Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(38) ● Senin awal baru

Hehe kemaren tuh seneng gitu akunya baca komen kalian.

Boleh semangat lagi gak vote sama komennya, akhir bulan November ini hahaha

°°°

KEBANYAKAN para murid pastinya membenci hari senin. Hari menyebalkan karena mengharuskan mereka bangun pagi setelah libur di hari minggu, belum lagi upacara, dan otak pun disuruh kembali bekerja.

Zarlin juga tidak berbeda jauh dengan mereka. Dia benci upacara. Dia benci berdiri di bawah matahari yang tengah semangat-semangatnya.

Namun, ada hal yang Zarlin tekankan di pikiran hingga dia selalu semangat datang ke sekolah saat senin. Baginya, senin itu awal hari. Awal semangat. Awal untuk semua orang melakukan aktivitas. Semua hal selalu berawal dari senin—ya kecuali di kalender.

Sudah semestinya awal hari selalu dimulai dengan senyum cerah dan penuh semangat.

Seperti sekarang, hari menyebalkan seribu umat itu tidak berpengaruh apapun untuk Zarlin. Langkahnya riang menelusuri koridor kelas sepuluh sambil membawa bahan-bahan prakarya di tangan.

Walau kepalanya lebih sering tertunduk malu melewati murid lain, tapi setidaknya semangat langkahnya tak bisa membohongi siapapun.

Tinggal empat kelas lagi yang harus Zarlin lewati menuju kelasnya yang berada paling ujung. Kelas X-ipa1, atau sering disebut kelas unggulan.

Namun, tubuhnya terdorong tiba-tiba. Seseorang menabraknya sampai berakibat pada cat di kantong plastik yang digenggamnya tumpah keluar.

Zarlin terbelalak kaget. Catnya bukan saja meninggalkan noda hijau di seragamnya tapi juga perempuan yang menabrak. Masih shock, pelan dia mendongak dan matanya tambah melebar.

"LO LAGI!" cewek di depannya pun tak kalah terbelalak. Matanya membulat marah. Sosok terakhir yang Zarlin harap akan terkena tumpahan catnya.

Zarlin menunduk. Jantungnya berpacu cepat. Sorot Cindy benar-benar menusuk Zarlin, membuatnya bergetar takut. Dia yakin, Cindy menyimpan dendam padanya apalagi mengingat sang pacar membela Zarlin saat itu. Nyawanya bisa habis saat ini, ditambah fakta jika Cindy tak lagi sendiri.

Dia sungguh tak punya lagi ruang untuk lari.

"Dia yang dibelain Zion di kantin itu kan?" tebak temannya yang berdiri di sisi kanan Cindy.

"Target baru Zion hm..." Teman yang berada sisi lain ikut serta.

"LO BERDUA BISA DIAM NGGAK SIH!" Cindy terlihat makin geram.

"Maaf kak, aku ... aku bener-bener gak sengaja." Tangan Zarlin terkatup minta maaf. Sayang, permohonan maafnya diabaikan, Cindy justru mencengkeram kedua tangannya.

"Nggak sengaja? Cih! Muak gue denger pembelaan lo yang itu-itu mulu!" Cengkeraman Cindy makin mengerat. Akibatnya tangan Zarlin menjadi sakit luar biasa. "Mungkin waktu itu lo bisa bebas, karena pacar gue ngebelain lo."

Cindy tersenyum. Senyum kejam yang tampak mengerikan. "Tapi sekarang ... gue gak akan bebasin lo gitu aja. Lo udah buat seragam gue kotor dua kali, seenggaknya sekarang, lo harus tau permainan gue."

"Game? It's a good idea." Temannya berucap terakhir tadi mengangguk setuju sambil senyum bengis. Zarlin melirik bet nama cewek itu dan ukiran 'Laras' tercantum di sana.

Situasi ini kiranya tak memungkinkan Zarlin untuk berpikir. Namun, nama Laras seperti tak asing. Sepertinya Nara pernah menyebut-nyebut nama itu.

Dia tersadar saat Cindy menyentak kedua tangannya dan berganti menarik tangan kirinya.

°°°°

Hari senin ini. Tidak seperti anak lain yang stress di kelas karena belajar, Linzy justru tengah berbaring di atas ranjang yang nyaman.

Tunggu! Jangan berpikir jika Linzy senang oleh fakta itu. Di sekolah setidaknya ada waktu menyenangkan bersama teman di jam istirahat. Sementara Linzy, hanya kesepian yang menemaninya di kamar sekaligus obat-obatan yang tergeletak di nakas samping tempat tidur.

Seharusnya setelah kemarin Zion memaksanya meminum obat dan mengantarkannya pulang untuk beristirahat, suhu tubuh Linzy mengalami penurunan, panasnya berkurang, pusing di kepalanya bisa menghilang.

Namun tak seperti diharapkan, suhu tubuhnya justru melonjak naik. Bibirnya sepucat helain tisu, lain dengan wajahnya yang memerah total.

Jika diingat lagi akar seluruh penyebab Linzy yang bertambah demam, dadanya tiba-tiba merasa nyeri. Saat pulang kemarin, orang tuanya kembali bertengkar. Saling menyalahkan. Tidak ada yang mau mengalah hingga teriakan sang mama dan bentakan papanya mendominasi seisi rumah.

Selain diam di kamar sambil memegang keningnya yang bercucuran keringat dingin, Linzy tak bisa melakukan apapun lagi. Kepalanya luar biasa pusing lebih mendengar kebisingan yang mereka ciptakan.

Ketika mama-papanya tahu Linzy demam, mereka hanya memanggil dokter keluarga. Lalu paginya sudah pergi ke luar kota untuk bertemu rekan bisnis.

Tak dipedulikan, tak merasa dikhawatirkan, dia sudah kebal akan hal itu.

Para pembantunya yang malah sibuk. Naik-turun untuk mengantarkan makanan dan obat. Linzy ingin menghormati kerja keras mereka, tapi sayang, mulutnya sulit untuk menelan makanan apapun, saat ada makanan yang mengenai lidah, perutnya bergejolak ingin mual.

Oleh karena itu, dia hanya sedikit menyentuh makanan yang diantarkan Bi Marni, sekadar syarat untuk minum obat.

Kemudian kesunyiaan itu terpecah oleh suara bunyi dentingan ponselnya yang mengganggu. Linzy mendengkus lalu mengambil ponsel yang tergeletak di bantal sebelahnya.

Makhluk astral: Beli apa mbak?

Makhluk astral: Susu dancow

Makhluk astral: Dancow apa mbak?

Makhluk astral: Dancow hadir mengubah segalanya. Menjadi lebih indah.

Makhluk astral: Indah seperti taman rumah. Disiram. Dijaga. Tumbuh bunga-bunga.

Membaca pesan di sana kepala Linzy bertambah berat. Bukan cuma sekarang Zion mengirim chat absurd seperti itu. Sudah sangat sering. Cuma tadi malam cowok itu bertingkah normal, mengirimkan pesan, bertanya bagaimana dengan kondisinya dan menyarankan untuk beristirahat di rumah saja.

Felinzy. L: Nggak jelas lo!

Setelah mengetik itu, Linzy terbelalak karena Zion langsung cepat mengetikan balasan.

Cowok ini tidak punya kerjaan apa?

Makhluk astral: Jelas-jelas kau tak memikirkan aku

Makhluk astral: Jelas-jelas kau tak menginginkan aku

Makhluk astral: Jelas-jelas kau tak menganggapkan aku ada

Linzy makin ternganga. Pesan Zion makin melantur kemana-mana. Ditambah satu pesan berisi foto.

Makhluk astral: 

Felinzy. L: Plis ya Yon ... kepala gue lagi pusing, gak usah nambahin sakit kepala gue sama chat absurd lo!

Makhluk astral: Gue yakin pusing lo tuh efek karena kangen sama gue, iya kan?

Felinzy. L: Situ waras?

Makhluk astral: Yaelah pake boong segala. Jujur aja. Ayo jujur, anak jujur disayang Zion nanti

Kepala Linzy benar-benar mau pecah kali ini. "Najis siapa mikirin dia coba!" gumamnya kesal sendiri.

Felinzy. L: Lo bisa gak sih waras sehari aja?!

Linzy menunggu balasan dalam kesal. Tanda 'read' tampak di sana. Sayangnya, tidak ada balasan apapun. Satu menit. Dua menit. Bahkan hingga menit ke lima. Tidak ada lagi pesan line yang masuk. Chat mereka berakhir begitu saja.

"Dia yang ngechat duluan dan sekarang malahan dia yang cuma ngeread chat gue?!" kekesalan Linzy meningkat.

Ayolah, dia bukan kesal karena Zion tidak membalasnya chat-nya. Apalagi kecewa. Cih jelas itu bukan seorang Felinzy Lavira.

Hanya saja, sebagai cewek dia merasa tersentil. Cowok itu yang mengawali chat dan sudah sepantasnya cowok itu juga yang mengakhiri. Bukan justru chat-nya!

Jelas cewek itu nggak bisa diginiin!

Dengan bibir yang menekuk menahan kesal, dilempar kasar ponselnya ke bantal samping. Dia sudah memutuskan jika Zion menge-chatnya lagi, dia akan read saja tanpa berniat membalas. Biar tahu rasa cowok itu!

Tak lama suara denting pesan khas line terdengar. Didetik pertama sampai ke sepuluh, tidak ada niatan untuk mengambil ponselnya. Namun, rasa kesalnya kalah oleh rasa penasaran akan pesan itu.

Dan ... justru dia dibuat tertegun.

Itu bukan chat dari Zion.

Lian. R: Gue denger lo sakit? Sakit apa?

Perlahan tapi pasti, pesan itu menghilangkan semua kekesalan Linzy sekaligus membuatnya terasa ingin terbang.

Felinzy. L: Iya, cuma sakit demam biasa

Lian. R: Oh ... udah minum obat?

Linzy menggigit bibir bawahnya, menahan jeritan karena bahagia.

Felinzy. L: Udah tadi. Baru aja

Lian. R: Jangan pernah lupa minum obatnya, dan harus banyak makan. Biar cepet sembuh, terus ketemu sama gue

Felinzy. L: Ketemu? Emang lo kangen sama gue?

Pesan itu tinggal Linzy kirim. Jantungnya berdebar-debar dengan berbagai dugaan. Ini agak cheesy gak sih? batin Linzy. Dia agak takut akan respon Lian nanti.

Namun, tangannya terlalu pintar. Niatnya ingin menghapus, justru tanda kirim yang ditekan. Linzy shock luar biasa, lebih dengan tanda 'read' di sisi pesan beberapa detik setelahnya.

"Mampus lo, Zi. Mampus!" rutuknya ke diri sendiri.

Lian. R: Kalo gue bilang gue kangen sama lo. Lo percaya gak?

Ini antara Linzy ingin merutuki lagi tangan sialannya atau ingin berterima kasih atas itu. Hatinya menjerit senang. Kalau tidak mengingat tenggorokannya lagi sakit, dia akan berteriak sekarang.

Untuk membalas, Linzy dibuat bingung. Beruntung Lian kembali menge-chatnya tanpa menunggu balasan tadi.

Lian. R: Lo mau gue jenguk hari ini?

Linzy refleks kaget dan berniat membalas. Tapi kalah cepat oleh Lian.

Lian. R: Tenang aja, gue udah tau alamat rumah lo dari Regha. Lo mau gue bawain apa? Rainbow cake or lollipop?

Nggak usah bawa apa-apa. Liat lo aja gue seneng

Maunya sih balas begitu. Tapi nanti malah jadi awkward. Jadi dia hanya membalas.

Felinzy. L: Gak usah, Yan ngerepotin lo nanti

Lian. R: Gak ngerepotin sama sekali. Gue emang pengin jenguk lo. Ya udah gue bawa dua-duanya aja ya, buat lo :)

Rupanya emot senyum yang Lian kirim, berhasil membentuk hal serupa di wajah Linzy.

°°°°

Felinzy. L: Lo bisa gak sih waras sehari aja?!

Di area taman kosong sekolah, Zion tertawa membacanya. Berancang-ancang ingin membalas, bersamaan dengan langkahnya yang mendadak terhenti dengan terfokus pada satu titik.

Matanya menyipit. Meyakinkan diri jika dia tidak salah melihat.

Jelas mata Zion tidak punya penyakit. Jadi apapun yang dilihatnya itu memang benar adanya. Tanpa bisa dicegah, dia melangkah tergesa-gesa ke arah titik yang diperhatikannya.

Zion dikenal sebagai cowok jail, ramah, mudah tersenyum dan bertingkah aneh setiap hari. Aura Zion selalu menyenangkan untuk siapapun. Walau terkadang banyak yang bisa tensi gara-gara kejailan ataupun tingkat percaya diri cowok itu.

Tapi setidaknya, Zion tidak pernah bersikap di luar kendali. Cowok itu selalu bisa mengontrol emosinya. Bahkan dia sangat jarang terlihat marah pada siapapun. Selalu menganggap hal-hal serius menjadi lucu, meski itu yang membuat banyak orang kesal.

Lalu sudah sepantasnya, Cindy, Laras, dan Kia seketika ciut saat melihat kedatangan Zion dengan aura berbeda. Cowok itu tidak mengatakan apapun, tampak tenang saat mengambil gunting di tangan Cindy yang terdiam kaku.

Bukan saja Cindy bersama temannya yang kaget karena kedatangan Zion. Zarlin yang terpojok ke dinding pun, tak kalah terkejut, namun bersamaan merasa kelegaan luar biasa.

Lama cowok itu memerhatikan gunting di tangan lalu menatap beberapa helai rambut di tangan Cindy—sudah pasti itu rambut Zarlin. Dia mendongak, aura dingin menguar membekukan suasana di sekitar.

"Masih aja ya, cara ngebully kayak gini? Kuno banget tau gak?"

Cindy berusaha terlihat tak gentar. "Kamu gak usah ikut campur, Yon. Ini urusan aku." Lalu dia menunjuk noda hijau di seragam putihnya. "Kamu liat? Ini alasan kenapa aku harus ngasih dia permainan."

Zion melirik Laras—mantannya yang masih tetap berteman dengan Cindy, lalu pada Kia yang tampak membuang muka tak berani menatapnya. Sebelum kembali menatap cewek yang berstastus sebagai pacarnya.

"Permainan salon rambut gitu maksud lo?" Zion mendesis kejam. "Lo mau gunting rambut dia, kayak main salon-salonan iya? Cih! Kayak anak kecil lo!"

"Anak kecil?" Cindy terusik. Dia kesal karena nada ejek Zion sekaligus kesal akan fakta cowoknya tengah membela cewek lain. Apalagi ini ada teman-temannya.

"Ya, anak kecil, yang otaknya belom bisa dipake buat apa-apa!" cetusnya tajam.

"MAKSUD KAMU, AKU GAK PUNYA OTAK GITU!" Cindy kehabisan sabar.

"Kalo lo punya otak, lo nggak akan ngelakuin hal bodoh cuma karena kejadian sepele kayak gitu kan?" Zion mengenainya tepat sasaran.

Cindy terbungkam, sama halnya dengan kedua sahabatnya yang terdiam bego.

"DIA UDAH NGOTORIN SERAGAM AKU YON!" Cindy tak bisa lagi meredam emosi. Ditarik tangan Zarlin kasar, tepat di depan Zion yang kini memandangnya tidak suka. "Dia. Buat. Baju. Aku. Kotor!" ulangnya penuh penekanan. "TERUS GIMANA BISA KAMU BELAIN DIA?!"

"Terus kalo dia ngotorin seragam lo, harus banget cara ngasih taunya kayak gini?" Zion maju selangkah. Berdiri sejajar di depan Cindy yang masih menekan tangan Zarlin hingga perempuan kecil itu kesakitan.

"Kenapa kamu belain dia terus sih?!" Jelas Cindy tidak suka akan hal itu. "Aku pacar kamu, Yon. Kalo kamu lupa!" lirihnya bersama air mata yang mulai menggenang di sudut mata.

"Gue gak belain dia!" Hela napas Zion frustasi. "Lo-nya yang udah keterlaluan, Cin!"

"Aku yang keterlaluan?" Cindy menyentak tangan Zarlin kasar, membuat Zarlin mengaduh pelan. Lalu mendorong dada Zion kasar. "Jelas kamu yang keterlaluan! Aku pacar kamu! Seharusnya kamu belain aku bukan dia!"

"Cin..." nada Zion benar-benar sudah tak tahan akan semua sikap kekanak-kanakan Cindy. "Gue tekenin sekali lagi. Gue gak belain dia. Lo-nya yang gampang banget emosi. Ini cuma hal sepele. Terus kenapa harus diperpanjang sih kalo bisa cepat selesai."

Cindy kehabisan kata ingin melawan.

"Dia udah minta maaf kan?" Pertanyaan ini untuk Cindy. Namun, cewek itu mendengkus tak suka.

"Lo udah minta maaf kan?" Zion beralih pada Zarlin yang masih gemetar takut. Dan seharusnya masalah selesai. Cindy justru hilang kendali saat Zarlin mengangguk akan pertanyaan Zion tadi.

Dia mendorong Zarlin sampai punggung kecilnya menabrak dinding. Zion terlalu kaget membuatnya tak bisa mencegah. Tak tanggung-tanggung, Cindy bahkan sampai menampar Zarlin.

Air mata Zarlin jatuh secepat itu, merasakan sakit di pipi. Yang membuatnya makin ingin menangis adalah karena tragedi ini mengingatkannya akan memori menyakitkan di masa lalu. Melihat kedua kakak kelas perempuannya justru tersenyum kemenangan. Merasa puas menjatuhkan Zarlin hingga dasar jurang.

"Maaf aja gak cukup ya!" Cindy mendorong bahu kanannya. Zarlin hanya bisa meringis menahan sakit sekaligus mati-matian untuk tidak menangis.

"CIN!" beruntungnya akal sehat Zion cepat kembali. Dia refleks mendorong pacarnya menjauh dari Zarlin. "Psikopat lo! Gue udah sering bilang sama lo! Kalo gue benci cewek kasar dan gak tau aturan kayak gini!"

Cindy yang awalnya kaget karena dorongan Zion, makin dibuat tak berkutik oleh perkataan itu. "Kelakuan lo udah bener-bener kelewatan tau gak!"

"Gue udah capek ya sama sifat childish lo!" Entah suasana tegang dari mana, tiba-tiba datang tak mengenakan. Tentu setelah mendengar ucapan Zion, semuanya makin diam. Terutama Cindy yang tidak ingin mendengar lanjutannya. "Gimana kalo kita putus aja."

Zarlin saja yang gemetaran takut sejak tadi dibuat kaget akan ucapan itu. Apalagi Cindy yang kini merasa nyawanya dicabut dengan paksa. Bibirnya mendadak bergetar, air mata tak tahan lagi disembunyikan. Dibiarkan mengalir di pipi.

"Putus?" lirih Cindy tak percaya. Jangan tanya Kia dan Laras yang juga terbelalak kaget. "Kamu mau kita putus?" ulangnya penuh getir.

Bagi Cindy tidak ada lagi yang lebih sakit melihat anggukan Zion dengan wajah santainya. "Kamu mutusin aku cuma karena cewek ini. Iya?"

"Ini gak ada hubungannya sama dia," Zion melirik Zarlin yang menunduk tak berani berbuat apapun lagi. "Gue udah capek sama sikap childish lo. Sikap lo yang semena-mena gak tau aturan. Sikap lo yang gampang banget emosian!" Kalimat akhir diucapkan dengan penuh penekanan. "Gue udah capek sama semua sikap buruk lo itu!"

Cindy menggeleng. Tentu hubungan mereka tidak bisa berakhir seperti ini. Seharusnya Zion tahu seberapa besar rasa sayang Cindy untuk cowok itu, hingga apapun bisa dia lakukan untuk mendapatkan Zion. Apapun.

"Aku gak mau putus," Cindy menggeleng tak terima. Mendekat pada Zion dan memegang tangan cowoknya. "Aku gak mau putus, Yon ..." pelan dia berujar bersama air mata yang makin berjatuhan di pipi.

Masa bodoh dengan fakta jika sekarang Cindy tengah memohon-mohon pada Zion di depan adik kelasnya. Apalagi ada Laras, sahabat sekaligus juga seseorang yang berstatus sebagai mantan Zion melihatnya di keadaan menyedihkan begini.

Persetan akan itu semua!

"Aku sayang kamu, Yon." Hilang sudah raut angkuh Cindy beberapa waktu lalu. Dia menangis sejadi-jadinya.

Siapa saja pasti akan menyumpahi atau minimal tertawa melihat seseorang yang tadi menjahatinya justru kini menangis. Tapi untuk Zarlin. Dia tidak pernah bisa membenci orang lain. Walau bagaimana mereka memperlakukan Zarlin begitu jahatnya.

Apalagi melihat terlukanya Cindy yang mendengar Zion mengakhiri hubungan mereka. Kelihatan sekali jika Cindy menyayangi Zion.

Lalu kalimat balasan Zion yang dikeluarkan beberapa detik setelahnya. Membekukkan siapapun. "Tapi gue gak sayang sama lo!" cowok itu menghapus air mata Cindy lembut dan mengulas senyum. "Mending kita putus aja. Pasti lo gak mau kan pacaran sama cowok yang gak sayang sama lo?"

Seperti Ada malaikat jahat yang berbisik pada Zarlin kalau Zion adalah cowok jahat. Kenapa cowok itu terlihat mudah sekali mengucapkan kalimat barusan. Seolah rasa sayang hanya dianggap mainan dan saat bosan bisa dibuang atau diberikan pada orang lain.

Beda pada malaikat baiknya yang justru berbisik jika mungkin ini yang terbaik. Zion tidak jahat, cowok itu hanya lelah pada sikap Cindy.

Iya! Cowok itu hanya tidak suka akan keangkuhan Cindy yang makin lama terlihat memuakkan. Zarlin sangat yakin, Zion bukanlah cowok yang sering kali Nara ucapkan atau pun perempuan kelasnya.

Drama belum selesai saat Cindy menampar pipi Zion dengan kencangnya. Menimbulkan gema di kesunyian taman kosong sekolah. Tidak ada yang mendengar atau melihatnya. Selain mereka berlima yang terlibat drama sejak tadi.

Drama akhirnya selesai. Cindy berbalik dengan isakan getir dari bibirnya. Kia ikut menyusul dan berusaha menenangkan sahabatnya.

Tinggal Laras, Zion dan Zarlin.

"Gue pikir," Laras—pacarnya yang harus Zion putusi setelah bermain belakang bersama Kevin—angkat bicara. "Linzy target lo..." Dia tersenyum sinis. "Ini bukan permainan kan? Lo ngebelain dia, yang padahal bukan target beneran lo."

Zion kembali menjadi sosok yang dikenal. Dia tertawa, senyumnya melebar. Begitu saja menghapus sosok dingin yang bersembunyi di dalam raganya. "Laras, pikiw-pikiw. Target tuh apa sih? Target buat panahan. Kenapa gak dateng ke lapangan senayan aja sana. Atau yang gampang aja dulu. Main di timezone."

Laras berdecih sebelum berbalik pergi. Menyisakan kedua orang yang kini memilih diam.

●●●●●      

Dari judul part, kalian ngerti gak artinya apa?

Senin awal baru. Awal hari. Awal Zion ngejomblo lagi wkwkwk.

Masih ingat Laras kan?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro