Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(52) ● Pengakhir Masalah

Padahal mau kemaren tuh upnya. Eh cuma banyak banget typo jadi ya diperbaiki dulu.

Suka part ini? Jangan lupa vote atau lebih bagus lagi kalian komen :)

°°°

LANGIT seperti memiliki dendam pada Linzy. Padahal dia berharap mendung hari ini. Supaya matahari tak bersinar terik lagi. Tapi lihatlah ... pagi ini matahari justru tengah bersemangat-mangatnya. Awan putih menggantung indah. Bersih tanpa ada awan gelap yang memberi noda.

Mungkin kalau Linzy menggoreng telur di tengah lapangan sekarang. Telur itu bisa berubah menjadi telur mata sapi kesukaannya. Sial! Karena sejam lamanya berdiri di lapangan sambil mengangkat tangan hormat. Dia mendadak lapar.

Keringat sudah bermunculan di dahi. Wajahnya memerah karena kepanasan. Apalagi kakinya yang mulai pegal. Ya Tuhan ... kapan penderitaan ini berakhir?!

Dia mendengkus. Seharian dia sudah terlibat masalah—yang demi celananya busa kuning itu—tak pernah sedikit pun dia harapkan terjadi di hidupnya yang damai ini.

Matanya mulai buram karena kelamaan mendongak. Dia menunduk sejenak, saat sepasang sepatu yang amat dikenal berhenti di depannya. Dahinya mengerut lalu merasa dingin tiba-tiba. Cepat dia mengangkat kepala hanya untuk melihat keberadaan Zion yang tengah menempelkan botol mineral dingin tepat di keningnya yang panas.

"Gak panas lagi kan?" tanya yang cowok sambil senyum. Linzy tak merespon. Dengan wajah datar dia menyingkirkan botol itu dari keningnya.

"Lo masih marah?" Zion berujar pelan.

Linzy membuang muka. Ini bukan karena marah. Dia lagi di mode malas berurusan dengan orang lain setelah masalah yang menimpanya seharian ini. Jujur, Linzy memang sedikit kesal pada Zion. Alasannya? Ya ... karena kejadian di taman itu.

"Ngomong dong, Zi. Jangan marah-lah sama gue. Gak enak nih!"

"Kalo gak enak gak usah dimakan!" ketusnya.

Yang cowok tersenyum lebih lebar. "Jangan galak-galak gitu, jadi gemes lo-nya."

Linzy memelotot. "Gak usah gombal lo buaya! Pergi sana!"

"Gak ada ya buaya ganteng kayak gue." Zion malah narsis.

Linzy menghirup napas panjang. Menurunkan tangan dari pelipisnya. "Yon ..." nadanya lelah. "Mending lo ke kelas. Lo ngehalangin tiang benderanya kalo berdiri di depan gue!"

"Sengaja emang," Lalu melangkah maju dan sepenuhnya menghalangi wajah Linzy dari terpaan sinar matahari. "Supaya lo gak kepanasan!"

Itu kalimat sederhana. Lalu kenapa jantungnya merespon begitu lebay. Bergerak gila-gilaan. Bahkan bukan lagi matahari yang membuat wajahnya kepanasan. Namun, justru Zion dengan kalimatnya.

Linzy mendorong Zion untuk sedikit menjauh dan sia-sia saja akhirnya. "Plis Yon balik sana!"

Zion menggeleng. "Lo dihukum gara-gara gue, seenggaknya di sini gue bisa berdiri nemenin lo dan bonusnya lo gak kepanasan lagi."

Linzy kehilangan kata. Ditambah si cowok mengusap keningnya kemudian. Yang direspon jantungnya dengan degupan kencang. Ini ... ini sebenernya jantungnya kenapa?

"Lo dihukum. Gue juga harus dihukum, jadinya lo gak sendirian lagi di lapangan. Kan kalo lo pingsan tiba-tiba ada gue yang nolongin." Cowok itu tertawa.

Cukup! Linzy tidak ingin berlama-lama mendengar ucapan buaya ini. Dia hampir melambung terbang dan jika tak mau dijatuhkan tiba-tiba lebih baik dia menghentikan Zion sekarang juga.

"Gue gak akan pingsan! Pergi aja lo sana!"

"Cih ..." Pipi Zion menggembung. Lucu. Oke salah ... hapus kata lucu tadi. Otaknya salah ucap. "Susah banget sih lo dibujuknya. Ayolah, Zi. Gak seru kalo lo ngambek gini."

Jujur, Linzy agak aneh oleh nada memohon Zion. Seolah mereka sepasang kekasih yang tengah bertengkar. Zion memohon maaf padanya karena kesalahan yang diperbuat agar Linzy memaafkan dan berhenti ngambek pada ...

Jangan dilanjutkan Linzy. Itu tidak baik untuk kerja jantungnya. Semua ini salah panasnya pagi, mendadak sel otaknya jadi error untuk memikirkan yang tidak-tidak.

Linzy diam yang Zion artikan kalau dia masih marah. Cowok itu mengulurkan jari kelingkingnya. "Berhenti ngambeknya. Sori."

"Apa sih kayak anak kecil lo!"

"Lah lo kan emang anak kecil. Lo gak liat muka lo, imut gitu."

Ini sudah cukup. Linzy tak bisa terus menekuk wajahnya dan pura-pura kesal. Kenyataannya Zion cukup handal untuk membuat senyum itu kembali.

"Najis receh banget gombalan lo!" bentaknya sambil tertawa.

"Gitu dong, kan lebih manis jadinya." Jari kelingkingnya masih terulur pada Linzy. "Maafin kan?"

Linzy mendengkus. Walau begitu dia tetap mengaitkan kelingkingnya sambil tersenyum.

Yang cowok ikut tersenyum lebar. Melepaskan lalu mengulurkan botol mineral tadi. "Haus?"

Linzy menerima saja dengan wajah datar. Meski hatinya berseru senang. Dia meneguk isi botol dan mengernyit saat Zion memerhatikan lekat wajahnya.

"Muka lo pucet banget sih?"

"Ini cuma efek matahari aja."

Zion masih menatapnya dan hal itu kembali mengundang degupan jantungnya. Dia menunduk, menghindar kontak mata.

"Sumpah, Zi kalo lo beneran pingsan gue gak kuat gotongnya."

Kepalanya terangkat lagi bersama pelototan. Dia memukul bahu Zion kencang yang cuma tawa menjadi respon.

Hal berikutnya sungguh mengejutkan. Dia tersentak ketika Zion mengambil botol mineral dingin tadi. Lalu mengangkat kedua tangannya untuk diletakan di kedua bahu cowok itu.

Linzy membisu. Apalagi Zion juga melingkarkan sebelah tangan di pinggang Linzy. Sementara tangan satunya menaruh botol dingin itu di kening Linzy dan ... cowok itu ikut meletakan keningnya di botol.

Kening mereka hampir bersentuhan cuma terhalang botol mineral. Jangan tanya jantungnya yang mengayun kencang.

"Kalo lo beneran pingsan nanti, seenggaknya lo bakal jatoh di tangan gue. Iya kan?"

°°°°

Kalau ingin mencari teman yang dianugerahi kebal telinga. Zarlin bisa menjadi kandidatnya. Setidaknya, dia menganggapnya itu keberuntungan. Karena jika tidak, mungkin sekarang kupingnya sudah copot saking lelahnya mendengar mulut cerewet Nara.

Sahabatnya akan lupa segala hal saat bercerita tentang Regha, ketua fotografi sekaligus anak boxing itu. Dia akui, Regha memang cowok idaman yang pasti diincar cewek populer satu sekolah. Jangankan wajah, melihat tubuhnya dari jauh saja, pasti banyak cewek yang ingin memiliki kakak kelasnya itu.

"Lo pegang dada gue deh, Zar." Nara tidak malu apa, menarik tangan Zarlin untuk merasakan detak jantungnya di tengah koridor pinggir lapangan. Sepi memang, tapi kan tetap saja. "Gila sih cuma karena ngeliat dia lagi latihan boxing tadi, jantung gue kayak lagi disko."

"Ra ..." Zarlin menjauh tangannya. "Inget, Kak Regha udah punya pacar. Jangan gitu."

Dia cemberut. "Lo mah! Jangan ingetin itu dulu sih. Gue kan lagi—eh itu kan kak Zion sama Kak Linzy?" Terlupakan begitu saja topik mereka. Saat Nara melihat dua sejoli di lapangan. Zarlin pun melihatnya.

Kedua sosok itu berdiri di sana saling memeluk satu sama lain. Zion dan Linzy tidak benar-benar berpelukan, mereka hanya berdekatan. Cuma ini berdekatan yang memiliki arti lebih dekat. Apalagi kening mereka yang hampir bersentuhan kalau saja tidak ada botol mineral.

"Mereka beneran pacaran ya?"

Zarlin tak menjawab. Ada sesuatu yang sakit di dada. Seperti ditusuk pisau tak kasat mata. Zarlin pernah merasakan sakit ini. Saat dia mendengar hujatan teman kelasnya untuk pertama kali.

Tapi entah kenapa ini lebih sakit. Rasanya sama seperti saat papa memberitahu mama pergi meninggalkan rumah.

Sontak pikirannya kacau. Zarlin langsung berlari meninggalkan Nara. Membiarkan sahabatnya memanggilnya berulang kali.

Toilet selalu menjadi tempat pelariannya. Zarlin menunduk, menatap bayangan di cermin. Dibasuhnya mukanya itu, tapi tak cukup berhasil menghilangkan dadanya yang menyesak.

"Zar ..." Itu Nara yang selalu tahu tempatnya bersembunyi. "Lo nggak pa-pa kan?"°

Buru-buru Zarlin menghapus air mata. "Aku gak apa-apa."

"Lo bohong." Nara memutar tubuh Zarlin untuk menatapnya. "Zar ... jujur lo kenapa?" Sahabatnya meminta penjelasan walau kesimpulan mulai dia temukan. "Lo cemburu? Lo cemburu sama Kak Linzy?"

"Jujur, Ra. Aku juga gak ngerti aku kenapa!" Zarlin frustasi karena dia tak mengerti apa yang terjadi.

"Zar, liat gue," pinta Nara agar Zarlin mengangkat kepalanya yang menunduk. "Kalo lo beneran suka sama kak Zion. Gue bakal bantu."

"Bantu apa?" suara itu serak.

"Gue bakal bantu supaya lo bisa deket sama Kak Zion. Deket bukan sebagai adik kelas dan kakak kelas. Tapi deket yang bener-bener deket.

"Tapi," Zarlin ragu. "Kak Linzy ..."

"Kak Linzy bukan siapa-siapanya Kak Zion. Gue yakin mereka gak pacaran. Dan ini kesempatan lo untuk deket sama Kak Zion."

°°°°

Kembali ke lapangan. Sudah sekian kali, Linzy berusaha menjauhkan tangan Zion dari pinggangnya. "Yon! Lepas! Diliatin orang, nanti malah mereka mikir kita beneran pacaran!"

"Emang kenapa kalo kita dikira pacaran?" Zion mengangkat alis dan justru mengeratkan pelukan. "Lo gak suka?"

"Enggak! Gue gak mau nyari masalah lagi sama mantan-mantan gila lo itu!" Sekali lagi, dia mendorong dan berujung sia-sia. "Yon, lepas ih!"

Linzy mendengkus. Usahanya tak berarti apa-apa. Jelas kalah dengan badan Zion yang lebih kokoh. Dia menyerah dan membiarkan saja.

"Lo gak pa-pa?" Yang cowok mendadak khawatir ketika melihat perempuan di depannya memegang kepala. "Kepala lo pusing?"

Cewek pirang itu tak mengatakan apapun sekadar dengkusan malas yang menjadi respon.

"Minggir, Yon!" ucapnya tak bertenaga.

"Zi ... bibir lo pucet banget." Menuruti permintaan si cewek. Zion melepaskan pelukan dan meletakan air mineral tak dingin lagi itu di tanah. Lalu yang perempuan terhuyung dan berusaha menyeimbangkan diri. Zion tersentak dan memeluk lagi pinggang perempuan.

"Kepala gue pusing." Yang cewek mengaku akhirnya.

"Ya udah. Gak usah dilanjut hukumannya. Tinggal lima menit ini, gak bakal ketauan. Ayo."

"Tanggung. Tinggal lima ... menit," napas yang cewek mulai tak beraturan. Zion makin gelisah melihat Linzy memejamkan mata lalu membukanya. "Yon ..." ucapnya pelan. "Kok muka lo ada dua sih?"

"Ha-ha." Zion tertawa garing. "Ngelawak lo?" Mata yang cewek sudah berkunang-kunang dan setelahnya ... kesadarannya hilang. Yang cowok kaget luar biasa. Beruntung refleksnya langsung berguna, menahan tubuh Linzy.

"Beneran pingsan nih bocah?" Kalau saja orang pingsan itu bisa mendengar. Zion pasti akan dipukul Linzy saat cewek itu sadar.

Yang cowok membenarkan posisi. Meletakan kepala Linzy di tangan kiri lalu menyelipkan tangan kanannya di bawah lutut si cewek untuk Zion bisa mengangkat dan membawanya ke UKS. Bertepatan dengan itu bel istirahat menggema begitu kencangnya, Zion menarik napas panjang.

"Oke, kita jadi pusat perhatian lagi kayaknya, Zi."

Dalam ketenangan dan mengabaikan omongan orang-orang di koridor, Zion membawa Linzy menuju UKS. Tatapan demi tatapan dilewatinya dengan santai sampai akhirnya dia tiba di UKS. Di sana, dia langsung membaringkan Linzy di brankar.

Dia sedikit terpeleset. Hampir menjatuhkan diri tepat di atas Linzy, tapi tangannya refleks menopang. Dia memelotot, melihat tipisnya jarak bibir mereka. Apalagi aroma parfum permen menghunjam penciumannya langsung.

Menyingkir dari sana Zion. Sebelum Linzy bangun dan mendadak jadi macan yang bisa mencakar habis-habisan!

Karena masih ingin waras, Zion menjauh dan berdiri menatap cewek yang memejam di depannya.

Jemarinya bergerak sendiri menyentuh kening perempuan itu dan mengusapnya dengan ibu jari. "Sori. Lo jadi gini karena ..."

Kalimatnya harus terpotong oleh suara debuman pintu yang dibuka kasar. Zion langsung menarik tangan menjauh dan menoleh. Alisnya tertaut sebab yang membuka pintu itu Shena yang berjalan penuh emosi ke arahnya. Di belakang, Retta mengikuti.

Belum cukup dia terkejut tadi, dia tambah bingung ketika Shena menarik tangannya kasar. "Eh ... eh apaan nih?"

Mata Shena menatapnya seolah dia pembunuh yang bisa kapanpun menghilangkan nyawa sahabatnya. "Jauh-jauh lo dari sahabat gue!"

Ini Shena kenapa? Zion jelas kebingungan.

"Shena Kirana, yang jarang ganti celana." Shena memelotot mendenger ledekan itu. "Lo kenapa? Kesurupan?"

"Gak usah berlagak bego lo!" Shena ketus lagi. Retta di sampingnya berusaha menarik cewek itu. "Hari ini dua kali lo buat Linzy sengsara. Pertama, mantan-mantan alay lo itu ngebuat sahabat gue dihukum. Kedua, karena dihukum dia jadi pingsan! Apalagi besok dia harus diskors!"

"Gue tau ini salah gue ..."

"Bagus kalo lo sadar diri!"

"Shen!" Retta terlihat berusaha untuk menenangkan sikap Shena yang kesetanan.

"Lo tau, Yon!" Sayang, Shena sudah hilang akal untuk mendengarkan Retta. "Akar semua permasalahan Linzy tuh karena lo. Lo yang selalu ngebuat Linzy dalam masalah! Kalo lo emang sadar penyebab semua kesialan Linzy itu karena kesalahan lo, mending lo gak usah deket-deket SAHABAT GUE!"

Ini sudah keterlaluan. Retta menarik Shena. "Shen! Gila lo! Apaan sih ngomong kayak gitu."

Retta berusaha menarik Shena keluar UKS. Sementara Zion diam dengan kepalan tangannya tak tertahankan. Perkataan Shena bagai pedang yang tepat menusuk dada. Benar. Shena benar. Linzy selalu terlibat masalah karena semua hal yang dia lakukan.

"Apa sih, Ta!" Shena melepaskan tangan dari Retta. "Lo setuju Linzy sama buaya kayak dia?"

Retta menoleh dengan tatapan bersalah. Zion cuma senyum membalasnya. Berusaha tak peduli oleh perkataan Shena.

"Dengerin gue ya, Yon!" Shena kembali berdiri di depan Zion saat barhasil membebaskan diri dari Retta. "Jauhin Linzy! Gue tau banget sifat lo itu. Lo cuma main-main sama dia. Pas lo bosen, lo buang sahabat gue gitu aja! Lo tuh brengsek!"

"Cukup Shen ini udah kebangetan!" Retta langsung menarik Shena lagi dan cara itu berhasil kali ini membawa perempuan sipit itu keluar UKS.

Mendadak ruang UKS senyap.

Zon menghela napas berat. Shena telah memberikan pukulan telak. Dia tahu ini salahnya. Dia yang masah bodoh selama ini. Membiarkan opini tentang kebrengsekannya sendiri menyebar luas. Bertahun-tahun, dia juga senang oleh semua permainannya.

Lalu jika Zion ingin menghapus noda itu sekarang. Jelas itu tak bisa, nodanya sudah berbekas di kepala orang-orang.

°°°°

Pertama yang Linzy lihat ketika membuka mata adalah Zion yang tengah duduk di kursi sebelahnya.

"Bangun juga lo akhirnya. Gue pikir lo mau nginep di sini sendirian."

Yang perempuan menatap berkeliling. Matanya belum bisa menyesuaikan. Dia mengerjap beberapa kali. "Ini ... dimana?"

"Alam ghaib." Linzy terlalu lemas. Jadinya tak bisa memberikan Zion pukulan karena kalimat asal barusan.

"Oh ... jadi lo tuh setan penunggu alam ghaib-nya?" Cowok berambut acak-acakan itu tak menjawab dan malah membantu Linzy yang kesusahan beringsut bangun untuk duduk.

"Gak ada ya setan mau capek-capek nungguin manusia bangun pingsan lebih dari setengah jam!" ketus yang cowok.

"Gue pingsan selama itu?!" Linzy shock. "Udah istirahat dong?"

"Udahlah, udah bel masuk malah." Zion menjawab santai. Sementara cewek pirang itu terbelalak. Hendak turun dari ranjang dengan terburu-buru tapi sakit di kepalanya mengurungkan niatnya.

"Weh santai," Zion agak kaget. Bergerak cepat, membantu perempuan itu menyandar di bantal yang diletakan dengan posisi tinggi. "Baru bangun pingsan juga lo! Santai aja sih."

Yang cewek tak mengatakan apapun cuma menghela napas berat. Seakan mengerti apa yang perempuan inginkan, Zion duduk di pinggir brankar lalu menyodorkan roti yang dibelinya tadi di kantin sekaligus memberikan sebuah obat.

"Makan, abis itu lo bisa minum obat."

Linzy menerima keduanya dan menatap cowok lama, yang kemudian senyum perlahan tampak di wajah. "Makasih ..." Zion membalas tatapannya. "Makasih karena udah gotong gue ke UKS dan nemenin gue selama gue pingsan tadi. Lo bahkan sampe gak istirahat karena nemenin gue."

Tatapan Linzy terlihat tulus. Lama keduanya saling menatap sebelum Zion membuang muka dengan batuk tiba-tiba. "Cih! Jangan natap gue kayak gitu!"

Linzy mengernyit. "Kenapa emangnya?"

"Enggak," Zion menggeleng. "Gak kenapa-napa."

Setelahnya keduanya diam. Zion mengusap belakang lehernya. Tingkah Zion itu yang membuat Linzy kebingungan. Zion terlihat ... salah tingkah?

"Nanti ..." Zion berdeham. Memutuskan hening itu. "Pas pulang sekolah gue anter lo pulang."

Itu jelas bukan tawaran. Pernyataan yang tak perlu mendapat penolakan dari Linzy.

Sesuai ucapan Zion ketika di UKS. Cowok itu mengantarkannya pulang ke rumah dengan selamat. Ya, hitung-hitung Linzy tak perlu meminta jemput atau memesan mobil online. Tapi, setelah balik dari UKS, Zion itu jadi aneh. Cowok itu selalu menghindari kontak mata dengannya. Suasana juga mendadak jadi canggung.

Entahlah cowok itu kenapa. Linzy malas peduli.

Motor Zion berhenti. Sekejap menghilangkan pikirannya yang berkecamuk.

"Thanks," Setelah turun dari motor. Itu yang Linzy ucapkan. "Mungkin hari ini sama besok kita gak bisa latihan."

Zion menarik napas. "Gue lupa kalo besok lo diskors," tiba-tiba Zion mengangkat senyumnya. "Gimana kalo besok gue bolos. Kita bisa jalan-jalan dan latihan bareng." Sebuah cubitan langsung mendarat di tangan yang cowok.

"Stres lo!" Ide Zion itu gila. "Lo udah bolos seharian ini. Dan masih mau bolos juga?"

"Gue cuma gak enak. Karena masalah tadi pagi, lo harus diskors."

"Gak pa-pa," Diskors memang berat. Tapi Linzy bisa ambil sisi positif. "Seenggaknya gue bisa istirahat di rumah."

Zion mengangguk setuju. "Iya lo harus istirahat, muka lo masih pucet."

Linzy tersenyum kecil. "Hm ... kepala gue emang masih pusing. Udah ya ... lo boleh pulang sekarang."

"Lo ngusir? Lo gak mau ajak gue mampir ke rumah lo bentar?"

Linzy langsung menatap sekitaran rumah. "Nggak. Mending pulang sana! Kalo Mama gue liat lo di sini, abis gue!" Kemudian yang cewek langsung meninggalkan Zion begitu saja. Langkah Linzy yang sudah melewati gerbang, bertepatan dengan suara motor Zion yang melaju pergi.

Keanehan hari ini bukan saja terjadi pada Zion. Setelah membuka pintu, Linzy terheran-heran melihat kedua orang tuanya tengah duduk tenang di ruang tamu.

"Tumben?" Linzy tentu kebingungan melihat kedua orang tuanya tidak bertengkar dan malah terlihat mengobrol. Biasanya mereka tidak bisa tinggal di satu tempat yang sama. "Kalian gak habis nabrak orang terus jadi tobat kan?"

"Jaga mulut kamu Linzy!" Itu bentakan Clara.

Linzy mendengkus. Seharusnya. Iya seharusnya dia senang oleh perubahan ini. Tapi hawa ganjil yang menggantung di sekitar rumah terlalu mudah dia rasakan. Membuat prasangka buruk mulai menghantui pikiran.

"Ada mau Papa sama Mama, omongin sama kamu." Itu penuturan lembut Jeovan.

Benarkan? Hawa tak mengenakan ini semakin menerjangnya.

"Ngomongin apa?" Mungkin saat ini Linzy terlihat masa bodoh dengan tangan terlipat di dada. Padahal dia mulai takut.

Jeovan berdiri dan mendekati Linzy. Memeluknya dan mencium keningnya lama. Di saat ini, Linzy tak bisa lagi menahan kepalan di tangan.

"Ka-kalian mau ngomong apa?" Nada bicaranya mulai gemetar.

"Maafin Papa karena gak bisa jadi ayah yang baik buat Linzy," Perkataan Jeovan terdengar tulus hingga bisa membuat matanya memanas. "Maafin Papa karena udah ngecewain Linzy dan Mama."

Jika maksud Papa adalah meminta maaf untuk kejadian lima tahun lalu. Bukankah itu telah terlambat. Luka itu sudah membekas dan Linzy tak pernah bisa menghilangkan. Dia melepaskan pelukan, menjaga jarak dari papanya. Lalu menatap sosok lelaki di depannya.

"Apa maksud Papa hah?!"

"Kami memutuskan untuk bercerai." Suara dingin mamanya bagai petir yang mengenai tepat di kepala. Linzy kaku bersama waktu yang berhenti melaju. Semuanya beku termasuk napas Linzy yang terenggut.

"Ka-kalian ma-mau pisah?"

Jeovan mengambil kedua tangannya yang gemetar untuk digenggam. Linzy diam karena terlalu shock. "Maaf sayang. Ini yang terbaik. Kita gak bisa tinggal sama-sama disaat semuanya udah hancur. Papa tau, ini kesalahan Papa. Maaf."

Linzy menggeleng. Ini mimpikan?

Tolong beritahu Linzy jika semua ini tak nyata. Tolong bangunkan Linzy dari mimpi buruk ini! Tolong!

Setetes air mata itu meruntuh bersama dadanya yang menyesak. Kepalanya bertambah berat.

Walau dia sering bertanya kenapa Mama-Papanya tidak berpisah saja? Dia tidak ingin ini menjadi kenyataan. Itu hanya pertanyaan karena lelah mendengar pertengkaran. Saat pertanyaan itu keluar, terbesit jika yang diharapkan akan berbanding terbalik dengan keadaan.

Dia masih berharap kalau semuanya akan kembali seperti semula. Keluarganya akan bahagia di masa depan nanti. Dia bisa kembali melihat senyum Mama-Papa saat tengah bercanda. Melemparkan tawa bersama.

Dia menyentak tangan papa. Air matanya melaju tanpa henti. "Kalian egois! KALIAN GAK PERNAH MIKIRAN PERASAAN LINZY! KALIAN CUMA MIKIRIN DIRI KALIAN SENDIRI!"

"Linzy," Clara memanggil. Berdiri hendak mendekat, tapi dihentikan oleh tangan Linzy yang terangkat. "Dengerin Mama ..."

"Gak," Linzy menggeleng. "Ka-kalian jahat ... kalian egois." Dia berjalan mundur ketika papanya hendak meraih tubuhnya. "Linzy benci kalian!" Dia langsung berlari menaiki tangga menuju kamar. Ditutupnya pintu kamarnya dengan kasar.

Linzy menangkup wajah. Menutupi isakan yang begitu parah sebelum kamar mandi menjadi pelariannya. Di depan wastafel, dia menatap bayangan dirinya yang mengenaskan. Cewek di dalam cermin menangis. Meraung. Memukul dadanya berulang kali untuk menghilangkan sesak di dada.

Tapi apa daya ... sesak di dadanya justru kian menjadi. Semuanya nyata terjadi. Harapannya sekali lagi jatuh. Mama-papanya memilih berpisah. Kini giliran Linzy untuk memilih jalan yang mana.

Dia masih ingat masa kecilnya yang indah. Dia masih ingat bagaimana senyumnya yang mengembang mendapatkan pelukan dari mereka. Dia cewek kecil yang manja. Cewek kecil yang bisa mendapatkan apapun kemauannya.

Jangankan meminta, saat kecil mereka selalu tahu keinginannya. Mereka selalu bawa mainan saat pulang kerja. Menggendongnya dengan kelitikan kecil yang diberikan. Setiap malam, Linzy akan datang ke kamar mereka. Tidur di tengah-tengah dan mereka akan memeluknya.

Jika ada mesin waktu, bolehkah Linzy kembali ke masa lalu. Masa bahagianya itu.

Sayang, kenyataan sudah menamparnya. Itu mustahil. Itu mustahil Linzy!

Tabung kesabarannyalenyap tak tersisa. Linzy tak bisa lagi mengendalikan diri. Dia melempari kaca itu dengan benda di sekitar wastafel. Serpihan kaca jatuh mengotori lantai.

Tangisannya makin menggila bersama isakan yang bertambah parah.

Tak berhenti di situ, dia juga memukul sisa kepingan kaca di sana. Tak peduli karena tindakan bodohnya darah mengalir di kepalan tangan.

Bukan saja air mata yang memburamkan pandangan. Pusing di kepala membuat semuanya berbayang. Memegang keran shower, Linzy menahan bobot tubuhnya untuk seimbang. Keran shower menjadi nyala dan setelahnya dia tak bisa lagi menopang diri dan terjatuh di bawah pancuran. Darah makin mengalir di punggung tangan.

Dia pikir masalah hari ini selesai. Nyatanya dia harus melewati pengakhir masalah yang Tuhan berikan. Pengakhir masalah yang dia yakini bisa mengakhiri hidupnya yang hancur ini.

Dan setelahnya semuanya gelap.

  ●●●●●    

Hayooo siapa yang kemaren minta scene manis mereka. Udah baper belom nih? wkwkwkkw

Dan gak enak kalo cuma ada adegannya manis aja. Harus ada paitnya juga kan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro