Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(53) ● Jalur Kepedihan

Aku mah gampang dibuat senengnya. Gak perlu balesan chat dari doi. Liat vote dan komen kayak kemaren aja, udah seneng banget aku wkwkwkkw.

Jadi jangan bosen kalo aku selalu minta vote dan komen kalian <3

°°°

SAMPAI di apartement-nya. Zion langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tubuhnya sudah panas dan gerah. Ini sebab sikapnya yang sok gentlemen di sekolah. Tanpa ada pemberitahuan dari otak, dia menuruti perintah hatinya yang menyuruh untuk menemani sekaligus melindungi Linzy dari terpaan panas matahari.

Jujur saja saat itu dia ikut kepanasan. Punggungnya terasa terbakar. Pikirkan siapa yang tidak terpanggang matahari disaat berdiri di lapangan sejam lamanya?

Bisa dibilang tindakan itu sangat bodoh. Namun, dia tak menyesal sama sekali karena ada kesenengan yang dia dapatkan. Dia bisa melihat senyum bersama tatapan tulus itu.

Hari ini Zion ingin jujur, kalau dia lagi bahagia. Semua jadi tampak gila. Termasuk dirinya yang—selama tujuh turunan Jin ifrit—tak pernah bersenandung di kamar mandi. Di bawah pancuran air shower. Itu bukanlah dirinya.

Tapi tidak apa-apa. Rangkaian hari ini terlalu indah untuk dilupakan.

Indah? Lo menjijikan, Yon!

Sepertinya kata itu lebih baik dihilangkan.

Lima belas menit kemudian. Zion keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk di pinggang. Bersama rambut basahnya, si cowok berhenti di depan cermin. Menatap lama di sana lalu menunjuk bayangan di cermin. "Wow pangeran dari mana tuh ganteng banget?" pedenya tanpa pikir panjang. Lalu dia menertawai dirinya sendiri.

Di lemari yang terletak di samping cermin, Zion memilah-milah kaos yang ingin dipakainya. Cuma butuh dua menit untuk dia menjatuhkan pilihan pada kaos bewarna navy.

Setelah menutupi tubuh telanjangnya. Zion beralih mencari celana jeans pendeknya. Namun, sebuah benda yang terjatuh dari sana, menghentikan gerakannya itu. Dia memungut, benda yang tak lain adalah sebuah kunciran dengan hiasan lollipop kecil.

Tak perlu dijelaskan itu milik siapa kan?

Zion tersenyum. Karena sebuah ide yang menelusup tiba-tiba, dia menutup lemari. Mengambil ponsel dan menekan nomor seseorang. Setelahnya dia duduk di pinggir ranjang dengan lilitan handuk yang masih bertengger di pinggang. Menunggu panggilannya diterima.

Panggilan pertama tak ada jawaban. Kedua pun sama. Sampai panggilan ke tujuh cuma operator yang menjawabnya.

Zion terheran-heran. Kenapa Linzy tidak mengangkat teleponnya?

Dia ingin mencoba menelpon lagi. Namun, rasa khawatir yang tahu-tahu datang tanpa kenal tempat membuatnya langsung berdiri untuk mengambil celana jeans dan menarik jaket abu-abu sekaligus kunci motornya.

Harapannya cuma satu. Jika ini perasaannya saja yang mengada-ngada. Tidak ada yang terjadi pada perempuan itu.

°°°°

Ini jelas cuma kekhawatiran tak beralasan. Hanya karena Linzy tidak menerima panggilan, Zion hilang akal. Mengegas motornya mencapai angka maksimal untuk cepat-cepat tiba di tempat tujuan.

Dia tidak tahu apa yang terjadi. Yang dia tahu, dia harus memastikan jika perempuan itu baik-baik saja. Ketika gerbang tinggi bewarna hitam keemasan sudah di depan mata, laju motor Zion memelan. Bahkan dia memarkirkan asal motornya untuk langsung berjalan menuju gerbang.

Pak Dayat, satpam rumah Linzy yang melihat kedatangan Zion dari lubang di gerbang. Lantas membuka gerbang sebelum Zion mencapainya.

Pria paruh baya itu menghampiri Zion dengan gurat gelisah.

"Ada Linzy Pak?"

"Itu yang mau saya omongin, Den. Sejak Tuan dan Nyonya membicarakan perceraian mereka ..."

"Cerai?" Untuk tiba di saat ini, pikiran Zion makin porak-poranda. "Ma-maaf, Pak. Lanjutin aja."

"Non Linzy gak keluar kamar, Den," Pak Dayat memainkan jemari yang mulai banyak keriput. "Semua pengurus rumah mulai khawatir Non Linzy kenapa-napa Den. Bahkan dua bodyguard tuan yang disuruh menjaga rumah gak bisa ngelakuin apapun. Sa ..."

Ucapan Pak Dayat tak dapat dilanjut saat Bi Marni tergopoh-gopoh menghampiri. Zion mengenal sosok wanita itu. Linzy sudah bercerita banyak. Sosok itu adalah pengasuh Linzy saat kecil sekaligus pembantu terlama yang bekerja di sini. Dan Pak Dayat adalah suami dari Bi Marni.

"Ini Den Zion, temannya Non Zizi, eh maksud saya Non Linzy?" Zion mengangguk saja. Perasaannya makin kacau hanya karena melihat bagaimana Bi Marni yang berlinangan air mata. "Sa-saya minta tolong Den. Bantu kami mendobrak pintu Non Linzy, karena kami gak ada yang bisa ngelakuin. Non Linzy selalu marah kalo ada yang ganggu dia saat di kamar. Dia juga gak mau pintu kamarnya dibuat kunci cadangan."

Bi Marni tersendat-sendat menjelaskan. "Jadi kami bingung Den bagaimana melihat keadaan Nona sekarang. Sa-saya kebetulan tadi," Bi Marni menangis. "Mendengar teriakan Non Linzy dan suara pecahan ..."

Buat yang kali ini, Zion tak lagi mendengar lanjutan Bi Marni. Kakinya berlari langsung ke dalam rumah mewah itu. Menaiki tangga karena dia tahu kamar perempuan itu yang berada di atas. Semua pengurus rumah Linzy mengikutinya dari belakang. Termasuk dua bodyguard yang Bi Marni bilang.

"Zi," Zion mengetuk pintu hanya untuk mendapat jawaban. Dan karena hening yang menjawabnya. Zion berniat mendobrak jika tidak karena salah satu bodyguard itu menahan.

"Maaf, tapi Nona gak pernah mau privasinya ..."

"Ini udah darurat, Ren!" Bi Marni yang membentak. "Kamu gak tau gimana sedihnya Non Linzy tadi!" Kemudian beralih pada Zion. "Lanjutin aja, Den!"

Karena perintah itu. Zion melakukannya. Mendobrak pintu itu sekali. Jelas tubuhnya tak cukup kokoh merusak pintu di depannya. Dua kali. Tiga kali dan sampai percobaan kelima, perjuangannya tak berarti apa-apa.

"Biar saya bantu." Itu suara dari bodyguard yang satunya lagi. Zion mengangguk. Ayolah! Siapa yang bisa mendobrak pintu yang terlihat mahal dan mewah dari rumah yang terkenal terpandang di kalangan bisnis. Jelas Zion tidak bisa melakukan sendiri.

Membangun kekuatan bersama. Zion dan bodyguard bernama Evon itu, menghitung mundur dan berbarengan mendorong pintunya. Usaha pertama gagal. Diusaha kedua lah pintu itu berhasil dirusak. Zion langsung berlari masuk dan ... tidak ada Linzy.

Dia terdiam lama. Namun, setidaknya harapannya terbangun lagi saat mendengar suara pancuran air di kamar mandi. Dia mengetuk pintu itu dua kali.

"Zi."

"Gimana kalo Nona lagi mandi di dalam sana ..."

Zion tak lagi memikirkan itu. Hati dan pikirannya sudah tak bisa lagi dideskripsikan lagi keadaannya. Untuk mendorong pintu di depannya dia tak perlu mendapatkan bantuan. Kekuatannya memuncak karena kekhawatirannya yang ikut meningkat.

Di percobaan pertama. Pintu itu langsung rusak dibuatnya. Saat itu juga. Di detik itu juga. Waktu seperti menahan Zion di pijkan. Disusul seruan kaget dan mata melebar shock. Bahkan Bi Marni sampai menangis di pelukan suaminya.

"Telepon Tuan dan Nyonya sekarang!" Suara salah satu dari empat pembantu lainnya, menyadarkan Zion. Dia berjongkok di depan Linzy yang terduduk di bawah pancuran dengan mata memejam bersama darah yang mengalir di punggung tangan.

Sesaat Zion bingung langkah apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Kondisi mengenaskan si cewek cukup memukul seluruh sistem kerja di tubuhnya. Tangan Zion gemetar saat menyentuh pipi Linzy.

"Zi ..." panggilnya lirih. "Zi!"

Tak ada jawaban, tentu saja. Cepat-cepat Zion merobek ujung kaosnya. Dililitkan di punggung tangan Linzy untuk menghentikan darah yang mengalir.

Zion juga melepas jaket dan memakaikannya pada perempuan itu buru-buru. Setidaknya itu bisa membuat Linzy hangat dan menutupi kaos dalamnya yang tercetak karena seragamnya basah. Setelahnya Zion mengangkat langsung si cewek yang kini pucat pasi.

"Siapin mobil!" Itu perintah Zion yang langsung dilaksanakan oleh dua bodyguard tadi. Saat mobil telah disiapkan. Zion duduk di belakang sambil memangku kepala Linzy yang terbaring. Sementara di bagian depan, dua bodyguard duduk dan berancang-ancang menjalankan mobil.

"Tuan dan Nyonya gak mengangkat teleponnya."

'Ren' nama seorang bodyguard yang kini duduk di belakang setir merespon ucapan Evon dengan kalimat tegas, "Kita langsung ke rumah sakit. Tuan dan Nyonya itu urusan belakangan!"

°°°°

Di rumah sakit. Linzy langsung dilarikan ke IGD. Zion duduk di ruang tunggu. Menunduk sambil menangkup wajah. Kekhawatiran yang dia bilang tak beralasan ini ternyata adalah sebuah firasat.

Agak terlambat memang dia menyadari kegelisahannya. Namun, setidaknya dia bisa cepat-cepat membawa Linzy untuk penanganan lebih lanjut. Ya. Seharusnya dia sudah bisa sedikit tenang. Bukan malah makin gelisah seperti ini.

Mudah untuk melihat kegelisahan Zion. Orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya pun bisa melihat. Cowok itu bergerak tak nyaman di kursi. Menunduk dengan kaki mengetuk lantai berulang kali. Rambutnya sering kali diacak untuk menunjukkan frustasi.

"Yon!" Itu suara Regha. Zion menoleh melihat sepupu dari perempuan yang menjadi alasan kekhawatiran Zion kini tengah mendekat bersama Retta dan Shena. Dan jangan lupakan Arven yang berjalan santai di belakangnya.

"Gi-gimana ke-keadaan Linzy?" Retta yang bertanya dengan tersendat-sendat karena bisa dilihat perempuan itu habis menangis.

"Gue belom tau. Dia ada di IGD sekarang. Lagi diperiksa."

"Gue sama Shena tadi ngerasa aneh. Tapi ya kita pikir itu cuma perasaan aja. Ya kan, Shen?"

Anggukan saja yang Shena berikan. Dia diam sambil menatap Zion lama. "Lo yang bawa Linzy ke sini?"

Tatapan Shena tak bisa Zion artikan. Namun, Retta seperti mengartikan lain. "Shen, pliss jangan mulai ..."

"Gue cuma mau bilang thanks sama dia," Retta tak percaya sedangkan Zion diam saja. Shena yang disaat UKS tadi membentak sekaligus menyuruh Zion menjauhi sang sahabat justru kini berterima kasih. "Gue sama Retta gak pernah tau masalah keluarga Linzy. Tapi selain Regha ternyata lo tau. Kenapa harus lo orangnya?"

"Shen ..."

"Gue heran. Kenapa Linzy lebih percaya sama lo dibanding kita berdua?!" raut Shena datar, sama sekali hal yang langka karena cewek sipit itu terkenal cerewet dan ramai di kelas. "Gue sama Retta sahabatnya sedangkan lo ... lo cuma orang numpang lewat di kehidupannya!"

"Shena!" Retta tak ingin keributan tercipta di sini.

"Ta," Ini suara Regha. "Ajak Shena ke kafetaria di bawah aja ya."

Retta mengangguk. "Shen ayo." Awalnya Shena kelihatan malas. Namun, setelahnya senyum sinis itu terukir. "Ayo deh ... gue mendadak laper dan males ngeliat muka dia!" Jelas sindirian ini buat Zion.

Ketika perempuan itu menghilang dari pandangan ketiga lelaki di sana. Regha dan Arven ikut duduk di sebelah Zion. Dibanding Arven yang lebih memilih diam. Regha menepuk pundaknya dan berkata, "Gak usah dimasukin hati ucapan Shena. Lo tau seposesif apa dia sama Linzy, dia cuma khawatir sahabatnya kenapa-napa."

°°°°

Sudah terhitung dua jam mereka menunggu. Setengah jam lalu Shena dan Retta sudah kembali dari kafetaria dan ikut duduk dalam dentingan detik untuk menunggu kabar. Wajah mereka tegang, gelisah, takut, dan hal lain yang kini bercampur aduk.

Lalu saat suara seseorang wanita memanggil nama Regha. Kelima remaja itu menoleh dan melihat Clara, mama Linzy berlari dengan hak tinggi dan setelan kerja. Di belakang, orang tua Regha; Seli dan Reno ikut terburu-buru.

Regha berdiri. Pun yang lainnya. Clara berhenti di depan keponakannya dengan kegelisahan yang ditunjukkan lewat air mata.

"Di-dimana Linzy?"

"Ngapain Tante di sini?" Regha terkenal ramah. Lalu saat suara cowok itu terdengar dingin sungguh mengejutkan siapapun.

"Regha!" Bukan saja orang tua cowok itu yang menegur. Retta termasuk.

"Yang sopan kamu, Gha. Dia Tante kamu." Ini omelan Seli.

"Tante telat! TANTE TELAT KALO MAU NGEKHAWATIRIN ANAK TANTE!" Regha hilang kendali di sana. Semua terperangah. "Tante kemana aja hah selama ini? Tante gak pernah peduli kondisi psikis Linzy. Yang Tante Clara dan Om Jeovan tau cuma pertengkaran yang itu-itu lagi!"

Kebetulan Jeovan datang disaat emosi yang Regha simpan kini menguak minta dikeluarkan.

"Gi-gimana keadaan Linzy?" Jeovan bertanya khawatir. Dasinya berantakan. Jas kerjanya bahkan digantung di siku. Rautnya tampak gelisah.

"Lagi diperiksa di IGD sekarang, Van." Reno, Papa Regha yang menjawab.

Mata Regha memerah saat melangkah mendekati Clara dan Jeovan. "Apa kalian pernah nanya Linzy lagi bahagia atau enggak! Nanya Linzy lagi sedih atau enggak! KALIAN GAK PERNAH NANYA! KALIAN CUMA MIKIRIN EGO KALIAN!"

"Regha ..." Seli meminta berhenti.

"Regha tau banget, Linzy yang terus-terusan nangis setiap kali denger kalian ribut," Regha menjatuhkan air mata di pipi. "Kalo sekarang kalian baru sadar buat peduli sama Linzy yang hampir sekarat tadi, kalian telat. TELAT!"

"Retta ajak Regha keluar sebentar boleh?" Seli yang meminta. Retta tentu mengangguk.

"Gha ke kafetaria bawah sebentar yuk." Retta menarik tangannya. Yang ditepisnya pelan. Dia menggeleng.

"Ayo dong Gha. Gak enak diliatin. Kamu emosi, teriak-teriak kaya tadi pasti didenger orang. Apalagi seharusnya kita mikirin Linzy yang lagi diperiksa di dalam," bujuk Retta, yang diabaikan begitu saja.

"Aku nggak apa-apa, Mbak." Clara tersenyum pada Seli saat melihat bujukan Retta tak mempan. "Udah gak apa-apa," Perkataan kali ini buat Retta. "Biarin aja."

"Regha dengerin Tante ..."

"Regha pastiin Kakek bakal tau soal ini!"

"REGHA!" kali ini Reno angkat bicara tegas. Clara menoleh pada Reno, lewat mata dia menyuruh sang kakak diam saja. Ini urusannya. Dan biar dia saja yang menyelesaikannya.

"Kakek udah tau soal permasalahan rumah tangga Tante. Beliau juga udah tau kalo Tante memutuskan untuk bercerai," Clara senyum sedih. "Tante tau kesalahan Tante fatal kali ini. Tante banyak salah sama Linzy. Tante bukan seorang ibu yang pantes buat dipanggil 'ibu'."

Clara meneteskan air mata yang ditahannya sejak tadi. "Tante gak pernah peduli sama Linzy. Jangan kan peduli, Tante udah gak pernah ngajak dia ngobrol. Tante udah sibuk kerja. Dan diakhir pekan, Tante sama Om cuma bisa ribut di rumah."

Regha menghela napas panjang untuk mengatur emosinya. "Mending Tante dan Om berterima kasih sama cowok itu." Lewat mata, Regha menunjuk Zion yang kini tengah diam sambil memerhatikan kekacauan yang tercipta di sana. "Kalo bukan karena cowok itu. Mungkin kondisi Linzy bisa makin buruk."

Zion hanya ingin menjadi penonton. Bukan menjadi pemain yang ikut andil dalam drama. Apalagi dia belum melakukan persiapan apapun. Zion terkunci di pijakan saat Clara dan Jeovan melangkah mendekat.

Sialan! Kemana Zion yang terkenal tak jaim di depan orang?!

Clara menilai dirinya dari atas hingga bawah. "Kamu siapa?"

"Sa-saya temannya Linzy, Tante." Dia bergerak menyalimi orang tua Linzy bergantian.

"Temen?" Dibanding nada bicara Clara yang dingin. Jeovan justru terdengar ramah. "Saya baru tau Linzy punya temen cowok," dalam wajah tegasnya, Jeovan masih bisa tersenyum. "Kamu beneran temennya atau ..."

"Beneran temennya kok, Om." Buru-buru Zion memotong. Dia tahu bagaimana sosok ayah meyayanginya anak perempuannya. Misalkan Jeovan salah menebak. Bisa-bisa dia dijadikan samsak.

"Itu gak penting." Sorot dingin itu semakin terasa memojokkan Zion.

Astaga kenapa emak, anak sama-sama nyeremin sih?

"Kamu yang bawa Linzy ke sini?"

Zion cuma mengangguk. Namun, efek ditimbulkannya cukup hebat. Clara menatap Zion dengan linangan air mata, begitu saja mengubah raut dingin di wajah. Zion terperangah.

"Terima kasih ..." Itu terdengar sangat tulus. Zion masih tak percaya, apalagi saat tangan Clara mengenggam kedua tangannya. "Terima kasih karena udah bawa Linzy ke sini. Sa-saya gak tau apa yang bakal terjadi kalo kamu gak dateng ke rumah tadi. Saya bener-bener berterima kasih sama kamu, Zion."

Clara menangis di depannya. Karena entah harus menjawab bagaimana. Zion mengangguk-anggukan kepala saja.

Selanjutnya, pandangan Clara turun ke ujung kaos Zion. "Baju kamu kenapa?"

"Ini ..." Zion memegang ujung kaosnya yang tak terbentuk bekas robekkan kasarnya tadi. "Ini tadi saya robek buat nutupin darah di tangan Linzy."

Semua aura dingin yang memancar dari mamanya Linzy hilang entah kemana. Dia menatap Zion lama. Sebelum senyum merekah lebar di wajah bersama kedua tangan menangkup pipinya.

"Saya berhutang banyak sama kamu. Sekali lagi makasih."

Usai Clara yang berterima kasih. Giliran Jeovan yang maju dengan senyum ramah dibalik wajah sedihnya. "Makasih ya, Nak. Dua bodyguard saya sudah bercerita mengenai kamu. Dan yang kamu lakukan itu luar biasa. Saya sangat berterima kasih."

Lihatlah betapa miripnya Linzy dengan sosok ayahnya itu.

Mata. Senyum. Rambut. Ketiga hal itu membuat Zion langsung teringat wajah Linzy. Apalagi kala dia berusaha mengangkat Linzy dari kamar mandi. Jujur, saat itu, Zion seperti tak bisa bernapas melihat kondisi cewek itu.

Wajahnya pucat pasi bersama darah yang mengucur dari punggung tangan.

Perempuan itu telah kehilangan separuh hidupnya.

Lima jam kemudian. Seorang dokter bersama suster keluar dari ruangan IGD. Mereka bertanya orang tua Linzy. Jeovan dan Clara bergegas menghampiri. Suster perempuan itu meminta salah satu dari mereka untuk ke administrasi, dan Jeovan yang mewakili. Sedangkan Clara berbicara dengan dokter di ruangannya.

Beberapa menit yang berjalan, akhirnya Linzy dibawa kelua. Suara roda brankar yang menelusup telinga, menolehkan pandangan semua yang di sana.

Pijakan terasa mengikat Zion kuat. Harusnya Zion melangkahkan kaki untuk mendekat. Bukan cuma memandang diam wajah damai Linzy yang memejam bersama selang infus di tangan. Brankar itu didorong para perawat dan dokter. Clara dan Jeovan juga berada di belakang mengikuti.

Salah satu perawat menghampiri Zion dan memberikannya yang dia pakaikan saat Linzy tergeletak tak berdaya beberapa saat lalu. Dia menerima yang langsung di dekapnya di dada. Saat matanya menangkap noda darah di bagian tangan, direngkuhnya jaket itu lebih erat.

   ●●●●●  

Untungnya Clara gak marah ngeliat Zion. Mamanya Linzy tuh kan sensitif soal cowok. Kalian tahulah karena apa :v

Btw part ini tuh gimana? Manis? Asem? Or pait? WKWKWKWK

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro