Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(47) ● Awal Kesedihan

Ini aku up supaya kalian semangat lagi buat masuk sekolah setelah liburan panjang.

Vote dan komen jangan lupa ya :*

°°°

SETIAP orang punya arti bahagia yang berbeda. Entah mengartikan bahagia yang sederhana atau yang mewah. Itu tergantung penilaian diri masing-masing.

Seperti Zion kecil. Dia punya arti bahagia sendiri. Baginya, bahagia itu saat dia bisa merasakan pelukan sang mama. Usapan lembut sebelum tidur bersama dongeng yang dibawanya. Lalu juga masakan lezat yang dibuat sebelum berangkat kerja atau juga ciuman selamat pagi dari mamanya.

Itu kebahagian kecil yang Zion inginkan. Namun, kenyataan tak pernah sejalan dengan harapan. Kebahagian Zion hanya angan. Hanya khayalan yang tak tahu kapan akan menjadi kenyataan.

Dia tak pernah merasakan pelukan mamanya. Tak tahu bagaimana usapan dan suara lembut mamanya yang bercerita sebelum tidur.

Dari kecil hingga empat tahun berlalu, dia cuma tahu hangatnya pelukan Papa. Hanya tau masakan lezat dari Papa. Dan cuma merasakan usapan dan ciuman sang Papa.

Zion kecil berusaha untuk mengerti. Sang Mama bersikap begitu karena sibuk bekerja. Karena sudah lelah saat pulang malam. Namun, jika dipikirkan lagi, papanya juga sibuk oleh pekerjaan. Yang berbeda: papanya selalu sempat membuatkannya sarapan dan disaat lelah baru pulang, Papa masih bisa meluangkan waktu untuk menemani Zion tidur.

Lalu kenapa sang mama tak pernah punya waktu untuknya? Setiap kali mamanya lembur di kantor, Zion menunggu di ruang tamu bersama papa—yang juga baru pulang. Namun, hal yang dilakukannya tak berarti apa-apa.

Saat dia meminta, "Iyon mau ditemenin Mama tidurnya."

Dan respon mamanya selalu sama, "Kamu pasti mau minta Mama bacain dongeng kan? Mama udah capek, Zion. Mau langsung tidur. Sekarang mending kamu tidur, udah malam." Lalu mamanya berlalu pergi.

Permintaan sederhana itu harus terabaikan lagi. Zion hanyalah anak berusia empat tahun yang sangat berharap bisa tidur bersama mamanya.

Dia menunduk sambil memainkan ujung baju. Untuk penolakan yang sering terjadi, Zion masih belum terbiasa. Matanya memanas tiba-tiba. Dan seperti malam-malam yang terulang bertahun-tahun, papanya yang akan berjongkok dan berusaha menenangkan.

"Zion gak usah sedih. Mama capek, Zion pasti ngerti kan?" papa mengusap kepalanya lembut dan mengurai senyum. "Gimana kalo Papa aja yang nemenin tidur. Mau kan?"

Kesedihan Zion memang tak pernah bertahan lama. Penolakan mamanya akan mudah terlupakan saat papanya mengeluarkan jurus ampuh untuk mengembalikan senyumnya.

Ya setidaknya untuk sesaat. Sebelum keesokannya terulang lagi.

Di meja makan saat papa-mamanya sarapan bersama. Zion sudah rapi oleh seragam Paud-nya. Menatap nasi goreng yang dibuatkan pembantunya yang menggugah selera. Sedikit-sedikit dia melirik sang mama, berharap mamanya cukup peka untuk mengerti keinginannya.

Sayang, di setiap pagi begini, mamanya sibuk oleh dokumen kerja. Berserakan di meja samping piring. Terkadang menyuap makan. Sebelum fokus lagi pada dokumennya.

Keinginan disuapi seperti anak lain, mendorong Zion berani meminta.

"Iyon mau minta disuapin Mama. Boleh?" Selama empat tahun kehidupannya, Zion tak tahu rasanya disuapi ibu kandungnya sendiri. Entah saat kecil, karena setahu Zion, Bunda Friska yang mengurusnya.

"Mama sibuk Zion. Kamu gak liat?" Saat berkata saja, mama tak menatap Zion. Seolah dokumen lebih penting dibanding dirinya. "Lagian kamu punya tangan yang bisa dipergunain kan? Jangan manja Zion. Kamu tuh udah gede."

Zion menunduk. Kebiasannya saat mendapatkan tolakkan mama.

"Mau Papa yang suapin?" Papanya bertanya sambil senyum. Biasanya Zion langsung mengiyakan. Namun, ada sesuatu yang menikam dadanya hingga menimbulkan robekkan.

"Nggak usah, Pa. Iyon udah gede, bisa sendiri."

"Bagus, anak cowok emang gak boleh manja." Itu respon dingin yang kesekian dari mamanya.

Nasi goreng itu terlihat menggoda lidah. Zion berusaha menyendoknya dan memakan walau rasanya mendadak hambar.

Kemudian bagai ibu peri yang diturunkan Tuhan untuk memberikan pertolongan. Friska datang dari arah pintu ruang makan dan mengucapkan, "Bunda aja kalo gitu yang suapin. Zion mau?"

"Bunda!" Zion memekik senang. Friska menyapa mama sekaligus papanya sebelum duduk di samping Zion dan meletakan plastik yang dibawanya.

"Bunda bawa kue buat Zion. Mau?"

Cowok berusia empat tahun itu mengangguk cepat. Friska tersenyum lalu mengambil kotak kue di dalam plastik.

"Kamu seharusnya gak usah repot-repot bawa itu Fris." Zafar yang mengucapkan.

"Nggak pa-pa, Mas. Gak ngerepotin kalo buat keponakan sendiri." Friska tersenyum.

"Bukan gitu, Fris," mamanya juga ikut berbicara. "Masalahnya kalo kamu sering manjain Zion kayak gini. Anak itu gak akan bisa dewasa."

Karena mamanya, Zion tidak jadi memotong kue itu. Pisau plastik di tangan menggantung di udara sebelum kembali diletakan di meja.

"Zion masih kecil, Mbak," respon Friska. "Usianya masih empat tahun, aku belum siap dia jadi dewasa. Jadi nggak pa-pa kalo seusia dia masih manja. Iya kan?" Bunda menatapnya sekaligus tersenyum sambil mengusap kepalanya.

"Justru itu Fris. Dari umur empat tahun harus udah didik jadi anak mandiri." Lalu Mama bangkit berdiri. Seakan tak bisa bertahan duduk di perdebatan sepele ini. "Aku berangkat duluan, Mas. Ada meeting jam delapan."

Zafar mengangguk. Mamanya cuma mencium tangan papa sebagai bentuk pamit. Sebelum melenggang pergi. Harapan Zion sekali lagi menjadi angan. Mamanya tak mencium keningnya seperti ibu lain yang pamit bekerja pada anaknya.

"Aku juga berangkat." Beberapa menit kemudian, giliran Papa. Dia bangkit berdiri. Friska membantu merapikan dasi papanya. Saat selesai, Zafar tersenyum. "Aku titip Zion ya Fris."

"Kamu tau Mas, aku selalu siap buat jaga Zion."

Papanya sekali lagi mengangguk. Bentuk akhir sebelum pergi ke mobil, Zafar mencium puncak kepala Zion sekaligus mengusapnya sambil berkata, "Zion jangan nakal di sekolah dan gak boleh bantah perintah Bunda. Oke?"

Di suasana hatinya yang sedang memburuk, Zion tak bisa mengucapkan apapun selain mengangguk.

"Bunda," panggilnya lirih usai tinggal mereka berdua di ruang makan. Entah kenapa pertanyaan yang selama ini berusaha dia tahan. Ingin diluapkan sekarang. "Mama sayang Iyon kan?"

Friska yang tengah berdiri sesaat diam. Lama. Zion menunggu.

Beberapa menit baru dia berjongkok dan mengulas senyum. "Mama sayang sama Zion."

Sayangnya, ucapan itu tak cukup untuk membuat Zion percaya.

°°°°

Dua tahun berlalu. Usia Zion sudah menginjak enam tahun. Kini, dia bukan lagi anak Paud. Dia sudah beranjak jadi anak TK kelas B. Walau begitu, keinginan Zion masih sama. Dia masih berharap kepedulian mamanya.

Bayangan teman-teman tk-nya selalu diantar dan ditemani mamanya. Kadang membuat Zion sedih. Apalagi saat jam istirahat. Dikala anak lain bermanja ria bersama sang mama. Zion cuma bisa duduk di ayunan sambil menatap iri.

Zion selalu berusaha berpikir positif soal ketidakpedulian Mama. Tak mau membuat suasana hatinya memburuk cuma karena prasangka saja. Dia yakin mama menyayanginya. Tunggu saja. Mungkin bukan saat ini, mungkin nanti.

Meski dia berupaya untuk menunggu, sayang hatinya tak terlalu kuat untuk menahan. Banyak pertanyaan yang ingin dikeluarkan. Banyak sekali ucapan yang ingin diungkapkan.

Dan batas pertahanan itu runtuh saat Mama menolak datang ke acara bakat sekolahnya. Zion tampil saat itu bersama gitar kecil milik papa. Diusia yang masih berusia enam tahun, dia sudah hafal kunci chord itu berkat Papa. Dan juga karena Papa dia mendapatkan banyak pujian dari orang tua teman kelasnya.

Zion senang. Namun, rasanya masih ada yang kurang. Mungkin kebahagiannya akan memuncak kalau mama datang. Kalau mama yang memuji. Kalau mama memeluk dan mengucapkan dia bangga memiliki Zion.

Yang datang cuma Bunda dan Papa. Bahkan papa sampai minta izin dari kantor untuk melihatnya.

Cuma Bunda yang memeluknya diakhir acara. Mengucapkan berbagai pujian yang seharusnya bisa mengembalikan senyum Zion. Tapi, sekali lagi diusianya yang masih belajar untuk mengerti arti dunia. Dia sudah harus merasakan kehancuran layaknya orang dewasa.

Setelah mengantarkan Bunda pulang. Di dalam mobil tinggal Zion yang duduk di depan bersama Papa. Di jalanan kendaraan saling berlomba merayap dengan kecepatan. Beruntung jalanan cukup lancar.

Dan karena tak tahan oleh keheningan dan perang pertanyaan di kepala. Zion membuka lagi pertanyaan yang selama ini mengganggunya.

"Papa?"

"Ya?" Zafar menoleh sejenak. "Kenapa? Zion laper? Mau mampir dulu di tempat makan?"

Zion menggeleng. Mungkin wajahnya yang menekuk, Papa artikan karena kelaparan. Padahal penyebabnya lebih besar dari itu.

"Mama benci ya sama Iyon?"

Pertanyaan tak terduga itu direspon papanya dengan menginjak rem secara mendadak. Menimbulkan bunyi klakson dari mobil belakang dan kemarahan orang-orang di jalan. Melalui jendela yang dibuka, Zafar meminta maaf. Lalu menjalankan mobilnya sedikit untuk menepi di pinggir jalan.

"Kenapa Zion ngomong gitu?" Zafar tentu tak percaya anak lelakinya bisa menyimpulkan seperti itu.

"Soalnya ..." Zion memainkan kuku jari sambil menurunkan sisi kepala. "Mama jarang ngobrol sama Iyon. Mama jarang bilang sayang ke Iyon. Terus juga Mama gak pernah mau meluk Iyon atau nurutin permintaan Iyon."

Papanya tak menyela. Diam seolah membenarkan. Diam seolah dia juga menyimpulkan.

"Mama selalu marahin Iyon. Kalo Iyon salah sedikit aja, Mama pasti ngebentak." Air mata Zion yang menumpuk tak bisa dia tahan, meruntuh karena kesesakan di dada. "Dan juga tadi, Papa bisa izin dari kantor. Terus kenapa Mama gak bisa? Kenapa Mama gak datang buat ngeliat?"

Dalam sesak yang dipendamnya selama ini, Zion mengangkat kepala. Menatap Papanya dengan berlinangan air mata. "Mama benci Iyon kan? Mama gak sayang sama Iyon. Benar kan Pa?"

Seakan tak bisa menahan bagaimana luka yang anaknya tunjukkan. Zafar melepas seatbelt dan menarik Zion ke pangkuan dan memeluknya.

"Hushh! Zion gak boleh ngomong gitu. Gak bagus." Zafar mengusap lembut punggungnya. Sayang, itu tak cukup berhasil menenangkan dan menghentikan laju air matanya.

"Coba Zion pikirin. Kalo Mama emang gak sayang Zion. Kenapa Mama ngelahirin Zion?" Diberi ruang pelukan itu, untuk Zafar melihat wajah sedih anaknya. "Kenapa Mama harus capek-capek berjuang supaya Zion bisa ngeliat dunia. Terus lagi, Zion bisa gede jadi anak pinter kayak gini karena asupan gizi siapa. ASI dari Mama kan?"

Zafar mengusap pelan pipinya. Menyingkirkan jejak basah di sana. "Kayak Papa yang sayang banget sama Zion. Mama juga gitu. Cuma Mama kurang bisa nunjukkin kasih sayangnya ke Zion. Coba deh, tengah malem Zion bangun. Pasti Zion bakal liat Mama yang duduk di sebelah Zion. Emang nggak ngapain-ngapain, cuma duduk sambil senyum ngeliatin Zion tidur."

"Itu bener?" Zion tidak percaya.

Papanya mengangguk yakin. "Percaya sama Papa, kalo Mama sayang banget sama Zion," lalu sang Papa tersenyum jail. "Kalo Zion masih gak percaya, apa perlu Papa rekam Mama yang ngendap-ngendap kayak maling pas masuk ke kamar Zion?"

Cukup kalimat itu, tawa Zion berderai. Papa selalu bisa mengembalikan semangat Zion seperti ini. Dengan tangan kecilnya, dia membersihkan muka dari sisa-sisa air mata. "Gak usah. Iyon percaya kalo Mama sayang Iyon." lalu anak kecil itu tersenyum.

Kemudian saat jarak pulang ke rumah tinggal sedikit lagi. Zion membuka suara. Semangatnya melambung lagi. Senyumnya pun terus mengembang tanpa sedikit pun pudar.

"Kalo Papa sayang Mama?"

Pertama Zafar merespon dengan tawa. Sebelum senyum yang menggantikannya. "Kalo Papa gak sayang Mama, gak mungkin ada Zion di sini kan?"

Karena tak mengerti, Zion mengangguk saja. "Kalo Mama sayang Papa?"

Buat pertanyaan ini. Zafar lama untuk menjawab.

"Tentu aja." Itu jawaban lirih papanya.

°°°°

Ulang tahun Zion ke tujuh tahun terasa lengkap walau dibuat sederhana. Tak meriah tapi cukup membuat Zion merasa bahagia.

Semua teman sekolahnya diundang dan pesta diadakan di pinggir kolam renang. Zion senang. Apalagi ada Mama di sampingnya. Bernyanyi bersama dengan yang lainnya. Lalu membantu Zion meniup lilin dan memotong kue tart yang dibuatkan Bunda.

Kue pertama Zion berikan pada Mama. Kue kedua untuk Papa dan ketiga untuk Bunda. Walaupun mereka memiliki giliran. Namun, mereka tetap memiliki kedudukan yang sama di hatinya.

Dan di antara semua kado yang Zion dapatkan. Tidak ada yang lebih berkesan untuknya selain kehadiran Mama dengan senyumnya itu.

Bunda menghadiahkan kue tart dan wood building blocks. Kado dari Mama besar, berisi robot yang berukuran sepinggangnya dan bisa digerakan dengan remote control. Belum lagi hadiah dari teman-temannya, kamar tidur Zion sampai penuh oleh kado.

Lalu terakhir dari Papa ... sebuah gitar besar yang Zion impikan untuk kehidupan besarnya nanti.

"Papa minta spidol." Saat malam ketika membuka semua kado di ruang tamu, Zion malah meminta yang menimbulkan kernyitan dahi papanya.

"Buat apa?"

"Buat nulis di belakang gitarnya."

"Jangan dicoret dong Zion." Papanya protes sambil bercanda.

"Zion bukan mau corat-coret. Mau nulis satu kata aja."

"Udah, Mas kasih aja." Ini suara lembut mamanya. Bersama Papa, dia membantunya membuka seluruh kado. Dan untuk kehidupan Zion selama tujuh tahun, untuk tahun ini Zion merasa berbeda. Dia bisa merasakan apa itu bahagia.

Seharian ini mamanya selalu tersenyum. Selalu bertutur lembut. Lalu yang membuat kebahagian Zion benar-benar memuncak. Mama memeluk dan mencium keningnya.

Tak lama, Papa kembali dan membawa yang Zion minta. Tak menunggu lagi, dia langsung menuliskan sesuatu di belakang gitarnya dengan spidol.

"Emang Zion mau nulis apa?" Mama yang bertanya.

"Rahasia," ucapnya yang disambut gelak tawa mereka.

Butuh waktu untuk Zion berseru girang melihat hasil tulisannya. "Selesai!"

"Coba Papa liat," pinta Zafar. Zion senyum sambil mengulurkan gitar dan menunjukkan hasil karyanya.

Untuk membaca tulisan di sana. Mama dan Papa terdiam lama. Tak bisa menjelaskan karena merasa haru. Tulisan itu singkat tapi begitu bermakna.

Mama♡

°°°°

Kehidupan itu seperti cuaca yang selalu berubah dan tak tertebak akhirnya.

Untuk minggu kemarin matahari terlihat bersemangat. Panas menyengat. Dan tak bisa diperkirakan, tiba-tiba cuaca berubah. Sudah seminggu hujan mengguyur dengan derasnya. Jalanan basah oleh kesedihan angkasa.

Sebagian orang menganggap hujan susah. Tapi bagi Zion ini anugerah. Apalagi disaat dia bisa bersama Papa duduk di depan beranda rumah sambil menatap rintik hujan yang menghunjam begitu kencangnya. Angin berpesta pora. Bergerak ke sana kemari dan membawa banyak pepohonan ikut bersamanya.

Awal cuma hening. Zion sekadar diam menikmati dinginnya udara di pangkuan Papa. Sebelum Papa membuka percakapan.

"Zion kalo besar mau jadi apa?"

"Kalo besar, Iyon mau jadi dokter sama jadi ... spiderman."

"Kenapa pengin jadi dokter?" Zafar tentu bingung.

"Supaya Zion bisa sembuhin Papa pas sakit."

Perlahan, ujung bibir Zafar terangkat. "Kalo mau jadi spiderman kenapa—eh, Papa tau jawabannya!" serunya tiba-tiba. "Zion pasti mau pake celana dalam di luar kan? Biar keren gitu iya kan?"

Zion seketika tergelak. Sang Papa ikut menyusul setelahnya. "Kalo yang pake celana dalem di luar itu superman Papa. Ini spiderman yang ngeluarin jaring laba-laba. Iyon mau pake jarang laba-labang itu buat orang yang jahatin Papa. Iyon bakal tangkep mereka dan iket mereka supaya gak jahat lagi."

Kebetulan, sebuah mobil masuk dan seorang wanita turun dari sana. Bersama payung yang lebih dulu dibuka, dia berjalan keluar lalu menaiki tangga menuju beranda rumah.

"Mama!" seru Zion. Sayangnya, diabaikan. Dia seketika terdiam. Apa yang salah? Bukankah semuanya terlihat baik-baik saja selama dua minggu ini?

Zion seketika sedih dan rupanya raut sedihnya tertangkap oleh papa. Zafar meminta Zion untuk turun dari pangkuannya kemudian berkata jika harus berbicara pada mama. Zion hanya mengangguk dan membiarkan Papa berlalu.

Zion mengikuti dari belakang. Lalu bersembunyi di balik dinding. Memerhatikan pertengkaran mereka untuk pertama kali.

Walau Mama terlalu cuek orangnya, Zafar tak pernah mempermasalahkan. Pernikahan mereka selalu baik-baik saja. Yang sering terjadi pun hanya perdebatan biasa. Masalah rumah tangga yang ujung-ujungnya kembali seperti semula.

Namun, di detik ini semuanya terasa berbeda. Semuanya terlihat berubah dalam sekejap mata.

"Aku udah gak tahan, Mas." Itu mamanya yang berbicara. Terdengar lelah. "Aku capek pura-pura seakan kita berdua bahagia. Seakan kita berdua gak punya masalah. Aku capek, Mas!"

Atau mungkin Zion salah atas semua dugaannya selama ini.

"Ra, dengerin aku ..."

Mama mengangkat tangan, menghentikan suara papa. "Mas yang harus dengerin aku dulu. Sejak awal kita salah. Sejak awal aku salah karena nerima perjodohan ini. Aku bertahan karena Zion. Tapi saat ngeliat Zion, aku juga jadi keinget semua awal bencana ini semua."

Zion cuma terfokus oleh dua kata yang mama sebutkan 'awal bencana'. Tunggu ... apa itu berarti Zion adalah masalah. Apa artinya Zion selalu menimbulkan masalah yang tak mamanya inginkan?

"Ibu maksa aku nikah sama kamu karena kejadian gak sengaja itu. Aku nikah sama kamu karena kepaksa Mas!" Nada bicara mamanya meninggi. Yang cuma direspon dengan kebisuan. Papanya diam, entah tidak ingin memperumit masalah atau semua itu memang kenyataan.

"Ra ..." ucap sang papa pelan. "Aku tau kita nikah karena perjodohan itu. Ditambah kejadian gak sengaja yang bikin kita gak bisa nolak. Tapi, Ra ... tujuh tahun kita sama-sama dan pasti kamu tau seberapa besar rasa sayang aku."

Mamanya membuang muka. Terlihat muak. "Dan kamu juga tau gimana perasaan aku ke kamu Mas! Gak pernah ada rasa sayang. Semua ini cuma kepura-puraan. Pernikahan ini cuma karena paksaan!"

Jujur, pikiran Zion mengatakan jika dia tak mengerti. Tapi berbeda dengan hatinya yang seolah paham dengan situasi ini. Jantungnya dihunjam sesuatu, namun tak bisa dia jelaskan bagaimana rupanya. Dia cuma tahu kalau dadanya sesak mendengar perkataan dingin mama pada papa.

Ada apa dengan mamanya?

Papa sayang Mama lalu kenapa Mama tidak bisa menyayangi papa?

"Ra ..."

"Aku bener-bener udah gak tahan," Dan ucapan lanjut mama bagai tusukan pedang yang begitu menyakitkan untuk papa sekaligus dirinya. "Gimana kalo kita pisah aja, Mas."

Ini terhitung dua minggu setelah ulang tahunnya, yang begitu membahagiakan. Namun, layaknya cuaca. Tuhan selalu bisa menjungkir balik semua. Yang awalnya panas. Tiba-tiba turun hujan deras.

Zion akan menarik ucapan jika hujan adalah anugerah. Dugaannya itu salah. Hujan adalah awal kesedihannya.

  ●●●●●  

Di part ini mungkin bikin kalian pusing. Termasuk aku yang nulis wkwkwkkw

Misalnya ada yang masih bingung boleh kok nanya di sini. Tapi aku harap kalian bisa nyimpulin sendiri.

Masa lalu Zion tuh panjang. Makanya aku bagi dua :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro