Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(39) ● Tertinggal berita

Yuhuuuu ... udah up. Jangan lupa vote dan komen ya sayangkuhh😚

°°°

PADA sore harinya Linzy merasa baikkan. Tubuhnya sudah tak berkeringat dingin lagi. Perutnya juga sudah tak menolak makanan meski tidak bisa banyak yang masuk. Sisa pusing di kepalanya saja yang membuatnya tidak bisa kemana-mana selain berbaring.

Bertetapan dengan dia yang hendak menghidupkan televisi plasma di kamarnya, pintu terketuk dari luar. Niatnya terurung dia menaruh kembali remote-nya di atas laci samping ranjang.

Tak perlu mengetuk dua kali sebagai tanda, Bi Marni, pembantu sekaligus pengasuhnya sejak kecil mendorong pintu kamarnya.

"Itu Non, ada temennya. Bibi suruh masuk aja?"

Dahi Linzy berkerut bingung. Sejak kapan Retta dan Shena harus susah payah menyuruh Bi Marni meminta izin. Biasanya juga langsung ke atas dan masuk begitu saja ke kamarnya. Saat pulang sekolah tadi, memang Retta menelpon jika dia dan Shena akan datang menjenguk.

Ah ... kepala Linzy sudah pusing. Bagaimana mungkin dia mau capek-capek berpikir untuk hal tak penting. Kepalanya mengangguk seadanya dan berkata, "Suruh masuk aja Bi."

Bi Marni tampak ragu tapi tak mengatakan apapun. Pintu kembali tertutup. Tak butuh waktu lama untuk pintu terbuka lagi.

Linzy menoleh, berniat menyambut Retta dan Shena. Tapi seharusnya Linzy tahu arti dari keanehan yang ditangkapnya tadi. Dia membeku di ranjang. Kaku. Tak bisa bergerak.

Yang Linzy harapkan sekarang hanyalah ranjangnya bisa menelannya hidup-hidup. Dia belum siap bertemu dengan Lian. Apalagi kini dia tengah memakai koleksi piyama permen warna-warni kesukaannya.

"Gue boleh masuk?"

Linzy tersadar dan refleks membenarkan posisi tidurnya untuk menyandar. Membiarkan selimut jatuh menumpuk di pinggang.

"Ma-masuk aja, Yan."

Usai mendapatkan izin, Lian tak perlu menunggu, kakinya terayun masuk. Senyumnya mengembang. Di tangan kirinya ada paper bag. Tapi bukan itu yang menarik perhatian Linzy, fokusnya lebih terpusat pada bunga yang terangkai rapi di tangan kanan cowok itu.

Di sisi ranjang, Lian berhenti sambil meletakkan paper bag di atas laci. Sementara bunga yang dominan warna kuning dan putih  itu diberikan pada Linzy.

"Buat apa lo bawa bunga?"

Senyum Lian makin tertarik lebar. "Buat lo!"

Yang Linzy maksud bukan itu! Lian seharusnya menjelaskan bagaimana bisa cowok itu membawa bunga. Padahal dipesan tadi, dia tidak mengatakannya.

Mengerti raut wajah Linzy, yang cowok tertawa. "Gue awalnya gak bawa bunga pas jalan ke sini. Tapi kebetulan di jalan, gue lewat toko bunga dan kepikiran lo. Ya jadinya gue beli."

"Oh ..." respon Linzy memang terlalu singkat. Tapi tahukah jika jantungnya mulai berdebar tak menentu.

Linzy menatap bunga di tangan dan tak sadar oleh mata Lian yang menatapnya dari ujung kepala hingga kaki.

"Piyama lo lucu."

Yang perempuan mendongak cepat dan terbelalak. Seolah baru diingatkan lagi soal piyama sialannya ini. Karena mendadak merasa malu, dia cuma terkekeh canggung sebagai respon.

"Gimana keadaan lo?" Lian mendaratkan diri di kursi kayu yang memang Bi Marni letakan sejak pagi di samping ranjang untuk memaksanya makan dan berujung pada menyuapkan nasi ke mulutnya seperti anak bayi.

"Udah mendingan sih."

Yang selanjutnya mengejutkan Linzy luar biasa ketika Lian tiba-tiba mengulurkan tangan dan menempelkan di keningnya. Cowok itu diam untuk beberapa detik sebelum mengangguk setuju. "Ya, badan lo udah gak panas."

Sadarkah Lian hal yang dilakukannya itu memacu jantung Linzy bergerak lebih liar. "Badan gue emang udah gak panas, sisa pusing aja," ucapnya sambil bergerak menjauh. Berharap Lian cukup peka untuk menjauhkan tangannya.

Jelas dia tidak mau sampai Lian mendengar suara jantungnya.

"Kalo masih pusing jangan banyak gerak." Dentuman jantungnya kian parah karena Lian yang justru mendekat dan menggenggam tangan kirinya untuk menghentikannya bergerak—yang padahal usahanya untuk menciptakan jarak dari cowok itu.

"Lo nggak pa-pa?" tanya Lian, saat dilihatnya Linzy yang terdiam lama.

"Ah gu-gue gak pa-pa." Linzy menggeleng kaku. Membasahi bibirnya yang kering mendadak.

Seakan baru sadar akan tindakannya, Lian menjauhkan tangan Linzy dengan canggung.

"Lo udah minum obat?"

"Kayaknya lo udah nanya pas dichat tadi." Linzy tertawa pelan.

"Emang ya ..." Lian ikut tertawa. Mengusap leher belakang dengan gerakan canggung.

Namun, suasana yang tercipta di antara mereka harus diganggu dering ponselnya yang tidak mengenal waktu. Linzy buru-buru mengambil dan hendak me-reject. Sayang, gerakannya terhenti menatap sang nama penelpon di layar.

Makhluk astral. Cih! Sudah tahu Linzy masih kesal dengan cowok itu karena hanya membaca pesannya tanpa membalas. Hitung-hitung balas dendam, Linzy mematikan begitu saja dan meletakan kembali ponselnya ke tempat semula.

"Kenapa gak diangkat?" Lian bingung.

"Orang gak penting."

Dahi Lian makin mengerut dalam. Kelihatan penasaran sekaligus bingung. Ditambah untuk kedua kalinya ponsel Linzy berdering dan cewek itu tak mengangkatnya sekali lagi.

Tiga. Empat. Lima. Sampai enam kali ponsel cewek itu terus berbunyi. Namun, responnya tetap sama. Dia mereject-nya begitu saja. Wajahnya merah padam, menahan kesal.

"Emangnya siapa yang nelepon?" Lian tak bisa lagi menyembunyikan rasa penasarannya. Dia melongok ke layar ponsel Linzy dan membaca nama makhluk astral di sana—itu jelas bukan jawaban yang bisa menjawab pertanyaan di kepalanya.

Tunggu! Benang kusut Lian seolah baru saja terurai dan pertanyaan di kepalanya perlahan tapi pasti menemukan jawaban.

"Itu Zion?" Makhluk astral. Nama yang sering kali Linzy pakai untuk mengatai Zion. Umpatan yang selalu Linzy gunakan saat di kelas pada Zion karena mengganggunya. Lian sudah sangat tahu akan hal itu.

"Ya." Linzy mengangguk malas.

Yang cowok kali ini diam. "Terus kenapa lo gak angkat?"

"Males."

"Males karena dia ganggu lo?"

"Bukan!" Linzy kesal. Dan tak sadar saat melanjutkan, "Kesel aja gue sama dia, chat gue cuma diread..." Didetik itu juga Linzy menahan lidahnya. Bentar! Kenapa dia jadi begini sih! "Ya pokoknya males ajalah sama dia. Kayak yang lo bilang, dia tuh ganggu. Ganggu banget!"

Lian terlihat berusaha mengulas senyum. "Angkat aja, siapa tau penting."

"Gak usah!" Linzy menggeleng. "Ada lo, terus kenapa gue harus nerima telepon dia."

Linzy tidak tahu saja. Kalimat singkatnya barusan, berhasil membuat Lian benar-benar tersenyum.

°°°°

Rasa-rasanya Linzy hanya meliburkan diri sehari kemarin, tapi terasa seperti berbulan-bulan. Apalagi di pagi ini, ada yang aneh. Di sepanjang koridor lantai satu dan dua, dia menangkap nama Zion di setiap rentetan gosip para cewek. Entah apa yang mereka bicarakan, namun telinganya jelas mendengar nama cowok itu.

Tak mau ambil pusing, Linzy masa bodoh akan pembicaraan unfaedah para penggosip itu. Kurang kerjaan. Pagi-pagi udah bikin ajang rumpi.

Baru melewati tiga langkah dari pintu kelas, dia mendengar suara nyaring Shena berbarengan dengan langkah cepat perempuan itu dan tanpa menunggu sedetik pun dia memeluk Linzy erat.

"HUAH AKHIRNYA SAHABAT JELEK GUE MASUK!" Linzy memelotot. Satu fakta lagi yang tertinggal olehnya, kalau Shena bertambah lebay setelah seharian kemarin tidak bertemu. Iya. Kedua temannya tidak jadi datang menjenguk. Alasannya cukup masuk akal, ada tugas kelompok yang harus mereka kerjakan kemarin.

Linzy bergerak minta dilepaskan. "Lepasin gue Shen, sesak napas nih!"

"Eh," Shena terkekeh sambil melepaskan pelukan. "Hehe, sori-sori. Abisnya kemaren gak ada lo, kangen gitu gue."

Perempuan pirang itu berdecak. "Ditinggal sehari aja makin lebay lo. Kepala lo kebentur apaan?"

"Yeee songong! Seharusnya lo tuh seneng gue kangenin!" Shena cemberut.

Linzy tersenyum angkuh. "Thanks, buat rasa kangennya. Gue sadar diri, kalo gue emang ngangenin."

"Bitch!" Shena tak tahan untuk mengumpat. "Kayaknya mulut gue khilaf ngomong tadi." Cewek sipit itu menghentak kesal dan berjalan ke bangkunya.

Bersama tawa yang Linzy keluarkan, dia melangkah mengikuti Shena dan mendaratkan diri di kursinya. Bukan duduk di tempat asalnya, Shena malah mengambil duduk di sampingnya—kursi Retta.

"Retta belom dateng?" Alasan Linzy bertanya ini karena melihat kursi sampingnya kosong tanpa adanya tas Retta.

"Belom."

"Tumben?"

"Biasanya sih ya, kalo dia ngaret gitu karena sepupu lo!"

Linzy tertawa singkat. Cukup dari itu, dia yakin jika Retta tengah merengut kesal sekarang sebab keterlambatan Regha datang menjemput.

"Zi," Shena memutar duduknya menghadap kanan, memandang Linzy sepenuhnya dari samping. Mau tak mau, yang dipanggil membalas tatapan Shena dengan kedua alis terangkat.

"Kenapa?"

"Lo udah denger belom?"

Dahinya berkerut tak mengerti. Apalagi dengan sorot serius Shena yang jarang terlihat. Jika sudah begini, pastilah hal yang akan Shena beritahu adalah penting. "Denger apa?"

"Ini tentang Zion."

Berkat Shena yang mengulang nama Zion pagi ini, berhasil menyeret pikiran Linzy untuk mengingat pembicaraan para cewek kurang kerjaan yang dilewatinya tadi di koridor.

"Kenapa emangnya Zion?" Sungguh, Linzy ingin terlihat biasa saja, berusaha tidak terlihat seperti cewek bego yang lagi penasaran tapi entah kenapa ada dorongan yang membuatnya ingin mengetahui apapun yang bersangkutan dengan Zion.

"Zion ..." Shena memulai dengan suaranya yang amat pelan seolah enggan siapapun mendengar—yang padahal Linzy sangat yakin satu sekolah juga sudah tahu, mengingat banyak grup rumpi di sekolah ini.

"... sama Cindy udah putus."

Seperti respon cewek kebanyakan, seharusnya Linzy terkejut atau lebih parahnya refleks bertanya 'kenapa bisa?' sayang kata yang keluar dari mulutnya terlalu pendek sebagai respon. "Terus?"

Awal dia penasaran karena dia pikir ada sesuatu yang terjadi pada Zion. Tapi ternyata ...

"What?!" Shena yang malah dibuat terkejut sekaligus kesal. "Respon lo kok gitu aja sih! Tanya kek, kenapa gitu atau siapa yang minta putus?"

"Emang itu berita yang maha penting ya?" Apa Shena lupa, dia tengah mengajak rumpi siapa? Ini Felinzy Lavira, perempuan yang tak pernah peduli tentang gosip apalagi cuma berita masa pacaran Zion yang berakhir.

Ayolah, Linzy bukan cewek alay yang gencar mencari informasi untuk dijadikan bahan gosip. Lebih ini berita tentang Zion yang putus dengan ceweknya. Ah! Linzy lelah. Sudah terlalu sering dia mendengar gosip putusnya Zion dengan ceweknya yang pasti tidak lebih dari dua bulan. Meski ini rekor karena Cindy berhasil menjadi pacar Zion selama sebulan lebih.

Shena tidak perlu menjelaskan kejadian itu dengan detail, kepala Linzy sudah menemukan kesimpulannya sendiri. Yang meminta putus sudah pasti Zion lalu alasannya pasti tidak jauh-jauh karena bosan atau Zion berhasil mendapatkan cewek baru.

Tunggu! Otak Linzy mendadak diam. Cewek baru?

"Zi ... Zi!" untung Shena memanggil. Setidaknya pertanyaan yang tiba-tiba muncul itu tak perlu dicari jawabannya oleh Linzy.

"Lo ngelamun?"

Sebagai respon dia cuma menggeleng.

"Oke gue tau lo gak pernah suka sama gosip tentang pemutusan Zion. Tapi ada yang harus gue kasih tau Zi," ucap Shena penuh kebingungan.

Sontak Linzy menatap Shena dan menunggu. "Apa?"

"Semua anak tau kalo Zion mutusin Cindy tuh karena dia belain adek kelas," Tidak sepantasnya Linzy mendadak kaku oleh penjelasan Shena yang baru setengah itu. "Tapi dari banyaknya orang yang ngegosip, satu pun gak ada yang tau adek kelas yang dibelain Zion itu siapa, dari kelas mana."

Memang Linzy terdiam. Tapi otaknya sudah dirombak oleh banyak pertanyaan. Adek kelas? Siapa?

"Tuhkan lo bengong lagi!" sentak Shena kesal sekaligus menarik Linzy dari pusaran lamunannya.

"Ya udah sih emang penting kita harus tau siapa yang Zion bela?"

"Enggak sih emang, tapi gue penasaran aja gitu." Shena mengedikan bahu tak acuh.

Linzy menarik napas panjang. "Palingan ya, ini tuh kerjaannya antek-anteknya Cindy buat nutupin identitas tuh adek kelas. Dia pasti malu karena Zion lebih ngebela adek kelas itu dibanding dia, pacarnya sendiri."

"Iya sih," Shena mengangguk setuju. Lelah juga sama drama di sekolah ini. "Gue heran sama semua mantannya Zion. Gak ada yang bener. Populer sih emang, tapi kelakuannya gak pantes disebut anak sekolah. Tipe-tipe cabe-cabean di pinggir jalan. Kenapa coba Zion pacaran sama cewek yang kayak begitu?"

Ini memang membingungkan. Linzy juga sering bertanya-tanya kenapa Zion sering memacari cewek-cewek nakal. Cewek kaya yang manja dan sikapnya yang arogan, juga tidak mau dikalahkan.

Panjang umur. Orang yang menjadi topik pembicaraan kini tengah berjalan masuk bersama tas menyandang di satu bahu.

"Linzy udah sehat?" Jangan mengira Zion yang bertanya, ini suara Retta yang berdiri dua langkah di belakang Zion, seperti Zion yang baru datang, Retta pun begitu. Perempuan berambut cokelat itu berjalan riang ke arah kursinya. Yang mengharuskan Shena pindah ke kursi belakang.

"Kayak yang lo liat." Linzy menjawab ketika Retta sudah duduk manis di kursi.

"Bagus kalo lo udah sehat," Senyum Retta mengembang. "Sori ya kemarin gak jadi jenguk."

"Yaelah, Ta santai sih. Gue juga cuma demam biasa," Linzy mengibaskan tangan seolah tak ingin mempermasalahkan.

"Tuhkan, Ta gue bilang apa." Shena di belakang ikut berbicara. "Linzy tuh ..."

"Kenapa telepon gue gak diangkat?" Tiba-tiba Zion berhenti tepat di depan meja Linzy, bukannya berjalan ke kursinya sendiri.

Jujur, Linzy agak males dengan pembahasan ini. "Penting banget ya telepon lo harus gue angkat?" agak sedikit kasar Linzy berbicara seperti itu. "Palingan lo nelepon cuma buat telinga gue panas sama kata-kata absurd lo."

"Tapi seharusnya lo angkat sebentar, jangan didiemin aja," Zion terlihat sangat kesal di depannya. "Lo tau gak sih kemarin gue sampe ke rumah lo karena gue pikir lo kenapa-napa!"

Retta dan Shena saja terbelalak kaget. Apalagi Linzy yang menatap Zion tak percaya.

"Tapi seharusnya gue tau ..." ekspresi Zion sedikit berubah. "Kalo telepon gue ganggu lo sama Lian, kan?"

"Lian jenguk lo, Zi?!" Shena justru antusias oleh hal ini.

Linzy tidak bisa menoleh pada Shena, sebatas anggukan yang dia berikan. Matanya justru terkunci pada Zion yang menatapnya dengan raut datar.

"WOHOOO DEMI APA WOY!" Shena semakin antusias. Beda lagi pada Retta yang justru pada bingung dua remaja yang saling menatap dalam diam itu. "Lian ngegas juga ya ternyata. Fikss ini mah Lian suka sama lo, Zi."

Linzy mau tak mau menoleh pada Shena, meninggalkan tatapan Zion yang masih terus memandangnya. "Apaan sih, ya enggaklah. Lian mana suka sama gue. Ngaco lo Shen!"

"Siapa yang tau," Ini suara Zion. Ketiga perempuan yang di sana sudah sepatutnya memandang Zion bingung. "Yang lo liat belom tentu sama artinya kayak yang ada di pikiran lo. Seharusnya lo seneng kalo Lian beneran suka sama lo kan?"

Entah kenapa Linzy jadi kesal oleh sikap Zion hari ini. "Nggak jelas lo, Yon. Apa sih!"

"Weh lo berdua kenapa coba?!" Shena menghentikan tatapan mematikan yang Zion dan Linzy lemparkan seolah tengah perang. "Pliss ya ... lo berdua berantem kayak orang pacaran tau gak sih?!"

Linzy membuang muka. "Sori."

Tentu suara lirih itu membuatnya kembali menatap Zion dengan bingung. "Gue kemarin cuma khawatir sama lo." senyum Zion terulas kecil sambil mengusap kepala Linzy, yang membuat dua perempuan lain terbelalak. "Tapi bagus kalo lo udah sehat sekarang."

Setelahnya, Zion berlalu pergi ke mejanya tanpa kata lagi.

°°°°

Pulang sekolah hari ini mereka harus latihan seperti biasa. Ditambah kemarin jadwal harus ditunda sebab Linzy jatuh sakit, sekarang sudah seharusnya mereka fokus berlatih.

Itu memang sudah menjadi keharusan, yang menjadi masalah untuk Linzy adalah karena sikap Zion yang berbeda tadi pagi. Cowok itu terlalu diam. Bukan. Mungkin seperti menghindar.

Sebenarnya ada apa? Dia tak mengerti Zion itu kenapa? Bukankah mereka berdua sudah memutuskan untuk menghapus kejadian kiss tak sengaja itu, memulai semuanya dari teman dan menghilangkan kata musuh.

Ck! Cowok itu memang menyebalkan!

"Ayo latihan."

Linzy secepat itu mendongak dan terbelalak setelahnya saat melihat Zion yang sudah berdiri di depan mejanya.

Linzy cuma mengangguk. Kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Memasukan barang-barangnya di meja ke dalam tas.

"Ta, Shen, gue duluan ya," pamit Linzy. Shena mengangguk saja. Sementara Retta diam memerhatikan Zion dan Linzy lama sebelum tersenyum sekaligus mengangguk.

Dari langkah mereka keluar kelas sampai menuruni tangga, tidak ada yang berbicara satu pun. Tiba-tiba ada kecanggungan merentang di keduanya. Entah siapa yang memulai diam, hingga berujung pada hening panjang.

"Cih kenapa diam doang sih?!" Zion yang memutusnya dengan kesal. Tidak terbiasa oleh keheningan seperti ini.

"Lo yang dari tadi diemin gue." Itu benar kan? Zion yang memulai.

"Kok lo nyalahin gue, jelas lo yang dari kemaren diemin gue," Linzy memelotot hendak protes, sayang kalah cepat oleh Zion. "Inget sama telepon gue yang gak lo angkat! Bisa ditebakkan siapa yang ngacangin duluan!"

Linzy mendengkus. "Gue juga gak ngangkat telepon lo karena ..."Yang cowok menunggu dengan kedua alis terangkat. Kekalahan telak, Linzy tak bisa melanjutkannya. "Iya, deh sori." Cowok itu pasti menginginkannya untuk meminta maaf dan sialnya ini kali pertama dia meminta maaf pada Zion.

Lebih baik seperti itu, dibanding Zion mengetahui alasan sebenarnya kenapa dia tidak mengangkat telepon cowok itu.

Di sebelahnya, Zion tersenyum dan tak sadar merangkul Linzy dan membuat yang dirangkul tersentak kaget. Untuk beberapa detik yang terlewat perempuan membisu sebelum memberontak meminta dilepaskan.

"Lepas, Yon. Gila lo, banyak orang!" Linzy menarik tangan Zion dari bahunya untuk menjauh. "Gue gak mau ya nanti mereka mikir gue tuh yang PHO-in lo sama Cindy."

"Lo udah tau gue putus sama Cindy?" Zion berhenti, menatap Linzy dengan alis terangkat.

"Dari Shena." Linzy menjelaskan malas. "Kenapa putus? Bosen?" Ada nada ejek dari pertanyaan itu.

Zion memencet hidung Linzy hingga yang perempuan memukul tangan Zion. "Lo kenal gue banget ya kayaknya." Cowok itu malah bangga sambil tersenyum.

"Gue denger juga lo belain adek kelas. Siapa? Incaran baru lo?!" Linzy menyindir.

"Ciee ..." Zion mencubit hidung Linzy lagi. "Kepo nih!"

Sebagai respon Linzy menabok bahu Zion kencang. "Yee siapa yang kepo! Gue cuma nanya!"

"Apa bedanya?" Zion tersenyum jail. Linzy berdecih dan berjalan mendahului Zion dengan langkah kesal.

Yang lelaki terkekeh, melangkah menyusul Linzy. "Kita mau latihan di ruang musik apa di luar aja?"

Kali ini Linzy berhenti. "Ya di ruang musik lah. Hari ini kan jadwal Bu Santi buat ngeliat perkembangan duetnya."

"Hari ini Bu Santi gak masuk."

"Oh..." Linzy tanpa sadar mengangguk paham.

"Di luar aja, di kafe mau gak?" Zion bertanya lagi.

"Kafe?" Dahinya berkerut samar. "Kafe Regha."

Zion menggeleng. "Starlie café?"

●●●●●  

Jadi Zion dateng ke rumah Linzy hmmm ... dan liat Lian 

Spoiler aja sih, part besok Linzy ketemu Zarlin. Siap gak nih?

Lian :')

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro