FF(50) ● Debaran Pertama
Wohooo udah part 50 aja. Mm ... cepet ya. Gak nyangka aku wkwkkw.
Vote dan komen jangan lupa oke? luuv youuu :*
°°°
SORE ini jalanan cukup padat. Kendaraan berbaris rapat. Begitu menyesakkan karena kendaraan jadi berjalan lambat. Beruntung Zion membawa motor. Dia bisa menyalip di celah sana sini. Disaat ada untung pasti ada rugi. Linzy yang merasa dirugikan karena jantungnya harus jadi korban laju kencang Zion membawa motornya.
Pertama-tama sebelum ke apartemen Zion. Mereka mampir lebih dulu ke minimarket untuk membeli jajanan enak yang bisa dimakan saat nonton. Snack itu surga bagi pecinta movie marathon di rumah. Linzy salah satunya.
Di ruang tamu, Linzy sibuk mengetik di laptop mencari resensi film yang bagus untuk mereka tonton. Sementara Zion yang sibuk membuat popcorn. Bukankah tugas mereka terbalik?
Tapi siapa yang peduli oleh hal itu.
Zion telah selesai pada popcorn-nya. Mendarat di samping Linzy. Tepat di sofa yang bisa dibuat layaknya tempat tidur. Itu yang membuat nyaman, karena mereka bisa menjulurkan kaki sambil menyandar. "Udah ketemu belom sih?"
Linzy menggeleng saja, matanya terlalu fokus pada laptop.
Zion meletakkan popcorn di meja dan mengambil ponselnya yang tergeletak di sana juga. "Coba tanya Justin."
"Emang Justin suka film horror?" Mau tak mau Linzy menoleh kali ini.
"Enggak," Ini yang bego siapa? "Kakaknya yang suka." Zion menambahkan saat dilihatnya Linzy siap meledek kesal.
Linzy bergumam mengerti lalu teringat sesuatu. "Oh ya gue baru inget. Kita seharian ke rumah itu terus sekarang main di apart lo. Bukannya lo kerja di kafe ya hari ini?"
"Gue kerja nyantai kali. Kalo dateng ya dapet duit kalo enggak ya nggak dapet."
"Oh ..." Linzy paham. Lalu bertanya. "Justin udah bales belom?"
"Belom. Anjir nih orang kemana dah?!" Zion kesal karena si anaknya Pak Robert tak kunjung membalas.
"Shutter aja gimana?" Linzy menyarankan film yang sudah kebanyakan orang tonton. Termasuk dirinya sendiri yang sudah nonton berkali-kali.
"Versi mana nih? Inggris atau Thailand?"
"Thailand-lah."
"Ogah ah, gue udah sering nonton. Udah lebih sepuluh kali." Zion menjawab dengan fokus pada layar ponsel.
"Kalo inggrisnya?"
"Yang versi baratnya kurang serem," kemudian menoleh. "Emang lo belom nonton?"
Linzy menyengir. "Udah," Yang dibalas Zion dengan decihan saja. "Lagian lama banget kalo nungguin Titin!"
"Orphan gimana?" Saran Zion langsung Linzy hadiahi pukulan pelan di bahu.
"Itu film psikopat! Gak mau gue!"
Detik berlalu. Lima menit berjalan dan tak kunjung mendapat balasan. Linzy mendengkus lalu mengambil snack yang dibelinya. Ada baiknya dia makan lebih dulu dibanding dia menunggu dalam keheningan.
"Nahkan si setan akhirnya bales!" Entah Zion tengah senang atau gatal mau mengumpati Justin. Tapi sepertinya lebih dominan kata awal, dilihat bagaimana ekspresinya yang sudah layaknya mendapat hadiah lotre.
"Dia ngasih tau judul film apa?"
"Evil Dead 2013." Zion antusias. "Nonton ini aja."
"Bentar," perasaan Linzy tidak enak. "Itu bukannya film sadis ya?" Kesimpulan itu keluar begitu saja. Judul yang cowok sebutkan terasa familiar walau dia belum pernah menontonnya.
"Coba aja dulu." Linzy masih ragu. Beda dengan Zion yang sudah mengetik judul di layar laptop sebelum dihubungkan di televisi plasma depan mereka.
Yang cowok siap-siap sambil mengambil popcorn. Mencari duduk yang nyaman setelahnya menyandarkan kepala dan memberikan tempat popcorn satu lagi buat perempuan sampingnya. Linzy mengambilnya lalu mengeluarkan beberapa minum kemasan dan diletakan di meja.
Seperti yang cowok, Linzy ikut menyandar di kepala sofa dan menjulurkan kaki. "Ini film remake dari The Evil Dead 1981 itu bukan sih?"
"Kayaknya sih iya. Bagus malah gue belom nonton."
"Yon ..." Linzy mendadak takut. Ini bukan dirinya yang biasanya. Dia pencinta horror. Namun, jika banyak adegan sadis dan pembunuhannya, dia akan ketakutan saat menonton. "Film yang pertamanya aja banyak yang bilang sadis, apalagi remake-nya."
"Nah maka itu gue penasaran," Zion malah santai. "Tonton aja sih dulu."
Mengikuti apa yang Zion katakan, Linzy mencoba biasa. Duduk dan menatap layar televisi. Berdoa dalam hati. Semoga saja tidak ada adegan yang tak diharapkan.
Adegan pertama cuma hal biasa. Rumah tua dan orang-orangnya yang menemukan buku devil. Lalu belum di bagian tengah Linzy sudah berjengit kaget sampai menumpahkan popcornnya. Doa-nya tak terkabul.
Dia tak tahu apapun yang terjadi. Dia bergerak menenggelamkan kepala di bahu Zion. Itu refleks karena kini layar dipenuhi darah.
"Yon ganti!" Linzy merengek. Memeluk leher cowok makin erat. "Sadis banget filmnya!"
"Ini malah lagi seru, Zi." Cowok yang dipeluk justru tak peduli oleh adegan sadis di depannya sambil memakan popcorn dan biasa saja oleh darah di layar.
Dia makin merengek. "Gue gak bakalan bisa tidur, nonton itu! Ganti aja!"
Linzy sepertinya lupa, Zion itu kepala batu, dia tak menggubris. Cuma mengusap kepala bagian belakangnya.
"Yon!" Linzy hampir menangis. Mendengar teriakan dari layar dia ikut berteriak. Yang cowok bahkan ikut berjengit sebelum akhirnya tertawa karena kebodohannya sendiri. "Sumpah mending setannya serem dibanding pembunuhan gini. Film Mama aja deh. Film Mama!" rengeknya.
"Gue udah sering nonton itu mah."
"Ya udah ini aja," Linzy bergumam lama. Mengingat-ingat rekomendasi film horror dari Shena. "Film ... film—apa ya?"
"Apa?" Zion menunggu.
"Ah ya ... before I wake."
Zion mengernyit. "Kayak film romantis."
"Bukan!" Linzy memukul kepala belakang Zion yang membuat cowok mengumpat sakit. "Udah cepetan ganti!" Saat merasakan Zion masih diam saja, Linzy berseru lagi. "Malah diam. Cepetan!"
Napas Zion menerpa belakang telinga Linzy saat mendekat. Dan entah kenapa dia bisa merasakan senyum Zion saat berkata ini, "Gimana gue bisa bangun kalo lo meluk gue kayak gini?" bisiknya tepat di telinga.
Sontak dia langsung menjauh dan mengambil bantal untuk menutupi pandangannya dari layar sekaligus pipinya yang merona. Yang cowok tergelak melihatnya.
°°°°
Jika dihitung berapa kali Zion menguap dengan dramatis. Mungkin kedua tangannya tak cukup untuk menghitung. Selama film kedua yang ditayangkan, Zion cuma menatap layar malas. Dan yang lebih menyebalkannya adalah ucapan yang itu-itu lagi!
"Nih film bikin gue ngantuk njir!"
Linzy jenuh lama-lama. Dia memelotot pada cowok di sampingnya yang tengah menikmati popcorn di tangan.
"Lo bisa diam gak sih! Rasanya mau gue sumpel tuh mulut pake bungkusan chiki!"
Yang cowok mendengkus mendengar omelan Linzy. "Gak seru nih film. Setannya gak serem. Apaan dah setan bentuknya kupu-kupu gitu!"
Dia mencubit pinggang Zion karena tak tahan. "Lo tau gak? Serunya film horror tuh bukan karena setannya serem atau adegannya yang sadis-sadis. Tapi gimana jalan ceritanya, terus latar belakangnya, sama terakhirnya kisah dibaliknya. Itu yang buat film seru! Ngerti?!"
"Wow!" Ekspresi kagum pura-pura Zion ingin sekali Linzy lempar pakai bantal.
"Tau ah!" Linzy menatap layar lagi dan memilih memakan popcorn-nya. "Lo nggak akan ngerti!"
Dari sudut mata, dia melihat Zion yang meletakan bungkus popcorn di meja. Dia memutar duduk menghadap Linzy dan menyilangkan kaki. Linzy cuma mengabaikan. Sayang, di detik ke lima dia tersentak kala Zion meletakkan kepala di bahunya.
Tubuhnya kaku secara tiba-tiba.
"Lo suka banget film horror emang?" Napas cowok itu menerpa leher kirinya.
"Mm ..." Linzy tergagap. "Gak juga, gue gak maniak film horror." Lalu menggerakan bahunya agar Zion menjauh. "Udah minggir! Ngapain si lo deket-deket!"
Sambil tertawa, yang cowok memberi jarak sekaligus menjauhkan kepala dari bahunya. "Emang kenapa? Lo deg-degan kalo gue deket kayak tadi?"
"Kepedean najis!" Cuma respon itu yang Linzy berikan.
Kembali menatap layar. Yang cowok sekali lagi menguap. "Gue beneran ngantuk sekarang."
Sumpah ya?! Zion itu bisa tidak untuk membuat Linzy senang sehari saja. "Lo yang ngajak gue nonton tadi tapi sekarang lo malah ngantuk. Udah tidur aja sana. Ganggu banget lo!" desisnya sambil menggertakan gigi.
Di kepala sofa, Zion mengistirahatkan kepalanya. "Emang lo gak takut nonton sendirian?"
"Sorry to say, but I'm not craven!"
"Good!" Yang cowok tersenyum lalu mengusap kepalanya. Yang diusap terkejut tapi cuma bisa diam. Namun, lanjutan cowok itu membuatnya kesal. "Lo kan cuma takut tikus. Bener kan?"
Linzy menoleh lagi. Berniat melayangkan tinju. Refleks Zion mengangkat kedua tangan sambil tertawa. Ayo Linzy yang waras mengalah. Mengalah bukan berarti kalah kan? Dia memutuskan untuk mengabaikan dan kembali pada layar televisi.
Namun, karena keheningan yang tiba-tiba ini Linzy sekali lagi menoleh dan agak terkejut melihat Zion yang memejamkan mata.
Dia beneran ngantuk?
Linzy menatap Zion lama. Lalu senyum yang terangkat dari bibir cowok itu membuatnya kaget. Apalagi kalimat yang diucapkannya, "Jangan ngeliatin gue kayak gitu, kalo lo gak mau jatuh cinta nantinya."
Seperti orang yang kebanyakan tertangkap basah. Linzy membuang muka. Menutup rona merah di pipi.
Sial! Sudah terhitung dua kali Zion membuatnya merona hari ini!
Karena tidak ingin dikira memerhatikan Zion selama cowok itu tertidur. Linzy memilih fokus pada tontonannya. Memakan popcorn. Lalu berganti pada snack di plastik saat popcorn miliknya habis.
Cuma itu yang Linzy lakukan. Ditemani keheningan, matanya lancar menatap layar. Tidak ada gangguan dan itu terasa menyenangkan.
Saat bagian klimaks film, dia mengambil kaleng sodanya di meja. Meneguknya dengan perlahan.
Linzy menoleh sesaat untuk mengecek. Ini sudah lebih dari lima belas menit mata yang cowok memejam. Zion benar-benar tertidur. Napasnya teratur. Entah apa yang menarik di sana, senyum Linzy mengembang tanpa alasan.
Benar kata orang, cowok lebih terlihat polos saat tertidur.
Di layar, menunjukkan adegan menegangkan. Linzy ikut jantungan. Namun, yang benar-benar membuatnya kaget luar biasa, bukan melihat tokoh di filmnya yang mencoba masuk ke alam gaib untuk menyelamatkan anaknya.
Tapi ... Zion yang tahu-tahu terjatuh tidur di pundaknya.
Linzy membeku. Menoleh pelan-pelan. Mata Zion masih terpejam. Menggerakan kepala mencari posisi nyaman.
Zion lagi gak modus kan?
Dia makin menyurukan kepala di bahunya. Linzy meneguk ludah susah payah. Leher itu adalah tempat paling sensitif untuk perempuan. Apalagi di sana hidung Zion menempel dan bernapas teratur tanpa peduli dampak yang diciptakannya.
"Yon ..." napas Linzy tersekat. Berharap Zion terbangun dan memberi jarak. "Lo ..."
"Kapan sih lo pekanya?" kalimatnya terpotong oleh igauan cowok itu. "Gue tuh sayang sama lo."
Buat perkataan akhir, Linzy sungguh-sungguh mematung di tempat. Dan untuk pertama kali, jantungnya berdetak melebihi ritme oleh berbagai praduga.
Sebentar. Ada apa dengan jantungnya?
°°°°
Pejaman mata Zion sekejap terbuka saat mendengar suara gaduh. Dia mengerjap beberapa kali. Mengucek mata. Menoleh ke kanan-kiri. Tidak ada siapapun.
Dimana Linzy?
Dia berdiri. Memutari sofa lalu berjalan menuju suara gaduh itu berasal. Dan ... kakinya berhenti di dapur. Terhalang meja bar, dia melongok ke bawah dan melihat Linzy tengah berjongkok. Mengambil sebuah panci yang baru saja dia jatuhkan.
"Mau ngapain lo?"
Yang perempun berjengit. Terlalu terburu-buru untuk berdiri hingga kepala menjadi korban, terbentur pinggir wastafel. "Aw!"
Seharusnya sebagai lelaki, Zion berlari menuju Linzy dan mengecek kepalanya. Bukannya tergelak seperti ini. "Lo nggak apa-apa?"
Yang ditanya tentu saja merengut kesal sambil berdiri. Menatap si cowok sebal. "Berhenti ketawa! Lo bikin kaget tau gak! Sakit kepala gue nih!"
"Uluh-uluh," Zion tertawa lagi bersama sebelah tangannya melewati meja bar untuk mengusap kepala yang perempuan. "Sakit ya?"
Linzy langsung menepis. "Gak usah pegang-pegang!" Tolakan yang perempuan cuma Zion respon dengan senyum.
"Emang lo lagi ngapain sih?"
Linzy ingin menjawab. Namun, perutnya yang keroncongan terlalu antusias oleh pertanyaan ini. Refleks dia memegangi perutnya. Wajahnya memelas. "Gue laper."
"Emang lama banget ya gue tidur? Jam berapa sih sekarang?" Lalu melirik jam di ruang tengah dan memelotot. Melihat jam menunjukkan angka tujuh. Pukul tujuh malam sekarang. Dan Zion tertidur dari jam lima.
Dua jam?!
"Lama banget lo tidur. Kayak kebo!" Linzy mengomel.
"Oke," Zion mendengkus malas. "Lo mau makan apa emangnya?"
"Tadi gue mau makan mie."
"Bakat masak lo emang nol besar, Zi." Tentu saja hinaan Zion itu membuatnya kesal. Dia menatap marah tapi diabaikan. Yang cowok malah memutari meja bar, melewati Linzy untuk berjalan menuju kulkas yang berada tepat di samping kirinya. "Coba gue liat di kulkas ada apa."
"Lo mau masak?" Linzy menatap punggung Zion yang membungkuk.
"Lo laper kan?"
"Iya, tapi kalo lo udah bangun mending mesen gojek aja."
"Gue lagi irit."
"Pake duit gue."
"Buang-buang duit kalo gitu!"
"Lo lagi ngirit atau emang pelit sih?" Linzy kesal lama-lama.
"Bukannya bagus kalo pelit, gue bisa cepet kaya nanti."
Linzy kehabisan kata. Jelas melawan Zion adalah kekalahan. Linzy tidak akan pernah menang saat adu mulut dengan cowok itu. Dan malah dia bisa ikut tidak waras nanti.
"Lo mau makan apa?" Zion meluruskan punggungnya setelah membungkuk. Menoleh pada Linzy.
Yang ditatap tak punya kemampuan bicara tiba-tiba. Ini aneh. Tapi Linzy merasa semuanya berbeda. Ada yang salah di sini. Jantungnya ... ada apa dengan sistem kerja di sana? Kenapa begitu antusias?
Linzy mengalihkan wajah untuk memandang peralatan yang tergantung di depannya. "Emang ... lo beneran mau masak makanan buat gue?"
"Geer lo! Gue juga laper kali!"
Linzy menatap cowok di sampingnya galak. "Ya udah sih!"
Yang cowok tersenyum berhasil memancing kemarahan cewek itu. Dia bergerak ke wastafel untuk mencuci tangan sekaligus membasuh mukanya. "Kebetulan gue punya ayam, gimana kalo buat ayam rica-rica?"
"Lo bisa masak itu?" Linzy takjub.
Zion mengangguk kemudian menoleh. "Emang kenapa? Lo mau ngeledek, cowok itu aneh kalo bisa masak?"
"Apa sih! Enggak. Itu malah keren kan?"
Sesaat Zion diam sebelum senyumnya mengembang lebar. "Lo baru aja muji gue keren. Seriously?"
Mendadak Linzy tergagap. Sial dia salah berucap. "Lo emang keren. Tapi lo masih kalah keren sama chef-chef di tv."
Yang cowok membisu lama. Seakan ucapannya itu menjatuhkannya setelah dibawa terbang. Dia maju selangkah, menciptakan tipisnya ruang antara mereka.
Cewek yang ditatap mendadak linglung. Tatapan Zion lekat sampai membuat jantungnya kembali berulah. "Lo jangan muji gue, kalo ujungnya lo jatohin."
Semakin lama tatapan Zion semakin terasa melemaskan lututnya. Sontak Linzy menunduk, beralih kemana saja selain iris gelap Zion.
Ada apa dengannya?
"Gue udah baper tadi."
"Hah?" Linzy mendongak.
"Nggak. Gue laper."
Linzy melangkah mundur. Memberi ruang agar dirinya bisa bernapas. Bahkan dia tidak sadar menahan napas beberapa saat lalu.
"Lo kenapa?" Tiba-tiba Zion menanyakan pertanyaan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan keadaan ini.
"Apa?" Tentu saja dia tak mengerti.
"Kayaknya lo ngehindar dari tadi."
"Ngehindar?" Dia makin tak mengerti. "Siapa yang ngehindar?"
"Lo ... dari tadi kayak gak mau natap gue."
Singkat saja penjelasan itu, tapi otak Linzy langsung mengerti. Dia mendadak bingung mau mengatakan apa. Semua keanehan ini karena igauan Zion tadi. Dia bertanya-tanya, sekaligus menduga-duga.
Siapa yang tengah Zion mimpikan sampai menginggau seperti itu?
"Gak," Linzy menggeleng. "Gue nggak pa-pa."
Lama keduanya diam. Zion mencoba percaya dan mulai mencuci ayam di wastafel. Keheningan membentang, tapi ini yang mereka inginkan.
Tiba disaat Zion memotong dada ayamnya membentuk dadu. Dia menoleh, menatap Linzy yang tengah mengupas beberapa bahan buat bumbu.
"Gue ..." Linzy menengok mendengar suara cowok di sampingnya. "Gue nggak ngomong aneh-aneh pas tidur tadi kan?"
Oke, Zion sepertinya sudah menyimpulkan jika keanehan Linzy karena sesuatu yang dilakukannya saat tidur.
"Gue meluk lo tiba-tiba pas tidur ... jadi lo marah? Iya?"
"Bukan itu," Linzy menggeleng. Zion bernapas lega. "Tapi ... tapi lo ngigau tadi." Akhirnya Linzy memilih jujur.
Zion memelotot. "Gue ngi-ngigau? Gak ngigau aneh kan?"
"Hmm ... lo ngigau gini 'kapan sih lo pekanya. Gue tuh sayang sama lo'." Zion terbelalak sempurna seolah sekarang dia siap menggali sumur untuk menenggelamkan dirinya sendiri. "Tapi tenang aja, gue gak anggap serius," Linzy menambahkan agar Zion tak harus malu. "Paling-paling lo lagi mimpiin cewek yang lo ceritaiin itu kan?"
Zion tak bicara untuk beberapa detik sebelum mengangguk akhirnya dan membuang muka. "Cewek itu ..." gumamnya pelan sambil tertawa miris.
°°°°
Pagi senin yang aneh. Bukan karena upacara ditiadakan sebab rapat guru. Tapi karena ... saat berjalan di lorong kelas sepuluh, Linzy menjadi pusat perhatian. Bukan cuma adik kelas. Namun, teman angkatan bahkan kakak kelas yang lewat menatapnya seolah dia adalah kuman yang ingin dimusnahkan.
Linzy adalah orang yang terkenal masa bodoh. Tatapan dan bisikkan mereka cuma dianggapnya angin Dia termasuk daftar ke cewek yang cuek saat mendapatkan cibiran atau pandangan remeh. Tapi tetap saja ini membuatnya penasaran.
Sebenarnya ada apa?
Tidak ada yang salah dengan penampilannya hari ini. Semuanya tidak ada yang berubah. Dan lagi, dia selalu berkaca sebelum berangkat ke sekolah. Mengecek seluruh seragam dan wajah. Mungkin saja ada noda.
Namun, ini ...
"Princess kita udah dateng, Cin, Ki."
Linzy berhenti melangkah tepat di samping mading sekaligus di depan tiga cewek yang sok berkuasa di sekolah. Sayang, Laras, Cindy, dan Kia belum bisa mengalahkan popularitas Jessy—bitch boss mereka.
Tidak ada yang ingin mencari masalah di pagi hari. Termasuk Linzy. "Ngapain lo bertiga berdiri ngehalangin jalan. Mau jadi patung selamat datang?"
Kia senyum mengejek. "Kita kan mau nyambut princess cantik kita."
Beruntung tabung kesabaran Linzy masih penuh. "Gue lagi gak mau ngotorin kuku cantik gue buat cakar lo bertiga. Mending minggir!" desisnya pelan tapi terdengar kejam.
"Uh atut ..." Kia memeluk tubuhnya sendiri sebelum tergelak. "Serem banget sih princess kita ini hm ..."
"Princess tuh gak boleh marah-marah, Zi. Nanti turun lo pangkatnya, jadi pembantu." Laras meledek yang disambut gelak Kia yang kian menjadi. Anehnya, cuma Cindy yang diam sambil menatapnya datar.
"Gue masih sabar ya," padahal tabung kesabarannya mulai berkurang tiga senti. "Mending kalian minggir sebelum kesabaran gue abis dan bisa aja gue botakkin rambut lo bertiga yang abis di salon itu sekarang!"
Satu-persatu adik kelas mulai penasaran. Membentuk kerumunan. Ditambah beberapa teman angkatan yang baru balik dari kantin lantai bawah. Hendak melangkah ke arah tangga. Pelan pasti, mereka menjadi pusat perhatian warga sekolah.
"Gue heran ..." Cindy baru angkat suara sekarang. "Kenapa Zion mau sama cewek kayak lo?!"
Bentar. Dia mendadak kaku di pijakan. Kenapa bawa-bawa Zion?
"Maksud lo apa hah?!"
"Lo liat!" Cindy mengangkat tangan kirinya menunjuk mading tanpa mengalihkan pandangan. Perintah yang mau tak mau, Linzy ikuti yang hanya untuk dibuat terbelalak shock. Jantungnya merosot dan merasa bumi berhenti di tempat.
Di mading, ada tiga foto yang tersebar. Foto dia bersama Zion yang baru saja keluar apart cowok itu. Yang membuatnya seakan kehabisan kata adalah tangan yang cowok mengusap kepalanya tepat di arena parkir saat dia hendak mengantarkan Linzy pulang.
"Pinter banget lo ya bikin permainannya," Itu suara Laras. "Lo yang jadi PHO Zion sama Cindy. Tapi lo jadiin tuh adek kelas tameng. Adek kelas itu gak salah. Yang salah lo bitch!"
●●●●●
YUHHUUUUU udah sampe di part 50 ini.
Kalo boleh sih untuk ngerayain part ini aku mau nanya.
Apa alasan kalian suka sama cerita ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro