Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(41) ● Zion Tak Bisa Ditebak

Asik udah up lagi. Seneng gak? kalo seneng kasih vote dan komennya dunds 😚

°°°

ADA yang aneh pagi ini. Entah kenapa mendadak Linzy ingin tampil berbeda. Rambut yang biasanya hanya dikucir kuda, dicepol atau kalau lagi rajin, rambutnya akan dibuat kepang daun.

Namun, berbeda hari ini Linzy ingin memakai bandana—yang demi apapun, dia jarang memakai benda terlalu feminim itu.

Pernah memang, dia memakainya. Tetapi bisa dihitung jari. Itu juga karena terpaksa karena mendatangi pesta resmi.

Bandana itu identik dengan Retta, cewek pendiam dan kalem yang memang pantas menggunakannya. Sementara Linzy. Dia hanyalah cewek galak sekaligus jutek yang tak peduli dengan penampilan. Walau tak jarang, banyak cowok mengatakan Linzy sudah sempurna dengan pakaian apapun.

Kebanyakan cowok hidung belang yang ingin mendapatkan cubitan mautnya.

Di depan cermin kamar setelah selesai menggunakan seragam sekolah dan atribut yang mengikuti, Linzy menatap bayangan dirinya. Rambut sudah tertata rapi bersama bandana dark grey yang tampak mencolok di antara rambut pirangnya. Poni panjangnya dibiarkan terjatuh di sisi depan telinga.

Jujur jauh di lubuk hati, Linzy merasa puas melihat penampilannya yang berbeda.

Lagipula hitung-hitung, Linzy menghargai hadiah Retta. Sahabatnya yang memberikan Linzy bandana itu. Bukan hanya satu, Retta memberikannya sampai selusin bandana bewarna gelap.

Katanya, perempuan berambut pirang lebih sangat cocok jika menggunakan bandana yang berbanding terbalik dengan warna pirangnya yang terang.

Kemudian setelah selesai berkaca, dia mengambil ponselnya yang tergeletak di samping bantal. Seolah sudah tahu, tiba-tiba ponselnya bergetar. Panggilan masuk. Dahinya tentu berkerut membaca 'makhluk astral is calling'.

Karena bingung dan penasaran, Linzy  langsung saja mengangkat panggilan dari Zion.

Belum ada kata basa-basi darinya, Zion sudah lebih dulu berbicara, "Gue udah di bawah." lalu panggilan terputus.

What?! Linzy antara mau marah karena cowok itu mematikan panggilan sepihak semudah itu atau terheran-heran karena cowok itu bilang ada di bawah.

Bentar! Otaknya mendadak lambat mencena. Maksudnya Zion ada di depan rumah Linzy begitu? Artinya Zion datang ke rumah untuk menjemputnya berangkat sekolah bersama ya kan?

Dia terbelalak setelah semua pertanyaan yang berkumpul di kepala dan menjawab segala keheranan Linzy.

Tanpa di perintah otak, tangannya sudah mengambil tas di meja belajar dan menuruni tangga terburu-buru.

Dia shock, tentu saja.

Pikirannya terbagi menjadi dua. Alasan pertama dia melangkah keluar terburu-buru sebab kedatangan Zion yang tiba-tiba. Cowok itu tak pernah bertanya untuk menjemputnya lalu Linzy juga tidak pernah meminta.

Jika memang benar dia yang meminta, berarti otaknya lagi koslet.

Dan alasan kedua jelas dia tidak ingin sampai Clara, mamanya yang paling cantik, melihat seorang cowok remaja berada di depan rumahnya.

Tak perlu dijelaskan lagi, kejadian lima tahun lalu memang berakibat fatal. Bukan saja menghancurkan keluarganya dan melunturkan sikap penyayang sang Mama, tetapi juga berhasil membuat Clara memandang semua cowok itu sama.

Sama-sama brengsek dan tak bisa dipercaya.

Persis seperti dirinya.

Setelah menarik pintu utama terbuka, Linzy berhenti. Gerbang sudah terbuka dan di sana  Zion yang tengah mengobrol dengan satpam rumahnya.

Belum ada tanda-tanda Clara, mamanya itu memang hari ini tidak ada jadwal keluar kota. Baru saja balik tadi malam dari Surabaya. Mungkin Clara masih berada di kamar sekarang.

Tak bisa Linzy bayangkan, kalau Clara sampai melihat Zion.

AH TIDAK-TIDAK! Lebih baik sekarang Linzy harus menyingkirkan Zion.

Dia melangkah ke arah gerbang secepat kilat dan sontak mengejutkan dua orang yang tengah mengobrol itu.

"Pak Dayat balik ke pos aja!" ini perintah Linzy pada satpam yang sudah lama bekerja di rumahnya itu. Pak Dayat mengerjap kaget untuk sesaat, sebelum mengangguk patuh dan meninggalkan dua sosok remaja itu.

"Lo ngapain sih pake jemput gue segala?" Kalimat pembuka yang sangat penting untuk Linzy tanyakan. Dan bukannya menjawab, Zion justru terpaku. Diam sambil menatap wajahnya ... lama.

Ini cowok kenapa?

"Yon," Linzy mendorong pelan bahu Zion, yang membuat cowok mengerjap mata sadar. "Kenapa lo jemput gue?" ulangnya. "Gue gak minta."

"Lepas tuh bandana!"

"Hah?" Sungguh Zion itu tidak nyambung. Linzy bertanya apa, dibalasnya apa. "Apa sih! Gak usah ngalihin topik deh. Gue gak mau Mama sampe liat kalo ada anak cowok yang jemput gue selain Regha!"

"Kalo emang lo gak mau Mama lo liat, lepas bandananya! Terus kita langsung berangkat ke sekolah." perintah Zion sekali lagi.

Linzy makin tak mengerti. "Apa hubungannya gue lepas bandana sama berangkat ke sekolah?"

"Ada-lah hubungannya!" Zion yang sewot. "Gue gak suka!"

Masih pagi ya ini. Jangan sampai cerahnya matahari melihat kedongkolan Linzy karena tingkah tak jelas cowok di depannya.

"Ya terus kenapa kalo lo gak suka?!" Linzy ikutan sewot. "Yang penting kan gue suka pakenya."

Zion berdecak kesal. "Udah sih lepas aja. Jangan sampe Mama lo keburu keluar terus liat gue di sini."

"Apa hubungannya sih?!" Serius. Kekesalan Linzy sudah berada di pertengahan garis. "Tinggal berangkat kan?! Ayo!"

"Gue gak mau berangkat sebelum lo lepas itu bandana!"

"Kasih alasan yang masuk akal kenapa gue harus lepas?" Mati-matian Linzy menahan sabar. Ditatapnya cowok yang sudah rapi dengan seragam sekolah sepertinya penuh keseriusan.

"Ya ... ada alasannya." Zion kelihatan bingung untuk menjelaskan.

"See?" Karena Zion tak bisa menjelaskan, jelas Linzy menang. "Lo gak bisa jelasin alasannya. So, kenapa gue harus lepas?" Kemudian, dia melangkah mendekati motor Zion yang juga terparkir di depan gerbang. "Ayo."

Zion yang ditinggalkan begitu saja, tampak tak senang. Ikut melangkah ke arah motor dan seolah sengaja memancing pertengkaran, cowok itu menarik bandana Linzy dari arah belakang.

Pelan memang, tapi berhasil meningkatkan kekesalan Linzy hingga garis akhir. "LO APA-APAAN SIH YON..."

"Cukup gue aja yang liat lo cantik banget pake bandana ini ..." Zion susah payah menjelaskan dengan pipi memerah. "Anak cowok di sekolah gak ada yang boleh liat."

Linzy maksimal membeku. Bibirnya mengatup bersama otak yang mendadak mati. Perlahan tapi pasti, pipinya mulai memanas dan menciptakan rona.

Sialan! Kenapa Zion harus mengucapkan kalimat yang meredamkan kekesalan Linzy secepat kilat seperti ini?

Dia jadi tidak bisa marah!

°°°°

Linzy jelas tidak akan membiarkan dirinya menjadi bahan gosip murahan anak alay satu sekolah karena tiba-tiba berangkat bersama Zion ke sekolah. Apalagi mereka terkenal sering bertengkar dan tidak pernah akur, lalu menjadi hal aneh kalau mereka datang ke sekolah berdua seperti ini.

Dan ada alasan lain lagi.

Tepat di depan halte yang tidak jauh dari seberang sekolah, Linzy menyuruh Zion menghentikan motornya.

"Apaan dah, belom sampe sekolah juga!" Zion menoleh kesal.

"Gue mau berhenti di sini aja."

"Kenapa emangnya?" Cowok itu bingung. "Kalo lo emang mau turun gara-gara ngambek bandana lo gue ambil. Itu udah telat!"

Cowok itu salah mengira alasan Linzy ingin turun, berpikir ini karena hal sepele yang sudah dilupakannya. Tidak semuanya lupa memang, karena ada yang masih jelas dia ingat. Perkataan Zion yang sialnya bisa membuatnya melambung tinggi.

Tidak! Ayo fokus Linzy! "Ini bukan soal bandana. Gue cuma gak mau nanti anak cewek di sekolah mikir aneh-aneh soal gue yang dateng bareng lo. Lo kan baru putus ... dari Cindy." Dan itulah alasan sebenarnya Linzy meminta turun di sini.

Sebagai respon, Zion cuma diam sambil menatapnya dalam. Entah apa yang berada di kepala cowok itu tapi Linzy berhasil menangkap sesuatu yang salah di mata Zion.

"Oke kalo lo emang mau gitu," Zion yang masih menolehkan kepala ke jok belakang motornya, kembali berbicara. "Ya udah turun."

Ini kenapa nada akhir Zion membuat Linzy jadi kesal. Seakan cowok itu tidak ingin berlama-lama Linzy berada di boncengan motornya.

"Cih! Ini juga mau turun!" Linzy menjulurkan kaki panjangnnya ke trotoar dan setelah selesai turun dari motor besar Zion, dia melepaskan helm yang dibawa cowok itu untuknya kemudian disodorkan ke si cowok. "Nih helmnya."

Zion menerima dan bukannya menghidupkan motornya meninggalkan Linzy. Lagi-lagi dia terpaku lama. Tatapannya menjelajah ke dalam iris kelabu Linzy—yang demi segala alam semesta berhasil membuat kakinya berubah jelly.

Lalu tanpa kata, Zion menyalakan motornya dan melaju pergi.

Di posisi yang masih sama, Linzy diam menatap motor Zion yang menjauh. Cowok itu sudah pergi. Ini saatnya Linzy untuk berjalan ke sekolah. Sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan kecurigaan. Kakinya melangkah santai melewati gerbang. Beberapa cewek kelas lain yang menyapa dibalasnya singkat.

Dia ingin menghindari masalah. Tapi seharusnya dia tahu, masalah selalu datang tanpa perkiraan. Linzy membeku saat matanya bertemu dengan iris gelap Regha di lobi sekolah. Cowok itu menaikkan alis bingung.

"Lo jalan kaki?"

Sial! Linzy tidak punya celah untuk kabur.

Bukan saja Regha yang terheran-heran, Retta yang berdiri di samping Regha ikut menatapnya penuh pertanyaan.

"Mm ... naik ojek gue tadi." Cuma jawaban masuk akal ini yang bisa Linzy pikirkan.

"Serius lo naik ojek?" Regha tidak percaya. "Tumben gak diantar supir? Bukannya Pak Dedi ada ya, kan Mama lo udah balik?"

Jelas kenapa Linzy bilang Regha itu masalah. Sepupunya sangat cerdik untuk memutar kata-kata dan membungkam langsung lawan bicaranya.

"Salah emang gue naik ojek?"

"Gak sih, aneh aja." Regha mengangkat bahu tak acuh. Bagus kalau cowok itu menyerah. Lagipula bagaimana bisa Linzy menjelaskan yang sebenarnya, bisa jadi bahan ledekan dia pasti.

"Udah sih, gitu aja diributin." Retta pada akhirnya harus angkat bicara. Lalu berpaling pada Linzy. "Lo mau ke kelas. Ayo!"

Linzy mengangguk. Namun, saat Regha merangkul bahu Retta. Tak bisa ditahan, tangannya memukul kencang pergelangan tangan sepupunya sendiri.

"Lo gak usah ikut!" ketusnya. "Gue mau berdua sama Retta aja. Ayo, Ta!" Sesaat Retta seperti kebingungan ketika Linzy menarik tangannya begitu saja, meninggalkan Regha yang juga terbengong di tempat.

Lorong mulai ramai oleh para murid. Sebagian banyak yang duduk di kursi panjang depan kelas dan yang lainnya pergi sarapan di kantin atau juga mendekam dalam kelas menunggu bel masuk berbunyi.

Kebanyakan yang duduk di depan kelas adalah cewek tukang gosip yang selalu haus berita viral di sekolah. Dan tukang gosip biasa nyinyir dan menatap sinis orang yang menjadi topik pembicaraan mereka.

Contohnya sekarang ini. Tatapan mereka terus mengikuti langkah Linzy dan Retta selama berjalan di koridor. Jangan salah paham, jelas tatapan itu bukan untuknya, melainkan Retta.

"Udah kebal lo sekarang," Linzy berucap pelan walau sesekali dia sengaja menoleh pada tukang nyinyir itu, membuat mereka langsung membuang muka.

Retta tersenyum. Langkahnya sangat tenang. "Kebal banget. Diemin aja orang nyinyir kayak mereka, nanti juga capek sendiri."

Linzy tidak heran kalau dia mudah dan betah berteman dengan Retta. Pembawaan cewek itu sangat tenang dan selalu bijak jika mendapatkan masalah. Bahkan dia selalu punya cara sendiri untuk menghadapi cewek alay yang kebanyakan adalah fans dari cowoknya.

Seperti teman yang mengetahui apapun tentang sahabatnya, tidak semua sikap Retta yang ditampilkan di sekolah adalah memang sikap asli cewek itu. Di sekolah Retta mungkin terkenal akan prestasi dan sifatnya yang pendiam. Namun, nyatanya ada sifat kekanak-kanakan yang sering Retta tunjukan kalau di rumah.

Linzy pun begitu. Di sekolah dia terkenal jutek pada cowok. Jarang berkumpul bersama anak cowok kelasnya kalau tidak dipaksa Shena. Tapi saat bersama Retta dan Shena atau Regha dia akan bertingkah sebaliknya. Dia bisa bertingkah cerewet dan gila.

Hal pertama yang biasa dia lakukan saat datang ke sekolah adalah lokernya. Mengecek apa ada lollipop di dalamnya.

Dan saat membukanya. Tidak ada apapun selain topi, dasi, seragam ganti, baju olahraga dan beberapa buku yang sengaja ditinggal di sana.

"Kenapa?" Retta ikut melongok ke dalam lokernya. "Dia gak ngirimin lo lollipop?"

Antara sedih dan bingung yang bercampur aduk perasaannya kini. Dia selalu mendapatkan kiriman lollipop dari penganggum rahasianya itu dan tiba-tiba dia tidak mengirimkan permen kesukaannya.

Bukankah itu aneh?

"Dia telat mungkin, Zi. Kayak waktu pas mau upacara, lo ngecek gak ada. Tapi pas jam istirahat tiba-tiba lollipop ada di loker lo. Ya kan?"

Ucapan Retta ada benarnya. Linzy harus positif thinking.

"Lo gak mau nyari tau tentang dia?" tanya Retta di sela langkah mereka menuju pintu kelas.

"Caranya gimana?" Siapa yang tidak mau mencari tahu tentang penganggum rahasianya itu. Sudah banyak cara Linzy lakukan.

Salah satunya, saat setahun lalu, selama sebulan—Linzy yang terkenal malas datang pagi-harus datang, yang pastinya mengganggu waktu tidurnya. Jam enam kurang dia sudah di sekolah. Bersembunyi di belakang pintu kelas dan mengintip melalui celah pintu, menunggu seorang cowok datang dan membuka pintu lokernya dengan kunci duplikat-yang entah bagaimana cara cowok mendapatkan kunci itu.

Dan hasilnya ... nihil. Perjuangan Linzy selama sebulan hanya sia-sia.

"Cuma ada satu cara," ucap Retta. "Lewat CCTV."

Sepenuhnya Linzy menghentikan langkah di ambang pintu, menatap Retta seolah temannya itu sudah gila. "Serius yang nyaranin ide itu Asharetta Novita, murid kesayangan guru?" Dia menggeleng ngeri. "Gila lo! Gak mau gue! Bakal dapet poin negatif kita, Ta kalo ketauan masuk ke ruangan pengawas."

"Ya cuma ide itu doang yang ada di kepala gue."

Linzy menggeleng sekali lagi. Melanjutkan langkah bersama menuju bangku mereka. Kemudian matanya menyipit melihat Shena dan Ricky sedang bercanda tepat di belakang mejanya dengan Retta. Tidak ada yang aneh memang, dia sudah sering melihat mereka berdua yang sering bersama belakangan ini.

Tapi posisi mereka benar-benar dekat. Bahkan Ricky tak segan menyandarkan kepala di pundak Shena dan sahabatnya itu tidak keberatan sama sekali malahan menepuk-nepuk puncak kepala Ricky lembut.

"Shen?"

Panggilan Linzy padahal pelan. Tapi Shena seperti baru saja kepergok guru, cewek itu melonjak dan mendorong Ricky menjauh. Linzy mengernyit melihatnya.

"Linzy, Retta lo berdua udah dateng?" Shena keliatan berusaha menampilkan raut biasa.

Ini anak kenapa coba?

"Nempel banget sih lo berdua?" Retta ternyata juga bingung.

"Emang orang pacaran gak boleh nempel?" Dan perkataan Ricky sukses menjawab kebingungan Retta dan Linzy. Sekaligus membuat Shena melempar tatapan tajamnya pada Ricky.

"Apa?" Ricky yang menerima pelototan kebingungan. "Emang mereka gak tau kita udah jadian kemarin?"

"Kalian jadian?" Kaget tidak perlu ditanya, Linzy agak shock. Dan dengan wajah polosnya Ricky mengiyakan pertanyaan Linzy.

"Kok lo gak cerita ke kita sih Shen?" Retta yang menggantikan tugas Linzy untuk bertanya. Dia  terlalu kaget, hingga cuma terpaku di tempat.

Ricky dan Shena jadian. Linzy tentu senang. Tapi dia masih tak percaya saja, Shena, sahabatnya yang cerewet dan agak lemot itu kini sudah memiliki pawang.

Padahal mereka dulu selalu saling mengejek karena status jomblo mereka dan ujung-ujungnya pasti berucap, "Sesama jomblo gak usah saling ngeledek."

"Lo gak marah kan, Zi sama gue?" Lamunan Linzy buyar mendapatkan pertanyaan itu. Dia mendongak. Semua yang terlibat pembicaraan menunggu jawabannya.

"Kenapa gue harus marah?" tanyanya. Linzy tidak marah. Dia cuma tak menyangka dan kaget di awal. "Lo seneng, gue juga ikut seneng."

"Tuh liat!" Ricky, sang ketua kelas sekaligus pacar baru sahabatnya itu ikut bicara. "Linzy gak pa-pa, lo-nya aja yang paranoid sendiri." Shena menoleh, melalui tatapan dia menyuruh Ricky diam.

"Sori, Zi," Shena benar-benar merasa bersalah. "Lo bener-bener gak marah kan?"

Linzy menggeleng. senyumnya terurai mencoba meyakinkan. "Gue gak marah, kalo lo traktir gue sama Retta sebagai PJ."

Kali ini Shena bisa tertawa. Dia mendekat dan memeluk Linzy. Alasan kenapa dia tidak ingin memberitahu kedua sahabatnya karena tidak ingin menyakiti Linzy. Dari awal mos mereka saling mengenal. Saling meledek kejombloan mereka. Jadi terasa aneh kalau dia sudah tidak sendiri sekarang.

Yang Shena takutkan. Linzy akan menjauh dan berubah karena status barunya itu.

"Weh yang jadian!" Suara dari arah pintu membuat mereka yang terlibat pembicaraan menoleh dan melihat Justin melangkah heboh sambil melambaikan tangan. "Jangan lupa lo berdua PJ buat gue. Empat mangkok mie ayam di kantin."

Saat Justin sudah berdiri dekat, Ricky langsung menggeplak kepala cowok itu. "Lo mau minta traktir apa malak hah?! Banyak bener!"

Justin merengut sambil mengusap kepalanya. "Jahat lo sama gue! Bodo! Pokoknya gue mie ayam empat mangkok."

"Serah lo dah!"

"Asik!" Justin girang. "Gitu dong, gue jadi sayang kan." Lalu mengedip matanya berulang kali, membuat Ricky mengernyit jijik dan mendorongnya menjauh.

Linzy diam. Namun, dia mendadak mendapatkan firasat buruk saat Justin mulai menoleh padanya.

"Retta punya Regha, Shena sekarang punya Ricky," Justin tersenyum jail. "Kalo lo punya siapa, Zi?"

Tuhkan! Firasat Linzy tidak salah.

Nabok orang boleh gak sih?!

Tangan Linzy sudah gatal ingin memukul atau sedikit memberikan Justin cubitan kecilnya saat dia justru tersentak merasakan rangkulan di bahu. Sontak dia menoleh dan kaget melihat Zion yang menatap tepat ke Justin.

"Linzy punya gue," ucapnya begitu santai mengundang ricuh kelas. Semua anak mulai meledek dengan kalimat 'cie' yang diulang-ulang.

Hal yang seperti ini sudah biasa. Anak kelas paling menganggap Zion cuma bercanda. Menggoda Linzy adalah sesuatu yang cowok itu suka. Biasanya memang Linzy menganggap begitu, tapi entah kenapa ini terasa berbeda. Yang dilakukan Zion seperti pertolongan disaat Linzy sendirian tanpa siapa-siapa.

Linzy menatap Zion dari samping. Yang ditatap menoleh, membalas tatapannya lalu mengurai senyum.

●●●●●

Zion nyebelin apa manis di part ini hm?

Gak usah senyum Yon -_-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro