Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(42) ● Rahasia yang ingin diketahui

Boleh dong dikasih vote sama komennya. Biar jari pegal ini semangat ngetik lagi hahaha.

°°°

SEPERTI menjadi kebiasan, saat bel pulang menggema di seantero sekolah. Linzy bersama Zion berjalan menuju ruang musik.

Lorong telah dikuasai kebisingan. Para murid berbondong-bondong keluar kelas sambil menyandang tas. Di tengah keramaian yang menganggu, Zion seolah tak berpengaruh. Langkahnya tenang sementara matanya terpaku pada layar ponsel di tangan. Sangat serius, sampai Linzy yang melangkah bersamanya merasa penasaran.

"Lo ngapain sih?!" tanyanya agak kesal. Aneh saja, Zion yang biasanya banyak omong dan jarang serius. Sekarang justru diam dan terlihat sangat berkonsentrasi.

"Lo lagi main game?" Linzy bertanya lagi.

Cuma anggukan yang Zion berikan. Linzy tambah kesal, dia merapatkan tubuhnya ke Zion, usaha yang cukup bisa untuk melihat layar ponsel cowok itu.

"Tebak gambar?" Yang cewek terbelalak. "Seriously?!"

Kali ini Zion mau menoleh dan berhenti memainkan ponselnya. "Kenapa emangnya?"

Linzy tertawa. Lalu senyum mengejek. "Tebak gambar itu gak cocok sama lo. Lo tuh cocoknya sama game-nya cak lontong. Sama-sama absurd!" ledeknya berani.

Zion merasa tak terima, dimasukkan benda pipih itu di saku celana. "Cocok-cocok aja. Gue lumayan pinter buat main tebak-tebakkan. Dan lagi, permainan yang lo bilang absurd itu, udah gue selesain."

Sekarang Linzy yang terbelalak. Untuk level pertama saja kepala Linzy sudah panas karena tebakannya selalu salah. Tapi cowok itu ... wah-wah, otak Zion sepertinya memang sudah tidak waras.

Bentar jangan salah paham. Linzy tidak mendownload permainan absurd itu. Dia memainkannya dari ponsel Zion dan mencoba menjawabnya di level pertama walau level itu sudah Zion selesaikan.

"Jadi kalo game cak lontong yang susahnya minta ampun aja bisa gue jawab, terus kenapa permainan tebak gambar yang jawabannya lebih gampang kayak gitu gue gak bisa." Zion membanggakan diri.

"Itu yang jadi permasalahannya. Permainan tebak gambar itu cuma buat orang-orang yang otaknya normal. Sedangkan lo ..." Linzy menggeleng dengan wajah prihatin.

Zion memelotot. Dia tak bisa membalas. Kalah dalam hal memutar kata. Akhirnya cuma bisa cemberut. Ekspresi yang membuat Linzy tertawa keras.

Padahal mereka masih berjalan di lorong kelas sepuluh. Tapi seolah tatapan bingung dari adik kelasnya hanya dianggap angin lalu. Jelas mereka kebingungan, Zion-Linzy terkenal oleh pertengkarannya dan adu mulut tak henti. Tapi kini, seperti badai yang telah usai, Linzy yang biasanya selalu kesal di samping Zion, tengah tertawa sekarang.

"Banyak ketawa lo ya sekarang. Dulu jutek banget."

Zion sepertinya memang tidak suka saat Linzy bahagia. Namun, setidaknya dia lagi mode tidak ingin marah-marah. Jadi cuma senyum geli yang menjadi responnya.

"Gue emang gini. Gampang ketawa. Lo-nya aja yang gak kenal gue," ucap Linzy di sela langkahnya. Tinggal satu lorong lagi sebelum sampai di ruang musik.

"Gimana gak kenal. Pas gue ajak kenalan uluran tangan gue ditolak gitu aja." Zion menyindir. Buat sindiran ini, Linzy memelotot.

Saat berbelok ke lorong kanan. Mereka cuma diam. Tak lagi melemparkan perkataan yang menjurus pada ledekkan.

Namun, Linzy yang memecah hening itu. "Bu Santi bakal mantau kita hari ini?"

Zion mengangguk. "Persiapan latihan kita cuma tinggal sebulan lebih kan?"

Linzy mengiyakan lalu menarik napas panjang. Membayangkan berada di panggung berhasil membawa kegugupannya. "Gue deg-degan padahal belom ada di panggung."

"Mungkin lo deg-degan karena dideket gue."

Mendengarnya Linzy mengernyit jijik. "Najis! Gue deg-degan karena bayangin gue di panggung nanti. Bukan karena lo!"

Yang cowok hanya mencibir pelan.

Saat langkah mereka tiba di depan pintu ruang musik. Mendadak ponsel Zion bergetar. Sang empunya tentu mengeluarkan ponselnya dari saku celana.

Dan kini Linzy seolah terdorong ke mesin waktu dan terjatuh tepat di kafe. Ekspresi Zion berubah. Raut kesal karena ledekkan tadi menghilang, berganti sesuatu yang tak bisa Linzy artikan.

Posisi Linzy yang berdiri dekat dengan Zion bisa melihat jelas nama yang terpampang di layar.

Om Virdi?

Siapa?

Dia mendongak, menatap wajah kaku Zion dari samping. Cowok itu sejenak memejamkan mata, hal yang menggelitik dada Linzy seakan bisa merasakan kegelisahan pada cowok di sampingnya.

"Yon," Begitu pelan Linzy memanggil, berhasil menarik Zion dari pusat bisunya. Telepon itu tak diangkat. Namun, ekspresi Zion seolah telah tahu pesan apa yang akan disampaikan.

"Mm ... Zi gue boleh minta tolong," ucapnya berusaha tenang walau kegelisahan tampak di mata. "Tolong bilangin Bu santi, kalo hari ini kita gak latihan dulu. Gue ada urusan mendadak."

Linzy butuh penjelasan lebih. Dia membuka mulut ingin bertanya.

"Sori, gue buru-buru." Kemudian, yang cowok berlari cepat meninggalkannya begitu aja.

Entah apa yang merasuki jiwa Linzy hingga kakinya tak bisa dicegah menyusul Zion menuju tempat parkir. Saat di sana, dia menarik tangan Zion yang membuat cowok itu terpaksa menghentikan langkah.

"Kenapa?" tanyanya dengan napas tak teratur. Ditatapnya Zion dengan kebingungan yang nyata. "Lo kenapa?!" ulangnya lebih keras.

Zion menoleh dan bukannya menjawab, dia cuma tersenyum sambil mengusap kepala Linzy. "Gue buru-buru, Zi. Sori."

Linzy diam. Ada rasa tak mengenakan yang mematikan seluruh fokusnya. Sungguh, dia tak bisa menjelaskan bagaimana sesuatu yang menikamnya sekarang.

Perlahan, dilepaskan genggamannya dari tangan Zion.

Sementara cowok itu langsung menaiki motornya dan memakai helm. Distraternya motor besar itu berulang kali. Tapi seakan memang situasi berubah menjadi monster jahat untuk Zion, sampai masalah tak pernah berhenti menjatuhkannya berkali-kali.

"SIALAN!" Zion mengumpat. "Gue mohon ... kali ini aja. Gue harus cepet ke sana."

Linzy menautkan jemarinya kuat melihat Zion yang mulai putus asa menyalakan motornya yang mendadak mogok. Apalagi mata Zion yang memerah karena lelah. Cowok itu memukul tangki bensin dan mengumpat berkali-kali.

Di sini, Linzy bisa merasakan kegelisahan Zion yang meningkat. "Kalo motor lo gak bisa, pakai mobil Regha aja, Yon." Ini solusi yang bisa Linzy berikan. Karena pagi tadi, Zion datang menjemput. Tentu saja, dia tidak bisa memberikan kunci mobilnya. "Kebetulan kuncinya gue pegang, nanti gue kasih tau dia, pasti dia gak keberatan kalo lo minjam mobilnya."

Zion berhenti. Usahanya tidak ada hasil apa-apa. Dia turun dari motor dan melepas helmnya lagi. "Masalahnya..." dia berusaha tenang menatap Linzy. "Gue pasti lama di sana dan gak mungkin Regha ..."

"Gimana kalo gue anter lo. Nanti gue balik ke sekolah sendiri." Solusi yang tepat untuk menghilangkan keraguan Zion. Yang cowok terdiam lama menatapnya. Satu langkah mendekat, membuat Linzy mendongak. "Gimana?"

Zion diam. Linzy jadi ikut-ikutan. Tatapan cowok itu seolah menelanjangi seluruh kepalanya, yang berakibat pada fokusnya yang menghilang.

"Makasih," kemudian yang cowok hanya mengucapkan itu.

°°°°

Suasana ini benar-benar tak menyenangkan. Tidak ada pembicaraan, keduanya memilih diam. Sengaja membiarkan suara mesin mobil agar lebih jelas di antara kesunyian.

Dari awal ekspresi Zion yang berubah, sudah sangat aneh bagi Linzy. Ditambah cowok itu tidak memaksa menyetir seperti biasa. Dia membiarkan Linzy menyetir, sementara dirinya sendiri menunduk dengan tangan menangkup kepala.

Jujur, Zion tidak sepenuhnya diam. Dia yang menjadi penunjuk jalan—mengingat Linzy tak tahu tempat tujuan cowok itu. Dia berbicara sekenanya. Sekadar mengucap "belok kanan" atau "belok kiri"

Bagai lembaran buku kosong yang minta diisi, Linzy tak bisa memahami situasi yang terjadi sekarang. Kepalanya meminta jawaban, tapi dia tak tahu pertanyaan yang mana dulu yang harus dicari jawabannya.

Tumpukan pertanyaan itu mulai berperang di otak, sedikit menyusahkan Linzy untuk fokus pada jalan.

"Sebenarnya lo mau kemana sih?" Sebentar Linzy menoleh sambil melayangkan pertanyaan.

"Lo gak perlu tau," Zion masih menunduk. Tapi seolah memang sudah hafal jalan tujuannya, dia berkata lagi. "Pas pertigaan, lurus aja."

"Yon," panggilnya lagi merasa harus ada yang diperbincangkan di antara mereka. "Gue serius. Lo mau kemana?" Yang menyetir memang Linzy, namun jalan yang tengah mereka lewati kini terlalu asing. Dia hanya mengingat sebagian jalan dari sekolah. Dan sekarang, sudah sejam jauhnya mereka merayap di jalanan.

Baru di detik ini, Zion berani mengangkat kepala, entah untuk keberapa Linzy mengatakan ekspresi Zion yang tak dapat terbaca. Matanya kosong. Tak ada makna di sana. Cuma kedinginan yang membelenggu Linzy saat tatapan Zion jatuh tepat di irisnya.

"Gue gak bisa ngasih tau. Sori."

Sudah terhitung berapa kata 'sori' yang Zion ucapkan hari ini? Linzy mencengkeram setir erat. Ada dorongan yang tak bisa dia mengerti, membuat satu pertanyaan yang berada di puncak kepala keluar begitu saja. "Siapa Om Virdi?"

Zion tersentak sesaat dan mengubah raut secepatnya. "Om gue," ucapnya tak ingin menjelaskan lebih rinci. "Belok kanan."

Setelahnya hening lagi. Linzy diam karena mencoba menghafal jalan di depan. Mobil merayap di antara pepohonan yang menjulang di kanan-kiri. Sepi. Tidak banyak kendaraan yang lewat di sini. Bulu kuduk Linzy mendadak berdiri, merasa suasana sekitar berubah horor.

"Berhenti," ucap Zion tepat setelah mobil berbelok ke kanan. "Gue turun sini."

Linzy mengernyit bingung. Namun, mengikuti permintaan cowok itu.

Dia menoleh pada tempat tujuan Zion dan menatap gerbang yang menjulang tinggi bersama ributnya pepohonan di dalamnya seakan ada monster yang disembunyikan di balik semua itu.

"Ini apa?" Siapa yang bisa menjawab semua kebingungan Linzy sekarang.

"Mana hp lo!" pinta Zion.

Karena terlalu banyak pertanyaan yang timbul, yang perempuan mendadak linglung. Dia tak mengatakan apapun, sebatas mengulurkan ponselnya.

Zion mengetik sesuatu di sana. "Gue udah ngatur google mapsnya, supaya lo gak kesasar. Dan sekarang lo bisa balik."

Zion hendak turun dari mobil dan Linzy refleks menahan. "Oh ya, thanks." Yang cowok malah mengartikan hal lain karena tindakan Linzy.

"Bukan itu, Om Virdi ... Om lo?" Zion masih diam. "Dia bener-bener Om lo?"

Seakan tembok yang Zion bangun runtuh. Lelaki itu tak bisa mengendalikan diri saat menarik Linzy ke dalam rengkuhan tangannya. "Gue takut ..." lirihnya yang tak bisa Linzy mengerti maknanya.

Pelukannya tak bertahan lama. Zion melepaskan dan langsung melompat turun setelah membuka pintu mobil.

°°°°

Dari kemarin dan hari ini, terhitung dua hari Zion tidak masuk sekolah. Hilang tanpa adanya kabar.

Zion adalah pusat perhatian, pemimpin keramaian yang tercipta di kelas. Karena absennya cowok itu menimbulkan tanya dari teman-teman sekelas.

Bu Santi, wali kelas mereka, belum bisa mengambil tindakan. Menurut peraturan sekolah, anak yang mendapat teguran karena absen tanpa keterangan minimal tiga hari. Sementara Zion baru dua hari tak ada kabar.

Hilangnya pemandu kebisingan, tetap tak dapat menghilangkan suasana berisik kelas saat jam istirahat. Masih ada Justin dan Ricky yang menggantikan posisi Zion.

Seharusnya Linzy bisa seperti anak lain yang sibuk pada dunianya sendiri. Sama sekali tak memusingkan keberadaan Zion kini. Sebagian anak kelas pikir Zion pasti akan kembali sekolah nanti. Entah besok atau dua hari lagi.

Ini bukan kali pertama Zion menghilang tanpa kabar. Dulu saat kelas tujuh semester pertama, juga Zion pernah absen selama seminggu. Jadi seharusnya Linzy tak perlu mengkhawatirkan cowok itu.

Ah ... andai bukan Linzy yang menjadi orang terakhir yang bertemu Zion. Mungkin dia tidak akan seperti ini.

Keramaian kelas perlahan berkurang. Anak lain banyak yang keluar, memenuhi kantin atau sekedar merumpi di lorong depan kelas.

Di antara beberapa temannya yang ada di kelas sibuk pada bekal makanan. Rupanya cuma Linzy yang duduk diam sambil menatap layar ponsel. Berharap ada kabar dari seseorang yang berada di pikirannya sekarang.

Felinzy. L: Lo dimana?

Jika Zion memang tidak bisa membalas pesannya, minimal cowok itu membacanya. Setidaknya Linzy tidak akan kepikiran cowok itu terus-menerus.

Namun, dia tiba-tiba terkejut saat ponselnya ditarik dari tangannya. Secepat itu dia mendongak dan menemukan Shena sebagai pelaku.

"Apa?" tanyanya. Sungguh, kini Linzy tidak ingin melakukan apapun.

"Lo kenapa sih?" Shena tentu kebingungan. Linzy jarang menunjukkan kebisuan seperti ini. "Gue mau traktir lo sebagai PJ. Ayo!" Begitu saja, Shena menarik Linzy dari kursi.

"Gue males, Shen," Linzy tidak ingin bangun dari kursi. Shena jadi kesal.

"Lo males? Serius?" Shena berkacak pinggang sambil menatap jengkel. "Gue mau traktir lo, Zi. Masa males sih?! Ayolah, Retta udah nunggu di kantin." Setelahnya dengan tenaga penuh, Shena menarik Linzy. Yang mau tak mau, Linzy berdiri pasrah. Membiarkan tangannya ditarik Shena menuju kantin.

Benar perkiraannya. Menerima pasrah ajakan Shena adalah pilihan yang salah. Kepala Linzy bertambah pening melihat kepadatan dan kebisingan kantin.

"Shen, mending traktirnya pas pulang aja." Alasan masuk akal yang bisa Linzy berikan agar membebaskannya dari padatnya orang.

"Gak, makan di luar tuh mahal. Gue lagi irit. Mending di kantin, murah meriah."

Di meja tengah, kantin atas, Retta sudah duduk menunggu di sana. Tersenyum saat melihat kedatangan mereka.

"Sori, Ta. Lama. Biasa nih anak keong gak mau diajak ke kantin."

Retta tertawa. "Emang lo gak bosen apa, di kelas mulu dari kemarin?"

"Gue males, Ta. Pengin di kelas aja. Lagian rame banget di sini," ucapnya sambil menarik kursi untuk duduk.

"Sejak kapan Felinzy Lavira tuh lebih milih menyendiri di tempat sepi, dibanding rame kayak gini?" Shena menyindir keras.

"Lo emangnya kenapa?" Dibanding Shena yang dominan cerewet. Retta, lebih memilih mengajukan pertanyaan dengan pelan. "Zion?" Bukan saja pintar, Retta cukup peka terhadap situasi.

Linzy diam. Tak ingin menjawab.

"Ini beneran tentang Zion?" Shena mendengkus tak suka. "C'mon, Zi kenapa lo jadi lebay? Gak cuma lo yang mikirin Zion, anak kelas juga. Tapi anak kelas bawa santai gak mau ribet. Baru dua hari ini, palingan tuh anak lagi males sekolah. Gue yakin besok dia masuk."

Linzy ingin protes. Ingin mengatakan jika semua tebakan Shena salah. Namun, lidah ini terlalu kaku untuk berkata. Semua penjelasan yang ada di pikiran, tak semudah itu dikatakan.

Shena tidak akan mengerti. Bagaimana perasaan bersalah Linzy karena absennya Zion dua hari ini. Dia merasa semua ini karenanya. Dia yang terakhir kali mengantarkan Zion. Yang terakhir kalinya bertemu cowok itu.

Seakan kesalahan Linzy ialah mengantarkan Zion ke tempat asing itu. Yang entah kenapa kepalanya terbayang ada sosok mengerikan bersembunyi di dalam gerbang bersama padatnya pepohonan itu. Tempat itu menyeramkan. Gelap. Kosong. Dan terlalu sunyi.

Pikiran Linzy mulai meracau tak jelas. Bagaimana kalau sosok menyeramkan itu memang ada. Bagaimana kalau Zion hilang karena dikurung di sana dan dibiarkan menjadi seonggok mayat yang tergeletak tak berdaya.

Dia menggeleng. Gila! Pikirannya jadi kacau.

"Zi," Retta yang memanggil. "Percaya deh, kalo Zion masuk besok." Sahabat sekaligus pacar dari sepupunya itu tersenyum. Senyum yang menenangkan untuk Linzy.

Dia perlahan ikut mengangkat senyum dan mengangguk, mencoba yakin.

Shena sejenak pergi untuk memesan makanan dan kembali duduk disaat itulah Lian datang ke meja mereka dengan senyum yang mengulas.

"Zi," Cewek yang dipanggil terlalu shock karena kedatangan Lian yang tiba-tiba. Beda lagi Shena yang antusias.

"Kenapa, Yan?" Shena yang mewakili. "Mau ngobrol sama Linzy?"

Lian tampak gugup. Namun, berusaha untuk tetap mengulas senyum. "Mm ... ya. Gue mau ngobrol bentar sama Linzy. Gak pa-pa kan? Takutnya ganggu kalian."

"Ya enggaklah!" Shena langsung berseru menolak. "Bawa aja, bawa." Seperti seorang ibu yang menyodorkan anaknya untuk dijodohkan. Shena mendorong Linzy.

"Bangun, Zi bangun!" bisik Shena sambil memelotot. Kode supaya Linzy tidak membiarkan Lian menunggu. "Cepetan!"

Linzy memelotot. Kesal dengan Shena yang begitu antusias. Tidak aneh memang, Shena bersikap seperti itu pastinya karena dia ingin Linzy dan Lian cepat jadian.

"Cepetan sih, Zi. Lelet banget lo kayak pengantin baru!" Shena berdecak. Sementara Linzy mendengkus dan berdiri. Lalu berjalan menjauh bersama Lian, mencari ruang untuk mengobrol berdua.

Di dekat tangga turun kantin, langkah mereka terhenti.

"Hari ini lo ada acara?" Lian ternyata tidak ingin basa-basi. Langsung tebas ke inti.

Melihat tingkah gugup Lian, Linzy ikut-ikutan. Dia menautkan jemari, bersama jantung yang mulai berpacu  cepat. "Mm ... gak ada. Emang kenapa?"

Lian terlihat menarik napas dalam. "Hari ini tepat ulang tahun nyokap gue."

Dan penjelasan itu berhasil membuat tenggorokan Linzy tersekat.

"Gak ada hadiah yang lebih bagus buat orang meninggal dibanding doa kan?" Lian berusaha lagi untuk tersenyum. "Jadi gue berharap lo mau nemenin gue ke makam nyokap hari ini. Lo mau?"

Dia diam, menatap wajah penuh harap Lian, tidak ada alasan bagi Linzy untuk menolak ya kan?

"Oke."

°°°°

"Om nelpon kamu untuk ngasih tau kondisi Papa. Bukan untuk minta kamu datang ke sini."

"Maaf Om, Zion gak pernah tenang kalo Om nelpon, tanpa ke sini."

"Bunda tau kamu ke sini?"

"Gak. Jangan kasih tau Bunda Om. Zion gak mau Bunda khawatir."

"Om gak akan kasih tau Bunda, kalo kamu juga ikutin peraturan. Jangan ke ruangan belakang."

Itu bukan perintah. Itu sebuah permintaaan yang menjurus pada peraturan tegas. Zion sepatutnya tidak membantah. Seharusnya Zion tahu membantah sama saja siap untuk membiarkannya celaka. Membiarkan dirinya terluka. Luka untuk batin sekaligus ... fisiknya.

Di dalam kamar yang sedikit remang. Hanya mengandalkan sinar matahari dari horden yang sedikit terbuka. Zion menatap bayangannya di cermin. Menunduk. Mendekat untuk melihat wajahnya yang memar.

Zion mencengkeram rambut. Seakan hal itu bisa menyingkirkan rasa sakit yang menyerang hati dan tubuhnya. Dari rambut, jemarinya mengusap bahu kiri yang sudah berubah warna menjadi biru keunguan.

Bukan disitu saja yang terdapat luka. Di kaki. Di dada. Bahkan punggung belakang mendapatkan yang lebih parah. Bekas luka goresan tujuh tahun lalu saja belum membekas hilangnya. Dia sudah harus mendapatkan goresan baru di sana. Harus mendapat jahitan dan perban yang menutup punggungnya sekali lagi.

Zion berdiri miring untuk bisa melihat perban yang bersarang di punggungnya. Dipejamkan mata. Menyingkirkan sekelebat bayangan menyeramkan yang dia terima untuk mendapatkan semua luka ini.

"Ini Zion Pa! Anak Papa!"

"Zion cuma mau meluk Papa!"

Zion berteriak bersamaan dengan barang-barang di meja cermin terdorong jatuh dan berantakan. Dia menepuk dadanya kencang. Tak peduli luka memar di sana. Luka itu tidak sebanding sakitnya dibanding luka yang tergores di hati.

Dadanya sesak dan sakit.

Hatinya hancur.

Oleh kesunyian. Oleh kesendirian. Oleh luka yang tidak akan pernah bisa disembuhkan, Zion jatuh meringkuk di dekat bawah ranjang. Membiarkan mereka semua menjadi saksi, kalau Zion tidak pernah baik-baik saja. Semua yang ada di wajah hanya topeng belaka.

Zion selalu berusaha tersenyum. Selalu berusaha ceria untuk teman-temannya. Selalu menunjukkan pada Tuhan kalau dia bisa bahagia. Kalau dia bisa hidup dan tak peduli pada lukanya.

Namun, hari yang terlewat menjadi bertahun-tahun, justru memperparah luka yang ada di hatinya. Hatinya mati rasa. Termasuk hidupnya tak bisa merasakan lagi bagaimana rasanya bahagia.

Zion semakin menekuk kakinya, mengeluakan air mata yang tak pernah ditunjukkan ke siapapun. Bahkan pada Bundanya.

"Zion nggak pa-pa?"

"Kalo ngeliat senyum Bunda, Zion gak pa-pa."

Hanya Bunda yang membuat Zion berpikir jika bahagia itu masih ada. Hanya senyum Bunda yang selalu bisa membuat Zion merasa baik-baik saja.

Kesunyiaan ruang kamar dipaksa terpecah oleh suara dering ponsel. Setidaknya Zion harus berterima kasih pada ponselnya karena berhasil mengembalikan akal sehat Zion.

Setelah menghapus sisa air mata dan menetralkan tenggorokannya yang serak, dia berdiri dan mengecek nama sang pemanggil lalu mengangkatnya tanpa menunggu.

"Halo, Om."

"Luka kamu gimana?" Selalu seperti ini, Om Virdi ternyata tidak ingin basa-basi.

"Udah mendingan Om. Tapi bekasnya gak ilang."

Virdi tampak menarik napas panjang di sana. "Apa Om harus nelepon Bunda?"

"Jangan, Om!" sergah Zion cepat. "Bunda lagi di Jogja. Jangan cuma karena Om nelepon, nanti Bunda batalin semua meeting perluasan toko kuenya."

"Tapi, Zion ..."

"Zion mohon, Om. Cukup Om aja yang tau kalo Zion ngelanggar batas kemarin."

Percakapan mereka hanya bersarang pada perihal itu. Setelah Virdi terus mengulang pertanyaan yang sama; apakah Zion baik-baik saja. Sambungan pun terputus.

Zion menarik napas panjang. Meletakan ponselnya di atas laci samping tempat tidur. Matanya menatap laci itu yang tertutup dan refleks membukanya. Dia mengambil ponsel yang dia matikan selama dua hari ini di sana.

Bersama rasa tegang yang tiba-tiba menyerang, Zion menekan tombol sisi ponsel dan tak lama layar ponselnya yang gelap mengeluarkan cahaya. Ponselnya kembali menyala. Tak perlu ditunggu ponselnya langsung bergetar oleh banyaknya notifikasi panggilan dan pesan yang tak terjawab.

Lalu matanya cuma terpaku oleh satu pesan.

Si jutek: Lo dimana?

Sekadar pesan singkat dari Linzy saja, wajah keruh Zion berubah. Sudut bibirnya perlahan terangkat membentuk senyum.

●●●●●  

Kepanjangan ya? I know wkwkkw. Aku mau bagi dua part gak enak tanggung gitu. Pelan-pelan aja bacanya.

Siap menuju part-part masa lalu Zion. Penasaran gak nih? 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro