Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(45) ● Sebuah Fakta

Karena sekarang udah awal tahun 2019 boleh dunds part ini rame vote dan komen. Oke? 😘

°°°

SATU hal yang baru Linzy ketahui, Zion ternyata cukup keras kepala.

Sepulang sekolah, seharusnya Zion melakukan pengecekan pada jahitan luka di punggungnya. Siapapun tidak ada yang tahu bagaimana kondisi sebenarnya pada jahitan yang sedikit terlepas itu. Linzy hanya melakukan pertolongan pertama. Dan selebihnya, harus dokter yang memeriksa.

Tapi memang Zion kepala batu. Dia justru mengajak Linzy untuk latihan di rumah bundanya. Apalagi cowok itu seperti sengaja mengulur waktu dengan mampir di kafe terdekat untuk membeli cokelat panas.

Suasana memang terlihat sangat mendukung. Hujan deras. Udara dingin. Sepi di dalam mobil. Ditambah cokelat panas yang tengah Zion pesankan di dalam kafe.

Cowok itu memilih mengantri sendiri dan menyuruh Linzy menunggu.

Dari kaca depan mobil, bisa dia lihat Zion yang menerobos hujan bersama dua gelas cokelat panas di kedua tangannya.

Melihat bagaimana penuhnya tangan Zion, tentu Linzy mencondongkan tubuhnya ke kanan dan membuka pintu mobil untuk yang cowok.

Saat sudah duduk manis. Zion menyodorkan salah satu gelas plastik itu padanya.

"Thanks," ucapnya yang dibalas dengan anggukan saja. Yang cowok terlalu ribet oleh rambut basahnya. Mengibaskan rambut, membuat beberapa tetes air bercipratan kemana-mana. Termasuk mengenai wajah Linzy.

"Pake ini aja!" Linzy menyodorkan handuk kecil yang selalu tersimpan di tasnya. Untuk berjaga-jaga jika mungkin bisa berguna suatu saat.

Zion meletakan gelasnya di dashboard dan menoleh. Alisnya terangkat bentuk sebagai pertanyaan.

"Buat lo ngeringin rambut. Biar gak pusing nanti." Jangan salah paham, Linzy sama sekali tidak memberikan Zion perhatian. Ini hanya bentuk rasa kemanusiaan dan teman yang baik.

Iya kan?

Bersama sudut bibir yang ke atas, Zion menerima benda yang Linzy ulurkan. "Manis banget sih."

"Apa?" Linzy tidak mendengar.

"Gak," Zion menggeleng. "Cokelat panasnya manis banget."

"Emang lo udah minum?" Melalui penglihatan Linzy sepertinya Zion belum menyentuh cokelat panasnya sama sekali.

"Emang belum," Lalu senyumnya lebih lebar terangkat. "Maksud gue ... perempuan yang minum cokelat di depan gue yang manis banget."

Uhuk! Linzy tersedak seketika. Dia memelotot pada Zion yang langsung menciptakan tawa cowok itu.

"Receh banget gombalan lo!" Walau begitu, pipi Linzy memerah begitu mudahnya.

"Beneran receh gombalannya?" Zion menggoda sambil mencolek pipinya yang bersemu. "Tapi kok merah gitu pipinya?"

"Apa sih?!" Linzy kalau salah tingkah memang selalu hilang sadar. Dia refleks memukul bahu Zion kencang. Yang tentu Zion balas dengan ringisan.

"Aduh ... so-sori, Yon," Linzy menaruh gelasnya begitu saja di dashboard dan mendekat setelahnya. "Gue gak sengaja serius," ucapnya menyesal.

Namun, didetik berikut dia dibuat terkejut saat Zion menarik tangannya begitu saja. Yang mau tak mau membuat tubuh mereka merapat tanpa jarak.

Zion tersenyum berbanding terbalik dengan Linzy yang memelotot. "Ah ..." Zion menatap tepat di mata kelabu miliknya. "Ternyata lo lebih manis kalo dari deket."

"Ih ..." Linzy sadar dan bergerak menjauh. "Apa banget sih lo! Sok ngegombal. Sori aja gue gak mempan!"

Zion malah tertawa keras. Linzy sekadar mendengkus kesal dan merutuki tubuhnya yang berubah akhir-akhir ini. Cuma kalimat gombalan tadi, Linzy merasa di awang-awang. Dia menggeleng. Sepertinya ini hanya tingkah refleks perempuan kalau mendengar dirinya mendapat pujian.

Iya! Itu pasti.

Tapi ... dulu Linzy tidak begini. Dia tidak mudah terhanyut oleh semua kata-kata buaya Zion. Dia tidak pernah merasa terbang mendengar Zion memujinya. Itu dulu. Dan sekarang...

Tidak! Tidak! Jangan dipikirkan Linzy. Jangan!

"Kita jadi latihan kan?" Lebih baik Linzy beralih topik sekaligus mengalihkan pikirannya yang mendadak kacau. "Mending sekarang aja ke rumah Bunda. Jangan sampe sore karena lo harus periksa luka jahit lo ke dokter."

"Bisa gak sih gak usah bahas itu!" Zion jenuh oleh perintah Linzy yang itu-itu lagi. "Gue pasti ke dokter nanti."

"Tapi kapan?" Linzy tidak bisa dibohongi. Zion pasti tidak akan mengecek luka jahitnya itu.

"Nanti, Zi. Nanti."

"Nantinya kapan, Yon?!" Linzy jadi kesal. "Luka lo harus diperiksa kalo gak mau tambah parah."

"Lo nyuruh gue periksa supaya luka gue cepet sembuh dan lo bisa nagih janji gue buat bawa lo ke tempat itu lagi, itu maksud lo kan?"

Linzy tidak menyangka jika Zion semudah itu menyimpulkan. Dia memang penasaran. Namun, dia sadar. Ini bukan saatnya Zion menyampaikan. Memberitahukan segala tentang hidupnya. Dia bisa menunggu. Dia bisa menunggu Zion untuk kapan pun.

Tapi kenapa cowok itu berkata begitu. Seolah Linzy berteman dengan Zion cuma untuk mengorek informasi. Hanya untuk penasaraan sesaat dan setelah mengetahui segalanya dia akan menjauh begitu saja.

"Gue emang pengin tau semua luka lo, karena lo juga tau luka gue. Gue gak akan maksa kalo lo belum siap cerita sekarang. Gue cuma minta lo periksa luka jahit lo ke dokter, Yon." Lirihnya lalu membuang muka. Menatap rinai yang jatuh menimpa kaca mobil.

"Kenapa jadi baperan gini sih?!" Zion buka suara. Yang memaksa kepala Linzy untuk menoleh kembali. "Gue gak maksud ngomong kayak gitu. Gue cuma gak mau ke rumah sa ..." Begitu melihat tatapan memohon Linzy, Zion tak punya pilihan. "Oke! Oke! Gue bakal periksa setelah kita selesai latihan."

Senyum Linzy seketika mengembang. "Gitu dong."

"Lo seneng?"

Linzy mengangguk cepat.

Zion ikut mengulas senyum. "Kalo lo seneng gue juga seneng." Sayangnya ucapan itu cuma tersimpan di dalam hati.

°°°°

Selama setahun. Sejak Zarlin pindah ke rumah ini dan juga pindah sekolah. Entah sudah berapa kali sebuah paket selalu datang tiap bulan ke rumahnya.

"Tanda tangan di sini dek." Tukang pos yang mengantarkan paket itu menyodorkan kertas. Yang tentu saja langsung Zarlin hadiahi dengan tanda tangan.

"Mas tau orang yang ngirim paket ini?" tanya Zarlin untuk yang kesekian kali setiap petugas pos datang. Karena untuk beberapa alasan dia takut. Ditatapnya boneka beruang di dekapannya yang terbungkus plastik. Boneka beruang yang Zarlin suka. Sayangnya, ketidaktahuannya mengenai si pengirim, Zarlin jadi gelisah.

"Maaf, Dek. Saya cuma dapat perintah dari kantor. Jadi saya gak tau siapa yang ngirim." Tukang pos membungkuk minta maaf. Lalu permisi pergi untuk mengantarkan paket yang lain. Zarlin sekadar mengangguk kemudian berjalan ke dalam rumah.

"Paket lagi sayang?!"

Zarlin terlonjak kaget. Karena kebanyakan melamun, dia sampai tidak sadar ada Mayra—mamanya yang berjalan dari arah dapur. Sebenarnya alasan sesungguhnya bukan karena itu saja, selama dua hari ini Zarlin cuma sendirian bersama pembantu rumah. Papa dan mama tirinya pergi menghadiri resepsi pernikahan rekan bisnisnya.

"Mama kapan pulang?"

Mayra tersenyum. Menatap boneka yang terbungkus rapi di tangan Zarlin sebelum menatapnya. "Baru aja tadi. Mama cuma gak mau ganggu kamu lagi baca buku di kamar, makanya diam-diam."

Senyum Zarlin mengembang sempurna lalu bergerak memeluk Mayra yang sudah seperti ibu kandungnya sendiri. "Zarlin kangen Mama."

"Ditinggal dua hari aja udah kangen." Mayra mengusap kepala Zarlin dan memeluknya lebih erat sebelum mengurainya.

"Cowok kamu tuh sweet banget sih ngirimin kamu boneka setiap bulan. Udah banyak banget itu boneka kamu." Sang mama malah menggoda. Zarlin cemberut. Ini yang menyebalkan. Mayra tidak tahu apa-apa soal paket ini dan justru berpikiran kalau Zarlin punya pacar.

"Ih Mama!"

Mayra tertawa. "Ada suratnya tuh. Mama juga boleh baca gak?" godanya sekali lagi.

"Mama!" rengeknya sambil menghentak kaki kesal. "Udah ah Zarlin ke kamar aja." Dengan pipi yang memerah Zarlin meninggalkan sang mama yang semakin tertawa melihat dia yang salah tingkah.

Saat di kamar, Zarlin langsung membuka surat dan sudah menduga isinya seperti apa.

Zarlin gak sendiri. Kakak di sini.

Kakak harap Zarlin suka sama bonekanya dan berdoa aja semoga kita bisa cepet ketemu.

Zarlin meremas isi surat itu. Lagi-lagi tulisan dan kalimat yang sama. Siapa sebenarnya orang itu?

Dia berjalan ke meja rias dan mengambil bingkai yang tergeletak di sana. Foto dirinya di gendongan sang papa dan seorang anak cowok digandengannya.

Kalau memang yang mengirim itu kakaknya. Bukankah lebih bagus jika dia menunjukkan sosoknya di depan Zarlin. Menunjukkan bagaimana wajah remajanya sekarang.

Jika yang dilakukannya seperti ini, Zarlin justru menjadi takut. Merasa seperti diteror, diawasi dan diuntit.

"Seharusnya Kakak datang nemuin Zarlin kalo emang itu beneran Kakak," matanya mulai perih dan tak butuh waktu untuk rinai jatuh dari sudut mata. "Zarlin kangen, Kak."

°°°°

Pilihan Zion salah. Seharusnya Zion memilih pergi ke dokter untuk mengecek lukanya dibanding melihat Friska, sang bunda yang tahu-tahu sudah pulang dari Jogja. Berdiri di depan pintu dengan sorot berbeda. Sorot yang bisa Zion artikan kecewa.

Zion meneguk ludahnya susah payah. Apa bundanya sudah tahu? Apa Om Virdi memberitahu Bunda?

Seperti Zion yang pintar berakting. Bakat Friska pun bisa diacungi jempol. Senyumnya mengembang saat Linzy dan dirinya berhenti tepat di beranda rumah.

Linzy bergerak menyalimi tangan Friska. Namun, sebuah pelukan yang justru didapatnya. "Udah lama Bunda gak ketemu Linzy."

Awalnya dia kaget. Tapi nyamannya pelukan Friska mengangkat senyum Linzy lebih lebar. Beda lagi pada Friska yang kini menatap Zion tak terbaca. Bukan sorot yang biasanya dia terima.

Dan pelukan mereka terurai.

"Bun, Zion mau salim." Bagai anak kecil, Zion mengulurkan tangan meminta tangan bundanya. Friska tak mengatakan apapun. Cuma sekadar mengulurkan tangan.

Sayangnya, perang dingin yang seperti merentang di sana, tidak cukup peka untuk Linzy sadari.

"Ayo masuk." Linzy mengangguk cepat. Ekspresi yang berbanding terbalik dengan Zion yang menghela napas.

"Bunda kebetulan belom masak," ucap Friska saat Zion dan Linzy duduk di ruang tamu.

"Ah gak perlu, Bun." Linzy menggerakan tangan tak enak. "Bunda pasti capek baru pulang dari Jogja dan Linzy juga lagi gak laper."

"Iya, Bunda emang baru pulang hari ini." Lalu menatap Zion dengan senyum. Tapi, yang ditatap tak bodoh untuk mengartikan hal lain dari tatapan itu. "Kamu gak aneh-aneh selama Bunda tinggal kan Zion?"

Pertanyaan itu seperti jebakan. Zion tak bisa memilih untuk jujur atau berbohong. Dan pilihannya hanya satu. Dia memilih diam tak menjawab.

"Linzy."

"Ya, Bun?"

"Bunda boleh ngobrol sama Zion sebentar." Cukup dari itu, Zion merasa hawa tak enak. Dia belum siap untuk pehakiman yang akan Bundanya berikan. Dia melirik Linzy mengode untuk menolak. Sayangnya, sinyal itu tak Linzy tangkap. Cewek itu mengangguk saja.

"Ayo Zion ikut Bunda ke belakang sebentar." Dan Zion tidak punya cara lagi untuk menghindar. Dia berjalan lemas mengikuti sang Bunda ke belakang dapur.

"Duduk." Bahkan bundanya sudah menyiapkan kursi sidang. Zion tidak menolak dan menuruti bundanya duduk di kursi bar yang tinggi. Sementara Bundanya berdiri di depannya yang terhalang meja bar.

"Kamu bohong sama Bunda." Tidak tanggung-tanggung, bundanya langsung melempar topik inti tanpa basa-basi.

Mendadak lidahnya kelu. Pertanyaan itu paling sulit untuk Zion jawab. Karena jujur, dia benci membohongi bundanya.

Seperti anak yang tak tahu aturan, Zion malah memutar kursi tinggi yang didudukinya ke kanan-kiri.

"Zion." Suara Friska kali ini menuntut untuk Zion menatapnya. Tidak ada yang lebih Zion benci melihat pandangan terluka itu. Apalagi orang yang menyebabkan Friska kecewa tidak lain dirinya sendiri.

"Bunda tau dari mana?" Tidak mungkin Om Virdi kan? Kerabat yang sudah dianggapnya keluarga dan pamannya sendiri itu, tidak mungkin melanggar janjinya pada Zion.

"Bukan Om Virdi yang ngasih tau Bunda." Seakan bisa membaca pikiran Zion, Friska menjawab. "Bunda nyuruh orang untuk mantau kamu selama Bunda tinggal. Dan benar aja kan dugaan Bunda, kamu pasti bakal ngelanggar."

Zion kehilangan semua kosa katanya. Jadi, perasaan seperti diikuti orang diam-diam, adalah firasat yang benar. Katakan, Zion bodoh karena berpikir itu hanyalah perasaannya saja.

"Bunda juga tau Linzy yang nganter kamu ke tempat itu," ucapan Friska tenang untuk kalimat ini. "Tapi Bunda gak bisa salahin dia, karena dia gak tau apapun tentang tempat itu." Lalu sorot kecewa kembali lagi. "Yang patut disalahin itu kamu. Kenapa kamu ke sana?"

"Om Virdi nelpon ..."

"Om Virdi nelpon karena cuma mau ngasih tau kamu soal kondisi Papa. Bukan untuk kamu ke datang ke sana." Friska menekan setiap kalimatnya tegas. "Tapi kenapa kamu ke sana? Kenapa kamu harus bohong sama Bunda, Zion?!" teriaknya tertahan bersama air mata yang siap terjun bebas.

"Zion kangen Papa, Bun." Friska tidak mengerti, Zion juga sakit harus selalu menjaga jarak dari ayahnya. Harus mematuhi peraturan untuk tidak bertemu ayahnya.

"Tapi kamu tau Zion, Papa sakit." Friska kali ini tidak lagi menahan air matanya. Satu tetes jatuh, tetes-tetes yang lain turut mengikuti. "Papa sakit jiwa, Zion!"

Zion mencengkeram kedua tangan. Digenggamnya begitu kuat hingga kuku terasa menancap di sana. Friska tidak perlu mengingatkan hal itu. Zion tentu selalu ingat. Sampai kapan pun ingatan tentang sang papa yang hilang kewarasan menempel lekat di kepala. Apalagi akar penyebabnya. Memori menyakitkan yang berusaha dia kubur dalam-dalam.

"Apa salah, Bun?" Zion bertanya lirih. Yang mengejutkan adalah matanya yang mulai memerah. Nyatanya topeng Zion tak sekuat itu untuk menahan. "Apa salah kalo Zion mau ketemu? Apa salah Zion mau meluk Papa?!"

Friska tak mampu menjawab. Dia membuang muka. Kehancuran Zion adalah hal yang paling menyakitkan untuknya.

"Jawab Zion, Bun!" tuntutnya sekaligus membiarkan bulir panas mengotori pipi.

"Gak ada yang salah, Zion." Suara Friska serak. "Kamu gak salah. Bunda tau perasaan kamu, tapi kamu tau kalo Papa gak bisa ketemu kamu. Papa selalu hilang kendali kalo ngeliat kamu."

Zion semakin mengeratkan cengkeraman tangannya. Hingga dapat dirasa kulitnya panas oleh kukunya sendiri. "Wanita itu yang salah, Bun. Terus kenapa?" isaknya parah. Air mata terus bergulir tak henti di sana. "Terus kenapa harus Zion yang nerima kebencian Papa, Bun?!"

°°°°

Latihan mereka ditunda. Entah apa alasannya. Tiba-tiba Zion membatalkan latihan begitu saja. Sebenarnya mudah untuk menemukan apa penyebabnya, setelah balik bersama Bunda dari belakang, raut Zion berubah. Apalagi dia bisa melihat mata cowok itu yang memerah.

Zion menangis?

Linzy tak berani bertanya. Lebih lagi meminta cowok itu bercerita. Sesuai perkataan awal, dia akan menunggu dan tidak akan memaksa. Diam dan hanya menyaksikan tingkah Zion yang terasa berbeda.

Cowok itu kelihatan berusaha untuk tersenyum dan melemparkan guyonan. Walau ujungnya jadi garing—oke salah, lelucon Zion memang selalu garing. Namun, kali ini benar-benar anjlok dan Linzy bisa merasakan nada getir dari tawa cowok itu.

Lalu pada Bunda, Linzy tak menemukan keganjalan apapun. Senyum Friska tak pudar saat kembali tadi. Dia justru menyuruhnya dan Zion untuk ke dapur. Ternyata Mbak Rosa telah menyiapkan makanan untuk mereka.

Latihan ditunda dan diganti dengan acara makan-makan besar. Banyak menu yang bisa memuaskan Linzy yang tersaji di meja. Mbak Rosa yang menyiapkan ini semua sendirian. Katanya untuk menyambut kepulangan Bunda dari Jogja. Friska bahkan tak menduga itu.

Dari sudut pandang Linzy tidak ada yang salah. Kecuali mata Zion memerah. Interaksi mereka masih sama. Selalu menimbulkan iri untuknya. Semuanya tampak biasa yang dilihatnya.

Lalu sebenarnya ada apa?

Pertanyaan itu melekat erat di kepala. Bahkan sampai Zion mengantarkannya pulang dan melayangkan kissbye alay, yang tak dia pedulikan.

Bersama pertanyaan yang dibawanya di kepala, dia melangkah masuk ke dalam gerbang. Membuka pintu. Lalu terkejut luar biasa saat melihat Regha yang sudah duduk di ruang tamu.

"Lama banget sih lo!" omelnya yang Linzy tak tanggapi. "Gue nungguin dari tadi."

"Lo ngapain di sini?" Kepala Linzy berputar mencari keberadaan orang tuanya. Sangat mustahil Regha ada di sini di saat ada perang. Dan kalau Regha ke sini ... pasti tidak ada siapapun di rumah.

"Mama-Papa lo pergi." Seolah mengerti, Regha memberikan jawaban.

"Kemana?" Seingatnya Clara dan Jeovan ada di rumah. Tadi malam mereka tengah bertengkar hebat. Bahkan tadi pagi masih cekcok walau tidak terlalu parah. Cuma meninggalkan bantingan pintu dan Papanya yang berlalu.

"Kalo Mama lo sih kayaknya lagi ketemu sama teman-teman sosialitanya. Tapi Papa lo ... gue gak tau." Regha mengedikan bahu.

Linzy tertawa miris. "Palingan lagi ketemu sama selingkuhannya. Terus lagi peluk-pelukan di hotel."

"Zi ..." Regha menegur.

"Itu kenyataan kan?" Dia sama sekali tidak peduli lagi dengan kelakuan bejat papanya. "Emang kayak gitu sifat Papa."

"Oke ..." Pembahasan ini sangat sensitif. Dan Regha lagi tidak ingin membahasnya. "Gak usah bahas ini. Lupain aja."

Benar. Lebih baik Linzy mengulang pertanyaan awalnya. "Lo ngapain di sini?"

"Gue cuma mau nganter ini." Kemudian Regha mengangkat plastik transparan di meja dan bisa dia lihat kotak kue di sana.

"Kue?" tanyanya bingung. "Lo bawain gue kue? Kayaknya ultah gue masih lama deh."

"Rainbow cake." Regha tentu tahu kartu as Linzy. Melihat matanya yang langsung berbinar, cowok itu seketika tergelak. "Tadi pagi, Milly ngerengek minta Mama buat bantuin dia buat kue. Terus pas ditanya buat apa. Dia bilang kuenya buat Kak Linzy."

Linzy mendadak bisu. Merasa hatinya mulai diselimuti haru. "Dia bilang gitu?"

Regha mengangguk sambil mengulas senyum. Lalu dia berdiri dan berjalan sambil membawa kantung plastik itu di tangannya dan diberikan pada Linzy setelahnya. "Nih. Dia juga bilang lo harus ngirim foto pas lo makan kue itu."

Dia tentu saja langsung tertawa. "Lucu banget sih adek lo." Yang kemudian menerima plastik yang sepupunya sodorkan.

"Ya," yang cowok mengangguk setuju. "Kayak abangnya."

"Najis." Yang perempuan seketika memukul bahu cowok. Yang cuma dibalas dengan tawa. "Oke deh, nanti gue kirim fotonya. Gue makan malam aja. Penuh banget perut gue kalo makan sekarang."

"Emang lo abis dari mana?" tanya Regha bersama keduanya melangkah ke sofa yang ada di sana.

"Rumah Zion. Niatnya sih tadi mau latihan. Eh, malah jadi makan besar," jawabnya setelah mendarat di sofa tunggal.

Regha duduk di sofa panjang. "Bunda udah balik dari Jogja?"

"Udah. Baru aja sampe katanya."

"Oh ..." Regha mengangguk saja.

"Oh ya, Gha." Kedatangan Regha ke rumahnya itu kebetulan dan sekaligus kesempatan yang Linzy punya untuk bertanya. Harus ada yang dia tanyakan sekarang. "Zion sering berenang di rumah lo kan?"

"Ya." Regha mengerut dahi walau tetap menjawab.

"Terus lo sering ngeliat badan telanjangnya dong."

"Hah?" Kenapa pembahasan ini makin melantur. "Iyalah. Kalo berenang ya pasti telanjang dada."

"Jadi lo tau dong kalo badan Zion tuh penuh bekas luka?"

"Kok lo tau?" Regha bingung diawal sebelum memelotot diakhir. "Lo ngeliat Zion naked?!"

Seketika wajah Linzy bersemu. Malu. "Gak gitu! Dengerin gue dulu ..."

"Lo berdua ngapain hah?!" Regha sampai berdiri.

"Ih pikiran lo jangan aneh-aneh dulu!" Linzy berseru kesal. "Kejadiannya gak kayak dibayangan lo! Itu gak sengaja!"

"Beneran?"

"Beneran-lah!" Dituduh begitu, Linzy jadi kesal. "Jadi lo tau juga kan?"

Kali ini Regha terdiam dan duduk kembali.

"Kenapa lo gak pernah ngasih tau gue?"

"Emang penting lo harus tau?" Regha melempar bom yang membuatnya bungkam.

Hening merentang untuk beberapa saat. "Mm gak ... gue cuma pengin tau."

Hela napas Regha terdengar berat. "Gue tau juga karena gak sengaja. Waktu kelas sepuluh. Arven, Zion mau main ke rumah gue dan kebetuan lagi hujan, seragam Zion basah kuyup dan minjam kaos gue. Dan di situ gue sama Arven pertama kali ngeliat semua goresan di badan Zion."

Ada jeda. "Gue selalu nanya itu karena apa. Tapi lo tau Zion gimana orangnya."

Linzy menarik napas dalam. Ingatan akan semua luka yang berbekas di tubuh Zion, menampar Linzy sekali lagi.

"Gue kayaknya sering bilangin lo dulu," Regha membuka suara lagi. "'Zi jangan sering-sering nabok Zion, mungkin dia kesakitan pas ditabok'. Dan lo malah bilang kalo lo gak peduli. Kalo dia pantes dapetin itu karena udah buat lo kesal." Lalu mengembuskan napas panjang. "Zion selalu beralasan soal lukanya. Entah bilang dikeroyok preman lah. Korban tawuranlah atau cuma karena jatoh. Tapi gue yakin, itu bukan penyebab yang bener. Dia pinter banget bohong."

Ketika dulu pertengkaran Linzy dan Zion tengah panas-panasnya, Regha sering memberitahunya soal itu. Namun, dia yang tidak bisa menahan kesal setiap kali Zion mengganggu. Wajar hilang kendali dan tubuh cowok itu yang menjadi sasaran.

Dulu, dia tidak tahu apa-apa.

"Gue gak tau apapun dulu," gumamnya merasa bersalah. "Tapi sekarang gue udah tau."

"Termasuk soal Bunda?"

Linzy terkejut dan cepat menatap Regha bingung. Soal Bunda? Bukannya Zion bilang Regha-Arven tidak tahu mengenai apapun tentang hidupnya dan cowok itu berjanji akan memberitahunya saja. Tapi ... Regha tahu sesuatu yang Linzy tidak ketahui.

Regha yang sadar raut Linzy yang tidak tahu apapun. Mengumpat dalam hati. "Lupain aja."

"Lo tau sesuatu?"

"Gak."

"Lo tau sesuatu tentang Zion. Iya kan?" desaknya yang kemudian pindah duduk di samping sepupunya itu.

Regha kelihatan bingung. "Kalo lo mau tau tanya Zion aja."

"Gue bakal nanya sama Zion," ucapnya seakan menyudut Regha. "Tapi gue harus denger dari lo dulu."

Regha menoleh kali ini. Menatap Linzy tenang. "Bukannya lebih bagus lo nanya sama orangnya langsung, gak usah pake perantara."

"Gue cuma pengin tau," pintanya lirih. Salah memangnya dia mengetahui hal yang Regha ketahui itu? "Emang salah?"

"Gak salah, Zi, cuma ini ..." Terlihat Frustasi. Regha mengacak rambut.

"Oke," putusnya. Lalu menarik napas dalam dan mengembuskan pelan. "Lo pernah bilang kalo Zion sama Bunda gak mirip kan?"

Entah kenapa mendadak perasaannya jadi tidak enak. "Ya."

Tangan Regha terkepal di pangkuan. Tampak jika tak bisa melanjutkan. "Karena ... dia bukan ibu kandungnya."

Bagaikan didorong ke jurang. Linzy membeku. Rotasi seakan berhenti di porosnya bersama waktu yang terdiam di tempat. Semuanya mendadak jatuh dan mati.

Zion beruntung
Zion beruntung
Zion beruntung

Kata-kata itu yang selalu terputar di kepala Linzy seperti kaset film. Yang selalu menimbulkan rasa iri. Namun, nyatanya yang terlihat indah, belum tentu berarti surga. Bisa saja itu ... tipuan.

"Ma-maksud lo ... Bunda ibu tiri Zion?" tanyanya susah payah.

"Bukan," Regha menggeleng. "Bunda itu adik bokapnya. Yang artinya tantenya Zion. Tapi karena dari kecil Zion tinggal bareng dia. Bunda udah anggep Zion anaknya. Apalagi Bunda gak bisa punya anak dan suaminya ninggalin dia. Cuma Zion yang Bunda punya. Dan Zion cuma punya Bunda."

Linzy kehabisan kosa kata untuk berbicara. "Di-dimana ibu kandungnya?"

"Gue gak tau." Pandangan Regha lurus ke depan. Kosong. "Zion selalu ngehindar kalo gue sama Arven ngebahas bokap-nyokapnya." Lalu menoleh lagi pada sepupunya. "Kalo lo sadar sama foto keluarga Zion di apart tuh cowok. Lo pasti bakal liat muka bokap Zion sama Bunda itu mirip. Beda banget sama Zion. Mungkin Zion lebih mirip ke ibu kandungnya."

●●●●●

Panjang kan part ini. Sebagai ganti karena gak bisa up kemarin.

Setelah baca part ini, udah ketebak masa lalu Zion? Atau masih abu-abu?

*bonus pict*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro