Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(51) ● Masalah dalam Satu Waktu

Sorry for late update. Sebagai gantinya part ini panjang banget.

Jangan lupa vote dan komen. Aku berterima kasih banget, itu berarti kalian sayang cerita ini.

°°°

INI Linzy. Cewek yang kapan saja bisa mengeluarkan taringnya. Apalagi saat disudutkan dan berusaha dijatuhkan. Jangan cari masalah dengannya, jika tidak mau berujung dikalahkan dan dipermalukan depan umum.

Laras, Kia, dan Cindy salah mencari lawan. Kalau mereka memang hendak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Maka mereka juga harus siap untuk akhir yang mengenaskan.

Setelah terkejut beberapa saat pada foto—yang entah dari mana didapatkan, pastinya dia sudah tahu dalangnya. Salah satu di antara mereka, tentu saja—Linzy kembali menatap ketiganya. Bersikap santai seolah foto yang dipotret diam-diam itu tak berarti apa-apa.

"Lo bertiga tolol ya?" Itu cuma kalimat pertama sebelum bertempur. "Cuma karena gue keluar dari apart Zion, lo bertiga mikir yang enggak-enggak? Oh God ... cetek banget otak kalian kayak otak bebek."

Cindy sedikit terpancing. Beda dengan Laras yang tenang. "Terus lo ngapain di apart Zion sampe pulang malem gitu? Ayolah siapa sih yang nggak mikir aneh-aneh. Kalo gak percaya tanya aja sama yang lain, pasti mereka sependapat sama gue."

Linzy berdecak. "Sedih banget sih jadi lo. Kurang belaian lo ya sampe mikir begitu?" Senyum miring terangkat saat dilihatnya Laras tersulut. "Omongan gue bener kan? Mending lo mangkal di pinggir jalan sana, cari om-om kaya. Kan lumayan tuh, lo bisa dapet uang sekaligus belaian."

Laras maju selangkah. Berniat melakukan sesuatu yang langsung ditahan Kia. "Jangan, La. Dia cuma mancing supaya kita kalah."

"Mancing?" Linzy mengernyit. Berlagak bodoh. "Jujur aja sih, gue benci mancing. Mancing ikan aja males. Apalagi mancing keributan. Sori aja itu bukan gue."

"Lo gak punya malu ya?" Cindy angkat suara dengan nada mengejek. "Lo ketauan ngerusak hubungan gue. Terus masih berlagak bego. Otak lo dimana hah?!"

"Otak gue dimana? Seriously lo nanya itu?" rautnya menantang. "Pelajaran biologi lo berapa hah? Biar gue tebak ... pasti gak lebih dari dua. Iya kan?"

Napas Cindy belarian cepat. Seakan emosinya telah memuncak hingga tak bisa dikendalikan. "BITCH!" Dia mencengkeram kerah seragam Linzy.

Drama ini makin seru. Anak lain terlihat diam sambil menonton. Tidak ada di antara mereka yang ingin memisahkan. Bahkan Jessy bersama genk-nya memanas-manasi suasana. "Lanjutkan my ladies."

"Singkirin tangan lo," Linzy masih tenang, menjauhkan jemari Cindy dari kerahnya. "Gue gak mau seragam gue kotor karena tangan lo!"

Cindy menatap Linzy tepat di iris kelabunya. Mata mereka bertemu. Berkobar bagai api. Berlomba-lomba untuk jadi pemenang.

"Mulut lo pedes banget sih, Zi. Kayak cabe-cabean yang mangkal di jalan." Cindy senyum mengejek. Mengusap pipinya yang dia tepis langsung. "Lo gak pernah diajarin sopan santun ya?"

"Atau emang orang tua lo gak pernah ngajarin sopan santun?" Tabung kesabaran Linzy sudah berkurang drastis sekarang. "Mama lo pasti mirip lo kan? Sukanya ngerebut punya orang!"

Detik berikutnya. Waktu seakan terdiam saat suara tamparan menggema begitu memekakan. Tabung kesabarannya sudah habis total.

Linzy paling tidak bisa mendengar orang tuanya dibawa-bawa dalam masalahnya. Jika Cindy melakukan itu berarti dia benar-benar siap untuk berperang dengannya.

Kia dan Laras shock seperti anak lain. Apalagi Cindy yang kini memegang pipinya yang memerah.

"Lo bisa ngatain dan jatuhin gue sepuas lo," desisnya kejam "Tapi jangan bawa-bawa orang tua gue," Tangannya bergerak menjumput beberapa helai rambut Cindy. Kedua temannya memelotot. "Kalo lo nanya sekarang, apa gue takut rontokkin rambut lo. Jawabannya enggak! Bahkan gue siap buat masuk BK!"

Dia menjumput rambut Cindy kian kencang. Cindy merintih berusaha menjauhkan tangan Linzy. Sayangnya, dia sudah hilang kendali. "Lo kurang ajar. Gue bisa lebih kurang ajar!"

°°°°

Cewek pencinta buku paling tidak bisa diganggu saat tengah serius bersama kecintaannya. Termasuk Zarlin. Dia yang tengah asik membaca novel yang baru dibelinya kemarin harus terganggu oleh gebrakan di meja.

Zarlin menatap sebal sang pelaku yang tak lain adalah sahabatnya sendiri.

"Apa?"

Nara mengangkat tangan. Meminta ruang untuk mengambil napas banyak-banyak karena berlari dari ujung koridor.

"Ikut gue, Zar!" ajaknya dengan napas yang masih tak beraturan.

"Kemana?" Zarlin menutup novelnya. Dimasukkan ke laci meja.

"Di mading deket tangga," buat kali ini, Nara sudah bisa bernapas normal. "Kak Linzy ... sama Kak Cindy berantem."

Zarlin sesaat mengernyit. Penasaran oleh berita tak terduga itu. Namun, ini bukan urusannya kan?

"Terus kenapa aku harus ikut kamu?"

Nara tampak kesal. "Masalahnya lo juga ikut keseret!"

"Hah?" Zarlin bingung. "Aku? Ke ..."

"Udah ah, banyak nanya lo!" Nara langsung menarik Zarlin keluar kelas.

Di mading dekat tangga, kerumunan melingkar padat. Alis Zarlin tertaut. Membiarkan tangannya ditarik Nara yang sibuk mendorong orang-orang untuk memberinya ruang.

Saat keduanya telah membelah kerumunan dan berhenti di tengah-tengah, dia bisa melihat hal yang menjadi tontonan orang-orang kurang kerjaan ini. Di sana suasana panas tercipta. Antara Cindy dan Linzy. Ini jelas tak seimbang. Cindy punya dua penjaga. Sementara Linzy, dia cuma seorang diri.

"Kenapa gak ada yang misahin mereka?"

"Lo tau kalo anak-anak sekolah tuh otaknya kurang vitamin. Drama kayak gini tontonan mereka. Kalo mereka misahin dramanya berhenti, gak seru lagi jadinya."

"Termasuk kamu?" sindirnya, yang cuma direspon kekehan Nara.

"Singkirin tangan lo," itu Linzy yang menjauhkan jemari Cindy dari kerahnya. "Gue gak mau seragam gue kotor karena tangan lo!"

"WOAH!" Nara bertepuk tangan heboh. Beda dengan Zarlin speechlees luar biasa. "Gila! Gila! Kak Linzy tuh emang ... debes. Lo denger kata-katanya, beuhh nusuk abis!"

Zarlin setuju oleh perkataan Nara. Untuk mendeskripsikan bagaimana seorang Linzy, dia tak bisa. Namun, satu hal. Zarlin kagum pada kakak kelasnya itu. Dia pemberani. Dia bisa jutek sekaligus ramah di waktu berbeda. Dia terlihat galak tapi tampak manis di waktu yang sama.

"Jujur, ya Zar. Gue tuh kagum sama dia—eh ini bukan karena dia itu sepupunya kak Regha ya." Nara cepat-cepat menambahkan. Takut ada salah paham. "Gimana ya gue jelasinnya. Pokoknya dia tuh kayak punya aura beda. Dia jutek tapi sekali senyum, astaga manis banget! Dia juga berani, nggak peduli sama omongan orang."

Zarlin menunduk. Kalimat Nara bagai sindiran. Sebab kalimat itu berbanding terbalik dengan kepribadiannya.

Linzy arti dari kata sempurna. Walau di dunia ini memang tidak ada makhluk sempurna. Itu hanya menurutnya. Hanya kesimpulan yang membuatnya merasa di bawah.

"Dia cantik." Itu pujian jujur Zarlin.

"Banget," Nara mengangguk. "Lo liat aja kakinya. Panjang banget kan? Tipe-tipe kaki model gitu."

Waktu untuk berkagum-kagum ria harus dihentikan. Nara berseru kaget. Pun Zarlin. Saat bunyi tamparan terdengar mendengung di telinga.

"Lo bisa ngatain dan jatuhin gue sepuas lo," suara Linzy terdengar kejam. "Tapi jangan bawa-bawa orang tua gue," tangannya bergerak menjumput beberapa helai rambut Cindy.

Dia dan Nara memelotot.

"Kalo lo nanya sekarang, apa gue takut rontokkin rambut lo. Jawabannya enggak! Bahkan gue siap buat masuk BK!"

Dia terlihat menjumput rambut Cindy begitu kuat. "Lo kurang ajar. Gue bisa lebih kurang ajar!"

Nara melongo luar biasa. Makin terkagum-kagum di kalimat akhir kakak kelasnya. Zarlin pun merasakan hal yang sama. Walau tak selebay sahabatnya.

Cindy tak terima dipermalukan. Dia mendorong Linzy sekaligus membuat jumputan itu menjauh. Seperti anak lain yang makin dibuat shock, Zarlin dan Nara juga begitu. Apalagi saat Cindy menjambak rambut Linzy. Yang juga dibalas kakak kelas cantiknya itu.

"Ra ... pisahin dong mereka!" Zarlin mau menolong. Namun, tak tahu harus melakukan apa.

"Lo tau gak sih, Zar." Tampang Nara sudah seperti orang bodoh. "Gue kayak lagi nonton dramkor. Lo ingat dramkor apa yang ada adegan jambak-jambakan kaya gini?"

"Zi!" itu teriakan Retta yang membelah kerumunan bersama temannya satu lagi.

"Itu Kak Retta, pacar Kak Regha." Nara berbisik pelan. "Satunya lagi namanya Kak Shena."

"Zi, udah!" Retta berusaha memisahkan yang hanya sia-sia. "Zi, kalo guru tau, lo bisa dihukum atau yang lebih parah lo bisa diskors!"

"Gue gak peduli!" Linzy malahan mendorong Cindy hingga membentur tembok. "Nggak pa-pa gue masuk BK. Asalkan gue bisa rontokkin rambut si slut ini!"

"Woy!" Shena berteriak pada semua orang. Lebih utama pada kedua temannya Cindy. "Bantu pisahin. Lo semua gak punya otak atau apa hah?! Ini bukan sinetron yang bisa ditonton sepuas lo!" Dan mereka semua tetap tak bergerak. "Regha kemana sih, Ta?!"

Retta menggeleng. "Gue gak tau," lalu beralih lagi pada Linzy dan berusaha menarik cewek itu. "Zi, lepas! Jangan ngikutin emosi lo!"

"Nih cewek jalang bawa-bawa nama orang tua gue, Ta!"

"Sumpah, Ra bantuin kak Linzy dong." Zarlin ikut menggigit bibir. Kebiasaan yang sering dilakukan saat melihat keributan.

"Berhenti, Zi." Mendadak semua orang diam. Termasuk Nara dan Zarlin.

"Kak Zion?"

°°°°

Bagai kesatria yang datang tanpa diduga. Zion tiba-tiba menelusup di kerumunan dan menghentikan keributan yang terjadi. Gaya Zion tak seperti pahlawan bertopeng atau berjubah. Dia cuma datang dengan seragam sekolah dan tas tersandang di sebelah bahu.

Namun, satu kerumunan seolah hilang fokus saat cowok itu menarik pelan Linzy dari rambut Cindy. Seperti yang lain yang mendadak bisu, Linzy pun begitu. Bahkan Cindy dan kedua dayang-dayangnya shock.

Zion menarik Linzy untuk berdiri di belakang tubuhnya setelah berkata, "Gak usah dilanjutin kalo lo gak mau ikutan gila."

Semunya masih hening. Cindy terlalu kaget sampai tak bisa mengeluarkan kalimat sedikit pun. Namun, suasana terlihat makin mencekam saat Zion menarik kaca mading dan mengeluarkan foto-foto dia bersama Linzy di sana. Sekejap foto itu menjadi serpihan saat Zion merobeknya tepat di depan Cindy.

"Gue harus bilang berapa kali Cin, kita putus karena sikap childish lo. Berhenti bersikap seolah hubungan kita rusak karena orang ketiga. Pertama lo salahin adek kelas," Zion maju selangkah dan menunduk tepat di depan wajah Cindy. Yang menciutkan nyalinya begitu saja. "Dan sekarang ... Linzy?"

Karena Cindy bungkam, Laras menggantikannya menjadi juru bicara. "Itu cuma alasan gak masuk akal lo, Yon! Bilang aja lo bosen dan Linzy target main-main lo selanjutnya," Laras lalu mengubah rautnya seolah tersadar dan tersenyum angkuh.

"Atau mungkin, lo yang nawarin diri, Zi? Lo pura-pura benci Zion, supaya lo makin deket sama dia. Right?"

Jujur, jemarinya sudah gatal ingin memberi pukulan tepat di wajah Laras. Namun, genggaman Zion yang menguat, mengurungkan niatnya.

"La," Zion senyum. "Mau sampe kapan sih, lo manas-manasin Cindy?" Kalimat ini yang membisukan Laras begitu saja. "Berhenti peduli sama Cindy kalo sebenarnya hati lo nggak peduli. Lo dendam ke gue sama Cindy karena kejadian main belakang itu kan?"

Cowok itu berdecih geli. "Aksi bales dendam lo itu murahan tau gak sih, La." Dari raut wajah, Linzy tahu kalau Laras hampir kalah. Wajahnya memerah menahan kesal dan malu. "Lo sengaja manas-manasin Cindy supaya dia berpikir gue mutusin dia karena orang lain. Apalagi lo sengaja ngasih umpan biar Linzy jadi tersangka."

"LO GAK TAU APAPUN TENTANG ..."

"Cin ..." Laras menelan kembali kekesalan saat Zion melangkah mendekat pada Cindy. "Gue tau lo gak tolol untuk ngebedain mana bener-bener temen dan mana musuh dibalik kata temen. Bener kan?"

"Lo gak usah buat dua temen gue jadi berantem ya, Yon!" Kia tak terima.

Cuma senyum yang menjadi balasan Zion. Dia menarik Linzy—yang membisu sejak tadi—hendak membelah kerumunan. Tapi secara tiba-tiba menghentikan langkah dan menoleh lagi. "Dan satu lagi. Kalo pun gue sama Linzy jadian, itu bukan urusan kalian kan? Secara lo berdua cuma mantan!" Lalu Zion berlalu meninggalkan kerumunan yang berseru kecewa lalu pergi satu persatu.

Zion dan Linzy menjauh dari tempat kekacauan. Di saat ini, dia ingin bertanya apa maksud perkataan Zion tadi. Namun, seharusnya dia tahu masalah belum lelah mengejarnya.

"Panggilan untuk Linzy dan Cindy ke ruang BK. Temui Bu Ressa sekarang." Suara speaker menggema di seantero sekolah.

Linzy menarik napas lelah.

"Tenang aja, gue temenin." Itu suara Zion yang berhasil menenangkannya.

°°°°

Ternyata ada yang mengadukan kekacauan itu pada Bu Ressa, guru konseling mereka. Jujur selama dua tahun bersekolah di sini, ruang BK adalah ruangan terlarang untuknya. Dia ke ruangan BK hanya untuk mematuhi peraturan berkala setiap bulan untuk menceritakan masalah per-orang selama bersekolah.

Dan Ini pertama kali Linzy menginjak kaki di ruangan sebagai pelanggar peraturan.

Dengan gaya angkuh, Cindy duduk di sebelahnya. Bersama-sama mendengarkan petuah panjang Bu Ressa. Untungnya hari ini yang bertugas bukan Bu Eti, yang terkenal keganasannya saat memberi ceramah.

Bu Ressa bertutur lembut. Pelan-pelan menjelaskan kesalahan fatal yang sudah mereka lakukan. Yang membuat Bu Ressa benar-benar kecewa adalah mereka melakukan drama itu di lorong kelas sepuluh. Mempertontonkan hal buruk pada adik kelas mereka yang masih membutuhkan bimbingan kakak kelasnya.

Itu contoh buruk yang tak seharusnya mereka lakukan.

Pertama Bu Ressa berbicara pada Cindy.

"Cindy, ini bukan kali pertama kamu melanggar. Dari awal kelas tujuh, kamu bersama teman-teman kamu gak pernah tertib peraturan. Liat baju kamu, udah harus berapa kali ibu bilang, untuk ganti seragam ketat kamu itu!"

Bu Ressa terlihat gregetan. Apalagi Linzy yang muak melihat bagaimana ketatnya seragam Cindy. Yang lebih parahnya lagi rok kependekan yang memperlihatkan pahanya kemana-mana.

Dia bilang Linzy tak punya sopan santun! Nyatanya dia yang tak punya adab! Lihatlah, kalimat Bu Ressa cuma dianggapnya angin. Dia malah meniup-niup kutek di kelima jarinya. Berlagak sok cuma karena dia anak salah satu donator. Cih! Kalau lupa Linzy pun anak donatur di sekolah.

Kedua, tatapan Bu Ressa jatuh padanya. "Ibu gak nyangka kamu bisa melanggar peraturan Linzy. Kamu selalu gak peduli kekacauan, gossip, bahkan omongan orang. Ibu kenal kamu sebagai murid baik," Bu Ressa menarik napas panjang. "Wali kelas kamu tau soal ini, Ibu harap kamu gak akan lagi mengecewakan Bu Santi."

Linzy pikir masalah selesai sampai situ. Nyatanya harapannya kandas saat Bu Ressa memutuskan memberikan mereka hukuman skors satu hari. Dimulai besok. Untuk hari ini, Cindy disuruh membersihkan seluruh toilet perempuan. Sementara Linzy disuruh berdiri di depan tiang bendera sampai jam istirahat.

Bu Ressa memang terkenal baik. Namun, dia selalu punya kejutan di akhirnya.

Pintu terketuk dari luar. Bu Ressa menyuruh siapapun itu untuk masuk dan ... Linzy terbelalak shock luar biasa. Clara, sang mama berdiri di sana.

Ketika sesi pelajaran tadi selesai. Clara menariknya ke koridor kosong, membiarkan seorang cowok memanggil-manggil anaknya.

"Kamu mau buat Mama malu hah?!" Ternyata Tuhan belum cukup mengujinya. Masalah sekali lagi datang tanpa diduga. "Buat apa kamu bikin drama jambak-jambakan di sekolah? Supaya kamu terkenal, populer di sekolah. Iya?"

Jika menghitung tabung emosinya. Isinya sudah kosong. Membuat Linzy harus mengepalkan tangan kuat. "Apa harus dengan cara ini supaya Mama mau datang ke sekolah? APA HARUS LINZY MELANGGAR PERATURAN DULU SUPAYA MAMA PEDULI?!"

Clara membisu.

"Selama lima tahun Mama gak pernah datang ke sekolah! Mama gak pernah ngambil raport Linzy!" Emosinya tak terkendali. Mengalir dalam bentuk air mata. "Dan sekarang cuma karena Mama takut nama keluarga tercoreng, Mama datang ke sekolah dan marahin Linzy?!"

Air mata Linzy tak berarti apapun untuk mamanya. "Cukup Papa yang buat Mama kecewa. Mama gak pernah berharap kamu ngecewain Mama kayak sekarang!"

Perkataan itu adalah pukulan telak untuknya. "Apa Mama tau kenapa Linzy membuat keributan tadi? Apa Mama tau alasan kenapa Linzy ngejambak cewek itu?!" Air matanya tak berhenti mengalir. "Karena Mama! Karena dia ngehina Mama!"

Kalimat itu menjadi akhir. Linzy langsung berlari menjauhi mamanya yang kaku di tempat. Dia berbelok ke lorong kanan dan ... tubuhnya menabrak dada seseorang.

Dia mendongak. Itu ... Lian yang menatapnya bingung. Karena masalah panjang yang menimpanya seharian ini. Dia tak bisa mengendalikan diri saat memeluk Lian begitu saja.

°°°°

Jejak Linzy hilang. Zion mencari cewek itu selama setengah jam dan bel masuk sudah berbunyi lima menit yang lalu.

Di koridor bawah dan atas, tidak ada. Ke kantin tidak ada. Di kelas jangan ditanya, cuma ada anak kelas yang tengah gabut menunggu guru selesai rapat.

Dan daftar pencarian Zion yang belum tercoret hanya taman baru dekat kantin.

Dia berjalan ke sana. Sekat pembatas kantin dan taman otomatis terbuka. Pemandangan hijau menghias, membahagiakan mata. Rerumputan yang membentang, menjadi pijakan. Kemudian langkah Zion berhenti di salah satu pohon dan melihat Linzy dan Lian yang tengah duduk di kursi taman.

Yang membuat fokus Zion hilang adalah rangkulan Lian di bahu Linzy. Namun, setidaknya air mata cewek itu lebih membuat akalnya hilang.

"Bel udah masuk kali. Gak denger lo berdua?!" ketus Zion setelah berdiri di depan mereka. Lian menjauhkan tangannya dari bahu Linzy dan yang cewek mengusap air mata sebelum mendongak menatapnya.

Kaku untuk sesaat. Pandangan Zion terjatuh oleh mata perempuan itu yang memerah.

Zion berdeham. Berusaha terlihat biasa cuma karena kesedihan si cewek. "Lo mau ngapain di tempat sepi kayak gini? Berduaan lagi!" Untuk kata akhir, kekesalan Zion terlalu mencolok.

"Emangnya itu jadi urusan lo?" Lian menaikkan alis. "Gue cuma lagi nenangin dia yang nangis. Itu salah? Nggak kan?"

Zion mendadak diam. Karena dia tak memiliki hak apapun untuk melarang.

Lian berdiri. Merapihkan seragam dan berhadapan dengan Zion. Tatapan mereka melempar satu sama lain. "Kenapa ... lo marah?"

Zion memilih tak menjawab. "Mending lo pergi. Gue mau ngobrol sama Linzy."

"Ngobrol aja. Kenapa gue harus pergi?" Lian senyum.

Zion mengepalkan tangan kuat. "Gue mau ngomong berdua! Bukan bertiga!"

Membaca apa yang ada dipikiran Lian itu sulit. Senyum Lian makin melebar. Dia mengangguk dan pamit pada Linzy, mengusap kepalanya.

"Lo kasar banget sih sama Lian!" Itu omelan Linzy setelah Lian pergi. "Dia udah baik ngehibur gue tadi! Lo bilang bakal nemenin gue. Mana? Kenyataannya enggak! Pas Mama bawa gue pergi lo cuma manggil-manggil, seharusnya lo nahan!"

"Gue pikir lo butuh waktu buat ngobrol sama Mama lo!"

Linzy berdiri. Air matanya sudah tak bersisa. Cuma emosi yang tersulut di sana. "Ngobrol?" Yang cewek tertawa pahit. "Gue kira lo udah paham kacaunya keluarga gue!"

"Kalo gue nahan lo tadi, jelas gue salah. Lo harus selesain masalah lo sama Mama lo!" Zion ikutan kesal. "Apa lo tau gue muterin satu sekolah buat nyari lo doang?!"

Beberapa saat Linzy diam. Sebelum mengangkat senyum miris. "Apa lo tau kenapa gue nangis?" Kali ini Zion yang mendadak diam apalagi mata cewek yang kembali berlinang. "Lo gak tau kan? Terus buat apa lo peduli!"

Itu kalimat terakhir. Setelahnya Linzy pergi.

Memandang punggung Linzy yang menjauh. Zion mengacak-acak rambutnya. Kekacauan di sekolah telah usai. Dan kini malah pikirannya yang mendadak kacau.

    ●●●●●   

Yah Linzy :(  Zion-nya masa ditinggal. 

To you guys, gimana part ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro