FF(46) ● Semuanya terungkap
Udah up lagi nih. Bahagia kalian semua. Vote dan komen jangan lupa :*
°°°
TERIAKAN dibarengi suara pecahan piring terasa memekakkan. Barang-barang di meja tak tersisa, jatuh berantakan. Dinding dapur seakan bergetar, berubah layaknya diserang angin topan.
Wanita yang menyaksikan berseru kaget. Sayang, dia tak bisa melakukan apapun. Cuma bisa berdiri diam dalam kecemasan dan tangisan. Rasa cemasnya bukan berputar pada alat dapurnya yang terbentuk lagi.
Namun ... pada sosok anak lelaki yang sudah meringkuk di pojok dapur itu. Berbaring miring dengan menekuk kedua lututnya.
Ketakutan. Anak sepuluh tahun itu ketakutan. Tubuhnya penuh lebam bekas tendangan, pukulan dan cambukkan yang menyakitkan mengenai punggung. Bukan rasa iba yang diterima. Pria paruh baya yang menjadi dalang kekacauan yang tercipta di sana, malah terlihat makin mengerikan.
"Mas, cukup. Cukup Mas!" Wanita itu semakin terisak. Sejak awal berupaya menghentikan segala kekacauan di sini. Tapi apa daya, kekuatannya tak cukup besar untuk melawan.
"DIAM KAMU! ANAK ITU ..."
"Dia anak kamu Mas! Dia anak kamu!" Yang wanita balas berteriak. Sakit. Seperti ada belati yang menusuk dadanya saat melihat anak sekecil itu harus menerima perlakuan keji dari ayah kandungnya sendiri.
"DIA BUKAN ANAK SAYA FRISKA!" sang pria tambah mengamuk. Berjalan mendekat pada anaknya yang meringkuk. Diambilnya bambu dan dipukulnya lagi tubuhnya itu.
Luka lebam tadi belum cukup untuk disembuhkan tapi sudah kembali mendapat pukulan lebih kejam.
"MAS!" Friska menahan tubuh sang kakak. Terisak parah. "Buka mata kamu. Itu Zion Mas. ITU ZION ANAK KAMU!" Sayang, sang kakak hilang akal, Friska malah didorong dan mencium langsung lantai dapur.
"Papa ..." Dalam rintihan menahan sakit menerima pukulan, sang anak memanggil sang ayah. Meminta rasa kasihan. Sedikit saja. "Ini Zion. Anak Papa. Sa-sakit ... badan Zion sakit, Pa."
Friska kembali bangun berdiri. Tangisnya menggila bersama kakaknya yang ikut menggila memberikan pukulan sekaligus tendangan. "Mas! Aku mohon!" Dia berlutut sekaligus menahan bambu sialan itu, dihalangi tubuh keponakan kecilnya itu.
Namun, lagi-lagi Friska terdorong dan kali ini kepalanya membentur laci bawah kitchen set.
"Bunda!" Zion yang melihat berteriak. Di keadaan yang sebenarnya lebih jauh mengenaskan, dia susah payah menyeret kakinya mendekati sang bunda. Takut-takut, sang papa akan melukai bundanya. Tapi seharusnya Zion tahu, Zafar alias papanya yang berubah menjadi sosok monster itu, mengincarnya.
Sebuah kilatan pisau yang di tangan sang papa seolah mengirimkan sinyal buruk. Tapi, Zion lebih menghawatirkan bundanya. Kemudian pisau itu melayang.
Dan...
Mata Zion nyalang terbuka. Napasnya saling bekejar. Tersengal-sengal bersama peluh yang datang. Mimpi sialan yang tak pernah absen masuk dalam tidurnya sekejap menghilang. Suasana kacau di sana, telah berganti menjadi suasana kamarnya yang nyaman.
Dia mengusap keningnya yang basah. Mimpi yang sialannya adalah kejadian nyata yang dulu pernah dia alami selalu menghampiri tanpa lelah.
Dia beringsut dan menyandar ke kepala ranjang. Ditariknya napas dalam sebelum diembuskan begitu perlahan. Sayangnya, cara itu tak cukup berhasil menyingkirkan ketakutan dan dadanya yang tiba-tiba menyesak.
Dia mendongak. Menerawang langit kamarnya yang bewarna hitam. Seisi kamarnya didominan oleh warna gelap, seakan cerminan hidupnya yang tak pernah bewarna. Cuma ada kegelapan. Kekosongan. Dan ... kehampaan. Hidupnya tak ada kebahagian, sejak kejadian sepuluh tahun yang menjadikan semuanya berbeda.
Jika mengingat masa kecil. Kehidupannya masih bisa dikata bahagia walau hanya ada keberadaan sang Papa-sosok yang menjadi pelindungnya. Pahlawannya. Panutannya. Jalan hidup Zion selalu mengikuti apapun yang papanya katakan.
Saat berusia tujuh tahun. Zafar adalah segalanya bagi Zion. Ciri-ciri Papa yang menjadi impian bagi semua anak. Papanya pandai mengatur sikap sesuai situasi. Saat serius, Zafar akan selalu bertindak bijak dan tegas. Lalu ketika memang waktunya untuk bercanda, Zafar selalu punya cara agar Zion bisa tertawa.
Lalu saat sosok lembut itu berubah menjadi sosok mengerikan seperti di mimpinya bagaimana?
Zafar yang dulunya adalah panutan dan pahlawan bagi Zion. Karena sebuah kejadian fatal, Zafar menjadi sosok yang berbeda. Raganya memang dia. Namun, jiwanya seperti iblis yang tak pernah punya rasa iba.
Terlalu banyak 'harapan' yang Zion pikirkan. Seharusnya, dia ingat jika semuanya sudah terjadi. Takdir sudah menjatuhkan hidupnya seperti ini. Dan tidak ada cara lain, selain mengikuti arus hidupnya sendiri.
Memang mudah mengatakan. Namun, kenyataan hidup tak semudah itu untuk menjalankan. Apalagi bagaimana Zion harus selalu dibayangi mimpi mengerikan di masa lampau. Masih terbayang bagaimana sorot iblis papanya. Masih terbayang sakitnya diabaikan dan menerima pelampiasan kemarahan sang Papa.
Dan ... yang lebih menyakitkan. Disaat Kenangan indah yang terurai bersama sang Papa menelusup tiba-tiba.
Dia masih ingat salah satu memori bahagia bersama sang papa. Saat Zafar bertanya Zion akan menjadi apa ketika dewasa. Apa cita-citanya?
Zion kecil yang belum mengerti arti rasa sakit selain jatuh dari tangga dan jatuh dari pohon karena memanjat. Menjawab dengan polosnya. "Kalo besar, Iyon mau jadi dokter sama jadi ... spiderman."
"Kenapa mau jadi dokter?" Kala itu keduanya tengah duduk di teras dan Zion duduk di pangkuan papanya. Dan suasana seolah sengaja dipermanis dengan air mata kebahagian sang langit jatuh membasahi bumi.
"Supaya Zion bisa sembuhin Papa pas sakit."
Perlahan, ujung bibir Zafar terangkat. "Kalo mau jadi spiderman kenapa-eh, Papa tau jawabannya!" serunya tiba-tiba. "Zion pasti mau pake celana dalam di luar kan? Biar keren gitu iya kan?"
Zion seketika tergelak. Sang Papa ikut menyusul setelahnya. "Kalo yang pake celana dalem di luar itu superman, Pa. Ini spiderman yang ngeluarin jaring laba-laba. Iyon mau pake jarang laba-labang itu buat orang yang jahatin Papa. Iyon bakal tangkep dan iket mereka supaya gak jahat lagi."
Zion hanyalah anak berusia tujuh tahun yang belum banyak mengerti dunia luar. Cuma penjelasan polos itu tapi begitu bermakna baginya, Zafar tertawa dengan hati yang menghangat.
Kebetulan, sebuah mobil masuk dan seorang wanita turun dari sana. Bersama payung yang lebih dulu dibuka, dia berjalan keluar lalu menaiki tangga menuju beranda rumah.
"Mama!" seru Zion. Sayangnya, diabaikan.
Dari situ, Zion seharusnya bisa menebak jika dokter memang lebih pantas untuknya. Karena di masa depan, dia harus siap menyembuhkan sakit jiwa papanya.
°°°°
Usai membersihkan diri. Zion menuruni tangga menuju belakang. Arah dapur.
Seperti runititas pagi di hari sabtu, dapur berisik oleh suara spatula yang mengetuk wajan. Minyak panas. Air mendidih di panci. Dan aroma masakan yang mengocok perut menjadi keroncongan. Dia mendadak lapar.
Namun, hari ini terasa beda. Biasanya setelah Zion turun dari kamar, bundanya akan menyambut dan menyuruhnya duduk di meja makan. Tidak untuk hari ini. Friska masih marah karena Zion yang membohonginya. Ditambah dia mengetahui fakta luka baru di punggungnya.
Bundanya marah besar dan wujud kemarahan itu bukan sebuah omelan atau bentakan yang mendengung di telinga. Cuma mendiamkan Zion seharian. Tidak menegur. Tidak menyapa. Dan itu yang lebih menyebalkan dibanding apapun.
Wajar jika Friska marah. Ini salahnya. Zion sudah melanggar peraturan. Melanggar batas yang sudah Virdi dan Friska buat. Patutnya Zion mengikuti, sayangnya dia terlalu keras kepala.
Paling-paling yang Friska katakan hanya kalimat ini; "Jangan lupa obatnya diminum."
Demi kakinya squirdward yang banyak itu, Zion tak tahan oleh kediaman sang Bunda.
"Bun!" panggilnya. Friska yang tengah mengaduk sesuatu di wajan tak menghiraukan. "Zion kan udah minta maaf. Jangan diemin Zion terus dong, Bun!"
Zion memberengutkan bibirnya oleh respon tak acuh sang Bunda. Dia berjalan mendekati Friska dan menatap ayam asam manis yang berada di wajan. Oke, dia salah fokus, harumnya masakan Bunda membuat dia lupa tujuan awal. Untungnya cuma sesaat, dia kembali menatap Friska yang tak mau menatapnya.
Dia meletakan kepala di bahunya. Bersikap manja untuk kembali mendapatkan perhatian. Hanya cara itu yang dia punya. Otaknya sudah mati akal karena kesal sekaligus menyesal karena kecuekkan sang Bunda.
"Bun! Ayolah, jangan diemin Zion terus!" rengeknya. "Maaf, Bun. Zion cuma pengin ketemu Papa. Bukan bermaksud ngelanggar janji Zion sama Bunda."
Kali ini Friska mau menoleh. Dalam hati Zion menjerit senang. Senyumnya mengulas bersama menjuhkan kepala dari bahu bundanya. Dan ... bukannya sebuah respon, Friska justru melenggang ke arah lemari dingi untuk mengambil bumbu masakan di sana.
Jujur saja, Zion mengumpat di dalam hati. Seharusnya Zion tahu amarah bundanya lebih menyeramkan dibanding Bu Ainun dengan penggaris panjangnya.
"Kenapa Mas Zion?" Dia pikir, pembantu rumahnya itu terlalu sibuk dengan sup kari yang tengah dimasak. Tapi ternyata ...
Zion cuma mendengkus. Tak mengatakan apapun. Membuat Mbak Rosa terkikik. "Bunda marah ya Mas? Hayoloh Mas Zion! Bunda kalo udah marah bisa seminggu lebih lho. Makanya Mas Zion tuh mbok ya jangan nakal. Jadi anak pinter gitu, seneng pasti Bunda. Dan jangan mainin perempuan lagi Mas, kalo Bunda tau abis Mas Zion disunat lagi."
"Mbak Rosa mending diem aja!"
Omelan Zion tak mempan. Pembantunya malah makin terkikik. "Mas Zion sama siapa tuh Cinta udah putus ya?"
Dia menggeram tertahan. "Cindy Mbak," koreksinya.
"Ciee masih inget nama mantan," Mbak Rosa tertawa. "Beneran udah putus? Jadi sama siapa tuh yang baru. Linzy ya?"
"Mbak Rosa tuh kepo!"
Mbak Rosa tak tersinggung. "Kalo sama si Linzy tuh Mbak setuju. Mas Zion sama dia cocok. Namanya hampir sama lagi. Ada Zi-Zi nya."
"Sayangnya ceweknya susah peka," gumamnya mendumel tapi tak jelas didengar.
"Apa Mas? Bau Cuka? Keteknya bau cuka?"
Kosa kata 'peka' ke 'cuka' itu terlalu jauh kan? Zion diam. Dibanding otaknya menjadi panas, dia melenggang pergi keluar dapur. Mengabaikan Mbak Rosa yang terus memanggilnya.
Kemudian saat Zion mengambil ponselnya di kamar. Ponselnya bergetar satu kali. Sebuah pesan masuk dari Regha. Tak menunggu, Zion langsung membuka.
Regha sok ganteng: Sori Yon. Gue bener-bener minta maaf. Linzy udah tau soal Bunda.
Pesan itu bagai berita dia tak lulus tahun ini. Otot Zion lemas seketika. Linzy memang sudah Zion janjikan untuk semua cerita lukanya. Namun, tidak sekarang. Dia belum siap untuk saat ini.
Tanpa diperintah lagi. Dia mengambil kunci motor dan jaket denimnya. Langkahnya terburu-buru menuruni tangga. Dia harus cepat bertemu Linzy. Cewek itu pasti akan mengerti.
Dan ketika membuka pintu, Zion membeku di pijakan. Dia tak perlu capek-capek menghampiri Linzy. Jika ternyata cewek itu lebih dulu datang kepadanya iya kan?
°°°
"Kita ngobrol di gedung kosong itu aja."
Hanya perkataan itu yang Zion ucapkan. Bahkan Linzy belum menyapa atau bertanya sesuatu. Setelah disambut ramah kedatangannya oleh Bunda, mereka langsung pamit dan cowok itu menyuruh Linzy cepat naik ke motornya.
Jelas menolak adalah pilihan yang salah. Linzy akhirnya cuma mengikuti yang cowok perintahkan. Sebelum akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.
Seperti sudah biasa oleh keadaan yang menyambutnya usai masuk di celah seng karat itu. Linzy tak kaget lagi melihat rerumputan panjang yang berlomba-lomba mendapat perhatian. Coretan pilok dan tembok yang mengusam bersama tumbuhan yang menjalar. Lalu berjalan menaiki tangga dan disambut oleh sinar mentari pagi dan embusan angin yang menyegarkan.
Beruntung langit tak sepanas biasanya. Jadi mereka tak perlu merasa terpanggang di bawah matahari pagi.
"Jangan marah sama Regha." Karena harus ada yang mereka bicarakan. Itu menjadi awal perkataan Linzy di hening yang sejak tadi melintang. "Regha gak salah. Gue yang maksa dia buat cerita."
Mata yang lelaki tertancap pada hal di depan. Atap gedung yang menjulang di sekitar seolah membawa sebagian jiwa untuk melompat dari sana. "Gue gak marah," lalu menoleh. "Kayak kata pepatah. Rahasia gak selamanya jadi rahasia."
Linzy mengikuti arah pandang Zion. "Regha gak cerita apapun lagi." Dia berpikir jika Zion takut Regha menceritakan semuanya-ya walau kenyataan Regha cuma tahu sebatas itu. "Dia cuma bilang kalo Bunda bukan ibu kandung lo dan luka-luka di badan lo. Regha juga cerita gimana dia yang berusaha buat lo cerita penyebab luka lo itu. Tapi ... ya gitu, lo selalu pinter ngeles."
Kali ini dia menoleh. Membalas tatapan Zion yang jatuh tepat ke arahnya. "Kalo lo emang gak siap buat cerita. Nggak pa-pa, itu hak lo."
"Kalo lo nanya kapan gue siap. Jujur aja, gue gak akan pernah siap." Itu kebenaran. Zion selalu mengatasi masalah dengan caranya sendiri bukan terbuka pada orang lain. Saat marah, Zion berusaha mengendalikan diri dan membuat lelucon untuk mencairkan. Dan saat sedih, dia cuma bisa memendam dan menampilkan senyum seolah semua baik-baik saja.
Topengnya itu sudah melekat sejak bertahun-tahun lamanya. Lalu jika disuruh untuk membuka lukanya. Zion seakan disuruh untuk memanjat tebing. Sesuatu yang bukan hobi dan tak tahu bagaimana teknik untuk memanjatnya. Dan jika Zion belum melakukan persiapan, dia pasti akan terjatuh dan terluka lagi.
"Sebenernya kesiapan seseorang itu tergantung dirinya sendiri." Linzy buka suara lagi. "Semuanya tergantung kesiapan lo terbuka sama orang lain. Jujur, gue juga gitu awalnya. Tapi saat gue paksa, gue bisa ceritain semua masa lalu gue ke lo."
Zion mengiyakan. Namun, saat memaksa mendorong tembok topengnya. Seperti ada benda yang menahan hingga sebuah tikaman di dada yang Zion terima.
"Regha-Arven juga punya masalah yang mereka sembunyiin. Kita bertiga sama. Tapi dibanding gue sama Arven, Regha lebih terbuka ke kita. Di situ gue kadang berpikir; 'kenapa gue gak bisa kayak Regha'. Padahal gue tinggal bilang kalo gue lagi sedih. Tapi itu susah, lidah gue kayak ada yang nahan."
"Tipe orang kan beda-beda," Linzy menatap Zion lagi. Sayangnya, cowok itu sudah terpaku pada kakinya. "Regha terbuka juga karena gak mau ngulang masa lalunya. Dan kalo lo ... mungkin emang lo sukanya mendem semuanya sendirian. Kayak gue." Di akhir, Linzy tersenyum dan kembali berhasil menarik Zion menatapnya.
Lama. Zion menatapnya tanpa sedikit berpaling. Jujur saja, Linzy merasa tak nyaman.
"Lo bener," Zion menarik napas panjang. "Bunda bukan ibu kandung gue."
Di awal Linzy ingin mendapatkan sebuah kebenaran. Namun, saat sebuah kebenaran diterimanya di depan mata. Dia seperti kehilangan fungsi bicaranya.
"Bunda adik bokap. Orang tua asuh gue setelah Papa gue harus diasingin."
"Diasingin?" Apa maksudnya? "Papa lo ..."
"Ya ... Papa gue harus dikurung dari dunia luar karena sakit jiwanya."
Zion tenang. Beda lagi Linzy yang terguncang menerima fakta itu. "Papa lo sa-sakit jiwa? Jangan bilang kalo semua luka ..."
"Iya," Zion mengangguk seolah sudah tahu kesimpulan yang Linzy pikirkan. "Papa gue penyebab semua luka gue ini."
Linzy tidak percaya. Napasnya tercekat. Rasanya ada batu yang menjadi penghalang organ napasnya dan membuat dadanya menyesak.
"Jangan berpikir bokap gue jahat. Dia jahat karena kewarasannya keganggu. Dia jahat karena masa lalu. Kalo lo liat bokap gue di masa kecil. Lo bakal tau gimana sosok baiknya dia. Gimana bijaksananya dia. Dan ..." Zion tersekat untukk melanjutkan. "... gimana rasa sayang dia ke gue."
"Papa dan Bunda yang buat gue bertahan sampai sini. Kalo Bunda gak jadi orang tua asuh gue ... gue gak akan ada di sini, Zi. Gue udah gak ada di dunia ini..."
"Yon ..." Linzy menarik tangan Zion. Dadanya makin terasa ditusuk beribu-ribu kali. Apalagi sorot mata Zion yang kosong dan matanya yang memulai memerah. Linzy hilang kosa kata untuk berbicara.
"Papa yang selalu nyuruh gue buat senyum. Dia selalu bilang kalo ada badai yang dateng ngehancurin hidup gue. Gue cukup senyum dan bilang kalo badai gak akan bisa ngerusak yang ada di hati gue."
"Lo pasti tau gimana rasanya hidup lo yang dulu indah. Sekejap semuanya beda. Semuanya hancur dan untuk pertama kalinya lo ngerasain gimana itu luka selain jatoh dari sepeda." Tangan Zion mengepal dan tak perlu bertanya hatinya yang tak berbentuk lagi.
"Kalo bukan karena wanita itu gue masih bisa bahagia sama Papa gue," Zion menunduk bersama tangannya yang menyatu dan terkepal begitu kuat. "Kalo bukan karena wanita itu Papa gue gak akan sakit kayak gini!"
Pertahanan Zion runtuh. Bulir bening yang berupaya ditahan, runtuh dalam sekejap saat mengingat perjalanan perihnya di masa lalu. Dia benar-benar terguncang. Dia kian kuat mengepal.
"Yon!" Linzy menarik tangan si cowok dan tersentak saat melihat telapak cowok itu yang berdarah karena kukunya sendiri. "Yon ..."
"Dan kalo bukan karena wanita jalang itu ..."
Seakan gerakan refleks, Linzy menarik Zion ke pelukan.
"... gue gak akan jadi pelampiasan kemarahan Papa gue."
●●●●●
Hmmm wanita itu ... bisa nebak dia siapa?
Dari sini mungkin masa lalu Zion bakal kebuka semuanya. Ready?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro