatap Linzy dengan binar bahagia, seolah apa yang ditunggunya tak berujung sia-sia. Sang Mama menangkup kedua pipinya sebelum memberikan ciuman di kening, kedua pipi dan kembali lagi di keningnya.

Linzy tak bereaksi apapun. Bibirnya tak mampu melontarkan perkataan. Bahkan seluruh tubuhnya kaku untuk digerakan. Clara menekan tombol di sisi kiri ranjang, yang tak lama seorang dokter dan beberapa perawat datang ke ruangan.

Usai memeriksa keadaannya teliti. Si dokter pria itu berbicara lama dengan mamanya. Entah apa yang dibicarakan, tapi cuma dua hal yang Linzy tangkap. Pertama, dokter bilang dia baik-baik saja. Dan untuk yang kedua, dokter itu menunjuk tangan kanan Linzy yang diperban.

Perban?

Dia terluka?

Seketika semuanya tampak jelas di mata. Kesadarannya kembali seperti sedia kala. Termasuk ingatan tak mengenakan yang terjadi beberapa saat lalu. Nyeri menelusup tanpa perintah. Begitu menusuk dadanya.

Linzy terbaring tak berdaya di sini sebab mereka. Sebab keputusan sepihak mereka. Sebab keegoisan mereka. Mama-papanya tidak pernah mau mendengarkan dan tak pernah mau peduli padanya. Linzy berusaha menahan selama ini. Namun, garis kesabarannya putus hingga dia melukai diri sendiri.

Tangannya refleks menepis tangan Clara saat dia hendak menyentuhnya. Mamanya tentu terkejut dan mencoba sekali lagi hanya untuk mendapat respon yang sama.

"Ngapain Mama di sini?!" Itu pertanyaan kasar yang keluar begitu saja dari mulutnya.

Penolakan yang Linzy berikan, berdampak besar buat Clara. "Linzy dengerin Mama ..."

"Gak!" Linzy menggeleng. Ini kondisi terlemahnya. Dia jelas tak punya kekuatan apa-apa. Sebatas air mata yang tumpah karena emosi labilnya."LINZY BENCI MAMA!"

Untuk ke tiga kali, Clara ingin menyentuh tangannya. Namun, lagi-lagi dia tepis. Wajah sedih Clara tak cukup berhasil mengalahkan seluruh sakit yang Linzy pendam selama ini.

"Linzy gak mau ngeliat Mama!" Di atas brankar Linzy meronta untuk menjauh dari mamanya membuat selang infusnya bergerak kemana-mana.

"Linzy ..."

"PERGI!"

"Selang infusnya sayang. Mama mohon jangan kayak gini ..."

"Linzy bilang pergi ya pergi!" Linzy masih memberontak. Jika Clara menampakan wajah menyedihkan itu hanya untuk membuat Linzy kalah. Itu tentu cuma akting di bawah rata-rata. Sebab Linzy sama sekali tidak merasa iba.

Lalu yang selanjutnya sungguh mengejutkan. Linzy berhenti menyakiti dirinya sendiri saat melihat mamanya berlutut memohon.

Sekecewa apapun Linzy pada Clara tentu dia tak bisa melihat mamanya sampai bersimpuh seperti itu. "Berdiri!" Itu mungkin kasar. Tapi di hatinya Linzy siap mengangkat bendera putih. Dia kalah jika melihat mamanya melakukan itu. "Linzy gak mau ngeliat Mama duduk kayak gitu!"

Clara tak juga merespon. Dia mendongak dan Linzy merasa terlempar ke ribuan paku melihat air mata yang bergulir di pipi mamanya. "Mama berdiri atau Linzy cabut paksa selang infus ini!" Linzy sudah bersiap mencabutnya saat suara mamanya terdengar.

"Mama harus apa supaya Linzy maafin Mama?" Diurungkan niatnya itu, Linzy beralih memandang Clara yang beruraian air mata.

Jika siapapun bertanya ke Linzy siapa sosok wanita terkuat di dunia ini? Linzy pasti akan menjawab dengan keyakinan penuh. Orang itu mamanya. Wanita terkuat yang membuat banyak orang kagum. Termasuk Linzy yang diam-diam menganggumi mamanya.

Clara tak pernah menunjukkan kehancuran di depannya. Bahkan saat melihat sang suami berselingkuh dia tidak menunjukkan air matanya.

Dulu dia terkenal ramah. Sayangnya semua telah berubah. Aura dingin yang dipancarkannya membuat para karyawan tunduk dan tak bisa membantah. Dia paling tidak bisa menerima kesalahan sedikit saja.

Clara tak ingin dipandang lemah oleh orang-orang. Termasuk anaknya sendiri. Jadi di saat Linzy melihat tatapan penyesalan dengan ribuan maaf sang mama membuatnya tak lagi punya alasan untuk membenci sang mama. Dia tak punya lagi alat yang bisa dia pakai untuk memberontak sang mama.

"Mama pikir dengan cara itu Linzy bisa maafin Mama. Linzy justru makin benci sama Mama!"

Boleh saja mengatai Linzy itu anak kurang ajar. Anak tak tahu terima kasih. Itu hal yang salah tentu saja. Tapi Linzy tak bisa lagi menahan emosi dan tak bisa berpura-pura bodoh oleh semua sikap mamanya.

Clara berdiri dengan perlahan. Menatapnya yang langsung Linzy respon dengan memalingkan muka.

"Mama tau selama ini, Mama jahat sama Linzy," itu suara serak dan lirih mamanya. "Mama gak pernah ngajak Linzy ngobrol. Mama gak pernah ada waktu buat pergi bareng. Mama gak pernah nanya Linzy udah makan apa belum. Selama ini Mama cuma sibuk kerja dan ngebiarin Linzy sendiri di rumah."

Sambil memunggungi mamanya. Linzy sekuat mungkin menahan isakan. Membiarkan air mata mengalir dari pipi lalu jatuh di bantal.

"Jadi Mama mohon, Linzy maafin Mama yang jahat ini?" terdengar isak pedih mamanya. "Kalo Linzy benci Mama, terus siapa yang mau sayang sama Mama?"

Buat yang ini, Linzy tak bisa lagi berpura-pura tak peduli. Berpura-pura tak mendengar. Seluruh kalimat menyakitkan yang Clara sampaikan cukup untuk melunakkan kekeras kepalaan Linzy. Dia bergerak duduk dan menatap mamanya.

Clara melangkah mendekat begitu pelan karena dilihatnya Linzy mau membuka diri. "Linzy maafin Mama?" Anaknya masih diam. "Selain Linzy, Mama gak punya siapapun lagi."

Habis sudah. Tembok yang berusaha Linzy bangun, runtuh dalam sekejap. Dia mengulurkan tangan yang langsung disambut rengkuhan erat mamanya. Linzy menangis di pelukan. Pun Clara yang menangis sambil bergumam maaf.

"Lin-Linzy gak pe-pernah bener-bener marah ..." ucapnya tersendat. "Li-Linzy cuma kecewa sama Mama. Kenapa Mama gak lagi peduli sama Linzy. Linzy ma-mauu semuanya kayak dulu."

Isakan Linzy tertahan ketika dirasakannya Clara menegang mendengar permintaan sederhananya. Apa yang salah? Clara melepaskan pelukan itu perlahan. Menatapnya sebelum menghapus jejak basah di wajahnya.

"Semuanya gak bisa lagi kayak dulu Linzy."

Dia diam karena mengerti apa yang mamanya maksud sekaligus enggan mendengar lanjutan.

"Kamu tau, hati Mama udah gak bisa nerima Papa kamu karena terlalu sakit. Semuanya udah rusak Linzy sejak kejadian dulu. Hubungan Papa sama Mama udah gak bisa diperbaiki."

Setelahnya Clara mengenggam kedua tangannya. Mengusap punggung tangan kanannya yang terbalut perban. "Tapi walaupun semuanya rusak. Masih ada yang sama. Linzy tetap anak Mama dan Papa. Gak ada yang berubah." Untuk melanjutkan kalimat berikutnya, Clara agak kesusahan. "Saat Mama-Papa pisah ..." Clara menahan tangan Linzy yang ingin mengepal. "Linzy gak perlu khawatir, Mama dan Papa tetep orang tua Linzy."

"Mungkin Mama sama Papa bukan lagi suami-istri, tapi Linzy tetep princess kecil Mama dan ratu kecilnya Papa kan?"

Dalam tundukkan kepala, Linzy mengangguk. Membiarkan bulir bening meruntuh jatuh tanpa henti. Apa yang Linzy harapkan. Barang pecah tak bisa lagi digunakan. Apalagi mencoba kepingannya untuk disatukan. Semuanya tak lagi sama untuk dirasakan.

Ini keinginan orang tuanya lalu Linzy bisa apa?

"Kalo Mama pisah sama Papa, apa Mama bahagia?"

Jika memang begitu adanya. Mungkin Linzy akan mengalah. Bukankah kebahagian Clara adalah segalanya? Selama ini Mamanya sudah menderita. Dan sangat egois kalau Linzy masih ingin mempertahankan sesuatu yang tak bisa lagi dipertahankan.

"Linzy nggak pa-pa kan?"

Linzy mengangguk yakin—lebih tepatnya meyakinkan dirinya sendiri. "Linzy nggak pa-pa," ucapnya lirih yang dihadiahi pelukan hangat mamanya. Clara mencium puncak kepalanya berulang kali sambil bergumam 'terima kasih'.

Ini terbalik iya kan? Seharusnya Linzy yang mengucapkan terima kasih padanya. Dia terlalu kekanak-kanakkan selama ini. Memikirkan diri sendiri dan melupakan perasaan sakit mamanya.

Di balik punggungnya, Linzy bisa merasakan Clara menghapus kasar air matanya kemudian perlahan memundurkan kepala dan menangkup kedua pipi Linzy. "Semuanya bisa kayak dulu," ucapnya sambil tersenyum. "Kita bisa kayak dulu. Cuma Linzy sama Mama. Kita bisa liburan bareng. Kita bisa ke salon dan shopping bareng. Dan lagi kita bisa nonton film sambil makan kue buatan Mama. Itu yang Linzy mau kan?"

Yang Linzy inginkan kebersamaan mereka bertiga. Bukan sekadar berdua. Tapi ... tidak apa-apa. Linzy tidak ingin melihat senyum mamanya hilang. Dia mengangguk dan mengulas senyum lebarnya.

"Tapi janji kan?"

Clara mengangguk mencium kepalanya. "Janji," lalu menarik napas panjang. Menoleh ke arah pintu. "Kayaknya Papa kamu nunggu."

Linzy ikut menoleh ke pintu.

"Ini rahasia kita oke? Jangan sampe Papa tau Mama nangis di sini."

Gengsi perempuan. Tentu saja Linzy mengerti.

Clara berdiri. Merapikan setelan kerjanya. Memperbaiki tatanan rambut dan menampilkan sosoknya yang biasa. Berakting seolah tak terjadi apa-apa di sini. "Mama gak keliatan abis nangis kan?"

Untuk kali ini Linzy benar-benar tertawa. Agak lucu dan aneh melihat tingkah mamanya. Dia mengacungkan jempol.

Clara berbisik. "Jangan karena hubungan Mama sama Papa udah gak sama. Linzy bersikap beda ke Papa. Dia tetep Papa Linzy. Pahlawan kesayangan Linzy. Hm?"

Linzy bergumam pelan.

°°°°

Terdengar langkah kaki yang membuat kepala Linzy menoleh. Jeovan berdiri canggung di sana. "Linzy mau ketemu Papa?"

Jujur saja melihat wajah Jeovan. Ingatannya kembali ke masa lampau. Teringat segala kelakuan 'jahat' papanya. Foto-foto di meja mamanya masih dia ingat jelas. Apalagi saat di basement parking dua bulan lalu, Linzy seperti ditampar habis-habisan oleh kenyataan pahit.

Namun, luka itu tak baik untuk diingat. Linzy berusaha untuk menerima semua dan menghadapinya dengan senyuman di wajah.

"Kalo Linzy gak mau ketemu Papa. Apa Papa mau keluar?" tanyanya datar. Ekspresi terkejut sang Papa cukup lucu untuk Linzy, tawanya sontak saja berderai. "Linzy cuma bercanda, Pa."

Jeovan terlihat menarik napas lega. Kecanggungan yang merantai perlahan memudar. Setidaknya perkataan Linzy berhasil menolong.

"Bisa bercanda ya anak Papa sekarang," Jeovan tersenyum. Berjalan mendekat dan mendaratkan diri di kursi samping brankar Linzy. "Siapa sih yang ngajarin? Cowok yang di depan ya?"

"Hah?" Jeovan tidak lagi ingin membalas dendam karena ucapan mengejutkan Linzy tadi kan? "Cowok?"

"Iya," Jeovan sudah lebih terlihat santai sekarang. "Cowok yang bawa kamu ke sini. Siapa ya namanya ..." sang Papa mencoba mengingat-ingat. Sementara Linzy dibuat tak percaya. Kepalanya mulai bermain tebak-tebakan.

"Zion?" Kata itu keluar begitu saja dari mulut Linzy.

"Ya Zion." Papanya baru teringat. "Dia siapa? Temen? Atau ..."

"Temen, Pa," jawab Linzy seadanya. Karena dia sekarang lebih fokus memikirkan bagaimana bisa Zion membawanya ke sini?

"Yang bener cuma temen?"

"Papa ih!" Linzy cemberut. Jeovan tertawa. Refleks mengusap-usap kepala sang anak yang dulu adalah kebiasaannya. Dan ...

Suasana canggung itu datang kembali. Terasa tak mengenakan yang ingin Linzy usir pergi. Jeovan menjauhkan tangannya saat melihat ekspresi cemberut Linzy berganti menjadi raut kaku.

"Mama udah bilang tadi tentang ..."

"Udah." Ini masih pembahasan yang sama tentu Linzy tahu apa yang Papa maksud.

Jarum jam berdetak. Suaranya terdengar jelas di antara keheningan. Lima detik. Sepuluh detik. Tak ada yang berbicara. Linzy yang berposisi menyandar, cuma bisa menunduk sambil memainkan kuku.

"Maaf," Itu gumaman pelan Jeovan. Linzy terpaksa mendongak untuk menatapnya. "Ini salah Papa. Papa yang ngebuat semuanya kacau kayak gini. Papa yang udah ngerusak kebahagian keluarga sendiri," Linzy tidak bodoh untuk merasakan penyesalan dari ucapan Jeovan. "Papa gak pantes jadi suami. Papa gak pantes jadi ayah yang baik buat Linzy. Papa minta maaf."

"Kalo Linzy mau marah atau mau pukul Papa sekarang. Papa gak pa-pa. Papa bakal nerima semuanya. Karena Papa emang pantes."

Yang dilakukan Papa setelahnya sungguh mengejutkan. Dia menarik tangan Linzy ke atas kepalanya. "Linzy pasti benci Papa kan? Linzy pasti marah sama Papa. Ayo! Pukul Papa! Marahin Papa!"

Jujur, karena kejadian dulu memang ada kebencian yang berkobar di diri Linzy. Berkobar membakar seluruh kenangan indahnya bersama Papa. Yang hanya dia ingat perselingkuhan Papa bukan memori manis yang pernah terangkai di kehidupan kecilnya.

Linzy marah. Tentu saja.

Linzy membenci papanya? Bukan. Rasa ini lebih bisa diartikan kecewa. Rasa ini yang membuat Linzy menjaga jarak dan tak mau lagi terlihat obrolan atau pun hal manis yang dilakukan ayah bersama anaknya.

Papa memintanya untuk marah. Seharusnya Linzy melakukannya. Meluapkan semua kemarahan yang dikuburnya selama ini. Linzy sudah diberikan izin, seharusnya ini mudah. Tapi apa ... rasa sayangnya selalu bisa mengalahkan kemarahan yang membumbung tinggi sekarang.

Dia menggeleng. Menangis sejadi-jadinya. Cuma air mata yang menyimbolkan kesedihan, kemarahan, dan kebenciannya selama ini. Dia sekadar memukul pelan bahu Jeovan sebelum dia menenggelamkan diri di pelukan papanya.

Sebesar apapun kekecewaan anak pada orang tua. Semua itu akan kalah saat mengingat perjuangan mereka saat membesarkannya.

Jeovan mengeratkan pelukan. Kepala Linzy merasakan basah. Papanya menangis. Menangis diam tanpa ingin menujukkan sisi lemahnya.

"Papa selalu sayang sama, Zizi," suara Jeovan terdengar serak. "Ratu kecilnya Papa."

Kali ini Linzy benar-benar menangis lebih keras. Isakannya terdengar pedih. Begitu menyayat siapa saja yang mendengar.

Termasuk Clara yang mengintip di balik pintu. Dadanya seperti ditikam sesuatu melihat ayah dan anak itu saling berbagi pelukan dan kesedihan.

Waktu tak bisa berjalan mundur dan semua kenangan tak bisa lagi terasa sama.

°°°°

Usai kepergian Papa dari kamar inapnya. Seharusnya Linzy merasa lega. Merasa semuanya sudah baik-baik saja. Mereka akan berpisah dan Linzy sudah menerima takdirnya. Namun, begitu Papa menyampaikan perkataan berikutnya setelah mereka melepas pelukan dan sama-sama melempar senyum.

Linzy seperti merosot jatuh ke jurang.

"Setelah Mama-Papa pisah, Papa akan balik ke Negara asal Papa."

"Maksudnya?" Linzy bertanya lirih. "Papa mau balik ke Italy. Papa mau ninggalin Linzy?!"

Jeovan menggeleng. "Papa gak ninggalin Linzy. Papa akan terus mantau Linzy sampai anak Papa dewasa. Papa cuma mau nenangin diri di sana. Tenang aja, setiap liburan sekolah, Papa pasti jemput Linzy untuk liburan di sana. Oke?"

"Oke," suara itu menggema lirih di ruang inapnya yang kosong. Saat Jeovan bertanya tadi, seharusnya Linzy menjawab itu. Bukannya baru menyampaikan sekarang disaat papanya telah keluar. Sebelumnya dia tidak siap oleh kejutan tadi. Jadi sekadar diam, tak memberikan respon.

Linzy menarik napas panjang. Mengembuskan begitu perlahan. Ambil saja hikmah dari semuanya. Pasti dia akan menemukan sedikit awal kebahagian di depan. Iya. Dia tinggal menunggu dan semuanya akan baik-baik saja.

Disaat mencoba meyakinkan diri. Pintu kamar inapnya terbuka disusul langkah-langkah kaki. Linzy tak percaya melihat Regha bersama Arven dan kedua sahabatnya.

"Kalian masih di sini?"

Bukannya jawaban yang didapatkan, Shena dan Retta bergerak memeluknya. Mereka begitu tampak lega bahkan air mata mengalir sebagai bentuk kelegaannya. Dibanding Retta yang lebih memilih memeluknya diam. Shena justru mengomelinya yang tersendat-sendat oleh isakannya sendiri.

"Kenapa gak sekalian lo tembak kepala lo pake pistol supaya mati sekalian!" Shena kalau berbicara suka tak disaring saat emosinya sudah meledak.

Linzy menarik diri. Pelukan mereka terlepas begitu saja. Shena dan Retta bersamaan mengusap pipinya yang basah. "Kalo gue mati. Lo gak ada temen dong Shen."

"Sori aja ya, temen gue banyak!" ketusnya. Retta dan Linzy tertawa mendengarnya.

"Gue serius, Zi. Jahat banget lo gak mau cerita-cerita kalo ada masalah. Lo anggap gue apa hah? Gue sahabat lo kan? Tapi jangan kan curhat tentang masalah keluarga lo, bahkan lo gak pernah nangis di depan gue. Cih! Malah curhat ke Zion!" Shena mulai mendramatisir.

"Udahlah Shen," Retta angkat suara sambil senyum. Matanya masih memerah. "Yang penting kan sekarang Linzy udah baik-baik aja. Dan mulai sekarang lo harus janji sama kita, Zi. Apapun masalah lo. Lo harus cerita."

"Iya, Ta." Linzy senyum kecil. "Maaf ..." gumamnya merasa bersalah.

Shena ikut mengangguk setuju bersama ekspresi berlebihannya. "Sumpah, Ta. Lama-lama gue makin sayang sama lo!"

"Pliss deh Shen ..." Retta memutar mata malas. Tertawa kecil.

"Besok anak kelas mau dateng jenguk lo," ucap Shena begitu antusias. "Dan ... ada satu berita lagi."

"Apa? Gue bisa balik besok sore?" Karena berita membahagiakan bagi Linzy adalah cepat-cepat pulang dari sini. Dia benci rumah sakit. Apalagi baunya.

"Lian bakal dateng jenguk lo malam ini!" Shena girang. Linzy membelalak tak percaya. Seperti Shena yang antusias, seharusnya Linzy merasakan hal yang sama. Jujur, dia memang senang. Namun, entah kenapa ada yang kurang.

"Zion kemana?" Itu yang akhirnya Linzy sadari. Melihat Regha dan Arven itu terasa tak lengkap. Tentu saja karena Zion tak ada di antara mereka.

"Seriously, Zi?! Gue lagi ngomongin Lian dan lo malah nanyain Zion?!" Raut Shena langsung berubah drastis.

"Ya ..." Linzy bingung bagaimana cara menjelaskan agar tak terjadi salah paham. "Gue cuma mau bilang makasih sama dia karena udah bawa gue ke sini tepat waktu. Kalo gak ada dia, gue gak tau apa yang bakal terjadi sama gue nanti."

"Dia balik tadi," Regha yang menjawab. "Tenang, besok dia ke sini lagi bareng Bunda. Bunda pengin ngeliat keadaan lo."

"Oh ..." Linzy mengangguk saja. Bertepatan dengan itu pintunya terbuka lagi.

Sosok cowok yang berdiri di sana, bukan saja mengejutkan Linzy tapi mereka semua yang berada di ruangan.

"Gue gak nyangka kalo kalian semua masih di sini." Itu Lian. Yang mengumbar senyum sambil melangkah tenang. Yang menarik perhatian Linzy adalah rangkaian lollipop yang dibuat menyerupai susunan bunga yang cantik.

Pertama, Lian menyapa Regha dan Arven. Berbasa-basi ala anak cowok. Lalu menyorongkan benda yang dibawanya. "Buat lo," Linzy kehilangan kata dan menerima saja Lollipop yang terangkai indah itu. "Karena pas jenguk lo waktu itu, lo kayak gak sreg gitu pas gue bawa bunga. Makanya gue ganti jadi lollipop aja. Lo suka?"

Pandangan mereka bertemu. Lian menunggu dan Linzy diam karena ulah jantungnya yang berdegup kencang.

"Sukalah pasti!" Shena yang berdiri di sebelah Linzy, mencolek lengan sahabatnya itu. "Iya kan, Zi. Lo pasti suka kan? Sweet gitu masa gak suka sih."

Linzy mengangguk dan tersenyum kaku. "Iya gue suka," lalu untuk yang ini senyumnya tulus. "Makasih, Yan udah mau dateng jenguk gue. Jadi ngerepotin."

"Nggak ngerepotin sama sekali," ucap yang cowok. "Itu tugasnya temen kan?"

Sungguh ... mudah bagi cewek manapun untuk jatuh hati pada seorang Arliandy Reska. Cowok itu terkenal friendly dan ramah. Apalagi saat berdiri di dekatnya. Siapapun akan merasa nyaman karenanya. Itulah kenapa hingga sekarang Linzy masih menjatuhkan harapan pada cowok yang padahal sama sekali tak tahu perihal isi hatinya.

"Temen ya?" Linzy menoleh pada Shena saat dilihatnya cewek itu bersiap aneh-aneh. "Padahal Linzy berharap—AW!" Shena seketika meringis perih saat merasakan cubitan di pinggangnya. Dan si pelaku sudah bersikap seolah tak ada yang terjadi.

°°°°

Diliriknya jam di pergelangan tangan, Zion terdiam di lift. Menunggu pintu terbuka ketika tiba di lantai tujuan. Dia kembali ke rumah hanya untuk mengganti kaosnya yang robek. Saat di rumah sang Bunda memaksa untuk mengetahui kronologi yang terjadi. Dia mau tak mau menjelaskan semuanya.

Waktu yang seharusnya bisa membuatnya lebih awal datang. Sebab Bunda dia harus menundanya sebentar.

Pintu lift bergeser. Zion langsung melangkah keluar dan menuju kamar yang menjadi alasannya ke sini. Di depan kamar VIP itu, dia hendak memutar kenop pintu. Namun, suara tawa hangat yang terdengar. Mengurungkan niat.

Tawa itu jelas milik Linzy. Terdengar begitu bahagia seolah telah lupa masalah yang menimpanya. Cewek itu sudah baik-baik saja sekarang.

Lalu tawa satu lagi milik siapa? Tawa berat yang tak lain pasti milik seorang cowok?

Hendak membukanya. Sayang, pintunya lebih dulu terbuka dari dalam. Itu Shena yang membukanya.

"Mau ngapain lo di sini?" Ketus Shena.

Zion heran. Akhir-akhir ini, Shena jadi sensitif tiap kali melihatnya. Beda dengan dulu yang masa bodoh.

"Lo kenapa sih Shen, sensi mulu sama gue?"

"Oh jelas ..." Shena berucap tajam. "Seharusnya lo sadar, kenapa gue jadi gak suka sama lo. Mungkin pas awal-awal gue bodo amat soal kedekatan lo sama Linzy. Karena gue tau Linzy itu benci sama lo dan gak akan mau sama lo!"

"Tapi sekarang ... Linzy udah mulai kemakan gombalan lo. So, gue gak akan biarin itu terjadi," Mata Shena terlempar bagai api. "Gue gak akan biarin sahabat gue jadi korban mainan lo, Yon!"

"Shen ... lo salah pa—"

"Salah paham?" Shena tertawa jijik. "Satu sekolah juga udah tau seberapa brengseknya seorang Falzion Herlangga. Coba gue tanya, lo inget siapa aja mantan lo?" Yang ditanya diam. "Gak kan?" Shen berdecih. "Bahkan lo gak inget mantan-mantan lo, karena terlalu banyak cewek yang lo mainin!"

Zion mengerti. Shena cuma bermaksud melindungi Linzy dari lelaki yang bisa-bisa melukai hati sahabatnya. Namun, Zion tidak ada niat ...

"Mending lo pulang!"

Yang cowok mendongak kaget. "Apa?"

"Oke gue ulang," Shena senyum miring. "Mending lo pulang, Yon. Lo gak denger Linzy lagi ketawa-tawa sama Lian di dalam?"

"Lian?" Jadi tawa lainnya itu milik Lian.

"Ya, Linzy seneng banget Lian dateng. Mereka lagi ketawa-tawa sekarang. Makanya gue milih keluar. Yang lain juga sadar diri dan udah keluar duluan." Zion merasa ada percikan api. Kalut oleh emosi, dadanya menjadi panas. "Dibanding lo ganggu mereka, mending lo balik ke rumah kan? Besok lo baru boleh ke sini."

Si cewek sipit itu senyum kecil kali ini. "Kita sekelas, Yon. Gue gak mau cuma karena Linzy. Gue jadi benci sama lo. Itu gak bagus kan kalo benci sama orang. Nah makanya lo dengerin gue. Lo pulang aja. Oke?" Lalu dia berlalu setelah mengatakan. "Bye, Yon!"

    ●●●●●  

Part ini panjang. Sedihnya bagian Zion cuma akhir doang wkwkkwkw. Udah mau masuk eh malah gak boleh sama Shena :(

Paham gak nih? Shena bukannya tanda kutip sama Linzy

Tapi dia tuh .... pendukung Lian garis keras :v

*Zion ternganga*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro