Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(48) ● Awal Kehancuran

Buat part ini boleh dundss minta vote sama komen sebanyak-banyaknya😚

°°°

DALAM kamar, Zion kecil mengurung diri di balik selimut. Menutup telinga. Memejamkan mata. Usaha yang sengaja dilakukan agar suara teriakan dan bentakan di bawah tak terdengar. Sayang, yang dilakukannya sia-sia. Suara mama-papa masih terdengar jelas. Menggema dalam kamar. Begitu keras. Begitu menimbulkan sesak di dada.

Zion semakin memojokan diri bersama selimut yang menutup seluruh tubuhnya. Dia takut. Dia ingin mereka berhenti saling berteriak dan membentak seperti itu, tapi Zion tak punya nyali untuk berbicara, cuma air mata yang menunjukkan ketakutannya.

Pembahasan mereka masih hal yang sama. Mama ingin berpisah dan Papa yang berusaha untuk mempertahankan rumah tangga mereka. Dan Mama sekali lagi membahas Zion yang adalah awal bencana baginya. Zion adalah masalah.

Entah berapa lama pertengkaran mereka terjadi. Yang pasti karena kesedihan yang mengikatnya begitu kuat, membuat Zion tak mampu lagi mengeluarkan air mata dan justru terjatuh tidur bersama pilu yang dirasakan.

Kemudian karena bunyi sentakan dari jendela, membangunkan Zion begitu saja. Dia mengusap mata yang membengkak. Memandang sekeliling. Sebelum sadar jika itu hanya suara ranting pohon yang mengetuk jendela karena angin kencang.

Karena haus, Zion turun dari ranjang. Berniat mengambil minum di bawah. Dituruninya tangga dengan pelan tanpa menimbulkan suara. Sampai di dapur, anak berusia tujuh tahun itu mengambil air dingin di kulkas. Menuang di gelas. Lantas meminumnya.

Saat hendak balik ke kamar, langkah kecilnya terhenti. Di bawah tangga, ruangan kerja Papa yang masih menyala mengambil perhatian Zion. Tanda jika Papanya masih bekerja di tengah malam seperti ini. Niatnya Zion hanya ingin melongok sebentar, tapi dia justru membeku saat melihat Zafar bukan sedang mengetik di laptop untuk bekerja, namun sedang meneguk botol di tangan.

Zion mengernyit. Itu botol minuman apa?

Zafar tampak sedih. Matanya memerah. Dan sepertinya karena pengaruh minuman itu papanya terlihat hilang sadar.

Sebab tak mau menganggu, Zion beranjak pergi menuju kamarnya.

Dalam kamar dengan kesendirian, Zion merenung.

Apa Papa sedih karena Mama?

Selama tujuh tahun kehidupannya, Zion tahu seberapa besar Papa menyayangi Mama. Bisa diambil bukti dari, Papa yang sering membuatkan makanan spesial untuk Mama disaat hari pekan. Papanya tak pernah terlihat marah saat mendapatkan sikap cuek sang Mama. Justru menggoda dan berusaha melempar guyonan lucu hanya untuk membuat Mama tertawa.

Dan selama itu juga, Zion sekali pun tak pernah melihat Mama menunjukkan perasaannya pada Papa. Mamanya terlalu cuek dan lebih suka mendekam di ruang kerja bersama dokumen.

Jadi Apa Mama menyayangi Papa?

Sepertinya pertanyaan itu sudah dijawab seminggu lalu saat mereka bertengkar untuk pertama kali.

Mama tidak pernah sayang Papa.

Keesokan harinya. Di pagi yang begitu cerah. Zion tengah bermain robot-robotan yang dihadiahi mama di ruang tamu. Senyumnya mengurai dengan tangan yang bergerak di atas remote control. Kemudian tiba-tiba dia harus berhenti bermain saat melihat sang mama turun tangga bersama koper yang dibawanya.

Lalu di belakang, papa berusaha menghentikan mama. "Ra dengerin aku dulu. Kita bisa omongin semuanya baik-baik."

Mamanya berhenti di anak tangga terakhir dan menoleh menatap papa. "Nggak ada yang harus diomongin lagi, Mas. Aku udah gak bisa tinggal sama kamu. Aku mau pisah!"

Lagi-lagi kalimat itu, Zion tak bergerak dari tempatnya dan cuma memeluk robot besarnya.

"Aku salah apa, Ra?" Ini pertanyaan lirih papanya.

"Kamu gak salah, Mas," mama menggeleng. "Aku yang salah. Aku salah karena gak bisa cinta sama kamu."

Kalimat itu begitu singkat. Namun, begitu besar dahsyat yang ditimbulkannya. Papa tampak terpukul telak. Diam dan membiarkan mamanya melangkah menjauh. Satu kalimat lagi Mama ucapkan sebelum benar-benar pergi dari hadapan Papa.

"Aku udah urus surat cerainya. Saat surat itu sampai kamu tinggal tanda tangan, Mas."

Zion membanting robot mainannya lalu berlari ke arah sang mama sekaligus menahannya. "Mama! Mama jangan ninggalin Iyon!" rengeknya seraya mengenggam tangan mamanya. Namun, mama cuma diam.

"Mama!" Zion menangis. Air matanya tak terkendali. "Mama gak boleh ninggalin Iyon. Mama tetep di sini. Iyon gak mau Mama pergi."

"Zion ..." Mama berjongkok, menatap sang anak dengan raut bersalah. "Maafin Mama. Mama gak bisa ..."

"Iyon janji gak bakal nakal dan manja lagi. Iyon janji bakal jadi anak mandiri." Tangisan Zion makin bertambah. "Tapi Iyon mohon ... jangan pergi!" isaknya sambil sesegukkan.

"Mama gak bisa di sini. Mama harus pergi."

"Nggak boleh!"

"Zion di sini aja sama Papa." Mama membersihkan pipi Zion dari air mata. "Zion pasti lebih bahagia kalo tingga sama Papa ..." Lalu tersenyum. "... dan Bunda."

Mama berdiri dan memberikan usapan lembut terakhir di kepalanya sebelum pergi sambil menyeret koper. Zion meraung. Berteriak. Memanggil-manggil mamanya berulang kali. Sayangnya, tangisannya tak berarti apa-apa. Mamanya tak peduli.

Dia mengejar mama hingga pintu. Namun, langkahnya berhenti di beranda rumah saat melihat sang mama bersama seorang pria yang datang menjemputnya. Dia memeluk Mama dan mencium keningnya.

Siapa pria itu?

Dia tak lagi berteriak. Kebisuannya saja yang menjadi saksi melihat mobil itu berlalu pergi.

Dan di detik ini, Zion tahu arti kehancuran sebenarnya.

Zion kembali masuk dan fokusnya langsung jatuh pada Papa yang masih berdiri di posisi yang sama. Diam dengan pandangan kosong.

"Papa ..." Zion mendekat. "Papa ..." panggilnya lagi.

Lalu yang selanjutnya sama sekali tak terduga. Ketika Papa melempar guci di sampingnya begitu saja. Zion tersentak kaget dan mundur. Kemarahan Papa baru Zion lihat untuk pertama kali. Papanya tidak pernah emosi. Papa adalah sosok pria paling sabar yang Zion kenal.

Lalu ini...

"Papa ..." Zion ketakutan. Apalagi saat sang Papa mendekat dan mendorongnya kencang hingga dia terjatuh di atas pecahan keramik guci itu.

Namun, lima detik berikutnya, Papa seperti tersadar. Dia mengangkat Zion. Mengecek seluruh tubuhnya. "Maaf Zion, Papa gak sengaja..." Lalu merengkuhnya erat. "Zion di sini aja sama Papa. Jangan ninggalin Papa."

°°°°

Selama kepergian mamanya. Selama itu juga Papa menjadi sosok berbeda. Papa seakan memiliki kepribadian ganda. Sosok Papa masih sama di luar. Ramah pada karyawan. Selalu tersenyum pada siapapun.

Namun, saat Papa pulang bekerja dan menemukan keberadaan Zion, Papa berubah seperti sosok iblis. Dia selalu marah, padahal Zion tak melakukan hal yang salah. Dan akan memukulnya dengan benda yang ada di sekitar disaat Zion cuma melakukan kesalahan kecil. Seperti telat pulang sekolah, andai Papa tahu Zion telat karena ikut les musik. Hobi yang dulu selalu papa lakukan.

Setelah Papa memukulnya bagai maling yang ketahuan mencuri. Dia akan tersadar di detik berikutnya. Memandang Zion dengan bingung sekaligus perasaan bersalah. Papanya akan meminta maaf.

Itu hanya untuk beberapa saat karena besoknya atau malamnya, sosok monster itu datang kembali dan menghunjami Zion dengan pukulan, tendangan, bahkan benturan saat papa mendorongnya ke tembok.

Zion tak melawan dan membiarkan tubuhnya menjadi pelampiasan. Selama itu juga, cuma Bunda yang membantu. Bunda yang selalu berusaha menghentikan kegilaan Papanya.

Satu tahun berlalu Papanya makin tak terkontrol. Dua tahun berlalu, papanya sudah tak punya lagi rasa iba, tak ada lagi tatapan rasa bersalah. Dan puncaknya jatuh pada tahun ketiga, ketika Zion berusia sepuluh tahun.

Kala itu, Zion baru pulang sehabis bermain futsal bersama teman SD-nya. Dia tidak pulang terlalu sore. Jam masih menunjukkan pukul empat, berarti Zion tak melanggar peraturan yang Papa buat. Namun, tiba-tiba saja Zafar menamparnya.

Zion tentu tersentak dan memegang pipinya yang berdenyut sakit.

"Habis dari mana kamu?" Sorot itu dingin. Membekukan penjelasan yang ingin Zion sampaikan.

"Zion ..." dia terbata-bata. "Zion abis main futsal sama teman..."

Penjelasan Zion tak dapat terselesaikan karena dorongan papanya begitu saja.

"Mas!" Dari arah dapur, Bunda tergopoh-gopoh mendekat.

"MAU JADI APA KAMU HAH?!" suara papanya nyaring, seperti membobol pendengaran Zion. "Jam segini masih main-main di luar bukannya belajar!"

"Mas udah. Zion juga tepat waktu pulangnya." Friska menahan lengan Zafar dan dia menepis sebagai respon.

"Zion cuma main futsal sama tem—ARGHH!" Zion berteriak sakit ketika sebuah tendangan mendarat di perutnya.

"MAS!" Friska menangis. "Jangan cuma karena kamu dapet surat undangan pernikahan dari mantan istri kamu. Kamu justru jadiin Zion pelampiasan amarah kamu!"

Zion tak percaya. "Mama ke sini?"

Cukup ucapan itu, monster di diri Zafar semakin berkobar. Dia berjongkok dan mencekik leher Zion kencang. "Kenapa kalo Mama kamu ke sini? Kamu mau ikut dia. Iya? Kamu mau tinggal bareng wanita jalang itu? JAWAB PAPA!"

Tangan Zafar benar-benar menghalangi jalur pernapasannya. Jemari Zion gemetaran memegang tangan papanya itu. "Papa Zion gak bisa napas. Sa-sakit."

"Mas berhenti." Friska membantu melepaskan tangan gila Zafar dari leher Zion dan di detik berikutnya sang Papa akhirnya melepaskan dengan sentakan.

Zion terbatuk-batuk. Sayangnya, penderitaannya tak cukup sampai situ. Zafar menarik tangannya kencang lalu membawanya menuju dapur.

Dilemparnya tubuh Zion di sana. Membuatnya meringis, merasakan dinginnya lantai dapur.

Iblis yang merasuki raga Zafar tambah beringas. Dia mengambil cambuk yang tergantung di dinding dapur. Tentu menjadikan mata Friska dan Zion melebar tak percaya.

Bunda menggeleng, "Jangan Mas! Jangan ..." pintanya lirih yang tak diacuhkan sama sekali. Justru disambut oleh bunyi cambukkan yang memekkan. Teriakan kesakitan Zion terdengar setelahnya.

Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Zafar benar-benar hilang kewarasan. Dia membiarkan cambukkan itu melukai anaknya sendiri.

"Sakit, Pa. Sakit ..." Zion merintih. Yang diabaikan begitu saja.

Setelah puas oleh alat mengerikan itu Zafar berteriak. Rambutnya diacak-acak. Bukan mengkhawatiri kondisi sendiri, Zion justru ingin memeluk Papa karena dia paham bagaimana kehancuran yang papanya rasakan.

Tapi yang selanjutnya, dia justru tersentak merasakan tendangan di perutnya. Tidak cuma sekali. Papa melakukannya hingga perut Zion bergejolak. Dia terbatuk-batuk perih.

"Mas aku mohon, cukup Mas ..." Friska menangis. Dia cuma berdiri diam tanpa memberi pertolongan. Karena tahu, pertolongan apapun yang akan dia berikan cuma sia-sia dan membuat Zafar lebih menggila.

"Kamu marah karena mantan istri kamu menikah lagi. Tapi kamu gak bisa melampiaskan semuanya ke Zion," Friska sesegukan. "Itu bukan salah dia Mas. Wanita itu yang salah. Dia yang pergi ninggalin kamu demi selingkuhannya!"

Bagai api yang disiram bensin. Batas kemarahan Zafar pecah dan sosok monster itu terlihat makin menakutkan.

"Jadi aku mohon, Mas. Berhenti mukul Zion kayak gitu!" Friska memohon. "Dia udah kesakitan. Anak kamu ..."

Kalimat Friska berhenti digantikan seruan kagetnya sendiri. Zafar berteriak dibarengi dengan piring di meja di dorong hingga tak bersisa.

Friska tak mencemaskan alat dapurnya yang hancur berantakan. Namun, pada Zion yang makin meringkuk ketakutan di pojok dapur. Berbaring miring dengan menekuk kedua lututnya.

"Mas, cukup. Cukup Mas!" Friska kian terisak.

"DIAM KAMU! ANAK ITU ..."

"Dia anak kamu Mas! Dia anak kamu!" Yang wanita balas berteriak.

"DIA BUKAN ANAK SAYA FRISKA!" Zafar tambah mengamuk. Berjalan mendekat pada anaknya yang meringkuk. Diambilnya bambu dan dipukulnya lagi tubuhnya itu.

"MAS!" Friska menahan tubuh sang kakak. Terisak parah. "Buka mata kamu. Itu Zion Mas. ITU ZION ANAK KAMU!" Sayang, sang kakak hilang akal, Friska malah didorong dan mencium langsung lantai dapur.

"Papa ..." Dalam rintihan menahan sakit menerima pukulan, sang anak menyebut ayahnya. Meminta rasa kasihan. Sedikit saja. "Ini Zion, Pa. Anak Papa. Sa-sakit ... badan Zion sakit, Pa."

Friska kembali bangun berdiri. Tangisnya menggila bersama kakaknya yang ikut menggila. "Mas! Aku mohon!" Dia berlutut sekaligus menahan bambu sialan itu.

Namun, lagi-lagi Friska terdorong dan kali ini kepalanya membentur laci bawah kitchen set.

"Bunda!" Zion yang melihat berteriak. Di keadaan yang sebenarnya lebih jauh mengenaskan, dia susah payah mendekati sang bunda. Takut-takut, sang papa akan melukai bundanya.

Dan seharusnya Zion tahu, Zafar mengincarnya. Sebuah kilatan pisau yang di tangan sang papa seolah mengirimkan sinyal buruk. Namun, dia lebih menghawatirkan bundanya. Pisau itu melayang lalu menggores leher hingga punggung. Teriakan Zion menyusul bersama bau anyir pekat memasuki hidung.

Zion terjatuh di samping Bunda. Suara terakhir yang dia dengar adalah umpatan Virdi—Teman yang merangkap menjadi dokter psikiater Papanya—lalu berkata, "Kamu benar-benar udah gila, Zaf!" dan kelopak Zion menutup setelahnya.

°°°°

Di gedung kosong itu akhirnya Linzy menemukan kepingan puzzle terakhir yang menyempurnakan kebingungannya selama ini. Semua teka-teki terjawab hari ini, sekaligus pertanyaan yang selalu mendekam butuh jawaban.

Linzy menoleh pada cowok di sampingnya yang telah selesai bercerita. Zion memandang gedung di sekeliling dengan pandangan kosong. Zion pandai mengarang cerita. Dia memberikan alasan bohong pada teman-teman, hanya untuk menutupi penyebab sebenarnya.

Di balik jaket denim dan kausnya itu ada bekas luka yang melintang. Dan tidak ada seorang pun yang tahu siapa yang menjadi pelakunya.

Siapa yang menduga jika Zion selama ini memendam luka begitu dalam. Termasuk dirinya, Linzy mengenal Zion dengan tawanya. Kejailannya. Keanehannya. Dan senyum yang terus mengurai di wajah.

Benar kata orang bijak. Orang yang selalu tersenyum belum tentu bahagia. Karena mungkin senyum itu cuma topeng belaka. Yang sengaja diciptakan agar tidak ada yang tahu lukanya.

Zion yang terkenal ceria dan gila di waktu bersamaan. Nyatanya cowok yang ditinggalkan ibu kandungnya sendiri. Cowok yang harus mendapat perlakuan keji dari ayahnya karena belum terima fakta jika sang istri berselingkuh di belakangnya.

Perselingkuhan menyebabkan dua hal; kehancuran keluarga dan perubahan sikap orang yang disayanginya.

Sudah dua orang yang Linzy kenal bernasib sama. Lian dan ... sekarang Zion.

Seperti dipertemukan dalam satu lingkaran. Setiap melewati titik-titik yang melingkar, Linzy bisa tahu keberadaan orang-orang yang hancur. Jika selama ini bukan cuma dia yang merasakan kesedihan. Bukan cuma dia yang merasa dunia sudah kiamat. Bukan cuma dia bertopeng seolah semua baik-baik saja.

Kenyataan, dunia ini penuh oleh orang tua yang terjebak ego. Mereka mementingkan dirinya sendiri dan mengabaikan anak di hidupnya.

Yang membuat Linzy tak percaya adalah takdir yang seperti sengaja mempertemukannya dengan Lian dan Zion. Dua cowok yang bertemu untuk saling berbagi luka.

Linzy menarik napas. Itulah hidup manusia. Punya beban-beban hidup yang harus dilewati dengan sabar. Dengan keyakinan jika Tuhan punya hadiah yang indah untuk ke depannya.

"Dada gue selalu sakit setiap ingat masa lalu gue." Zion mencengkeram kaosnya tepat di bagian dada.

"Tapi seenggaknya lo ngerasa lega karena ada orang lain selain Bunda yang tau masa lalu lo. Iya kan?"

Yang cowok mengangguk setuju. "Tiap detail masa lalu gue, masih gue inget jelas. Apalagi soal sakitnya. Salah satunya soal Papa yang bohongin gue."

"Bohongin lo?" Linzy mengernyit.

"Ya, Papa bilang kalo Mama selalu dateng ke kamar gue tengah malem pas gue tidur. Gue pengin ngebuktiin kalo itu bener, tengah malem gue bangun dan nunggu sampe pagi. Kenyataannya ... gak. Mama gak pernah ke kamar gue tengah malem." Cowok itu menunduk frustasi lalu mengacak-ngacak rambutnya.

Melihat bagaimana sorot kepedihan itu, membuat mata Linzy memanas tiba-tiba.

"Setelah semua perlakuan keji Papa lo ..." Pertanyaan ini yang ingin sekali Linzy tanyakan. "Apa lo benci Papa lo?"

Wajah Zion kaku untuk sesaat dan rasanya Linzy ingin memukul mulut karenanya.

"Gak," Zion menggeleng dan tersenyum setelahnya. "Gue gak bisa benci Papa. Dia segalanya buat gue. Dia yang ngajarin gue masak untuk pertama kali. Dia yang buat gue bisa main gitar dan dia yang selalu nemenin gue tidur setiap malem. Terus gimana bisa gue benci dia ..."

Zion menoleh. Linzy mengatup bibir rapat saat dilihatnya wajah sedih cowok itu. "Di hidup kecil cuma ada Papa. Gak ada sosok Mama. Sosok ibu bagi gue itu Bunda. Bukan wanita jalang itu!"  

"Yon!" Tentu perkataan kasar Zion untuk ibu kandungnya sendiri itu tidak pantas. Walau wanita itu memperlakukan Zion seperti anak tiri. Namun, tak baik jika Zion memanggil ibunya sendiri seperti itu.

"Gue nggak pernah punya kenangan sama wanita itu. Jangankan kenangan yang gue tau cuma bentakkan sama sikap cueknya dia."

Mata Linzy makin panas yang ujungnya mulai memburam.

Zion mengembuskan napas kasar. "Udahlah gak usah bahas dia. Males banget." Cowok itu lalu menoleh. Menurunkan sisi kepala. "Lo nangis?"

Buru-buru yang ditanya menghapus air mata di pipi. Cerita Zion memang sangat menyentil hati. Tapi kalau ketahuan menangis, Zion pasti akan meledeknya.

"Gak," Linzy menggeleng. "Gue ... gue cuma kelilipan tadi."

Alis Zion terangkat. Tingkah menyebalkannya kembali. Padahal merah di mata cowok itu belum menghilang. "Serius? Lo bukan nangis karena denger cerita gue?"

"Enggaklah! Ngapain gue nangis buat lo!" Linzy membuang muka.

"Ya udah sini gue tiupin." Zion menarik Linzy mendekat. Yang langsung ditepis sama si cewek.

"Apa sih!"

"Dih katanya kelilipan. Sini gue tiupin. Kayak waktu yang di gudang." Zion makin jail. Sengaja mengatakan memori yang membuat pipi Linzy seketika memerah.

"Gak usah ngingetin itu sih!" Linzy bergerak ke samping kanan. Memberi jarak antaranya dan Zion.

Zion malah mendekat. "Oh lo masih inget ya?"

Kalau tak mengingat jika Zion baru saja bercerita soal masa lalunya. Mungkin Linzy akan langsung memukul cowok itu.

"Gue gak inget. Kan lo yang ngingetin tadi."

Zion mengangguk saja seolah percaya. Sementara Linzy mendengkus.

"Gimana kalo lo ikut gue ke rumah yang lo bilang serem itu?" Entah penawaran yang Zion berikan itu terlalu tiba-tiba atau karena dia tak menduga Zion mau membawanya ke tempat itu.

"Gila! Nggak mau! Nanti lo kenapa-napa di sana!"

Zion tertawa. "Gue kenapa-napa karena masuk ke ruangan Papa gue dikurung. Kalo cuma ngeliat dari ruangan kaca itu mah gak pa-pa."

"Ruangan kaca?" Linzy tak mengerti. Tapi masa bodohlah. Dia tetap tak ingin ke sana. Mengingat papa Zion dikurung di tempat itu. Itu alasan yang masuk akal kenapa Linzy menolak.

"Lo mau ikut?"

"Enggak!"

"Kenapa? Lo takut?"

Zion masih nanya. Lagipula siapa yang tidak takut!

"Percaya deh, Zi saat lo masuk ke ruangan Papa dan negur Papa gue. Dia palingan diam aja. Kecuali gue ikut masuk. Papa pasti bakal ngamuk dan ngelemparin barang apapun ke arah gue," lalu cowok itu menarik napas panjang. Seolah ada sesak yang ingin disingkirkan. "Dia cuma berubah jadi monster kalo ngeliat gue," lirihnya.

Nada sedih itu yang membuat Linzy bertanya ini, "Kenapa lo pengin ke sana? Bukannya lo bilang lo takut?"

"Ada hal lain yang gue takutin, tapi bukan Papa gue," Zion menerawang. "Lagian gue harus ngeliat kondisinya."

    ●●●●●    

Jujur aku buat nulis part ini agak berat. Zionnya :'(

 Hmm tapi gimana parti ini buat kalian tuh? :)

Thanks buat kalian yang masih setia sama cerita Linzion :*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro