FF(49) ● Kesimpulan Yang Ditemukan
A6 uuuuuuuy. Up again. Vote dan komen jangan lupa ya sayangkuhh :*
°°°
MENOLAK berulang kali pun tetap sama ujungnya. Zion itu keras kepala dan Linzy jelas cuma bisa mengiyakan. Mendapat apa yang diinginkan, Zion langsung mengegas motornya menuju tempat tujuan. Sejam lamanya mereka berada di jalanan.
Motor Zion berhenti di depan gerbang. Ini sudah kedua kalinya Linzy melihat tempat menyeramkan ini. Gerbangnya menjulang sangat tinggi menutupi lebatnya pepohonan yang mengelilingi bagian dalam.
Karena berhenti sangat dekat dengan gerbang, Linzy bisa melihat jalan setapak dari bebatuan di sana.
"Kita masuk?" Zion bertanya lewat kaca spion.
"Mm ... gue takut." Jujur Linzy memang khawatir. Namun, jauh di lubuk hati. Dia lebih mengkhawatirkan Zion nanti.
"Gak usah takut, dibawa santai aja." Yang cowok justru tenang. Tidak ada raut takut sedikit pun. Aneh kan?
Sebab tak ingin mendapat penolakan Linzy lagi, Zion langsung saja menekan klakson. Gerbang itu otomatis terbuka. Linzy ternganga dan refleks mencengkeram jaket Zion. Membuat sudut bibir yang cowok terangkat kecil.
Motor itu bergerak masuk. Menelusuri jalan setapak yang ternyata lumayan panjang. Pepohonan berdiri tegak di kanan-kiri. Daun yang menaungi membuat cahaya matahari terhalang. Semuanya tampak sedikit gelap.
Dia menoleh ke belakang. Gerbang kembali tertutup. Dengan tangan kiri dia mengusap leher belakang. Suasana ini membuatnya merinding. Gelap. Sunyi. Pepohonan yang lebat. Bukankah itu sudah cukup untuk membuat nyali Linzy makin ciut.
"Di sini udah gelap. Sepi. Banyak pohon terus pake gerbang otomatis," curhat Linzy sambil mendekatkan kepala agar Zion mendengar. "Sumpah Yon, jadi tambah serem!"
Yang cowok tergelak. "Serem? Kalo lo liat ujung jalannya. Apa lo yakin bakal tetep bilang serem?"
"Maksudnya?" Linzy bingung. Namun, ketidakmengertiannya oleh teka-teki Zion seolah terjawab saat titik cahaya tampak di ujung jalan setapak. Bagai terbawa arus mesin waktu, yang lama-kelamaan membesar lubangnya.
Itulah yang Linzy rasakan. Titik cahaya di depan makin membesar dan menunjukkan sesuatu yang tersembunyi di dalam.
Luar biasa Linzy terpana. Refleks mulutnya terbuka. Jantungnya seolah merosot ke bawah saking tak percaya apa yang dilihatnya.
Motor Zion berbelok ke kiri. Ternyata di sana garasi. Ada tiga mobil yang terparkir dan sebuah motor besar. Yang cowok memarkirkan motor sport-nya di celah kosong.
Sebuah kode Zion berikan lewat spion. Sayangnya, yang perempuan tak sadar karena tersesat oleh kekagumannya sendiri. Ujung bibir Zion terangkat karenanya.
"Lo gak mau turun?"
"Hah?"
Senyum Zion kian melebar. "Kita udah sampe, Zi."
"O-oh ya, ya." Jiwa perempuan baru setengah sadar. Kakinya terburu-buru menjejak tanah. Hampir saja oleng sebab kesalahan sendiri kalau bukan karena yang cowok menahan tangannya cepat.
"Tampang lo b aja bisa gak sih?" Tangan Zion masih memegang sebelah tangan yang perempuan sebelum melepasnya perlahan.
Linzy cuma mengangguk saja. Dia kembali menatap rumah yang terpampang di depan bersama rerumputan hijau yang membentang indah itu.
"Ini ... ini bagus banget!" Linzy tak bisa lagi menyembunyikan kekagumannya. Rumah itu bagai impiannya di masa depan. Seperti rumah putri cantik di ujung hutan.
Di sini sepi. Helaan udara masih segar. Polusi belum datang mencemar. Dan tertutup dari kekacauan dunia luar.
Rumah ini layaknya emas yang tersembunyi di balik kayu reot.
"Gue bilang apa. Lo pasti gak bakal takut lagi. Benar kan?"
Seperti orang bodoh, Linzy sekali mengangguk.
"Ngangguk doang lo dari tadi," Zion terkekeh lalu melepaskan helm dan diletakan di atas tangki bensin. "Lepas tuh helm. Emang gak berat?"
Untuk kali ini. Kesadaran Linzy benar-benar kembali. Rona mulai mengotori pipi. Sial! Kenapa Linzy sampai lupa helm yang masih menempel di kepala. Dia ingin membuka kaitan bertepatan dengan Zion yang turun dan ... menggantikan apa yang ingin dia lakukan.
Rasanya ibu malin kundang ada di sini. Mengutuk Linzy jadi batu. Dia tak bisa bergerak dan membiarkan saja Zion yang membuka kaitan helm-nya.
"Udah," ucap yang cowok lalu meletakan helm Linzy di stang motor. "Ayo!" Setelahnya, dia menarik tangan Linzy begitu saja membelah rerumputan hijau yang memperindah mata di depan.
Bukan rumah impian itu lagi yang menarik perhatian. Semua perhatiannya kini berubah haluan pada tangan mereka yang bertautan.
Yang seharusnya Linzy lakukan adalah melepasnya. Dia bukan anak kecil yang perlu dituntun agar tidak nyasar. Tapi saat ingin melakukan, hatinya menolak seakan hati dan pikiran tidak lagi berjalan bersamaan.
Makin terpangkasnya jarak. Makin juga Linzy terbuai oleh keindahan. Pertama kali Linzy menganggap tempat ini seperti tempat horror untuk para monster. Kini berbeda, tempat ini seperti istana untuk pangeran tampan.
Dua kali Zion membuatnya kagum oleh tempat tujuan cowok itu. Sekaligus karena Zion, Linzy disuruh untuk tidak langsung menilai semuanya dari luar.
Yang tampak di luar belum tentu cerminan yang di dalam.
Terkadang sesuatu yang diluarnya jelek menyimpan keindahan di dalamnya.
Tiba di depan pintu utama, Zion dan Linzy menghentikan langkah bersama. Karena didominasi kaca di kanan-kirinya. Itu yang memudahkan Linzy untuk melihat isi ruangan.
Setelah yang cowok memencet bel dua kali. Pintu cokelat di depannya terbuka, menampakan sosok pria tinggi dengan ekspresi kaget.
"Ngapain kamu di sini, Zion?" Linzy melirik Zion menunggu cowok itu menjawab.
"Zion cuma mau liat Papa, Om?"
Oke. Tebakan di kepala Linzy benar. Sosok di depannya adalah Virdi. Orang yang Zion bilang sahabat sekaligus psikiater papanya. Mudah untuk untuk Linzy menyimpulkan karena pria itu memakai setelan dokter.
Sosok pria itu makin membulatkan mata. "Zion, kamu tau Papa gak bisa ketemu ..."
"Zion mau liat Papa, Om," potongnya. "Bukan mau ketemu. Om Virdi pasti ngerti maksud Zion."
Virdi menghela napas panjang. Keinginan Zion tampak berat untuk diiyakan.
"Zion janji Om. Zion gak akan nerobos masuk ke ruangan itu. Cuma lewat kaca." Dari mata, Zion seolah memohon. Berharap Virdi mengiyakan. "Zion mohon, Om ..." ucapnya saat tak kunjung mendapat jawaban.
"Oke," Setelah menarik napas panjang. Virdi tak punya lagi pilihan. "Kamu boleh liat Papa. Tapi Om juga mohon untuk kamu enggak melanggar."
Linzy dibuat bungkam saat melihat bagaimana lebarnya senyum Zion yang menganggukan kepala. Semudah itu untuk membuat Zion terlihat bahagia. Cukup melihat papanya dari kejauhan.
"Sebentar dia siapa?"
Linzy tersentak dan kembali menatap sosok di depannya.
"Dia Linzy, teman Zion, Om." Karena Linzy kenal etika, setelah Zion memperkenalkannya. Dia bergerak mencium tangan pria yang sudah Zion anggap pamannya sendiri.
Virdi tersenyum saat perempuan pirang itu melepaskan tangan. Dia terlihat tertarik. "Teman? Dia tau soal Papa kamu?"
Zion mengiyakan.
"Tau sampai mana?"
"Semuanya."
Ujung bibir Virdi semakin terangkat. "Om seneng kalo kamu bisa terbuka sama orang lain sekarang." Lalu dia menoleh pada Linzy. "Dia beneran cuma temen?"
Zion ikut menoleh ke si cewek. Mau tak mau Linzy membalasnya. Cowok itu menatapnya tapi tak ada kata yang disampaikan.
"Bener, Om." itu jawaban pelan Zion. "Kita cuma temen."
Virdi mengangguk saja. "Ya udah kamu masuk aja duluan. Om pinjam temen kamu sebentar."
"Eitss," Zion refleks memegang bahu Linzy. "Om mau ngapain?!" tanyanya bak anjing penjaga.
"Om cuma mau ngobrol sama dia," Respon Zion terlalu lucu untuk Virdi. "Gak akan Om suntik temen kamu."
Pandangan Zion menyipit. Yang dibalas ekspresi yakin Virdi. "Oke." sebelum berlalu Zion menatap yang cewek dan mengatakan, "Gue tinggal ya. Teriak kalo Om Virdi udah ngeluarin benda sakti dokternya. Nanti gue pasti bakal langsung suntik rabies Om Virdi."
Sekali lagi respon Zion membuat Virdi tertawa. Ketika punggung Zion menghilang dibalik dinding, Virdi menjatuhkan lagi fokusnya pada Linzy.
"Zion keliatan beda." Itu kalimat pembuka obrolan yang membuat Linzy tak percaya. "Zion selalu nyimpan semuanya sendirian. Cuma saya dan Bunda yang tau. Bahkan Arven dan Regha, sepupu kamu gak tau soal ini."
"Om tau Regha sepupu saya?" Linzy kaget akan fakta ini.
Anggukan Virdi tampak dan tersenyum setelahnya. "Makasih," ucapnya yang tak diduga. "Saya selalu khawatir kalo Zion selalu tertutup soal lukanya. Tapi karena kamu, anak itu mau terbuka. Zion jadi keliatan beda. Lebih ceria."
°°°°
Dibawa ke sebuah lorong. Menuruni tangga dan berhenti di depan pintu cokelat kayu. Linzy ingin bertanya ini ruangan apa. Sayangnya, cuma sampai situ tugas Virdi. Setelahnya dia berlalu pergi.
Tinggal mendorong pintunya untuk masuk. Namun, Linzy justru mengamati pintu itu lebih dulu. Menuju ke ruangan ini, cukup aneh. Karena butuh beberapa belokkan lorong dan tangga untuk turun. Apalagi ruangan ini seperti sengaja disembunyikan.
Menghitung satu sampai lima untuk menarik napas. Lalu Linzy mendorong pintu itu yang disambut silau cahaya.
Oke, tebakan Linzy salah. Awalnya dia pikir kamar ini pasti minim cahaya, karena berada di pojok sekaligus di bawah rumah. Sayangnya tidak. Malah cahaya dari banyak lampu yang bertebar di langit-langit menebar tak terhingga. Di sini terang dan ruangan didominasi warna putih. Dari dinding. Barang-barangnya. Bahkan sofa panjang di pojok ruang.
Yang menjadi keanehan adalah dinding besi yang berada di hadapan Zion. Cowok itu berdiri kaku di sana. Menatapnya dengan raut menunggu.
"Yon ini ruangan..."
"Om Virdi ngomong apa?"
Ayolah! Kenapa Zion harus mengingatkan itu lagi! Padahal Linzy tengah berusaha melupakan ucapan Virdi barusan. Ucapan yang berhasil membuat Linzy berharap tinggi.
"Dia ... dia bilang lo lebih ceria sekarang. " Linzy cuma menjawab intinya.
"Gue emang selalu ceria kan?" Yang cowok menatapnya sambil mengulas senyum.
Benar! Zion memang terkenal ceria. Selalu melempar senyum dan tawa. Lalu kenapa Linzy harus merasa diawang-awang saat Virdi mengatakan jika dia penyebab Zion lebih ceria?
Kecerian Zion karena kepribadiannya sendiri. Bukan karena Linzy!
Linzy menarik napas dalam. Kenapa mendadak suasana hatinya berubah?
"Ini ruangan apa?" Ada baiknya dia mengulang pertanyaan awal.
Senyum Zion melebar mendengar pertanyaan ini. "Lo liat aja."
Linzy mengerut bingung sebelum tersentak kaget saat tiba-tiba dinding besi itu bergeser dan berganti menjadi dinding kaca.
Linzy speechless. Beda pada Zion yang justru melambaikan tangan ke CCTV sambil berucap,"Thanks Om."
"I-ini apa?" Linzy luar biasa tak dapat berkata. Semua yang ada di otak lenyap. Sekadar mata yang terbelalak memandang dinding transparan di depannya.
Sekat kaca ini yang menjadi pembatas di kedua ruangan. Ruangan lain di depannya terlihat jelas sekarang. Termasuk sosok pria yang terduduk di kursi roda. Di sini cahaya mendominasi. Berbeda dengan ruangan itu yang terlihat samar oleh cahaya. Hanya mengandalkan lampu meja dan pojok ruang.
Seperti dibawa ke puncak gunung dan kehilangan jejak untuk kembali turun, Linzy sungguh kehabisan akal untuk berpikir. "Di-dia ..."
"Iya, dia bokap gue." Zion tahu apa yang Linzy pikirkan. "Di ruangan itu Papa dikurung."
Sungguh Linzy tak bisa mengatakan apapun. "Dan ruangan ini ... ini ruangan apa?"
Kali ini Zion menoleh. Wajahnya datar tapi seorang pun tak bodoh untuk melihat kesedihan di sana. "Ruangan kaca," jelasnya. "Ruangan yang sengaja dibuat supaya gue bisa ngeliat Papa tanpa ketauan. Supaya gue puas ngobatin rasa kangen. Gak perlu khawatir atau takut buat disakitin."
"Jadi ..." Rasanya kepala Linzy mau pecah. Dia menunjuk ruang sebelah. "Papa lo gak bisa ngeliat lo dari ruangan itu?"
Zion mengiyakan. "Kaca gak tembus pandang. Di ruangan itu kaca ini cuma kayak cermin. Sedangkan di sini, kayak kaca transparan. Papa gak bisa ngeliat gue di sini. Dia gak pernah tau setiap minggu setelah dari kafe gue selalu mantau dia."
Zion menarik napas panjang. Lalu bergerak mendekat untuk menyentuh sekat yang membatasi dirinya dan sang ayah.
"Lo liat," Zion tak menoleh pada Linzy. Namun, dia bisa melihat binar di mata Zion hilang. "Gangguan jiwa Papa gue makin parah setiap harinya ..." dia tersenyum miris. "Jiwanya udah benar-benar mati. Dia udah gak bisa ngenalin siapapun ... ya selain gue. Sayangnya, Papa ngenalin gue sebagai musuh. Musuh yang harus dibunuh saat itu juga."
Matanya terlihat menerawang. "Rabu kemaren, gue ngelanggar batas. Gue lari ke pintu ruangan sebelah, karena kaget pas gue liat Papa muntah darah. Gue bantu Papa buat berhenti batuk dengan ngasih dia minum. Disitu, Papa ngeliat wajah gue. Dia langsung ngelempar gelasnya dan yang bener-bener sakit pas pecahan gelas itu dia tores di punggung gue."
Tiap kali mendengar cerita menyakitkan Zion entah kenapa Linzy selalu punya refleks sendiri. Tahu-tahu tangannya bergerak menggenggam tangan kiri yang cowok dengan kedua tangannya. Setidaknya itu cukup. Walau Zion tak memberikan reaksi apapun.
"Bipolar?" Itu kesimpulan keluar begitu saja dari mulut Linzy.
"Pas awal-awal sikap Papa berubah, Om Virdi bilang gitu." Zion mengangguk. "Tapi makin ke sini. Papa makin menjadi-jadi. Bukan mood yang berubah-ubah lagi. Dia udah benar-benar jadi monster ..." Zion menunduk dan mengeratkan genggaman tangan mereka. " ... buat gue."
Zion mengangkat kepala perlahan sekaligus menoleh dan melemparkan senyum. "Walaupun Papa berubah. Gue gak akan berubah. Papa tetap segalanya. Gue ... gak akan pernah benci dia, bahkan gue siap kalo nyawa gue sebagai taruhannya."
"Jangan ngomong gitu, Yon."
"Lo tau apa yang buat gue takut?" Zion malah mengabaikan ucapannya. Dan memilih topik yang pernah mereka bahas. "Bukan pukulan, bukan tendangan, bukan pisau yang Papa lempar. Yang buat gue takut ... Papa gue nyerah. Depresinya makin parah dan dia milih ninggalin dunia. Itu .... itu yang buat gue takut."
Mata Zion memerah ketakutan. "Gue takut ..." gumamnya lalu sebelah tangannya menangkup genggaman mereka itu. "Orang tua kandung gue cuma Papa."
Linzy merasakan kepedihan Zion dengan jelas. "Zion ..." lirihnya bersama jatuhnya air mata. Dan setelahnya, dia terkejut saat Zion menariknya ke pelukan.
Cowok itu mengeratkan tangannya di sekeliling tubuh Linzy. Menenggelamkan kepala di bahunya. "Wanita itu yang udah buat hidup gue sama Papa hancur. Dia yang udah buat Papa gue menderita ... terus kenapa dia belum dapat karmanya!"
Buat kalimat tak terduga ini, Linzy memberi ruang di pelukan mereka. Menatap air muka Zion terhias kebencian. Penuh ambisi dendam yang ingin dilampiaskan. "Keadilan gak ada di sini!"
"Yon ... lo udah lama gak ketemu dia kan?" Tidak seharusnya Zion membandingkan keadilan Tuhan. Semuanya cuma butuh waktu. Tidak ada yang langsung di dunia ini. Termasuk balasan untuk orang-orang yang sudah melempar kejahatan. "Jadi mungkin lo gak tau gimana dia sekarang. Bisa aja di nyesel. Bisa aja dia sengsara sekarang."
"Sengsara?" Zion melepaskan pelukan sekaligus tertawa pahit. "Dia udah bahagia sama keluarga barunya, Zi. Terus dimana letak sengsaranya?"
"Emang lo tau dia ada dimana?" Linzy cuma tidak ingin Zion mengikuti jejaknya untuk memendam kebencian pada orang tuanya sendiri. Jujur, memang ini sulit karena melibatkan orang-orang tersayangnya. Bahkan hingga kini, Linzy masih belum bisa melupakan sakit hatinya pada Papa sebab kejadian dulu.
"Gue gak pernah peduli dia ada di mana. Malah gue berharap dia udah mati sekarang!"
"Yon!" Linzy membentak. "Jangan ngomong gitu!"
Zion bergerak menjauh dan menarik napas panjang. "Lupain aja!"
Kesimpulan itu Linzy temukan. Membuatnya tak mencegah lagi perkataan. "Jadi karena dia lo kayak gini ..."
"Gini apanya?" Zion bingung.
"Nyokap lo yang ngebuat lo jadi brengsek kaya gini!" Ini yang Linzy temukan dari semua rangkaian cerita menyedihkan Zion. "Karena dia, lo anggap semua cewek sama. Lo buat semua cewek jatuh cinta terus lo bisa main-main sebelum lo matahin hatinya. Supaya mereka bisa ngerasain apa yang Papa lo rasain. Gue bener?"
Sesaat Zion tercengang luar biasa. Sebelum menampakkan senyumnya. "Gue akuin lo pinter, Zi." Lalu satu langkah yang cowok memangkas jarak mereka. "Tapi ada seorang cewek yang ngebuat gue mau berhenti."
"Oh ya?" Antara tak percaya atau percaya. Linzy bingung.
"Hm," Zion mengangguk. "Ngeliat dia pertama kali gue kayak ngerasa baru liat bidadari—oke gue lebay, tapi emang gitu rasanya. Gue yang biasanya dikejar cewek harus disuruh ngejar. Lo pasti tau gimana rasanya?"
Jujur untuk kalimat barusan, Linzy agak ingin mendorong kening Zion karena sikap pedenya.
"Dan begonya pas mau PDKT gue malah ngebuat dia ngebenci gue. Dan lebih begonya lagi karena gak tau harus apa, gue malah ngebuat diri gue makin brengsek depan dia."
"Kenapa lo gak deketin dia lagi?" Linzy bertanya datar.
"Emang gue lagi deketin," tatapan Zion mengenai tepat iris kelabu Linzy. "Lagi proses."
"Oh ... terus kenapa gue yang diajak. Kenapa gak lo ajak cewek yang lo ceritain itu!" Ucapan Linzy benar kan? Kalau memang Zion ingin dekat dengan 'cewek itu' bukannya lebih bagus, Zion mengajak dia bukan Linzy!
"Kenapa lo emosi?" Zion tersenyum geli.
"Gue gak emosi! Kalo emang lo mau pdkt seharusnya lo curhatnya ke dia bukan ke gue! Kan lo bisa makin deket dia!"
"Gak usah sampe berurat gitu kali ngomongnya," Zion terkekeh lalu menekan pipi Linzy dengan kedua tangannya. Hingga bibir Linzy menekuk maju. "Lucu lo!"
Yang cewek langsung menepis tangan cowok kasar. Pipinya sudah merona hingga telinga. "Apa sih lo!"
Zion memberi jarak sedikit. Linzy tidak bisa ditebak. Bisa saja dia akan menendang Zion karena tindakan tadi.
"Habis dari sini ke apart gue yuk?" ajak Zion saat dilihat Linzy sudah tidak ingin murka.
"Ngapain?!"
Zion mendekatkan bibir ke telinga Linzy. "Main-main di sofa?" ucapnya dengan nada ambigu.
Linzy memelotot dan langsung memukul Zion kencang. Bukan kesakitan Zion malah tergelak. "Gila!"
"Maksud gue tuh, movie marathon sambil duduk di sofa dan makan popocorn. Emang lo mikir apa?"
"Oh ..." Wajah Linzy makin memanas. "Kalo movie marathon gue ayo aja. Horror ya?"
Zion mengangguk setuju. Lalu mengangkat tangan penuh hormat. "Siap tuan putri," ucapnya menjijikan. Namun, Linzy akui dia senang.
●●●●●
Main-main di sofa buat part besok hmmm 😌😶😶 ....
Buat Linzy ada yang mau kalian sampaikan (?) wkwkwkkwkw
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro