FF(36) ● Bercerita Luka
Niatnya sih pengin up kemarin tapi kebentrok sama tugas yang numpuk jadi bisanya sekarang.
Part kemarin kalian udah semangat komennya, part ini boleh juga dundss
Biar aku semangat :*
°°°
Five years ago ...
KATA memasak memang terasa aneh jika disandingkan dengan Linzy. Tidak seperti sang Mama yang sangat pandai memasak—dari masakan daerah di negara sendiri, makanan luar negeri seperti; Italian food, Japan food, makanan turki, dan banyak lagi—tangan Clara seolah memang diciptakan untuk berteman dengan bumbu-bumbu masakan.
Sementara Linzy, bumbu-bumbu masakan sampai alat-alat dapur adalah musuh terbesarnya. Kalau tidak ingin melihat dapur menjadi arena perang, lebih baik jangan pernah menyuruh Linzy ke sana.
Linzy dan dapur adalah satu paket yang tidak akan pernah bisa disatukan.
Seperti sekarang ini. Lima pembantu perempuan tampak berdiri berjejer di dapur. Sekadar diam walau sesekali empat di antaranya menahan tawa. Tidak ada yang berani melarang tentu saja disaat sang tuan putri sudah mengambil keputusan.
Peraturan yang harus mereka ingat di rumah megah ini, apapun yang anak majikan minta tidak boleh dibantah.
Tapi untungnya dari peraturan itu tidak membuat anak sang majikan besar kepala dan memerintah mereka seenaknya. Mereka beruntung sang tuan putri bukanlah tipe anak majikan dari sinetron yang sering mereka nonton berjamaah. Sosoknya terlalu lembut dan hampir mendekati manja.
Itu mungkin faktor menjadi anak semata wayang dan sang Papa yang selalu memanjakan anaknya itu.
"Bi!"
"Eh, iya Non?" Bi Marni, salah satu pembantu yang berdiri di sana paling cepat tanggap. "Non Zizi, mau Bibi bantu?"
Linzy, sang putri yang bulan kemarin baru saja mengikuti ujian kelulusan SD, menggeleng. Sayangnya, wajah cantik dan rambut pirang terkepangnya harus kotor oleh tepung dimana-mana.
Itulah yang sejak tadi menjadi alasan empat pembantu di kanan-kiri Bi Marni menahan tawa. Jangan sampai mereka refleks tertawa dan membuat sang anak majikan kesal.
"Zizi cuma mau nanya, abis mixer gula sama telur, Zizi harus apa?"
"Non Zizi, tinggal masukin tepung yang disaring tadi."
"Oh gitu!" Linzy menggangguk mengerti. Jemarinya yang sudah tercemar tepung mengambil mangkuk berisi tepung halus habis disaring.
Lalu saat Linzy mengangkat mangkuk itu di depan wajah, beberapa butir tepung terbang di sekitar hidung. Membuat perempuan kecil itu bersin dan tentu saja hempasan hidungnya mendorong tepung di mangkuk terangkat mengenai muka.
Cuma Bi Marni yang meringis melihatnya, sementara empat pembantu lain menahan tawa keras-keras. Tentu mendapat tatapan tajam Bi Marni, membuat empat pembantu itu mengubah raut wajah secepat mungkin. Titel sebagai pembantu terlama yang bekerja di sini, membuat yang lain segan pada Bi Marni.
"Udah, Non, biarin Bibi aja yang buat kuenya. Atau kalo Non gak mau Bibi yang buat, nunggu Nyonya aja."
"Ih Bi Marni gak ngerti!" Linzy mengusap wajahnya yang penuh tepung. "Ini kan kue buat Papa. Ulang tahun Papa hari ini, Zizi cuma mau buatin kue sebagai hadiah."
"Iy-ya Non, Bi Marni tau," Bi Marni saja yang sudah lama bekerja dan bahkan menjadi pengurus Linzy sejak kecil tidak berani membantah. Apalagi pembantu yang lain. "Tapi kan tadi Nyonya udah bilang buat kuenya nanti, pas Nyonya udah pulang."
"Kelamaan kalo nunggu Mama!" Linzy cemberut sambil meneruskan kegiatannya menakar ukuran baking soda yang pas. "Keburu Papa pulang dan gak jadi buat kejutan di kantor."
"Tapi Non..."
"Ih!" serunya kesal. "Zizi tuh udah gede, udah mau jadi anak SMP. Tapi kenapa kalian masih ribet sih ngurusin Zizi. Bi Ana, Bi Ira, Bi Marni, Bi Dena, Bi Suri mending keluar aja, jangan ganggu Zizi di dapur!"
"Non Zizi emang udah gede, tapi kan..." Bi Suri seketika menahan katanya di lidah setelah mendapatkan tatapan tajam dari majikan kecilnya.
"Ada apa ini? Suara kalian sampe kedengaran ke luar dapur!" sosok wanita cantik yang masih memakai setelan kerja, tiba-tiba menyeruak masuk dari pintu dapur. Lalu tak butuh waktu lama untuk Clara membulatkan matanya kaget. "Astaga! Kenapa dapur jadi berantakan kayak habis diterjang angin topan kayak gini?"
Empat pembantu cuma diam sambil nunduk. Sementara Bi Marni yang menjawab, "Itu Nyonya Non Zizi maksa buat bikin kue."
Penjelasan Bi Marni cukup untuk membuat Clara menjatuhkan seluruh fokusnya pada Linzy yang menurunkan kepala sambil memainkan kuku. Seolah dia sudah siap diadili karena membantah sang Mama.
"Bukannya Mama udah bilang kalo buat kuenya nanti setelah Mama pulang dari pertemuan client?"
Ditarik napas panjang. Kali ini Linzy berani menatap mamanya. "Kelamaan nunggunya, Zizi kan mau cepet-cepet bikin kejutan buat Papa."
Seuntai senyum perlahan terbingkai di wajah Clara. Mendengar kalimat sesederhana itu, membuat kemarahannya teredam pada anaknya karena sudah menciptakan dapur menjadi berantakan tidak karuan seperti ini.
"Ya udah," Clara masih senyum, berjalan mendekati anaknya lalu menggulung blazer kerjanya hingga siku dan memakai apron. "Kita buat kuenya sekarang."
Linzy menoleh pada sang mama. "Tapi kan Mama baru pulang. Capek pasti."
Clara menggeleng sambil mengusap rambut pirang anaknya. "Nggak, ini kan buat Papa."
Melihat sorot lembut Clara mengangkat senyum Linzy.
"Sekarang kita rapiin dulu meja dapurnya, baru setelah itu kita buat kuenya."
Tidak perlu menunggu untuk Linzy mengangguk semangat.
°°°°
Sekiranya butuh dua jam untuk mereka menghabiskan waktu membuat kue yang sekarang sudah tersaji cantik di meja.
"Udah selesai ngehiasnya?" tanya Clara, yang jadi gemas melihat anaknya tak kunjung selesai menghias kue dengan krim bewarna cokelat muda membentuk sebuah tulisan.
"Selesai!" Linzy berseru girang. Dipandangnya hasil karyanya dengan penuh binar. Dia yakin pasti papanya akan menyukai kue buatannya—eh maksudnya buatan mamanya, karena Linzy hanya banyak mengacau tadi. "Ayo Ma, sekarang kita ke kantor buat kejutin Papa."
Clara tak bisa mencegah tawanya, melihat bagaimana keantusiasan Linzy, membuat hatinya menghangat dengan mudahnya. Diusap kepala anaknya pelan. Setelah mengangguk dan meletakan kue buatannya di kotak kertas transparan lalu memasukkannya ke plastik, mereka sama-sama berjalan ke mobil.
Dengan Pak Didit yang menyetir di depan dan Linzy bersama mamanya duduk di bangku belakang. Mobil itu merayap mulus di jalan.
Sepanjang jalan Linzy banyak bercerita, bagaimana hari minggu kemarin disaat mamanya ditugaskan di Bandung, dia jalan ke mall dengan sang papa hanya berdua, seperti orang pacaran papanya mengajaknya menonton di bioskop, membelikannya popcorn, tidak seperti seorang papa kebanyakan yang pasti malu menonton film kartun. Papanya dan dirinya adalah sama-sama pecinta kartun.
"Oh jadi selama seminggu itu kalian asyik jalan-jalan," Clara pura-pura ngambek, sementara Linzy tertawa melihat ekspresi mamanya.
"Mama sih sibuk!" Walaupun Linzy berucap begitu, dia sama sekali tidak merasa kekurangan kasih sayang mamanya. Dia adalah anak paling beruntung, meski orang tuanya sama-sama sibuk, di setiap hari libur, mereka selalu punya waktu untuk menikmati liburan menyenangkan ala keluarga. Yang pasti banyak yang menginginkan hal itu.
"Oh yaudah jadi minggu ini jadwal Papa sama Mama pacaran, Zizi gak boleh ganggu."
"Ih kok gitu?!" Linzy tidak terima.
"Ya iya kan minggu kemarin Linzy udah berduaan sama Papa, sekarang Mama-lah."
Bibir Linzy seketika mencebik membuat tawa Clara berderai. Dia mengusap kepala anaknya penuh sayang. "Mama bercanda sayang, kan minggu ini jadwal terakhir kita di Jakarta sebelum papa buka cabang perusahaan di Bali, dan kita pindah ke sana. Jadi Zizi juga harus ikut ngabisin waktu terakhir di Jakarta bareng Mama sama Papa."
Setengah jam waktu berjalan begitu cepatnya saat akhirnya mereka tiba di basement parking.
Bersama sang mama yang membawa kantong plastik di tangan dan satu tangannya lagi menggenggam Linzy di padatnya lobi di jam kerja, banyak karyawan membungkuk hormat, mengucapkan 'selamat sore' dengan segan. Istri dari presdir terkenal dengan sikap ramahnya. Selama membalas sapaan, senyum Clara mengembang dan sesekali mengangguk.
Sedang Linzy cuma diam, bingung untuk melakukan apa.
Dan saat di lift khusus petinggi jabatan, Linzy membuka suara. "Ma?"
"Iya sayang?"
"Kemarin ada anak cowok dari kelas 6B yang dateng ke kelas Zizi?" cerita Linzy selama lift mulai bergerak ke atas.
"Terus?" mamanya menunggu.
"Terus dia ngasih Zizi cokelat dan bilang suka sama Zizi."
"Oh ya," Clara menanggapi cerita Linzy antusias seperti seorang teman. "Ada anak cowok yang suka sama anak Mama yang cantik ini. Siapa? Ganteng gak? Terus Zizi jawab apa?"
Linzy diam dulu. "Ya Zizi bilang jujur aja, Zizi gak suka cokelat, Regha yang suka cokelat, Zizi tuh sukanya lollipop. Zizi juga bilang kalo Zizi gak suka sama dia, cowok yang Zizi suka itu Papa. Zizi cuma sayang sama Papa."
Clara dibuat terdiam. Merasa terharu mendengar perkataan akhir anak perempuan tunggalnya itu. Tidak perlu dijelaskan, Clara sudah sangat tahu betapa besar kasih sayang Linzy pada papanya. Dia mengusap kepala Linzy dan mencium kening anaknya yang sudah beranjak besar.
Suasana itu harus terpecah oleh suara denting lift. Lorong sunyi langsung menyambut kedatangan mereka. Sambil merangkul sang anak, Clara berjalan menuju ruangan suaminya.
Tak butuh waktu lama untuk kaki mereka berhenti di depan pintu bertuliskan 'Chief Executive Officer'. Dan tanpa perlu meminta izin untuk masuk, didorongnya pintu itu dengan tangan Clara yang terbebas dari kantong bawaannya.
Rasa-rasanya kaki mereka baru bergerak dua langkah saat tiba-tiba terhenti di atas karpet tebal ruangan. Seperti ada rantai yang melilit kaki mereka untuk melangkah lebih jauh.
Linzy membelalak dengan jantung yang terasa merosot jatuh ke bawah. Sebelum detik kelima dia ditarik sang Mama ke pelukan. Menutup matanya dari hal yang membuatnya shock luar biasa.
Clara sudah terlambat untuk menutup kedua mata Linzy. Sebab matanya sudah lebih dulu melihat sesuatu di sana. Sesuatu yang membuat kebahagiannya hari ini menguap berganti sesak yang menggayut.
Tak ada lagi ingatan menyenangkan yang tertinggal di kepala. Terhapus begitu mudahnya setelah menyaksikan sang papa tengah berciuman panas di atas sofa dengan wanita lain.
Sedikit takut untuk Linzy mendongak. Memandang garis wajah mamanya yang berubah kaku. Dan untuk pertama kalinya, dia melihat untaian senyum itu memudar.
Tidak ada yang lebih menyakitkan menyaksikan ini semua di waktu bersamaan.
Melihat papanya bersama wanita lain itu sudah cukup menyakitkan ditambah sorot lembut Clara yang menghilang.
"Mama?" Suara Linzy parau, kaca mulai berhias di mata. Dan mungkin suaranya itu menyadarkan Jeovan kalau sejak tadi ada dua manusia yang memerhatikan kegiatan menjijikannya di kantor.
Linzy tidak bisa melihat wajah sang papa. Tapi dari suaranya, Linzy tahu papanya terkejut luar biasa.
"Clara? Zizi?"
Dan juga ini kali pertama Linzy membenci nama panggilan kecilnya sendiri.
°°°°
Cerita itu berakhir bersamaan dengan air mata yang menggenang di pelupuk. Linzy diam, cowok di sebelahnya pun ikut-ikutan. Masih duduk di atas rerumputan bersama cahaya kunang-kunang yang terbang tak beraturan.
Selagi bercerita kejadian lima tahun lalu, kiranya memang Linzy memasang raut biasa. Mengalir lancar tanpa ada sendatan dari bibir. Namun, dia yakin Zion tidak bodoh untuk mengartikan kekosongan yang memancar dari matanya.
Suaranya lirih yang mati-matian diusahakan untuk tetap terdengar tegar walau hatinya sudah memberontak dengan kegetiran.
Menceritakan ini, dia sudah siapa akan konsekuensi. Termasuk siap kembali menjahit lukanya yang dipaksa untuk terbuka selama bercerita.
Untuk Zion, dia hanya menyimak tanpa melakukan apapun di sebelahnya. Itu cukup buat Linzy. kata-kata bijak atau kata penyemangat tidak penting baginya, yang terpenting ada yang masih ingin mendengar ceritanya tanpa menghujat. Tanpa mengoloknya.
"Jadi ... bokap lo pernah selingkuh?" Sebenarnya ada nada aneh yang berhasil Linzy tangkap dari suara Zion. Tapi karena dia sudah terlalu lelah oleh masalahnya sendiri, dia tak ingin memusingkan hal itu.
Linzy membuang muka kala Zion menoleh. Dihapusnya kasar air mata yang menggenang di sudut mata sebelum jatuh di pipi.
"Dia main belakang sama salah satu karyawan perempuan," ucapnya dengan pertahanan yang perlahan terkikis. "Gue sakit ngeliat kejadian itu, tapi entah kenapa gue lebih sakit saat Mama gue berubah. Dia udah gak perhatian kayak dulu. Dia dingin banget sama gue, bahkan gue udah gak pernah lagi liat senyumnya. Terakhir Mama senyum itu, lima tahun lalu, pas sebelum kejadian itu."
"Mungkin orang-orang bakal ngatain gue lebay atau apalah yang jelek-jelek. Anak broken home bukan cuma gue doang, banyak di dunia, jadi gak seharusnya gue lebay." Kali ini Linzy tersendat karena sesak di dadanya. "Tapi orang luar gak pernah tau, kalo anak broken home yang dulunya bahagia, selalu seneng dimanja papanya, terus sekejap keluarganya langsung hancur cuma karena kejadian gak diduga, itu lebih sakit dibanding apapun."
"Rasanya tuh aneh, saat dulu lo sering dimanja, sering nonton film sambil ketawa-tawa, cuma kerasa sedetik semua itu ilang. Semuanya gak lagi lo rasain." Pertahanan Linzy runtuh sudah, air matanya jatuh mengalir. Nyatanya dia tak sekuat itu untuk menopang lukanya.
Dua kali. Dua kali Linzy menunjukkan sisi lemahnya di depan Zion. Air matanya tak terkendali, dadanya dibelit dengan kencangnya. Rasanya begitu sesak.
Bahkan isaknya tak bisa dicegah, keluar dengan pelan. Tapi di putaran setelahnya, isaknya harus teredam di rengkuhan Zion. Cowok itu menariknya ke pelukan. Menenggelamkan kepalanya di dada.
Keduanya sama-sama diam. Lebih pada Linzy, dia terkejut. Tak menyangka akan hal ini. Yang cowok tidak mengatakan apapun, sebatas pelukan, yang entah kenapa membuat Linzy tenang dan nyaman.
Pelukan itu perlahan terurai. Zion berdeham di sampingnya. Tingkahnya jadi seperti orang kebingungan. Bergerak salah tingkah.
"Kebanyakan orang kan cuma bisa komentar. Gak bener-bener tau gimana rasanya jadi anak broken home." Mendadak suara Zion ikut terdengar lirih.
Entah karena tidak ada topik atau memang suasana yang mendukung hingga mereka berdua hanya diam tanpa ingin bicara.
Melihat bagaimana kunang-kunang yang terlihat mudahnya terbang di atas ilalang tanpa terganggu, membentuk senyum pahit Linzy. "Hidup gue udah kayak sinetron iya gak sih?" Kemudian menoleh pada Zion. "Kalo lo mau ketawa, ketawa aja."
Zion menoleh kaget ke Linzy. Terlalu kaget seolah pikiran cowok itu tengah terbawa pergi entah kemana.
"Sinetron juga diambil dari dunia nyata kan? Ya cuma terlalu lebay aja scene-nya. Contoh kayak anak durhaka, pas ibunya capek akhirnya bersumpah, tau-tau ada petir di siang bolong. Masuk akal gak?"
Tidak ada yang lebih menarik bagi Linzy selain perubahan raut Zion yang ditangkapnya tadi meski sekilas.
"Lo juga punya masalah?" tanyanya.
Untuk yang ini, Zion benar-benar kaget luar biasa. Walau hebatnya dia mengatur ekspresi.
"Masalah itu sebenernya gak ada, itu cuma pola pikir manusia yang capek sama hidupnya sendiri."
Linzy takjub. Ini beneran Zion?
"Bunda yang selalu ngomong gitu." Lanjutnya, menghancurkan kekaguman Linzy seketika.
Dia mendengkus. Matanya beralih pada cahaya kunang-kunang yang menemani mereka sejak tadi. "Kenapa kunang-kunang cuma keluarnya malem?"
"Kalo keluarnya siang bisa-bisa dihajar emaknya ... soalnya tarif listrik bisa naik."
Asal saja cowok itu menjawab. Linzy memukul Zion, meski bibirnya membentuk senyum kecil. "Receh lo!"
"Alhamdulillah, recehan juga masih bisa ngebeli permen." Makin melantur.
"Apa sih Yon!" Linzy membuang muka. Ketawa. Astaga kenapa humornya jadi anjlok cuma karena pembahasan unfaedah ini.
"Atau gak kunang-kunang tuh sebenernya vampir di ggs. Takut keluar siang, entar kebakar."
"Udah ya, Yon gak lucu!" Tidak sesuai fakta yang diucapkan, Linzy masih saja ketawa nggak jelas.
"Kalo gak lucu, kenapa ketawa baskom?!"
"Bukan sama lelucon lo! Tampang lo jadi bloon gitu, bikin ngakak."
"Anjir tampang sebelas-duabelas sama Austin Mahone gini dikata bikin ngakak."
"Boleh muntah gak?" kali ini si cewek benar-benar menghentikan tawanya.
"Jangan muntah gue gak bawa kantong plastik item."
Lelucon Zion memang terlalu garing. Tapi wajahnya yang santai saat berucap benar-benar bikin perut Linzy geli dan membuatnya ingin tertawa.
Tapi seharusnya Linzy juga harus berterima kasih pada keabsurdan Zion yang setidaknya berhasil membuat kesedihannya menjadi embun yang perlahan menguap pergi.
"Mau pulang gak nih?"
Linzy menatap Zion sekaligus menghela napas. "Gue belum siap ketemu Papa. Lo anter gue ke rumah Regha ..." ucapannya tak bisa dilanjut saat pikirannya mulai membayang wajah khawatir Regha dan tante Seli bahkan om Reno, yang ada nanti Linzy jadi merepotkan mereka.
Zion berdiri, seolah mengerti kebisuan Linzy. "Gak usah," lalu menunduk membalas tatapan Linzy yang mendongak menatapnya. "Ikut ke apartemen gue aja."
●●●●●
Ke apartemen Zion hmmmm... 🙈🙈
Pengin cepet lanjut gak nih?
Tatap-tatapan gitu ceritanya haha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro